Penjual Kenangan

Tuesday, December 26, 2006

Saat Pergi, di Mana Kau Titipkan Hati?

mungkin kita dapat bicarakan arah--yang tak pernah pasti
atau kita bicarakan tentang tahun cahaya
yang tak pernah sampai lagi di sini;
ia tak akan pernah bisa membawa masa lalu, katamu

tahun cahaya telah larut dalam perjalanan teori
padahal, di sana ada lorong waktu: ke masa lalu

MENCARI ARAH UTARA

seorang laki-laki, muda, selalu mencari arah utara
"aku tak akan tersesat," katanya, "jika kutemukan utara"

sungai-sungai, yang telah bersahabat lama dengan hujan, akan membawamu sampai. ke muara

seorang laki-laki, muda, tak pernah lagi mencari arah
"aku kehilangan kompas. aku takut tersesat," katanya

Thursday, December 21, 2006

SIAPA DIA?

Jika Anda berjalan-jalan ke kota Depok, jangan lewatkan untuk melihat foto ini.




Saat arah sudah melewati terowongan, setelah kampus BSI—yang tampak selalu ramai—setelah tugu yang menandakan batas kota Jakarta dan kota Depok, jangan lupa untuk mendongakkan wajah ke arah kiri. Di sana, di antara spanduk-spanduk dan baliho-baliho iklan yang selalu berganti, ada satu baliho yang tak pernah berganti—entah sejak kapan, saya lupa. Rasanya sudah sangat, sangat, sangat lama. Di situ, seorang laki-laki berpose dengan gaya yang aduhai, jadulnya.

Lihatlah baju lengan panjang (atau itu bisa disebut blus?) dengan warna ungu mengilat yang dikenakannya. Tampak bukan untuk ukuran tubuhnya yang masuk kategori orang bayaran (preman, maksudnya). Entah apa pula maksudnya membuka separuh dari kancing-kancing bajunya itu. Menyimpan harapan akan tampak dadanya, yang entah dia pikir sebidang apa. Mungkin. Belum lagi potongan rambut ala Deddy Dhukun—yang entah masih dipakai atau tidak oleh si Deddy sekarang ini. Tengok pula senyum yang mungkin dia pikir memesona semua wanita. Bagaimana dengan kumis dan jenggotnya yang ala mafia? Mungkin ia ingin tampak sangar, menutupi kilatan warna ungu yang tak akan terlupakan itu. Terpesonakah Anda? Ah, mungkin yang tak bisa dilupakan dari wajahnya adalah lirikan matanya—berharap setajam mata elang, tampaknya. Tidakkah ia terlalu berharap?

“Siapa sih orang ini? ada yang tau ga? serius nih!!!” Itu yang tertulis di primary foto di friendster salah seorang teman saya, Truly. Saya tahu dia serius mengomentari foto itu. Dan, foto itu pulalah yang menarik hati saya untuk segera membuka profil teman saya itu--kami menyimpan keresahan yang sama. (Truly, terima kasih buat fotonya, ya)

Ah, pertanyaan itu juga sudah lama ada di benak saya, dan juga mungkin Anda—orang-orang yang keluar-masuk kota Depok tercinta setiap harinya. Apakah WR. EQ. SWARA itu namanya? Entah. Saat lewat di sana, saya dan teman-teman selalu memperbincangkan hal itu. SIAPAKAH DIA? Apakah dia seorang warga yang terpilih jadi wajib pajak teladan? Mengingat di baliho itu ada tulisan:

PEMBANGUNAN KOTA DEPOK
TERLAKSANA ATAS KELANCARAN
ANDA MEMBAYAR PAJAK

BAYARLAH PAJAK ANDA TEPAT WAKTU

Entah. Atau juga dia sponsor utama, mungkin dari salah satu salon di kota Depok.

Atau juga dia adalah salah satu calon yang akan menjadi penguasa Depok? (Soalnya, saya juga sering melihat foto seseorang—di mana-mana—dengan slogan “antinarkoba” hingga saya pikir dia dari Partai Antinarkoba. Tetapi, kalau beliau itu sudah jelas salah seorang pejabat.) Kalau yang ada di foto ini?

“Berapa ya dia bayar buat bisa nampang di situ? Udah lama banget,” itu percakapan saya dan teman-teman jika teringat pada lirikan-tak-terlupakan sang-pria-misterius itu. Bertahun-tahun pula (jujur, sebenarnya, saya tidak tahu pasti sudah berapa lama dia di sana). Sudah-sangat-lama.

Ah, siapakah dia? Tidakkah dia kesepian duduk sendirian di sana? Mungkin, dia seorang anak hilang yang ingin menemukan siapakah orangtuanya. Berharap ayah atau ibunya melihat foto itu, kemudian mencarinya. Kalau benar begitu, kasihan juga dia, sudah lama tak ada orangtua yang merasa kehilangan anak seperti dia—terlalu menyilaukan.

Mungkin juga dia seorang pria—mungkin duda—yang ingin mencari soulmate-nya.

Mungkin dia reinkarnasi Narsisus, yang telah menolak cinta Echo--yang terus-terusan mengulang kata yang terakhir didengarnya, membayar cinta yang diungkapkannya? (sepertinya bukan, bukankah Narsisus belum mengenal Deddy Dhukun?)

Na, na, na, na, na, na, na, na, na, na, … Ow, ow, siapa dia? Mungkin Om Kris tahu.

Sudahlah. Tak peduli siapa dia. Mungkin hanya seseorang yang butuh eksistensi diri. Butuh pengakuan akan keberadaannya.

Sudahlah, buat apa juga dipikirkan.

Namun, dia mengganggu tidur-tidur saya …. Bagaimana tidak, setiap hari, setiap memasuki kota Depok tercinta, saya selalu merasa ditatapnya—dengan mata yang dia curi dari seekor elang malang.

Jika Anda pernah melihatnya, mungkin dia juga telah mengganggu tidur-tidur Anda. Jika belum melihatnya, jangan merasa kecewa. Anda masih bisa—dan akan selalu bisa—melihatnya. Datang saja ke kota Depok tercinta. Setelah melewati terowongan “Selamat Datang Kota Depok”, jangan alihkan mata Anda ke arah mana pun. Tenggoklah ke arah kiri, sedikit tenggadah. Dan Anda akan bertemu dengannya dan mungkin akan bertanya pula, SIAPA DIA?

Wednesday, December 20, 2006

Bukan Tak Mungkin

Jika laut meminangmu
katakan kau akan ingat
akulah yang mampu memuarakan
napas-napasmu
walau tak setiap tetes sampai

jika laut meminangmu
ingatlah setiap jengkal lekuk menuju hilir
kau dan aku pernah ukir

jika laut meminangmu
aku akan tetap iringi ratapan riakmu
maka dengarlah harapku
lewat doa-doa hujan pagi
pula kutitipkan dalam sujud-sujud angin pantai

jika laut meminangmu
dengarkan hatimu
dan kenanglah aku.


Depok, 02 Juli 2002 

Terima Kasih, Ni




"Ni, bangunlah .... Lihatlah Cipa yang selalu bernyanyi dengan lucu. Ia ingin mamanya melihat kerlingan manja matanya. Ni, bangunlah ..... Kalau tidak, siapa yang akan memasak ketupat paling enak saat Lebaran .... Ni, bangunlah .... Sekarang, Puput juga sudah pintar, sudah bisa mengangkat jemuran ...."

Dan, tiba-tiba, aku berhenti berbisik di telingamu. Ah, entah kenapa, bocah kecil dengan rambut kepang itu mulai belajar untuk melangkah sendiri.

"Tidak, Ni .... Belum .... Puput belum bisa mengangkat jemuran sendiri. Rambutnya saja masih perlu disisiri. Dan, ia masih ingin seragam merah putih itu sudah terletak rapi begitu ia selesai mandi. Ni, bangunlah .... kami menunggumu."

Saat itu, kau hanya diam ..., tapi aku tahu kau mendengar bisikku. Di sudut matamu, ada air mata yang tak jatuh. Membeku di sana. Saat itu, aku percaya kau akan membuka matamu. Kau tangguh. Yang telah mampu menaklukkan lelah di sepanjang perjalanan panjang yang telah kau lalui. Kau tangguh. Dan aku percaya penyakit itu tak akan jauh membawamu. Itu yang kau tunjukkan padaku. Pada kami.

Ni, kau selalu mengkhawatirkan perjalananku, perjalanan kami. Ada saja yang kau titipi agar jalan tak terasa terlalu jauh, agar jalan terasa tak terlalu berat. Dan agar sedih tak ikut di sepanjangnya. Namun, tak pernah kau biarkan kami mengkhawatirkanmu. Bahkan, sampai saat waktu berhenti berdetak untukmu. Tak kau biarkan kami untuk khawatir. Malah masih sempat kau titipkan harapan lewat senyummu. Seakan-akan kau tahu kami masih perlu bekal untuk melewati perjalananan--yang entah berapa jauh lagi.
Suatu ketika aku mengenangmu, kau masih tak biarkan aku bersedih. Kau tetap tak biarkan aku mencari di mana kau sembunyikan lelahmu. Kau selalu dan selalu titipkan harapan. Di sana, terbingkai rapi dalam tawamu.

Terima kasih, Ni ....
Terima kasih untuk ada.
Selalu.

Monday, December 18, 2006

benah-benah

pusing ngeliat tulisan di blog gw yang miring-miring, gw mencoba membenahinya. Mulai dari mengedit posan, ngepos ulang, sampai--dengan sangat terpaksa--menghapusnya. Tapi, tetap aja miring-miring. Hilang deh momen gw nulisnya. Kenapa sih blog ini? Fiuf.

Ni, Kami Rindu Tawamu

saat hari kemarin,
sudah dua minggu cahaya hilang dari matanya

(masih seperti minggu lalu, saat aku menyadari betapa hanya dunia di mimpilah yang mampu menghiburnya)

bukankah cahaya itu yang selalu ada di sepanjang detak usiaku? sejak dulu.
dan aku masih saja sibuk. masih saja bertaruh dengan waktu.
masih saja sibuk menghitung deru. menghitung detak.
aku masih saja tak sempat ikuti jejak cahaya itu,
dan katakan, seorang perempuan yang lemah lembut hatinya mencarimu.
seorang perempuan yang di tangannya tergariskan cinta.
yang di tangannya tergariskan kasih. yang di tangannya tergariskan sayang.
yang di hatinya selalu ada ruang untukku. hangat. seperti saat aku dekat dengan ibu.

Tuhan, milik-Mu-lah segala cahaya. semoga langkah hari ini membawa cahaya itu kembali pada matanya

Ni, maaf, hanya doa lagi yang tertitip hari ini.

(Senin, 20 November 2006, 12:12)

Untuk Sahabat

Suatu hari, gita yang duduk di belakang gw, menyodorkan kertas ke meja gw.
“Wied, baca deh,” katanya sambil membuka earphone warna hitam dari kupingnya. Tangan kanannya memegang flash disk warna putih, yang juga bisa buat dengerin lagu. Punya seseorang. Saat itu, benda yang sempet bikin gw terkagum-kagum itu—soalnya bagus, tapi murah—belum rusak. Gw mengambil kertas yang disodorkan gita. Gw langsung baca tulisan yang sedikit acak-acakan itu. Judulnya “Untuk Sahabat”.

saat hidup terasa berat
genggam tanganku lebih erat
satukan langkah sehati
menggapai mimpi-mimpi
jangan lagi kau meragu
aku ada di sampingmu
berbagi hujan dan mentari
melukis angan di hati
tatap bintang...
bersinar terang di sana
sabagai tanda..
kita selalu bersama
saat airmata membasahi relung jiwamu
nyanyikan lagu ini denganku
akan slalu ada sudut hangat di hatiku
kutahu begitu pula di hatimu
begitu banyak cerita
berjuta kenangan yang ada
berbeda telah terbiasa
mendewasakan kita


Bagus, Git,” ujar gw—yang selalu disebut “komentar standar” oleh Gita.
Saat itu, gw terharu, Gita bikinin puisi yang bagus banget buat gw. Tepat bener. “Iya, lo dengerin, deh.” Gita langsung meyodorkan earphone yang sebelumnya dia pakai ke gw.
“Eh, emang ini apaan?”
“Lagunya Cokelat,” kata Gita datar.
“Oh ....” Saat itu, gw diam aja sambil menerima earphone itu dari tangan gita. Ada yang terbang. Yah, kirain ... Tadinya, gw udah ge-er aja. Tapi, jangan-jangan Cokelat bikinin itu buat gw.
Pas pulang dari kantor—hari itu Gita lagi ada kerjaan di kantor, jadi pasti gw ma dia pulang bareng—gw bilang, “Git, kirain yang tadi itu puisi buat gw.”
Gw lupa Gita jawab apa. Mungkin dia bilang, “Makanya, jangan sering jadiin diri lo tokoh utama dalam lagu. Haha.” Itu ungkapan pinjaman dari si Utara-nya Gita.
Mungkin orang di angkot ikut mendengarkan percakapan kami diam-diam—seperti yang gw dan Gita sering lakukan juga, ikut dalam adegan orang ataupun mencuri percakapan orang dalam angkot.
Di kosan, gw minjem flash disk putih--yang sekarang udah rusak dan kembali ke orangnya lagi--dan dengerin lagu itu. Lagunya pas banget. Kaya buat gw. Yah, bolehlah kalo kita ingin jadi tokoh utama dalam lagu. Toh, gak ngambil peran orang lain. Tapi, kalo emang kita yang dipilih jadi tokoh utamanya, lebih boleh lagi. Git, udah lama gak bikinin puisi buat gw, hehe

p.s: Git, ternyata judulnya "Nyanyian Sahabat", bukan "Untuk Sahabat".

Cipa Aja

Cipa—ponakan gw yang Oktober kemaren ulang tahun ke-3 dan juga suka warna pink (entah kenapa anak kecil banyak banget suka warna pink. Bahkan, sekarang, cowok-cowok [yang udah pada gede] pun suka. Idieh! Apa pasal sih?—suka banget nyanyi.

"Cipa, nyanyi, dong."
"Nyanyi apa?" kata Cipa sambil membulatkan matanya yang lucu.
"Nyanyi cicak-cicak, ya. Satu, dua, tiga, Cicak-cicak ...."

"Cipa aja. Cipa aja." Cipa tak ingin seorang pun mendahuluinya menyanyikan lagu andalannya. Dan langsunglah ia menyanyi dengan tempo cepat, seperti mau menyelesaikannya dalam satu napas (mungkin takut ada yang ikutan nyanyi).

Titak-titak dindinding,
nyiam-nyiam melayat
da-tang -ekor nyamuk
hap. hap
yayu ditatap.


"Yeee .... Cipa hebaat ...."
Dan Cipa akan tersenyum. Malu-malu.




Ani, Buah Buni, dan Fadil

Ani, yang punya lengkap nama Lenny Fitri Anwar, ini salah satu ponakan gw. Dia kelas 1 SD. Dulu, dia pendiam. Klo gw suruh kenalan ama temen gw, pasti dia akan meyuruk-nyurukkan mukanya ke pangkuan gw.

Trus, dia punya hobi ngerjain pe-er. Apalagi, kalau saudara-saudara gw lagi ngumpul rame-rame di rumah, misalnya pas lebaran kemaren. Orang lagi sibuk-sibuknya maap-maapan, makan-makan kue lebaran, dan bagi-bagi duit, dia malah ngambil buku pe-ernya dan ngerjain pe-er. Yah, kita taulah kalo di diri anak kecil tuh ada keinginan selalu diperhatikan (gak cuma anak kecil, sih, ya. Yang udah pada gede pun kalo gak dibales SMS-nya ngambek. Itu mah si Enchit banget. Hehe).

Anak kecil selalu punya cara untuk mencari perhatian orang lain, terutama orang dewasa di sekitarnya. Cari perhatian juga bisa dilakukan dengan cara berbuat nakal sehingga dia mendapat hukuman. Menurut Hurlock, mendapat hukuman merupakan salah satu kesenangan bagi seorang anak. Dia tidak akan merasakan tidak enaknya hukuman itu, tapi dia senang telah mendapat perhatian dari orang dewasa. Untung si Ani mencari perhatian dengan bikin pe-er. Yah, baguslah, kan tuh pe-er jadi selesai. Si Ani juga seneng banget baca. Apa aja dibaca. Pernah gw bawain koran buat kliping Ikhsan (10 thn), kakaknya Ani, eh malah diubek-ubek sama si Ani. Dia bacain semua. Ampe berita-berita yang gak jelas juga.

Kira-kira seminggu sebelum lebaran, gw pulang ke rumah. Ani langsung ngeluarin bukunya dan membaca. Pas gw liat sekilas judul bukunya, ternyata kumpulan cerita anak. Ani membaca buku itu tanpa titik dan koma. Sampe-sampe dia terengah-engah (padahal, gw udah sering bilang tentang titik-koma, hela-napas, ama Ani. Tapi, masih aja. Pasti dia lupalah. Masih kecil, gitu lho).




Ani membaca dan gw mendengarkan.
"Lalu kepala kepiting itu putus dan menggelinding. Sang kera mengangkat kepala itu," kalimat itu gw dengar.

"Hah. Kenapa, Ni?"

"Tauk," kata Ani sambil mengangkat bahu.

Ya ampun. Itu buku cerita apaan sih?
Trus, ada lagi kalimat yang dibaca Ani, "Keparat! Sialan kamu," kata sang kera.

Ampun. Ampun. Ani, jangan baca buku itu lagi. Aduh, itu buku cerita anak-anak apa buku cerita kriminal sih? Ikutan kuliah cerita anak dulu, gih. Kalo gak, baca bukunya Ibu Riris K. Toha-Sarumpaet, deh, Hakekat [sic!] Cerita Anak .... (lupa judul lengkapnya, nyusul deh). Kalo gak, baca skripsi gw deh (hehe, belagu banget gw). Parah, parah, masa anak kecil disuguhin cerita pembunuhan hewan dengan cara brutal begitu. Bayangin, kepala kepitingnya putus, menggelinding, trus diangkat ama si kera (idih, serem bener). Udah gitu, kata-kata "keparat", "sialan" pun dengan gampang ditulisin ama tuh pengarang. Halah, halah.

Si Ani mah asyik-asyik aja bacanya. Orang dia baca kayak mobil di jalan tol (klo lagi gak macet). Terus aja gitu, gak ada jeda-jedanya buat nangkap maknanya. Dia udah baca semua isinya, tapi kalo disuruh ceritain apa isi buku itu, si Ani pasti langsung menjawab cepat, "Tauk," sambil mengangkat bahu dan melanjutkan bacaannya. Hehe, liat nih, gw bisa baca, itu kayaknya di pikiran Ani.

Trus, si Ani gak gw bolehin baca buku itu lagi. "Besok Ante Wied beliin buku yang bagus ya."

Di buku itu juga ada cerita tentang buah buni, yang diceritakan berasa enak sekali; sampai-sampai diperebutkan binatang-binatang di hutan. Halo ...., sang penulis. Kenapa harus buah buni sih? Gw aja kalo disuruh deskripsikan bentuk buah buni gak ngetri gimana, apalagi disuruh ngejelasin rasanya. Kenapa gak ceritain buah yang dekat dengan kehidupan anak-anak aja, sih? Lagian, emang iya rasa buah buni enak? Perasaan ....

Ani semakin suka baca. Baca apa aja.
Ah, Ani, maaf ya kalau Ante Wied jarang pulang dan gak sempet beliin Ani buku-buku cerita yang lucu, yang gak brutal, dan--yang kata ahli kesusastraan anak--"yang dekat dengan alam hidup anak-anak".

Selain baca, Ani juga suka nulis-nulis di diarinya (Cie, anak kecil aja punya buku hariannya). Isinya mah standar anak SD (waktu gw SD): nama, alamat, hobi, dll. Trus, ada beberapa nama temen-temennya. Ada jadwal mata pelajaran juga. Gw iseng aja bolak-balik tuh diari. Trus, tiba-tiba ada tulisan—sekitar di tengah halaman—ada tulisan "Lenny love (pake simbol hati) Fadil". Oh, kayaknya sih bukan si Ani yang nulis. Trus, gw tanya: “Ni, sapa yang nulis, Ni?” Dan, spontan dia langsung ngerebut tuh buku. Ow, ow .... Usut punya usut, Gita (Gita dah kenal Ani sejak dia berumur sekitar dua tahunan, waktu masih suka nangis malem-malem) bilang ke gw kalo dia pernah liat si Ani nulis-nulis nama Fadil, Fadil, berulang-ulang. Kayak kalo kita lagi jatuh cinta gitu; kan suka juga tuh tanpa sadar nulis-nulis namanya. Tapi, kalo si Ani yang nulis-nulis? Ya ampun, Januari besok dia baru 7 tahun gitu. Gw kayaknya gak gitu deh dulu—haha, ini penyakit orang dewasa; suka ngebanding-bandingin anak kecil ama dirinya di masa lalu.

Trus, saat keluar rumah, di dinding pagar, gw juga menemukan tulisan "Ani love (simbol hati) Fadil". Gw langsung ketawa. Dan, refleks si Ani menutupi dinding di depannya. Ada tulisan itu lagi di situ. Haha. Blunder. Padahal, kalo Ani diam aja, gw gak akan tahu di situ ada juga. Ani, Ani.
Trus, iseng-iseng, gw dan Gita nanya, “Fadil cakep gak, Ni?”
“Cakep, putih.” Haha. Kayaknya dulu—waktu umur si Ani—gw masih ingusan deh. Boro-boro tahu ada anak kecil yang lain yang cakep dan putih. Tapi, gak tahu juga sih, jangan-jangan ....

Thursday, December 14, 2006

Di Angkot, Kubaca Surat Cintamu

Mencuri dengar percakapan orang, mencuri baca bacaan orang merupakan jenis kejahatan yang sering terjadi di angkot. Biasanya, pelakunya kebanyakan kaum perempuan. Mungkin Anda juga pernah melakukannya atau pernah jadi korbannya. Jika tidak kesibukan di dalam angkot, saya juga kerap melakukannya, sekadar iseng mencari penghilang bosan. Namun, terkadang, sebenarnya, saya tidak mau melakukannya, tetapi kejahatan itu mengundang, misalnya si calon korban bicara terlalu keras sehingga seisi angkot mendengar atau si calon korban terlalu lebar membuka koran yang dibacanya sehingga head line-nya terbaca dengan jelas. Banyak juga motifnya, tetapi yang paling utama sebenarnya adalah karena orang dalam angkot tidak punya pekerjaan sehingga bawaannya iseng, seperti yang saya alami.

Kemarin sore, saya keluar kantor pukul lima. Mendung sudah hujan. Namun, kalau menunggu hujan berhenti, tak akan saya bertemu dengan magrib di Margonda, tempat kos saya. Hujan masih rintik saat saya mengambil kartu absen. Namun, untungnya saya bersama seorang teman yang membawa payung. Sayangnya, kami harus berpisah arah. Hujan berbaik hati memilihkan arah saya—tadinya, saya berencana naik angkot yang memutar agar tidak jalan kaki menuju angkot yang ke Depok. Hujan berhenti. Lalu, setelah salam perpisahan seperti biasanya dengan teman saya itu, saya naik angkot merah yang sudah sejak tadi ngetem, seperti biasa. Saat naik, saya terpeleset, tapi untung tidak sampai jatuh. Orang yang dalam angkot, seorang laki-laki, berkomentar standar, “Hati-hati licin, Mbak”. Orang itu sempat mengajak ngobrol, tapi saya lebih suka menikmati jalanan yang basah sehabis hujan. Jikapun tidak hujan, saya sebenarnya lebih suka diam daripada ngobrol dengan orang yang tidak dikenal di angkot.

Sampai di persimpangan tempat saya turun, tiba-tiba hujan menderas. Waduh, saya tidak bawa payung ataupun jaket. Terpaksa berhenti sebentar di depan warung indomi. Namun, saya memutuskan untuk menerobos hujan. Kangen juga untuk berjalan dalam hujan.

Sampai persimpangan jalan utama, saya ikut mendesak di depan sebuah toko telepon seluler bersama orang-orang. Saya lebih suka berjalan dalam hujan daripada berdiri dalam hujan. Angkot yang menuju Depok belum kelihatan, sedangkan hujan semakin bersirebut jatuh. Tak lama, angkot berwarna biru yang jarang sekali terburu-buru itu muncul. Lumayan kosong. Awalnya, saya duduk di bangku enam, tepat di depan pintu. Di belakang saya, hujan masuk lewat jendela yang tak rapat. Saya mencari-cari tempat di bangku empat. Seorang perempuan muda, dengan rambut panjang yang digerai, dan seorang anak laki-laki berusia tiga tahun mengambil tempat terlalu banyak. Anak itu berdiri berpegangan ke kaca belakang. Perempuan itu duduk miring ke arah si anak. Ada tempat kosong di antara mereka. Hujan deras dan genangan air semakin banyak. Salah satu hal yang pasti terjadi adalah air akan menciprat lewat pintu yang terbuka. Saat hujan lebat seperti ini, pengendara-pengendara di jalan raya menjadi semakin egois. Tak akan mereka pikirkan cipratan air yang mereka ciptakan saat deru mesin mereka semakin kencang.

Lalu, saya segera mengambil tempat di pojokan di bangku empat. Anak kecil yang asyik dengan botol susunya itu juga refleks duduk di sebelah saya. Anak itu melihat lama pada saya. Saya tersenyum kecil padanya, lalu memerhatikan si perempuan muda, mungkin kakaknya, pikir saya. Perempuan itu sedang sibuk komat-kamit. Ternyata, ia sedang membaca. Saya melirik. Yang dibacanya adalah kertas folio bergaris dengan tulisan tangan yang sangat rapat dan kecil-kecil. Dari tampilan kertas itu, sepertinya itu sebuah surat. Saya melirik lagi. Tulisan tangan itu terlalu kecil. Si perempuan masih komat-kamit tanpa suara, gaya membaca yang juga pernah saya lakukan, mungkin sewaktu SD.

Lalu, ia membalik halaman. Terbaca oleh saya tulisan yang tertera cukup besar di bagian atas, hlm. 4. Si perempuan masih serius. Saya memperhatikan anak kecil yang mulai menyenderkan kepalanya kepada saya. Anak ini siapanya, ya? Kok dari tadi tidak diperhatikan. Perempuan itu sibuk dengan bacaannya itu dan semakin membuat saya penasaran. Baca apa sih dia sampai serius sekali. Di depan saya ada seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka sibuk memikirkan hujan yang semakin deras. Mereka tidak peduli dengan perempuan yang sedang membaca itu, sepertinya.

Saya, karena tidak ada kesibukan dan juga telanjur penasaran, kembali melirik. Perempuan itu sampai pada bagian bawah kertas surat. Lalu, dengan gerak cepat, ia mendekatkan surat itu ke wajahnya. Ia mencium surat itu. Lalu, mendekapnya di dada.

Saya kaget. Tak menyangka ia melakukan itu. Wajahnya sumringah. Tampak bunga-bunga betebaran di sekelilingnya. Dan, saya sadar. Ooh … Itu surat cinta, toh. Lalu, ia melipat surat itu. Lalu, tangannya merogoh kantong celananya. Dikeluarkan lagi kertas yang lain (sebelumnya sudah empat halaman). Satu lembar kertas yang sudah kusut di sana sini. Sepertinya, itu kertas terakhir dari surat tersebut. Pada kertas itu, tulisannya lebih besar-besar dan ditulis dengan spidol warna biru. Saya melirik sekilas. Ada yang sempat terbaca oleh saya.  Sudut kemiringan kepala saya semakin besar. Sekarang, saya bukan lagi melirik, tapi menengok. Perempuan itu tidak akan tahu. Ia terlalu hanyut dalam komat-kamitnya. Di situ tertulis:

Sundari yang kucintai selamanya …. (meskipun merasa bersalah, rasanya saya ingin tertawa membaca kata-kata itu. Gombal bukan?)

Mohon maaf … bla bla….  (entah apa lanjutannya, tapi
mungkin intinya, maaf kalau ada salah-salah kata) .... maaf tidak bisa menulis panjang karena aku pusing mikiran kamu (mmpphhh … aku menahan tawa, tambah gombal lagi bukan?)

Lalu di bawahnya ada tulisan lagi, kira-kira begini:

Sebelumnya, aku mau ngasih pantun dulu.

Satu titik dua koma kamu cantik siapa yang punya

(waduh, ini pantu zaman kapan ya? Namun, bagus juga ada yang melestarikan)

Lalu, di bawahnya ada pantun lagi:

Bandung dulu baru jakarta senyum dulu baru dibaca

(pantun di atas juga tidak kalah silamnya. Lagi pula, si perempuan sepertinya sudah selesai membaca yang empat halaman sebelumnya. Jadi, tak cocok toh diletakkan di halaman belakang. Meskipun tidak membaca pantun itu, ia sudah tersenyum sejak tadi).

Semacam cinta yang sederhana. Saya jadi ingat puisi “Aku Ingin”-nya Sapardi.

Wajah perempuan itu semakin sumringah. Saya masih menahan tawa, maaf. Hujan masih deras. Anak kecil—yang entah apanya si perempuan—masih menyenderkan kepalanya kepada saya.

Perempuan itu melipat lagi kertas pantun itu, lalu mengeluarkan satu lembar lagi. Saya bertanya sendiri, “Masih ada lagi?”

Surat itu lengkap dengan tanggal di sudut kanan. Tulisan tangan kali ini kembali lagi kecil-kecil sehingga susah untuk dibaca dalam jarak jauh. Karena merasa terlalu terlibat jauh, saya tidak enak untuk tidak peduli begitu saja. Namun, saya hanya mampu membaca tulisan DIY, Jateng. Oh, dari Yogyakarta, toh, pikir saya. Lho, kok Jateng? Entahlah, mungkin saya salah baca.

Terakhir, saat perempuan itu melipat surat cintanya, saya melihat gambar hati yang ditembus panah dan tulisan “Sundari yang kucintai selamanya”. Terlalu gombal lagi. Namun, tampaknya, laki-laki yang mengirim surat itu begitu jatuh cinta. Dan, perempuan ini begitu percaya pada cinta sang lelaki, yang disampaikan lewat berlembar-lembar surat. Kertas-kertas surat itu dilipat kecil-kecil, lalu dimasukkan ke dalam kantong celananya. Lalu, ia berpaling pada anak kecil di sebelah saya. Anak itu dipangkunya.

“Nanti jangan bilang-bilang Mama kalau kamu kehujanan, ya,” katanya sambil mengusap-usap kepala anak itu. Anak itu mengangguk.

“Nanti bilang apa kalau Mama nanya ‘Adek dari mana?’” tanya si perempuan.

“Terima kasih,” kata si anak. Penumpang di depanku tersenyum. Aku juga.

“Nanti bilang kalau Adek abis main ke kampung rambutan,” lanjut si perempuan dengan nada yang riang. Ia benar-benar jatuh cinta, sepertinya.

“Makan rambutan,” kata si anak. Ha-ha-ha. Perempuan di depanku tertawa lagi.

“Bukan makan rambutan, bilangnya dari kampung rambutan,” ralat perempuan yang sedang jatuh cinta itu.

Saya tersenyum kecut. Anak kecil itu didikte. Mudah sekali.

Anak laki-laki yang sudah selesai dengan botol susunya itu melihat saya lagi. Lama. Mungkin ia menyadari saya telah melakukan kejahatan.
 

Monday, December 11, 2006

25.11


di sini, kita berdiri. dan tak pernah tahu apa yang ada di depan sana.

Wednesday, December 06, 2006

Mengenangmu, Ni

Ni, ternyata telah kau temukan jejak Cahaya itu. Aku bahkan belum sempat sampaikan padanya tentang pencarian seorang perempuan yang lemah lembut hatinya. Tentang pencarian seorang perempuan yang di tangannya tergariskan cinta. Yang di tangannya tergariskan kasih. Yang di tangannya tergariskan sayang. Yang di hatinya selalu ada ruang untukku. Hangat. Seperti saat aku dekat dengan ibu. Aku belum sempat sampaikan. Namun, hari itu, kau lebih dahulu menemukan Cahaya itu. Dan seakan-akan tak ingin Cahaya itu hilang lagi, kau tutup matamu. Kau dan Cahaya itu telah satu. Selamat jalan, Ni ....


Tuhan, milik-Mu-lah segala cahaya. Dan, langkah hari pada siang itu telah membawa Cahaya (milik-Mu) kembali. Tempatkanlah ia bersama kemuliaan-Mu di sana. Ni, maaf, hanya doa yang tertitip, lagi-lagi—

Thursday, November 23, 2006

pulang



katamu,
jika di sana, malam terlalu gelap, hujan terlalu deras, dan matahari terlalu merah,
pulanglah


aku pulang
dan tak kutemukan jejak sandal atau sepatu tuamu
pintu kayu yang selalu tahu siapa yang datang dan pergi pun mulai tampak lelah bersiteru dengan cuaca. ia mulai menyerah.
aku pulang--telah tahu tentang malam, hujan, dan matahari: yang terlalu
tak terdengar langkahmu

terlalu sorekah?




Wednesday, November 01, 2006

Rayap, Kamu Penjahat

Selama ini, gw gak pernah punya pikiran buruk pada rayap. Dia ada atau gak, gw gak peduli, terserah dia (dan gw menyadari sih kalau dia ada). Tapi, hari kemarin bikin gw sebel sesebel-sebelnya ama tuh binatang yang namanya rayap. Kemarin sore, gw ma Gita n Ice mau pergi. Trus, sebelumnya, gw mau ngeliat alamat suatu penerbit. Trus, gw nyari buku dari penerbit tersebut di rak buku gw (yang ini kondisi saat rak bukunya masih agak rapian dan bukunya masih dikitan). Emang sih tuh buku-buku gw yang sekarang numpuk agak kurang jelas (karena bukunya kebanyakan, sedangkan raknya kekecilan). Trus, sambil buru-buru—takut tempat yang akan kami tuju tutup—gw ngubek tuh rak. Dan dapetlah buku yang dicari. Gw sedikit heran ngeliat ujung buku gw kaya kesilet—ujungnya ilang dikit. Gw pikir kena benda apa gitu. Trus, pas gw buka tuh buku kok kotor gitu dalemnya.

Gita bilang, “Kena rayap nih, Wied.”
”Ooh,” gw cuma komentar gitu. Awalnya.

Ya udahlah dikit doang dan lagian tuh buku juga gak terlalu gw suka juga. Trus, tanpa sengaja (entah gw atau Gita), ngambil buku di sebelahnya. Dan, gw sangat kaget. Aaaaa ….. Tuh buku-buku udah digerogotin semuanya. Pas dibuka … Aaaa … pemandangan yang sangat menakutkan tampak jelas. Ada binatang-binatang putih yang beriringan bersirebut tempat dalam buku-buku gw dan di rak gw. Kertas-buku-buku itu tinggal separuh. Dan tampak sangat menjijikkan.

Dengan panik, gw, Gita, dan Ice (eh, Ice ikutan panik gak ya?) membongkar semua buku itu. Di rak pertama …, nasib buku-buku sangat menyedihkan. Semua gw keluarin sambil teriak-teriak histeris (entah karena sebel atau juga mencuri perhatian Mas depan kamar gw—tetangga gw yang jarang negor dan ditegor—yang tetap bergeming di kamarnya. Ih, tuh orang gak peduli banget. Kata Ice, kalau terjadi badai dan tsunami di kamar gw dan Gita, tuh si Mas juga gak peduli. Mas, kita kan tetangga. Jangan sombong napa dah. Kita orangnya baek, kok. Beneran. Hehe. Degresi nih).

Setelah semua di rak pertama dikeluarin, gw beralih ke rak kedua. Alhamdulillah gak kena. Rak ketiga. Untung tuh rayap belom sampai ke bagian buku-buku tebel di bagian itu.

Akhirnya, tuh rak gw kelurin dari kamar. Gita ngambil Baygon semprot. Dan, gw gak liat gimana proses Gita membunuh rayap-rayap yang udah bikin sarang di dinding kamar gw—di belakang tempat gw naro rak.

Gw di luar kamar. Meriksain semua buku yang kena itu. Gw gak sanggup lagi ngeliatnya. Buku-buku yang tinggal separuh itu langsung masuk tong sampah. Enam buku gak bisa diselamatin lagi, termasuk Bibir dalam Pispot yang ada tanda tangan Pak Hamsad-nya. Gw gak tega ngebuangnya.

“Buang aja, Kak Iwied. Ntar telornya nularin yang lain,” kata Ice.

Gw bimbang sambil ngeliat-ngeliat lagi. Cerpen-cerpen yang di bagian belakang masih bisa dibaca sih. Tapi, tampilan buku itu udah menjijikkan. Buang gak, buang gak? Bingung. Ada tanda tangan anak-anak juga lagi (kalo beli buku baru, biasanya, gw suka minta temen-temen gw buat tanda tangan dan ngasih komentar-komentar).

“Jangan-jangan itu buku gw,” kata Gita sambil ngeliatin gw bolak-balik tuh buku. Pas gw liat, ternyata. Hehe, bener, itu buku Gita.

“Buang gak, Git?” tanya gw sedikit merasa ada temen.

Gita mengiyakan setelah terdiam se-per-sekian-detik. Ah, Git, lo emang selalu nemenin gw dalam situasi apa pun, hehe. Trus, lebih gak tega lagi ngebuang buku Kota Bernama dan Tak Bernama. Aduh, itu kan buku yang pertama kali memuat cerpen gw (pertama kali? Hayah! Kesannya cerpen gw udah dimuat di mana-mana gitu). Dan buku itu tinggal separuh juga. Hiks. Udah gitu sisa separuhnya tampak menjijikkan karena ada sisa-sisa binatang yang bernama rayap itu nempel di kertasnya. Putih, gendut-gendut, trus kalau pecah berair dan ngebekas gitu. Ih, jijik. Dan, buku kebanggaan itu masuk tong sampah juga. Gw pengen nangis.

“Ya udah, Wied, ntar yang punya gw buat lo aja,” hibur Gita. Makasih, Git ….

Buku Chitra Bannerje, Sister of My Hearth, juga abis ama tuh rayap. Trus, buku Bunga Jepun-nya Putu Fajar Arcana (tapi untungnya nih buku gak gw sayang banget, soalnya belinya buat tugas Metode Penelitian Sastra—seyogianya, tugas MPS tersebut akan jadi topik skirpsi. Saat gw ngebahas itu, Bu Riris bilang, “Berani-beraninya kamu ngebahas Bali. Emang kamu orang Bali?” Ih, dalem banget. Gw langsung terdiam. Jiper? Gak juga sih, tapi, gw emang gak niat jadiin skripsi kok—cerita anak lebih menariklah). Tapi, tetep aja sedih. Di situ ada kenangannya). Buku Ca Bau Kan juga kena banyak. Untungnya, gak perlu dibuang. Ih, rayap nyebelin banget. Berani-beraninya. Tuh buku kan hadiah ulang taun dari Andri. Empat tahun silam. Ah, rayap, kenapa sih?

Trus, biar tuh rayap gak nyebar ke mana-mana, tuh tong sampah yang berisi 6 buku gw buang ke tong sampah depan. Saat tong sampah itu gw tebalikin, buku-buku yang isinya tinggal separuh berhamburan. Saat terbuka pada halaman depan, tampak tanda tangan Dee Lestari di Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh dan Supernova: Akar . Ih, dua-duanya dihabisin ama tuh rayap-rayap. Dan, si Bodhi--si supermen--dalam buku itu diam aja.

Untung Gulag, bukunya Solzhenitsyn, gak dimakan (takut kali tuh rayap). Kalau dimakan nyebelin banget. Belinya mahal (dan sebelnya sekarang buku itu didiskon 50 persen).

Trus, setelah beres-beres, gw, Gita, n Ice pergi. Di luar kamar, rak buku—yang udah gw bongkar bagian belakangnya karena udah jadi sarang rayap—tergeletak dengan sedihnya. Buku-buku yang yang kena dikit-dikit juga gw taro di meja di luar kamar aja. Semua tergeletak dengan sedihnya. Dan rayap masih nempel dikit-dikit di kertas-kertasnya. Telornya juga kayaknya masih banyak banget di sela-sela buku itu. Ih nyebelin. Mana di dalam kamar juga masih pada berantakan. Mana besoknya udah gak libur lagi. Mana raknya jadi rusak. Mana badan gw gatel-gatel setiap ngebayangin rayap-rayap gentut yang nyebelin itu.

Gw SMS Nulur n Andri. Andri gak bales. Pagi-paginya, Nulur bales:
Hi iwied! Dah msk kerja yia?I’m fine bow.Buku lo dimakan kutu buku kalee.Bolong2 getuh yak?Kasi klamper biar ga digigit.6 bk yg kena ya?Waduh,bnyk bgt!Nurul.

Lur, kalo dia bilang dia kutu buku gw gak akan sebel deh sama dia. Masalahnya dia gak bilang kalo dia kutu buku. Dan dia jelas-jelas rayap, Lur. Bukan bolong-bolong lagi. Tuh buku-buku abis dimakanin ama mereka. Buku gw rusak semua. Padahal gw sayang banget tuh ama buku-buku gw. Tapi, diam-diam tuh binatang kecil, gendut, putih-putih, dan merayap itu makanin dengan rakusnya. Jahat banget sih tuh rayap! Rayap, kamu penjahat!

p.s. Kayaknya nih rayap ikut dari kosan gw yang lama, yang lembab dan keropos. Trus, dia bikin sarang deh tu di rak buku gw. Btw, gw dah beli kamper antirayap yang banyak. Mudah-mudahan tuh rayap udah pergi dengan damai.


Friday, October 13, 2006

Sehabis Magrib di Margonda (2)

jangan pagi yang hujan, jangan pula petang yang memburu kelam

setiap hari pergi
perempuan yang selalu menyapa lila di jalan itu
sibuk menyembunyikan lagi matahari ke dalam sakunya
takut lila datang dan mengambil matahari yang dicarinya itu
hari pergi semakin jauh. dan jauh
dan perempuan itu semakin takut lila tahu
ada matahari di sakunya

lila, gadis kecil yang kemarin mencari matahari di jalan itu
tak pernah kembali lagi

jangan pagi yang hujan, jangan pula petang yang memburu kelam

setiap kau lewati rumah batu itu
kau akan selalu mendengar senandung dari belakang rumah
lila, gadis kecil yang kemarin mencari matahari
sedang bernyanyi. riang
tangannya erat memegang tali ayunan kayu
ia tak lagi mencari matahari
ia terbang. tinggi.

Wednesday, October 11, 2006

Niat Baik pada Suatu Hari di Bulan Oktober




Yuk setiap hari kita senyum. Pasti langkah-langkah gak terasa jauh. Pasti detak jam gak terasa lama. Pasti bunga-bunga jadi cepat rekahnya. Pasti bosen jaga jarak dengan sangat jauhnya. Ah, mau ah senyum setiap hari. ^_^

saat bintang jatuh

Malam itu, satu bintang jatuh.




"Semoga Ibu sehat kembali," doa bocah berkuncir dua itu. Ia telah lama rindu senyum ibunya. Senyum yang menenteramkan saat ia begitu takut pada gelap.

"Semoga bocahku ini tak takut lagi pada gelap," doa perempuan yang merasa bisik-bisik itu semakin jelas di telinganya, Sebentar lagi, sebentar lagi, pagi pamit kepadamu dan hari tak lagi menyapamu.

Saat bintang jatuh, hanya satu harapan yang terkabul.

Jangan Menangis, Gadis Kecil





air matanya jatuh. dan nanti--saat ia tahu mengapa ia jatuh--setiap tetes akan tumbuh menjadi senyum. nanti.

Tuesday, October 10, 2006

Telepati

telepati (n): daya seseorang untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain yang jauh jaraknya, atau dapat menangkap apa yang ada di benak orang lain tanpa mempergunakan alat-alat yang dapat dilihat. (KBBI, 2001: 1162)


Gw abis ngedit buku yang di dalamnya ada cara telepati gitu. Kalau menurut buku itu sih, caranya gampang. Gw jadi pengen belajar nih. Katanya, kita bisa ngirim pesan ke pikiran orang lain. Gw dari dulu suka banget ama yang begituan tuh. Apalagi bisa baca pikiran orang. Hati apalagi! Haha. Yang gampangnya, di situ dicontohin, misalnya kita ngirim telepati ama orang yang ada di pinggir jalan. Konsentrasi, trus bilang, "Nengok, nengok, nengok". Nah, kalo tuh telepati berhasil, tu orang akan nengok. Trus, kalau udah nengok? Ya udah biarin aja (iseng aja kali, hehe). Tapi, itu cuma yang ecek-ecekan. Itu juga sering gw n temen2 gw lakuin. G pengen yang beneran. Katanya, yang beneran kita bisa nyuruh orang dateng ke tempat kita (wah, asyik tuh, apalagi kalau lagi ga ada pulsa). Oh ya, sebenernya, itu ada mantranya juga lho. Mantra yang bisa bikin orang yang kita ehem-ehem jadi ehem-ehem, semacam guna-guna gitu dey (kasih depannya aja ya, Kok lalok ...., nah itu dari bahasa minangkabau). Guna-guna yang berguna, haha. Itu kayaknya termasuk telepati juga deh. Gw mau belajar telepati, ah. Ntar kalau udah berhasil, gw kabarin deh.

Monday, October 09, 2006

Fragmen

***

Tapi, aku tak pernah mencintai hujan lagi, hatiku bersikeras. Meskipun saat hujan jatuh, aku diam-diam menyimpan senyum dan diam-diam bersenandung di antara rintiknya.

***

Sehabis magrib, aku menemukan daun jatuh di jalan kota kami. Dan, aku memulai kebiasaan baru. Menunggu daun jatuh sehabis magrib. Dan, sore itu, laki-laki itu—Biru, namanya—duduk di bawah pohon itu. Lelaki baik-baik. Dari matanya, aku merasa ia juga mencintai daun jatuh. “Ya, aku mencintai daun jatuh,” katanya suatu hari. “Tapi, aku tidak pernah suka pada hujan,” katanya.

“Aku juga,” kataku. Aku (tidak) mencintai hujan. Biru mencintai daun jatuh. Aku juga. Namun, terkadang, dari jendela kamarku, aku masih mengintip hujan jatuh.

***

Bulan hampir Juni. Hujan sering jatuh. Daun-daun hanya jatuh satu per satu. Aku mengajak Biru mencintai hujan. “Aku tak suka hujan. Aku lebih suka duduk minum cokelat hangat dalam rumah,” kata Biru.

“Bukankah hujan itu indah, Biru. Hujan itu membawa banyak cerita dalam rintiknya,” kataku. “Coba kau dengarkan.”

Biru menggeleng. “Aku tak mendengar apa-apa,” katanya.

Kidung telah banyak menceritakan kisah yang dibawa hujan padaku. Hampir Juni. Belakangan ini, aku berlama-lama duduk di bawah hujan yang jatuh. Aku menjadi begitu rindu pada hujan.

***

Lambat-Lambat

Lambat-lambat waktu berjalan.
Cepatlah, kataku.
Aku hanya mengikuti garis takdir, katanya.
Aku resah. Kalau ia lambat seperti itu, aku tidak akan bisa mengejar kereta magrib kali ini. Cepatlah, aku harus bergegas—jika tak dapat kusebut bahwa aku begitu bosan duduk dan duduk menunggu. Ada takdir yang menunggu di depan sana.
Lambat-lambat waktu berjalan.
Aku juga mengikuti garis takdirku, katanya.
Ah, cepatlah. Suaraku hilang bersama angin lalu, yang juga berjalan mengikuti garis takdirnya.


erlangga, 18 september 2006—“dan kebosanan ini tak juga menjauh”

Tuesday, October 03, 2006

Suatu Hari yang Sedang Tak Jelas Musimnya

hanya sepenggal lirik lagu itu yang selalu kau ulang,
"Stop complaining!" said the farmer.*
masih saja?


* "Donna Donna Donna", Joan Baez

Friday, September 29, 2006

Seruni


hari itu, hujan jatuh di belakangnya

Sehabis Magrib di Margonda (1)

lila, nama gadis kecil itu
ia mencari matahari di sepanjang jalan itu
"kali ini, kau terlambat, nak," perempuan yang kemarin menyapanya lagi.
ah, kau bilang, kemarin aku terlalu pagi, lila menggerutu pada diam.
lila, gadis kecil itu berlari-lari kecil, menjauh.
"datanglah esok hari. jangan pagi yang hujan. jangan pula terlalu petang," suara perempuan itu mengejar langkah lila.
lila, gadis itu mencari matahari di sepanjang jalan itu
semakin jauh. perempuan yang selalu menyapanya masih berdiri di sana.
tatapannya mengantar lila hingga hilang bersama lampu jalan yang semakin temaram.
perempuan itu tersenyum, mengeruk saku bajunya.
"ah, untung gadis kecil itu tak tahu di mana aku menyembunyikanmu," senyumnya rekah.

Tuesday, September 26, 2006

HAK CIPTA

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berikut ini kutipan dua pasal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Pasal-pasal ini saya anggap penting untuk orang-orang yang terlibat dalam dunia tulis-menulis.



BAGIAN KELIMA
PEMBATASAN HAK CIPTA

Pasal 14
Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
… c. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.


Pasal 15
Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta: a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta; ….

Berikut ini penjelasan untuk Pasal 15. Penjelasan ini saya kutip dari bagian PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA, bagian II Pasal demi Pasal.


Huruf a
Pembatasan ini perlu dilakukan karena ukuran kuantitatif untuk menentukan pelanggaran Hak Cipta sulit diterapkan. Dalam hal
ini akan lebih tepat apabila penentuan pelanggaran Hak Cipta didasarkan pada ukuran kualitatif. Misalnya, pengambilan bagian yang paling substansial dan khas yang menjadi ciri dari Ciptaan, meskipun pemakaian itu kurang dari 10 %. Pemakaian seperti itu secara substantif merupakan pelanggaran Hak Cipta.

Pemakaian Ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial. Misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Penciptanya.

Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan Ciptaan untuk
pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber Ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama Pencipta, judul atau nama Ciptaan, dan nama penerbit jika ada.

Yang dimaksud dengan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta adalah suatu kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan.



Dalam Pasal 15, dijelaskan bahwa penggunaan ciptaan untuk kepentingan pendidikan—dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan—tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta. Lalu, ketika kita membicarakan buku pelajaran sekolah, buku itu masuk ke dalam kepentingan yang mana? Di satu pihak, jelas buku pelajaran adalah untuk kepentingan pendidikan. Jadi, tidak melanggar toh jika di dalam buku itu ada penggunaan hak cipta orang lain (ya, tentu saja dengan syarat yang tadi itu: sumbernya disebutkan atau dicantumkan). Namun, di pihak lain, tentu saja kita tahu bahwa buku pelajaran diperjualbelikan. Hal itu berarti bersifat komersial. Jadi, posisi buku pelajaran masuk ke dalam kepentingan yang mana?


Saat membicarakan hak cipta, banyak hal yang membingungkan saya sebagai orang awam. Menurut saya, batasan-batasan yang diberikan masih tidak jelas. Saya dan teman-teman sering mempertanyakan apakah karya sastra (baik karya penyair terkenal ataupun tidak) yang dicantumkan dalam buku pelajaran sekolah melanggar hak cipta? Selain itu, hal yang juga menjadi pertanyaan adalah apakah pengutipan artikel dari surat kabar untuk buku pelajaran merupakan pelanggaran hak cipta? Selama ini, kita pasti menemukan banyak karya sastra dan juga artikel dari surat kabar bertebaran dalam buku-buku pelajaran.

Berdasarkan pendapat pribadi (tanpa mengikutsertakan undang-undang hak cipta yang berlaku di negara kita ini), saya dan teman-teman berpendapat bahwa jika sumbernya disertakan, tindakan itu bukan merupakan pelanggaran hak cipta. Karya sastra ataupun artikel yang digunakan dalam buku-buku pelajaran tersebut merupakan bahan pendukung yang substansial (masa jika membicarakan puisi, misalnya, kita tidak memberikan contoh karya dari penyair-penyair yang ada?). Materi utama tetap ada (jadi, dapat dikatakan, yang dijual bukan karya-karya itu meskipun materi utama dan pendukung adalah suatu kesatuan). Namun, jika dikembalikan pada hak eksklusif pencipta (meskipun telah dicantumkan sumbernya), orang sering mempermasalahkan izin atas pencantuman ciptaannya. Pengutipan suatu karya harus melalui izin dari yang memiliki karya itu.

Suatu hari, seorang teman saya dikirimi sebuah buku yang berisi antologi sajak. Dalam antalogi tersebut, terdapat beberapa sajaknya. Teman saya itu sangat heran, dari mana penerbit buku itu mendapatkan karyanya. Namun, teman saya tidak mempermasalahkan hal itu. Ia merasa, jika dipermasalahkan, penerbit itu mungkin akan berdalih, bukannya Anda beruntung dengan pemuatan karya dalam buku itu? Dengan begitu, karya Anda bisa dibaca orang banyak, kan? Mana tahu setelah ini jadi terkenal. Akan tetapi, dalih penerbit itu cuma pikiran (buruk) saja, tidak pernah disampaikan teman saya. Pasti hanya akan jadi “kisah yang tak berujung” (pikiran buruk lagi). Dalam kasus itu, saya merasa perizinan pencantuman karya seseorang memang perlu. Dalam antologi sajak tersebut, isi utama buku adalah sajak-sajak. Jika dijual, yang dijual adalah sajak-sajak itu.

Lalu, bagaimana dengan perizinan pencantuman karya dalam buku pelajaran sekolah? Jika hal itu dipermasalahkan, penerbit-penerbit buku pelajaran sekolah pasti akan kalang-kabut. Sebagian besar (bahkan mungkin hampir semua) penerbit semacam itu tidak meminta izin untuk mencantumkan karya seseorang dalam buku yang mereka terbitkan. Karya almarhum Chairil Anwar wara-wiri dalam buku-buku pelajaran bahasa Indonesia. Begitu juga dengan karya Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan penyair lainnya. Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis juga tidak pernah ketinggalan muncul dalam buku pelajaran.

Saya jadi ingat. Saat saya sekolah, kutipan cerpen dan karya sastra lainnya dalam buku bahasa Indonesia selalu saya baca terlebih dahulu dan hal itu menjadi hiburan tersendiri bagi saya. Tidak terbayang jika dalam buku bahasa Indonesia tidak ada karya sastra dari sastrawan kita. Dari hasil curi dengar, agar aman dari tuntutan undang-undang, ada sebuah penerbit buku pelajaran yang menyarankan kepada penulis/editornya membuat sendiri artikel, puisi, atau cerpen untuk buku mereka. Menurut saya, hal itu akan mempersulit editor (yang sering merangkap jadi “penulis dadakan”) yang menangani buku tersebut. Selain itu, bukankah hal itu akan serupa dengan “katak dalam tempurung”. Siswa jadi tidak berkembang (bukan berarti karya penulis/editor itu tidak bagus). Akan tetapi, bukankah siswa diharapkan meluaskan cakrawala? Atau mungkin, jika harus mengetahui karya sastrawan, siswa diminta untuk membeli buku yang dimaksud (dan siswa akan minta uang lagi pada orangtuanya!).

Perizinan pencantuman karya memang sangat menghargai pemilik ciptaan. Namun, akan menjadi kendala juga jika perizinan itu harus melalui prosedur yang berbelit-belit (apa sih yang tidak berbelit-belit di negara ini? Bahkan, saat mau izin pulang dari rumah seseorang saja, kita berbelit-belit). Lalu, bagaimana baiknya? Kembali lagi pada persoalan semula, di mana posisi buku pelajaran sekolah? Buku untuk kepentingan pendidikan yang komersial? Atau apa? Jika kita mengutip suatu ciptaan orang lain untuk buku sekolah, apakah sama posisinya dengan pengutipan pendapat orang lain untuk suatu artikel di surat kabar (jika tulisannya dimuat, penulis artikel akan mendapatkan uang)? Sebagai orang awam, saya masih bingung dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

Monday, September 25, 2006

MARY JANE

Belakangan ini, gw lagi suka banget ama lagu Mary Jane-nya Alanis Morissette. Enggak tahu kenapa, saat dengerin lagu ini, ada sesuatu yang terbawa. Membawa kesedihan, sepertinya. Gita bilang ke gw, "Wied, kalau lo merasa diri lo adalah Candy-Candy, Nulur merasa dirinya Mary Jane". Hmm ... apa yang bikin si Nulur merasa jadi Mary Jane itu ada pada lirik /I hear you're losing weight again Mary Jane/Do you ever wonder who you're losing it for/. Kata Nulur, dia enggak tahu buat siapa dia ngurusin badannya--dan dia emang berhasil ngurusin tuh badan yang gak gendut-gendut amat. Saat dengerin lagu ini, ada yang terbawa: Nulur dan juga kesedihan. Bukan berarti Nulur identik ama kesedihan. Malah sebaliknya, Nulur itu musim semi. Ada kebahagiaan yang selalu dibawanya. Kalau gw teringat Nulur saat dengerin lagu ini, itu cuma karena Nulur merasa dirinya adalah Mary Jane (itu masih bisa diterima). Tapi, kalau Gita merasa dirinya adalah Alanis Morissette?

Sepertinya, gw enggak akan pernah bosen dengerin lagu ini.


What's the matter Mary Jane, you had a hard day
As you place the don't disturb sign on the door
You lost your place in line again, what a pity
You never seem to want to dance anymore

It's a long way down
On this roller coaster
The last chance streetcar
Went off the track
And you're on it

I hear you're counting sheep again Mary Jane
What's the point of trying to dream anymore
I hear you're losing weight again Mary Jane
Do you ever wonder who you're losing it for

Well it's full speed baby
In the wrong direction
There's a few more bruises
If that's the way
You insist on heading

Please be honest Mary Jane
Are you happy
Please don't censor your tears

You're the sweet crusader
And you're on your way
You're the last great innocent
And that's why I love you

So take this moment Mary Jane and be selfish
Worry not about the cars that go by
All that matters Mary Jane is your freedom
Keep warm my dear, keep dry

Tell me
Tell me
What's the matter Mary Jane..

p.s.

Thursday, September 07, 2006

Wednesday, September 06, 2006

Tidurlah



tidurlah
dan pilih sendiri warna mimpimu
pagi masih jauh
tak perlu tergesa
ia akan selalu menunggumu selesai mewarnai mimpi
ia akan selalu menunggumu terjaga
dan tersenyum karena kau temukan warna yang sama dengan inginmu
tidurlah
jangan tergesa
pagi masih jauh
dan matahari akan selalu di sana

Tuesday, September 05, 2006

Monumen Luka




Ternyata, monumen luka yang dibangun di tengah-tengah FIB bagus juga. Selama ini, gw pikir itu gak makna apa-apa. Pas dari deket, lumayan lah buat tempat foto-foto abis wisuda. Coba deh perhatiin! =]

Tuesday, June 27, 2006

Kapan Kembali?

Dulu, sosok itu yang ada—dengan senyum yang selalu tahu kembali ke mana, yang tampak selalu tahu ke mana melangkah. Yang, sepertinya, tak pernah risau jika belum temukan langitnya. Yang, sepertinya, selalu tahu ke mana jalan pulang. Bahkan, jika sudah kemalaman pun. Yang, sepertinya, tahu semua pertanyaan pasti ada jawabannya. Yang tampak berjalan ke arah yang sama—yang dia pun tahu di mana ujungnya. Yang, katanya, gemuruh tak ramai di dadanya. Yang selalu percaya.

Dan, entah mulai kapan (yang kuingat saat itu malam terlalu gelap), sosok itu menghilang. Tak lagi bersamamu. Entahlah, ke mana sosok itu?
Kau pun seolah-olah ingin katakan, “Berapa banyak waktumu hilang untuk bertanya. Aku sosok yang sama dengan malam itu”.
Tapi, dulu, saat malam terlalu gelap, sosok hilang? Ke mana?
Aku selalu percaya sosok itu masih ada. Entah kenapa, aku seakan-akan selalu melihatnya berdiri di sudut. Jauh di sana.

Tak peduli berapa banyak waktu yang hilang, aku akan selalu bertanya.

Kenapa senyum itu tampak kehilangan tempat kembali?
Padahal, masih senyum yang sama.
Kenapa langkah jadi hilang arah?
Kenapa kelihatan risau saat belum temukan langit?
Padahal, semua bintang telah ditentukan di mana langitnya.
Apa saat ini jalan pulang terlalu banyak cabang? Atau, terlalu sedikit cahaya?
Bukankah kau sudah akrab dengan jalan itu.
Berapa banyak pertanyaanmu yang tidak punya jawab?
Apa ujung arah pijakan langkahmu terlalu samar?
Mengapa jadi tidak percaya?
Apakah tidak menemukan esensi?
Lalu, kita sendiri apa?

Mungkin, aku tak tahu apa-apa tentang segala jawab yang kau punya.
Yang lahir dari beribu lembaran buku yang telah lama bersahabat denganmu.
Aku hanya berbekal kisah tua: segala hal yang terjadi tidak akan sia-sia.
Mungkin, terlalu banyak tanya.
Entahlah. Kadang, terlalu sedih mengingat sesuatu yang pernah ada itu tak ada lagi.
Padahal, masih bisa ada.
Ada.
Dan, aku percaya.

Kapan kembali?

Friday, June 16, 2006

Dulu, Saat BBM Naik

Sabtu, 1 Oktober 2005, hari itu, saya menerima SMS. Sedikit GR karena HP yang sudah lama tidak ada pulsanya itu—akhirnya—menerima SMS. Begini isi SMS itu:

Harga BBM terpaksa dinaikkan agar subsidi dapat dialihkan dari orang kaya kepada rakyat miskin. Bantu awasi SUBSIDI tunai kepada rakyat miskin. Terima kasih. DEPKOMINFO.

Seperti yang tertera di akhir SMS itu, pengirimnya adalah DEPKOMINFO.

Kening saya berkerut. Apa iya? Kalau benar, kenapa kasak-kusuk mahasiswa di Kopma FIB UI begitu khusyuk, “Gila! Sehari, ongkos gue bolak-balik 24 ribu”. Ah, angka yang besar sekali untuk ongkos sehari untuk pergi kuliah.

Lain lagi dengan ujaran Mas Yo, pegawai Kopma yang sehari-hari menyajikan makanan kesukaan mahasiswa FIB UI, gorengan kopma yang harganya 600 rupiah—sebelumnya, sebelum zaman Megawati (juga) menaikkan BBM, harganya 500 rupiah—untuk semua jenis.

“Saya nggak bisa beli gorengan hari ini. Harganya naik. Takut anak-anak pada protes. Ongkos belinya juga mahal banget.”

Dan, walhasil, di Kopma, sampai hari ini, tidak ada lagi gorengan “pengganjal perut” yang sangat digandrungi mahasiswa.

Lalu, saya jadi ingat pedagang nasi goreng yang setiap malam mangkal di pojokan dekat kosan saya. Sudah beberapa minggu ini, setelah BBM naik, bapak yang sangat bersemangat itu tidak ada. Padahal, saya sering berharap-harap melihat gerobaknya di pojokan itu. Berharap bisa makan nasi goreng segar dengan porsi kenyang. Dan, murah pula, 3500 rupiah. Padahal, harga di luar gang sana untuk sepiring nasi goreng biasa sudah mencapai 8—10 ribu rupiah.

Dari obrolan dengan bapak dua anak (usia SMP dan SMA) itu, sambil menunggu bungkusan nasi goreng saya siap, saya tahu bahwa bapak itu sebenarnya menyadari bahwa 3500 rupiah itu tidak sampai ke mana-mana. Bahkan, mungkin terlalu jauh dari segala kebutuhan. Sejauh langkahnya yang mendorong gerobak dari Kelapa Dua, tempat tinggalnya, sampai ke Gang Pepaya, tempat ia biasa mangkal.

Namun, kalimat “Kalau dinaikin, saya nggak enak sama pelanggan, Mbak. Kasihan sama pelanggan” meluncur dari mulutnya sambil tangannya tangannya sigap memotong kol, menunggu telur ceplok matang. Ah, betapa mulia hatinya.

“Mungkin nanti, Mbak, habis lebaran saya naikkin jadi 4 ribu. Nanti saya tambahin dengan sosis deh,” ujarnya lagi.

Lha, tambahan gopek itu cuma jadi bayaran sosis saja, toh? Ah, semoga ada rezeki lebih untuk bapak yang sangat baik hati itu.

Dan, beberapa minggu yang lalu, BBM dinaikkan. Selama beberapa minggu itu juga, saya tidak melihat gerobak nasi goreng di pojokan sana.

BBM naik. Itu gejala pertama untuk kenaikan harga-harga yang lain.

Saya juga jadi ingat pada satu artikel di Sinar Harapan, Selasa (4/10/05), yang memberitakan harga eceran minyak tanah yang sampai 3 ribu rupiah bukan jadi tanggung jawab Pemda. Harga tertinggi pangkalan yang ditetapkan adalah 2.250 rupiah, kata Gubernur DKI Jakarta. Namun, tetap saja seorang ibu pedagang roti bakar dan kacang hijau kena imbasnya. Pengeluarannya yang biasanya 13 ribu rupiah untuk 10 liter minyak tanah sekarang menjadi 30 ribu rupiah per 10 liter. Ya, tentu saja pemerintah tidak bertanggung jawab. Tanggung jawab dipikul ibu itu sendirian. Nasib.

BBM naik. Sopir-sopir angkot kalang kabut. Mereka mogok. Tidak setuju BBM naik. Tapi, ya, seperti biasa, ndak ada hasilnya. Padahal, mereka sudah mengorbankan seharian penuh; tidak dapat setoran ke bos dan juga setoran ke perut anak-anaknya. Tapi, ya, BBM sudah naik. Tetap naik.
BBM naik. Di bundaran HI, mahasiswa demo. Tapi, ya, BBM sudah naik. Tetap naik.
Saya jadi ingat SMS tentang BBM itu lagi,

Harga BBM terpaksa dinaikkan agar subsidi dapat dialihkan dari orang kaya kepada rakyat miskin. Bantu awasi SUBSIDI tunai kepada rakyat miskin. Terima kasih. DEPKOMINFO.

Sepertinya, SMS ini benar-benar salah tik. Dialihkan kepada rakyat miskin yang mana? Setelah BBM “terpaksa” dinaikkan agar subsidi dapat dialihkan kepada rakyat miskin, kok, rakyat miskin malah jadi tambah miskin? Malahan, belakangan, yang saya dengar, subsidi untuk minyak tanah dipotong karena Pemda tidak punya dana untuk biaya pengawasan distribusi. Lalu, kita disuruh membantu mengawasi SUBSIDI. Subsidi yang mana? Subsidi yang dipotong sana-sini itu? Subsidi yang bikin kerusuhan itu? Subsidi yang sempat meminta korban nyawa itu? Subsidi itu?

SMS ini benar-benar salah. Saat punya sedikit pulsa, saya me-reply SMS itu dan mencoba protes karena INFO dari mereka (sangat) salah. Tombol send saya tekan. Tapi, nomor tujuan tiba-tiba kosong. Jadi, siapa DEPKOMINFO itu? Kok, tidak menerima balasan—tidak menerima protes? Kok, tidak mau bertanggung jawab atas “keterpaksaan” kenaikan BBM?

Apa dikirim ke 4949 saja. Itu lho, nomor SMS ke Bapak Presiden. Namun, sepertinya, sejak naik, presiden kita terlalu banyak menerima SMS dan surat. Jadi, tidak berguna juga mengirim ke nomor itu. Lha wong, BBM sudah naik. Tetap naik.

Ah, Bapak, padahal, saat mencoblos, saya berharap banyak pada senyum Bapak Presiden dan Bapak Wakil Presiden. Berharap banyak untuk negeri kita ini, Pak.

Kenapa kata NAIK untuk BBM begitu mudah diputuskan, Pak? Padahal, kalau mau belajar dari pedagang-pedagang kecil, mengucapkannya saja mereka tidak enak.

“Kalau dinaikin, saya nggak enak sama pelanggan, Mbak. Kasihan sama pelanggan.” Tiba-tiba, saya teringat lagi ucapan pedagang nasi goreng yang sejak BBM naik tidak kelihatan lagi mangkal di pojokan dekat kosan saya itu.


Depok, Oktober 2005

Friday, May 26, 2006

TELAH PERGI DENGAN (TIDAK) DAMAI


“Irmaaaan.... cepat ke atas. Mami takut...”

Teriakan mami membuatku kaget. Ada apa lagi, sih? Menganggu kesenangan orang saja.

“Irmaaaaan....cepat, Man...”

Segera kuletakkan stik PS-ku. Teriakan mami sudah seperti orang dikejar kematian. Aku tak mengerti mengapa mami berteriak-teriak, padahal masih pagi.

Bergegas kunaiki tangga kayu menuju lantai atas. Setiap menginjak tangga yang sangat curam ini, pasti aku selalu mengumpat.

“Sialan! Kenapa sih, tukang buat tangga ini nggak mikir!”

Begitu sampai di atas. Aku tidak melihat mami.

“Mi, Mami di mana?”

“Man....sini Nak...”

Segera kuikuti suara mami yang berasal dari sebelah kananku, dari kamar yang sangat tidak ingin kumasuki. Tapi, apa boleh buat.

Saat kusingkap gorden yang disangkutkan pada dinding dan lemari sebagai pembatas ruangan itu (agar tercipta sebuah kamar), kulihat mami terduduk lemas di pojok dekat lemari. Pertama, kusangka kakinya terkilir. Namun, demi melihat wajahnya yang pucat aku yakin hal yang lebih parah telah terjadi.

“Mami takut, Man..., Mami takut.”

Aku melirik sekeliling. Aku tahu apa yang mami takutkan. Aku pun merasa ngeri di ruangan ini.

“Kita ke bawah aja, ya Mi.”

Kupapah mami ke bawah melewati tangga sialan.

“Man, Mami tiduran di ruang tamu aja. Mami nggak mau ke kamar. Jangan ke mana-mana, ya Man. Sini aja dekat Mami.”

Mami tampak sangat lelah. Setelah minum, wajah pucatnya mulai dialiri darah. Coba Riri tidak kos, pasti ia bisa menghibur mami.

“Man, tadi Mami takut banget. Perempuan itu mengutuk Mami. Mami tahu, Man. Pasti ia dendam pada Mami....”

Mamiku, ia begitu tertekan.

“Arwahnya masih ada di atas, Man. Ia masih di tempat tidurnya.”

Entah apa yang dilihat mami di atas. Tapi, yang pasti ia hanya berhalusinasi. Mana mungkin perempuan itu masih di rumah ini. Aku melihat sendiri jasadnya ditimbun dengan tanah, seminggu yang lalu.

“Udah, Mi, dibawa tidur aja. Mami kecapean kali. Pulang kerja blom tidur.”

“Kamar atas itu mesti diberesin, Man. Si Atik kan nggak datang-datang lagi. Ya terpaksa Mami yang ngerjain.”

“Udah, Mami tidur aja. Ntar Irman beresin.”

Meski rasanya sangat malas melakukan itu, kali ini aku mencoba menenangkan mami.

“Man, kamu di sini aja, ya. Mami takut sendirian.”

Tak beberapa lama, mami tertidur.

Aku segera menaiki tangga sialan lalu menuju kamar itu. Hawa di kamar itu pengap. Kubuka pintu utama lebar-lebar. Angin berhembus pelan. Kumasuki lagi kamar pengap itu. Yang pertama kulakukan adalah membereskan tempat tidur. Aku pikir sebaiknya tempat tidur ini dibongkar saja.

Kusingkirkan selimut yang menutupi tempat tidur itu dan alangkah kagetnya aku. Aku pun merasa lemas. Perutku mual dan bulu kudukku merinding. Aku tidak percaya melihat apa yang ada di depanku.

Semut-semut berkumpul di atas tidur tersebut, di balik selimut yang kuangkat barusan. Perutku bertambah mual dan kakiku semakin bertambah lemas ketika kusadari kumpulan semut itu membentuk suatu yang mustahil. Mereka membentuk sebuah rangka tubuh manusia yang sedang tidur. Dan aku tahu rangka siapa itu. Ya. Rangka perempuan yang telah mati seminggu lalu itu.

***

Tukang ojek yang akan mengantarku ke tempat kerja telah menunggu. Segera kupercepat kesibukanku berdandan.

Aku sudah terlambat.

Sebenarnya aku sangat malas untuk berangkat kerja malam ini. Aku lelah, setelah mencuci pakaian yang telah bertumpuk selama seminggu. Tukang cuci yang biasa datang tak memberi kabar apa-apa. Sialan! Dia bekerja seenaknya saja. Aku yang kewalahan. Mencari uang dan harus membereskan rumah, serta mencuci. Terakhir, aku harus mengurus seorang nenek pikun juga. Ah! Pekerjaan terakhir ini sangat berat. Seperti punya bayi. Masih mending bayi bisa membuat tertawa. Nenek pikun itu? Ya ampun! Malah membuat sebal.

Tiba-tiba aku teringat, dia belum makan sejak siang. Tukang ojek sudah melongok-longokkan kepalanya. Kulirik jam tanganku. Aku sudah sangat telat. Kukunci pintu. Nenek tua itu tadi pagi telah aku sediakan bubur ayam. Kemarin, makanannya sama sekali tak disentuhnya. Jadi, tak masalah rasanya ia tak makan siang. Toh, ia tak melakukan kegiatan apa-apa. Ia hanya tidur saja. Sudahlah.

“Tumben, lama Mbak?”

“Tadi ketiduran, Mas. Si Atik udah seminggu ga kerja. Jadi saya yang ngerjain semua.”

“Ooh..”

“Kalau bisa ngebut, Mas. Udah telat.”

“Jemuran di atas kagak diangkat apa Mbak? Sekarang lagi banyak maling.”

Kulihat jemuranku di balkon atas. Pakaianku, juga pakaian Irman, anakku terpampang seperti di toko baju. Celana jeans Irman yang digantung di pagar begitu mudah diambil orang. Kalau itu terjadi, anak itu tak akan sangat marah padaku.

Huh! Kalau sedang buru-buru selalu ada-ada saja yang menghalangi.

“Mas, tunggu bentar, ya. Saya angkat jemuran dulu.”

Aku bergegas turun dan membuka pintu. Dari pintu luar, tangga menunju ke atas sudah tampak. Tangga kayu yang curam.

Tangga itu pernah membuat kekacauan di rumah ini.

Tangga itu dulu dibuat secara mendadak. Dahulu aku dan anak-anak tinggal di atas. Lantai bawah dengan dua kamar aku kontrakkan kepada dua orang mahasiswa. Mereka mengontrak selama setahun. Sebenarnya, aku berharap mereka tetap mau memperpanjang karena kebutuhan keluargaku tidak terpenuhi hanya dengan hasil kerjaku menyanyi di karoke. Namun, mereka pindah. Katanya ingin mencari kosan saja.

Niatku untuk mencari pengontrak lain terhalangi. Nenek pikun itu datang ke rumah ini sebab suami kakakku yang sebelum ini mengurusnya itu meninggal. Kakak perempuanku itu tak bisa lagi mengurus nenek pikun itu.

“Kau kan kerja malam hari, jadi dari pagi sampai sore kau bisa jaga Ibu. Kalau aku harus kerja dari pagi sampai malam. Pagi aku nyuci baju orang-orang trus malam bantuin Mbak Sum jualan pecel ayam.”

Itu alasan yang digunakannya.

“Kau kan tahu, pengeluaranku banyak. Lisa, keponakanmu itu masih kuliah dan biayanya mahal. Coba kalau Bapaknya tidak mati....”

Air mata mengalir di pipinya.

Heh! Aku benci melihat air mata itu. Tepatnya, aku benci melihat air mata.

Aku sudah capek menangis sejak kecil. Dulu, gara-gara nenek tua yang akan dititipkan padaku itu. Lalu setelah aku dewasa dan bersuami, laki-laki itulah yang kemudian selalu membuatku menangis. Aku capek. Dan aku berjanji tidak akan menangis lagi.

“Anakmu kan masih belum perlu biaya banyak, Li. Lagi pula bapaknya juga masih peduli sama anak-anakmu.”

Aku menarik napas dalam-dalam.

“Iya, iya. Lusa antar aja Ibu ke sini.”

Aku tidak mau lagi mendengar ocehan panjang lebar dari kakakku ini. Kesulitan keluarganya telah membuatnya terlalu sering mencari-cari perbandingan hidupnya dengan hidupku.

Ia menyangka hidupku lebih baik, daripada hidupnya. Padahal, ia tahu keadaanku. Aku yang mencari makan untuk anak-anakku. Anak-anak yang sekarang menanjak dewasa. Anak-anak yang selalu ingin menjadi orang lain.

Aku juga tidak ingin mendengar ia menyebut laki-laki yang meninggalkanku tanpa rasa bersalah dan membiarkanku membesarkan anak kami sendirian.

Laki-laki brengsek!

Atau aku yang brengsek? Entah. Apa salah aku menyerang perempuan yang sering menggodanya itu?

Mungkin ia malu pada tetangga-tetangga yang membicarakan kebrutalanku. Aku menggigit puting susu perempuan penggoda itu sampai putus karena itu yang membuat suamiku tergoda. Pasti ia malu, makanya ia meninggalkanku. Tapi, aku tidak pernah malu. Aku membela hakku. Suamiku. Biarlah ia meninggalkanku. Aku tidak punya air mata lagi untuk menangis saat ia menamparku.

“Li, sekarang waktumu ngerawat Ibu. Hitung-hitung balas budi pada orangtua.”

Kakakku itu masih saja mengoceh.

Aku keluar, kubuka papan bertuliskan “Dikontrakkan” yang digantung di pagar rumah. Ruang atas berupa ruang kosong yang disekat-sekat dengan lemari untuk membentuk kamar terlalu sempit untuk satu orang lagi. Kuputuskan untuk menempati lantai bawah lagi. Lantai atas kujadikan sebagai tempat tinggal ibu dan tempat jemuran.

Lusa ibu sudah datang. Maka terciptalah tangga dadakan sebagai penghubung lantai bawah dan atas dari dalam (selama ini hanya ada tangga dari luar). Tangga itu yang telah memicu pertengkaranku dengan laki-laki yang tidak pernah dipanggil papi, papa, bapak, atau pun ayah oleh Riri dan Irman. Laki-laki yang kunikahi sebagai suami keduaku dua tahun silam dan enam bulan lalu meninggalkanku bersamaan dengan nenek tua yang sekarang tidur di atas itu terjatuh ketika menuruni tangga itu. Meskipun telah kubawa ke tukang urut, tulang lehernya tetap tak bisa kembali ke posisi semula sehingga kepalanya tak bisa ditegakkan.

Entah dari mana sumbernya, semua orang yang tahu kejadian itu menyangka aku yang telah mendorong nenek tua itu, termasuk mantan suamiku itu.

Mungkin, sebelumnya memang aku sedikit emosi dan berteriak-teriak mengomel. Aku capek. Tiap hari aku harus mencuci sprei bekas nenek tua itu. Bekas ompolnya. Siapa yang tidak capek? Lalu saat aku membereskan piring-piring bekas makannya, kutemukan nasi dan kuah sayur telah berantakan di tempat tidurnya. Entah apa yang telah ia lakukan dengan makanan dan tempat tidur itu, terpaksa aku mengomel. Berteriak-teriak, tepatnya. Ketika aku sedang membereskan tempat tidurnya, tak kusadari perempuan tua itu menuju tangga dan tersandung, lalu terjadilah kejadian itu: ia terjatuh. Teriakannya mengagetkanku, aku memburunya ke tangga.

Tapi aku hanya terpaku melihat tubuhnya teronggok di bawah. Aku berpikir ia akan mati. Suamiku yang ada di bawah pun telah telah sampai di dekat tubuh tua itu. Ia menatapku yang berdiri di bibir tangga. Tatapan penuh pertanyaan atau tatapan menuduh? Entahlah.

Kukatakan pada orang-orang aku tidak bersalah. Tapi siapa yang percaya? Yang mereka tahu hanyalah bahwa aku tidak senang ibu tinggal bersamaku, aku sering berteriak-teriak membentak ibuku, aku hanyalah pekerja malam yang tidak berbakti pada ibunya.

Hei! Aku memang bekerja malam. Aku mencari uang untuk anak-anakku. Tapi, aku mencari uang dengan halal. Aku menjadi penyanyi karoke. Aku memang menjual suaraku, tapi tidak tubuhku. Tapi mereka tidak tahu dan tidak mau tahu.

Nenek tua itu tidak mati. Kakakku datang menjenguk sebentar. Setelah memastikan ibunya tidak mati. Ia pergi lagi. Hah! Aku yakin ia telah menyiapkan kain kafan dari rumah.

“Aku lihat sendiri, Li. Kamu berdiri di pinggir tangga itu saat Ibu jatuh.”

“Kamu gak percaya aku? Aku gak ngedorong dia!.”

“Percaya? Selama ini aku gak pernah percaya kamu. Apa aku harus percaya uang yang kau dapat hanyalah hasil dari kau menyanyi?”

“Anjing! Jadi kamu nuduh aku melacur?”

Dan tamparan mampir di pipiku. Sakit. Tapi, hatiku lebih sakit. Orang yang telah berikrar menjadi suamiku itu menuduhku melacur, padahal hanya dia yang menjadi temanku saat sepi. Saat anak-anakku tidak peduli lagi pada belaianku. Saat anak-anakku sibuk dengan dunianya.

Aku tahu selama ini dia hanya memanfaatkan uangku. Tapi setidaknya ia menghormatiku.

“Bangsat! Lalu kau pikir kau pantas menghinaku. Kau yang selama ini hanya menadah. Kau pikir aku percaya kalau kau bilang kau telah berusaha mencari kerja ke mana-mana?”

Hanya tamparan lagi yang menjawab pertanyaanku. Lalu ia pergi dengan menghempaskan pintu. Deru motornya berlalu. Aku terhenyak di lantai. Aku tahu tetangga-tetangga mendengarkan pertengkaran kami.

Aku tidak peduli.

Pipiku sakit sekali. Riri, Irman, aku berharap mereka di sini. Tapi tak ada. Ruangan kosong. Dan hanya aku dan nenek tua itu yang ada di rumah ini. Anak-anak dan suamiku mencampakkanku.

Terbayang Riri dan Irman sedang berlari-larian di tepi pantai Kuta. Liburan. Terbayang juga suamiku sedang memeluk perempuan lain yang mempunyai lebih banyak uang. Aku merasa sangat sesak dan aku hanya bisa meratap di lantai rumahku yang dingin. Aku capek. Aku capek menghadapai semua ini.

Saat aku merasa sangat letih, bayang-bayang masa lalu yang entah kusimpan di bagian mana otakku perlahan-lahan muncul.

Suara sayup-sayup ibu kudengar memanggil-manggilku, “Lili! Lili! Ke mana saja kau? Mana cabe yang Ibu suruh beli tadi?”

Aku terpaku. Aku lupa.

Segera aku berlari meninggalkan ibu. Tukang sayur sudah tidak ada. Sudah terlalu siang. Aku tidak tahu harus membeli cabe di mana. Tapi, jika aku kembali dengan tangan kosong, ibu akan lebih marah.

“Apa yang kau bawa ini? Ibu tidak nyuruh kamu beli sambal. Tapi cabe. Dasar anak malas! Ibu capek mengajarimu. Kenapa sih, kau tidak belajar dari kakakmu itu? Ia tidak pernah membuat Ibu marah.”

“Tapi, Bu. Tukang sayur udah enggak ada. Kan Ibu juga mau bikin jadi sambel...”

“Anak kurang ajar. Berani melawan orangtua! Dasar! Jaga mulutmu itu!”

Reflek tangan ibu merogoh sambel dalam kantong plastik dan mejejalkannya ke mulutku.

“Rasakan! Ini peringatan supaya kau tidak berani melawan Ibu lagi.”

Aku tidak dapat melakukan apa-apa. Mataku perih sekali, apalagi mulutku. Terasa panas.

“Ibu, udah Bu...mulut Lili panas.”

“Biar. Biar kau rasa! Jadi kau tidak akan melawan Ibu lagi.”

“Bapak...Bapak...”

“Panggil saja Bapakmu itu. Ia tidak akan mendengarmu. Atau sekalian saja kau gali kuburannya dan mengadu padanya.”

Aku semakin terisak. Lalu ibu pergi meninggalkanku. Aku tidak mampu berbuat apa-apa. Setelah mencuci sambel yang melekat, aku meneruskan tangisku di kamar.

“Li, bangun. Makan,” suara kakakku, Latifah, membangunkanku.

Ia sudah pulang kerja, berarti hari sudah malam. Mulutku masih terasa panas. Mungkin bengkak. Mataku masih terasa perih. Perutku juga terasa perih. Aku belum makan sejak siang tadi.

Aku ke dapur dan diam-diam menyendok nasi. Aku berharap tidak bertemu ibu. Namun, saat aku mulai menyuap nasi, tiba-tiba ibu datang.

“Fah, adikmu ini tadi siang berani ngelawan Ibu.”

Dan bergulirlah cerita versi ibu. Seketika, perutku menjadi kenyang.

“Dengar Li! Kau harus bersyukur. Kakakmu mau bekerja untuk makan dan uang sekolahmu.”

Aku hanya diam. Aku sudah bosan mendengar perbandingan yang diujarkan ibu. Bukan salahku kalau aku lebih kecil dari Latifah. Sejak bapak pergi, ibu selalu menganggapku hanya menjadi beban.

Padahal aku juga selalu berusaha membantu ibu. Sepulang sekolah aku mencuci piring dan menyapu rumah.

Apa salah kalau kadang aku juga ikut main dengan anak-anak lain di samping rumah kami?

Dan akhirnya aku tahu jawabannya setelah ibu membawakanku air cucian piring dan menyiramnya ke sekujur tubuhku.

Aku bukan seperti anak-anak lain itu yang boleh bermain sepuas mereka. Menurut ibu, aku harus menghargai kakakku yang mencari uang untuk sekolahku. Aku harus belajar di rumah. Tapi, besok hari Minggu dan aku juga tidak ada PR.

“Inilah akibatnya kau terlalu dimanja Bapakmu! Tapi sekarang kamu tau kan, ia tidak peduli lagi padamu. Ia mati begitu saja.”

Ah, aku tidak tahu apa yang dimaksudkan ibu. Aku mencoba menyuap lagi nasi, meski perutku menolak. Nasi itu harus habis. Aku tidak mau ibu bertambah marah.

Aku teringat bapak, samar-samar. Kata ibu, ia mati begitu saja. Aku tidak tahu maksudnya apa. Tapi, aku pernah mendengar kata tetangga, bapak tidak mati. Bapak pergi bersama perempuan lain. Aku juga tidak mengerti apa maksudnya. Saat itu, aku masih kanak-kanak.

Setelah lulus SMA, aku pergi dari rumahku yang terletak di pinggir kota Jakarta itu. Aku mengadu nasib ke pusat kota. Sekalian juga aku lari dari ibu. Tapi, akhirnya setelah menikah, Kak Latifah pun meninggalkan rumahku yang masih udik itu dan membawa serta ibu.

“Li...Li...”

Tiba-tiba, suara panggilan yang sayup-sayup tadi menjadi nyata. Aku dengar erangan dari atas. Nenek tua itu memanggilku. Aku tak peduli dan tetap menuju kamarku dan meraih botol itu dari bawah tempat tidur. Lalu menenggak isinya. Aku rasa inilah cara termudah menyelesaikan semuanya. Cairan obat pembunuh nyamuk itu mengalir di tenggorokanku. Tenggorokanku terasa terbakar. Aku tahu aku akan mati. Namun, tanpa kusadari aku berteriak sekuat tenaga. Rumah penduduk yang rapat menguntungkanku. Tetangga-tetangga mendengar teriakanku. Lalu dengan berbaik hati mereka membawaku ke rumah sakit.

Riri dan Irman menatapku dengan tatapan menghakimi. Aku berusaha tersenyum. Ingin rasanya bertanya apakah mereka senang dengan liburannya. Tapi, entahlah. Aku cukup senang mereka ada di sisiku. Anak-anakku sudah kembali.

***

Ah, begitu panjang kenangan tangga itu. Kenangan yang menjadikanku lebih tegar. Membuatku belajar bahwa aku tidak perlu suami. Yang lebih aku butuhkan adalah anak-anakku. Oleh karena itu, aku tidak ingin membuat mereka membenciku. Biarlah aku telat. Yang penting celana dan baju-baju Irman selamat.

Aku bergegas melangkah ke balkon. Mengangkat jemuran. Setelah meletakkan pakaian itu ke dalam keranjang di pojok kiri ruangan, kurasa aku harus menyempatkan diri menegok nenek penghuni lantai atas tersebut.

Sepertinya, aku akan sangat terlambat malam ini.

Sepertinya ia tidur karena tak terdengar suaranya mengerang. Kusingkap gorden penutup kamarnya.

Aku sungguh kaget.

Tubuh tua itu tidak tampak sama sekali. Yang ada hanya gumpalan hitam: kumpulan semut-semut yang berebut tempat mengerogoti temuan mereka: daging di tubuh itu.

Perutku bergejolak menyaksikannya. Aku menahan rasa ingin muntah melihat semut-semut yang dengan ganas menyantap tubuh tua itu.

Tubuhku lunglai. Aku tidak tahu harus melakukan apa.

Lalu, dengan suara tercekat, aku berteriak minta tolong.

Nenek tua itu: ibuku mati.

Dan aku tidak tahu entah sejak pukul berapa semut-semut itu mengerogoti tubuhnya. Aku benar-benar tidak tahu.


Widyawati Oktavia, Depok, 25 Mei 2004

KALI INI, KAU TERLALU TERBURU-BURU


Jalan Margonda, pukul setengah sembilan malam. Perempuan itu keluar dari warnet La Tanete yang menjadi tempatnya untuk membunuh waktu. Tempat yang paling mudah untuk menemukan perempuan dengan rambut sebahu yang bergelombang itu, selain di tempat kostnya yang teletak dua ratus langkah dari warnet tersebut. Satu sampai satu setengah jam—hampir tiap hari—ia menghabiskan waktu di tempat itu; mencari data untuk bahan kuliah atau pun sekadar memeriksa e-mail yang masuk, menjelajahi situs-situs berita terkini, sampai membaca ramalan bintang yang terkadang isinya selalu sama setiap minggunya. Hampir semua temannya tahu kebiasaan gadis ini.

Ia bergegas hendak meninggalkan tempat itu. Namun, tiba-tiba ia berhenti saat mendengar suara, “Rubi!”

Ketika ia menengok ke belakang, sosok yang memanggilnya itu tersenyum dengan senyum yang sangat dihapalnya. “Aria?” Rubi sebenarnya bukan bertanya, tetapi memastikan.

“Apa kabar, Bi?” Laki-laki yang tadi memanggilnya itu menyodorkan tangannya.

“Baik.” Perempuan itu menjabat tangannya dan berusaha untuk tersenyum meskipun ia merasa sedikit kaku dengan situasi saat ini.

“Boleh nemenin balik ke kosan?” tanya laki-laki yang tampak lebih dewasa daripada perempuan itu. Ia mencoba untuk tidak hanyut dalam kekakuan suasana.

Perempuan itu mengangguk, “Ya, bolehlah,” ujarnya dengan sedikit gugup karena dia tidak siap dengan situasi ini.

Kemudian, jalan Margonda itu mereka susuri berdua, seperti dulu, setahun yang lalu.

“Kok, bisa ada di sini?” tanya perempuan yang mencoba tidak mendengarkan debaran yang mulai tidak beraturan di dadanya itu.

“Aku sengaja mau nemuin kamu, Bi. Tadi aku ke kosan dan dibilangin kalau kamu lagi ke luar. Ya udah, aku langsung ke sini. Ternyata kamu nggak berubah ya, Bi. Masih suka aja ama La Tanete,” ujar laki-laki yang masih juga seperti dulu: dengan rambut ikal tidak rapi yang membuatnya kelihatan lebih manis dan jaket hitam yang itu-itu juga.

“Yah, begitulah. Lagian juga baru setahun, belum cukup lama buat ngubah seseorang. Lagian aku juga selalu nyaman di La Tanete.” Perkataan perempuan itu tampaknya menyiratkan hal lain.

Laki-laki itu tersenyum, entah dapat menangkap maksud perempuan itu atau tidak. “Bagiku cukup lama, Bi. Hari-hari setahun ini telah banyak mengubahku.” Laki-laki itu menatap kosong pada cahaya lampu jalan yang tampak remang-remang.

Di sebelah kanan mereka, roda mobil dan motor saling berlomba berputar di jalan aspal yang sangat mereka akrabi namanya. Tiba-tiba saja, perlahan-lahan waktu berjalan mundur di benak perempuan itu.

“Kok tiduran di luar, Bi, nggak dingin?”

“Lagi nungguin bintang jatoh,” jawab perempuan itu tanpa menghiraukan dingin angin gunung di Surya Kencana, Gunung Gede. Api unggun yang dibuat rombongan mereka pun tidak dapat berbuat banyak untuk mengusir angin yang telah lama berkuasa di gunung itu.

“Ikutan ya.”

Sebelum Rubi menjawab, laki-laki itu sudah menggelar matras di sebelahnya. Malam itu, tampaknya satu bintang telah jatuh untuk Rubi dan mengabulkan keinginannya: laki-laki itu menemaninya menatap langit.

Laki-laki itu bernama Aria. Ia dan Rubi hanya teman biasa. Namun, sejak pertama Rubi telah menemukan sisi yang selalu membuatnya seperti orang bodoh di depan Aria. Jika tidak melihat sosok Aria, Rubi selalu mencarinya. Akan tetapi, jika Aria ada di dekatnya, Rubi tampak tidak peduli. Kata orang, hal itu berarti jatuh cinta. Entahlah, Rubi belum mengerti hal—menurutnya, itu merupakan kebodohan—yang sudah berlangsung selama satu tahun itu. Kebodohan itu yang juga membuatnya ikut menjejakkan kaki di gunung ini.

“Emang kalo ada bintang yang jatoh, lo mau apa, Bi?”

“Apa ya? Gue pengen permintaan orang yang gue sayangi terkabul.”

“Kok, buat orang, sih, Bi?”

“Abisnya, gue dah yakin permintaan gue nggak bakal terkabul.” Rubi tersenyum, tapi tampak dipaksakan.

“Kok segitunya, sih, Bi?” Aria tidak percaya Rubi yang dikenalnya ternyata pesimis.

“Pasti lo pikir gue pesimis. Nggak kok, Ya. Gue seneng aja kalo orang yang gue sayang seneng. Gitu, Ya!”

Aria tersenyum, ternyata masih ada orang yang berpikiran seperti itu, pikirnya. Tiba-tiba, di langit sebelah barat meluncur satu bintang. Rubi dan Aria melihatnya dengan jelas dan dalam hati mereka mengucapkan keinginan masing-masing.

“Lo minta apa, Ya?”

“Dia, Bi,” ujar Aria.

Mendengar kata “dia”, angin dingin gunung membekukan hati Rubi. Tiba-tiba, Rubi tidak ingin lagi mendaki sampai puncak karena sebelum sampai ia telah tahu apa yang akan dilihatnya. Usahanya untuk mencapai puncak saat ini menjadi sia-sia. Ternyata, puncak yang akan didakinya tidak seperti yang dibayangkannya. Ia begitu menyesal telah melakukan hal-hal bodoh selama ini. Bahkan, ia menyesali menjejakkan kaki di gunung ini.

Malam itu, Rubi akhirnya tahu bahwa Aria telah mempunyai “dia”. Seorang perempuan yang kata Aria membuatnya tertantang untuk membuktikan bahwa dirinya tidak berpikiran picik seperti kebanyakan laki-laki lainnya. Ia ingin menunjukkan bahwa ia berbeda. Banyak hal yang mereka bincangkan malam itu, tetapi tak satu pun mampu mencairkan kebekuan hati Rubi. Saat itu, Rubi berharap satu bintang jatuh lagi untuknya. Tetapi, sampai ia beranjak ke dalam tenda, tak satu pun bintang yang jatuh.

Namun, ternyata apa yang orang bilang ada benarnya juga: di gunung, segala hal dapat terjadi. Hal ini terbukti dengan sikap Aria pada Rubi. Entah kenapa, setelah turun dari gunung, tidak hanya Rubi yang mencari-cari Aria, laki-laki itu juga. Pesan-pesan singkat lewat telepon genggam mereka juga semakin tidak biasa. Sampai akhirnya suatu hari Aria mengakui bahwa ia menyayangi Rubi. Kemudian, hari-hari menjadi indah bagi Rubi. Hari-hari di kampus, malam-malam sepanjang jalan Margonda, perbincangan tentang langit, bintang, bulan, hujan, sampai pada gambar senyum di pesan singkat telepon genggam menjadi kenangan yang tidak akan terlupakan bagi perempuan itu.

Akan tetapi, hal itu hanya berlangsung selama dua bulan. Kemudian, Aria menyadari bahwa ia salah. Ia sangat merasa bersalah pada “dia”. Sayangnya, Aria juga tidak dapat memilih salah satunya. Rubi akhirnya menyadari hal itu. Ketika itu, bukan Aria yang memilih, melainkan Rubi. Perempuan itu memilih untuk mencari jalannya sendiri. Ia yakin bisa menemukannya meskipun bukan bersama Aria. Sakit memang. Tapi, ia bukan perempuan lemah dan ia yakin semua yang diberikan-Nya adalah yang terbaik. Lagipula, ia akan lebih mudah melupakan Aria karena beberapa bulan kemudian Aria wisuda. Dan sejak saat itu, tak salah satu dari mereka pun yang mencoba untuk saling menghubungi. Hubungan mereka yang tak didasari komitmen—kata sebagian orang, itulah model hubungan orang dewasa—benar-benar putus.

Lalu, malam ini, Aria muncul lagi dalam kehidupan Rubi. Masih sama seperti dulu. Ternyata, setahun memang tidak banyak mengubah seseorang. Mengubah hati? Entahlah, Rubi tidak bisa menjawabnya.

“Bi, ‘dia’ udah nikah,” tiba-tiba Aria mengatakan itu.

“Trus?” tanya Rubi singkat dan begitu cepat, seperti meloncat dengan tiba-tiba.

“Sebulan yang lalu. Dia tiba-tiba aja bilang kalau aku tidak menyayanginya sepenuhnya. Dia bilang aku berubah. Dia bilang aku sama aja ama laki-laki lain. Semua tiba-tiba aja, Bi, dan aku nggak dikasih kesempatan buat ngomong. Padahal, sebelumnya, aku udah berniat menjelaskan apa yang ada di hatiku. Kamu tahu, Bi kenapa semua itu terjadi? Waktu itu, dia nemuin puisi tentang langit, bintang, bulan, dan hujan darimu, Bi. Kamu tahu kan, lembaran-lembaran itu sangat berarti bagiku,” cerita Aria mengalir.

Rubi sebenarnya tidak ingin mendengar semua itu. Ia benci karena Aria masih saja seperti dulu: tidak berpendirian. Aria masih saja tidak bisa memilih antara Rubi dan “dia”. Ia menjadi sangat benci pada laki-laki yang tampaknya sekarang ingin mengganggu hidupnya lagi.

“Trus, apa yang lo harapin dari gue, Ya? Lo mau gue balik ke lo lagi, gantiin ‘dia’ yang udah ninggalin lo?” Rubi menjadi sangat marah sehingga ia memakai sapaan bukan lagi aku dan kamu, melainkan lo dan gue.

“Bi, bukan itu maksudku. Aku butuh orang yang ngertiin aku. Akhir-akhir ini, aku menjadi orang yang tidak waras, Bi. Aku tidak menjadi aku. Kamu tahu nggak? Sekarang hanya minuman-minuman yang nggak jelas itu yang bikin aku tenang.”

Mendengar itu, Rubi bertambah benci pada Aria. Ia tidak menyangka Aria selemah itu hanya gara-gara perempuan. “Udahlah, Ya! Gue udah nemuin jalan gue sendiri. Udah gue temuin, Ya. Meskipun nggak bersama lo. Gue udah nemuin itu bersama orang lain.”

Rubi ingin Aria tahu bahwa ia bukan orang yang bisa dijadikan tempat untuk berhenti jika hujan dan jika reda ia akan pergi lagi. Ia tidak mau. Rubi memang telah menemukan jalannya, tapi ia temukan sendiri, tidak bersama orang lain. Namun, Rubi ingin Aria tahu bahwa dia tidak berarti apa-apa lagi.

“Bi, bukan itu maksudku. Waktu itu aku tidak memilih, kamu yang pilihin semua buat aku, buat kita. Kamu tahu nggak? Sejak awal aku udah merasa pilihanmu itu salah. Tapi, aku terima karena aku pikir itu balasan karena telah menyakitimu. Saat ini, aku cuma ingin kamu tahu bahwa ternyata selama ini, bukan ‘dia’, tapi kamulah yang aku cari. Tapi, aku butuh waktu untuk semua itu.”

“Maaf, Ya. Aku udah lebih dulu ditemuin orang lain. Kamu selama ini tidak mencari, tapi hanya berpikir sampai waktu yang kau punya pun bosan menemanimu.” Rubi tidak menghiraukan getaran yang tadi mampir kembali di hatinya. Ia benci karena Aria sejak awal tidak berani mengambil risiko.

Aria terdiam. Ia tahu dirinya salah. Namun, ia hanya mencoba. Terkadang, orang baru menyadari bahwa ia mencintai seseorang saat orang itu telah pergi.

“Bi, kamu tahu nggak apa permintaanku waktu kita liat bintang jatoh di Gede dulu?” tanya Aria, saat semua tampak tak mungkin dicoba lagi, saat Rubi—mungkin hanya demi kesopanan—menemaninya menunggu bus di depan kosannya.

“Apa?” Rubi kurang tertarik dengan perbincangan itu karena dia sudah tahu apa jawabannya.

“Aku minta supaya permintaanmu yang waktu itu kamu bilang nggak akan terkabul dapat terkabul,” jawab Aria. Jawaban yang terburu-buru karena bus yang ditunggunya sudah datang. Dia segera naik dan menghilang dalam kaca gelap bus bewarna biru tersebut.

Rubi terpaku. Ia semakin tidak mengerti akan hati dan perasaannya. Aria, mungkin kamu juga ingin mendengar apa permintaanku waktu itu. Waktu itu, aku benar-benar minta agar permintaan orang yang kusayangi dapat terkabul. Dan kamu tahu pasti siapa orang yang kusayang saat itu. Sayang, kali ini kamu terlalu terburu-buru. Bus itu telah membawamu pergi sebelum kau tahu bahwa aku juga perlu waktu, Rubi berkata dalam hatinya.

Malam di Jalan Margonda berjalan perlahan, lampu jalan masih remang-remang, dan roda-roda kendaraan di jalan itu masih berputar. Seperti halnya hidup. Esok, entah apa yang terjadi saat ia berputar. Tak ada yang tahu. Pun, Rubi dan Aria.


Depok, Desember 2004
sumber gambar: www.artofthemix-org

Tuesday, May 23, 2006

LONESTAR



Lonestar where are you out tonight?
This feeling I'm trying to fight
It's dark and I think that I would give anything
For yout o shine down on me

How far you are I just don't know
The distance I'm willing to go
I pick up a stone that I cast to the sky
Hoping for some kind of sign


©norahjones ;)

Thursday, May 18, 2006

Laki-laki di Lorong: Sepi



Ditemani hangat kopi susu
aku membaca puisi
tentang perempuan jatuh cinta
pada laki-laki di lorong sepi

ah, perempuan
bukan hanya sepi
teman laki-laki itu
tak taukah kau
gemuruh ramai di dada
menjadi sahabatnya

perempuan
sampai kapan
kau akan jatuh cinta
pada laki-laki
di lorong itu
ia tak pernah sepi.

--20 Maret 2003--

(gambar: www.ivizlab.spu.ca)

Perempuan yang Duduk Itu Telah Membaca Suratmu



Surat itu telah lama ia selipkan di balik kutangnya
menguning sudah putih kertasnya dicumbui usia
sama seperti kerut-kerut kulitnya yang diukir beribu-ribu malam
petang sudah sejak tadi menyapa
perempuan itu tak peduli, seperti kemarin-kemarin
ia masih saja duduk di persimpangan hati
perempuan dengan selipan surat di balik kutangnya itu
selalu bercerita pada senja, laki-lakinya akan kembali
ah, laki-laki
masih sajakah kau bertanya akan arti setianya?


-- Widyawati Oktavia, Depok, 24 Mei 2003--

(gambar: www.shimizuwoodcuts.com)

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin