Penjual Kenangan

Tuesday, March 29, 2011

I spend a little time with you, I want a little more




katamu, kita masih akan punya waktu beribu-ribu hari lagi--meski tak berjuta-juta tahun, tentu saja.
tapi, dalam waktu yang beribu-ribu itu, maafkan kalau aku tidak terlalu membantu ketika kita membaca peta. 
mungkin saja, kalau kau terlalu percayakan arah kepadaku, kita akan menyusuri labirin-labirin yang tak berujung, atau mungkin kita akan berputar-putar di situ-situ saja.

tapi, mungkin juga, itu menjadikan kita lebih banyak menghabiskan waktu dalam langkah yang sama. 
tak apa, kan? aku menyukai suara langkah, apalagi mendengar suara langkah itu tak silam dalam senyap. mendengari langkah yang bukan hanya langkahmu sendiri, bagai kau menyesap teh hangat dengan potongan kue kering kesukaanmu pada sore yang cerah--menyenangkan, menenteramkan, menyamai rasa ketika kau jatuh cinta. ;)

langkah-langkah ditingkahi tawa, mungkin, terdengar lebih menyenangkan. jangan terlalu banyak tangis. kita simpan saja untuk sesuatu yang memang perlu kita bubuhi air mata, yang bisa menjelmakan bahagia, bukan menyirami pedih yang kadang membuat arah semakin suram dan samar. dalam perjalanan, kita membutuhkan seseorang yang menguatkan, bukan melemahkan, aku teringat ucapan seorang teman. 

dan, perjalanan dalam beribu-ribu waktu itu tentu saja akan sangat panjang, bukan?

hei, tapi kau tahu, aku sudah lama belajar membaca peta, mungkin saja aku sudah paham arah sekarang.
jadi, mungkin kau tak perlu risau kita akan tersesat. pun tersesat, kita tahu arah yang kita tuju, bukan? hanya tinggal mengurai sulur-sulur kusut yang mungkin perlu waktu panjang. tapi, kalau kau belum tahu, aku orang yang tak cepat bosan dan cukup bisa bertahan dalam kebosanan yang sangat--lagi pula, mungkin, kebosanan terasa lebih manis ketimbang ceruk luka, yang pernah aku susuri tiap sudutnya yang dalam. jika bicara tentang bosan, bahkan, film terburuk pun akan kuhabiskan sampai akhir. aku menyukai akhir cerita, menyukai cerita sampai pada akhir karena mula sudah dipijak. 

aku terdengar meloncat-loncat dalam bercerita, ya?--yah, itu juga selalu dilakukan peri-peri kecil di sudut benakku. terkadang, menyenangkan saja mengikuti loncatan-loncatan kecil mereka, kalau kau tanya pendapatku. :) menurutmu?

beribu-ribu waktu (memang) masih kita miliki--semoga. dan, selalu ada doa untuknya. tapi, kau tahu, "I spend a little time with you, I want a little more"--eh, itu, aku menukil sebuah lagu. ^_^







#i owe the pic!

Monday, March 21, 2011

(GoVlog-Umum): Kita Nyambung Nggak, Sih?





"Sebenernya, obrolan yang nyambung tuh gimana sih?" tanya si cewek dengan rambut pendek, berwajah oriental itu.

"Nggak tahu," sahut si cowok, yang memiliki lesung pipit di sebelah pipi kanannya, yang memiliki senyum yang--hmm--cukup bisa menawan banyak wanita. Ahay. :p

"Kalau kayak kita gini, nyambung nggak sih?" tanya si cewek lagi sambil menyuap makanannya. 

Saya ingin menjawab untuk mereka. Ya ampun, sejak setengah jam lalu saya duduk nungguin makanan pesanan saya sambil mencuri dengar obrolan mereka, masa mereka masih nggak tahu sih obrolan mereka nyambung apa nggak? Haha, saya kesal sendiri. Salah saya sendiri sih beli makan di Kantin Pinky di aera kos-kosan kampus Depok ini nggak bawa apa-apa, jadi bengong nggak jelas. Kalau bawa buku atau hape, pasti saya jadi ada kesibukan (sambil "sibuk" kirim SMS, misalnya) dan nggak dengerin mereka ngobrol--lagian, mereka ngomongnya kenceng ajah sih, jadi yah bukan salah saya dunk kalau tertarik dengan obrolan mereka. :p

Jadi, sejak saya duduk di kursi  meja sebelah kedua orang itu, mereka sedang terlibat obrolan yang sangat asyik. Mulai dari mantan si cowok, cewek yang suka sama si cowok, teman mereka yang sok tahu, teman mereka yang nyebelin, dan cewek yang suka dihindari si cowok, sampai temen si cewek yang patah hati, dan banyak lagi. Jadi, cewek yang suka dihindari si cowok itu suka ngajakin makan bareng, tapi kata si cowok, cewek itu galak ajah, jadi dia males deh. Si cowok suka ngasih alasan kalau dia nggak bisa karena lagi pergi sama cewek yang sedang dia ajak ngobrol.

"Wah, parah lo. Bilang aja sih, lo nggak suka sama cara dia," saran si cewek sambil menyuap makanannya yang sejak tadi tidak habis-habis.

"Yah, nggak enaklah gue," kata si cowok yang tampaknya sering sekali tersenyum dan tampak bersemangat.

"Tapi kan jadi nggak enak gue-nya," sahut si cewek lagi sambil menyodorkan nasinya yang tidak habis kepada si cowok. "Habisin ya," katanya.

"Yah, elo, udah abisin gih. Nti kita sampe malem loh," ucap si cowok. Saya pura-pura nggak denger dan pura-pura nggak lihat. Duh, makanan saya lama amat si datengnya. :(

"Sayang, nih," kata si cewek, sambil membagi nasinya yang akan dikasih ke si cowok.

"Yah, udah, sesuap aja ya," si cowok mengalah.

Si cewek mengambilkan satu sendok besar.

"Yah, banyak bangeeet. Lauk gue aja udah habis," sahut si cowok mengelak.

"Nggak pa-pa, deh. Bisalah lo abisin." Si cewek memaksa dan akhirnya si cowok mengambil sendok itu dan memindahkan ke piringnya--dengan terlebih dahulu menguranginya sedikit.

"Eh, iya, jadi, obrolan yang nyambung tuh kayak gimana ya?" Si cowok kembali membuka wacana.

Si cewek mengedikkan bahu.

"Kayaknya, kalau obrolan yang nggak nyambung tuh, lo kebanyakan diemnya kali ya." Si cowok memberikan pandangan. "Kayak gue sama si..."--saya nggak nangkap nama yang dia sebut--"tuh kebanyakan diemnya." Si cowok dengan bersemangat menyuap nasi yang sudah di piringnya.

"Iya, mungkin, obrolan yang nyambung tuh, lo bisa ngobrolin apa aja sama orang itu, nggak habis-habisnya. Pun kalau habis, dan lo diem, lo nggak perlu berpikir keras lo mesti ngomongin apa." Si cewek ikut berargumen.

Ok, people! You got it! Haha, saya berasa-berasa malaikat yang mendampingi orang-orang--yang cuma bisa ngeliatin. Yang mungkin kadang geregetan karena si orang tidak paham bahwa dia sudah sampai ke tahap kesimpulan. Sejak awal, dia udah tahu apa yang dia maksud, tapi masih bingung sendiri. :p

"Iya, lo ma gue kan dari tadi kan nggak berenti ngobrol ya," aku si cowok. 

"He-eh," jawab saya di dalam hati. 

"Berarti, kita nyambung dong, ya," lanjut si cowok. "Kita bisa ngobrol panjang lebar, tapi tetap memberikan kesempatan pada lawan bicara, saling menghargai." Si cowok tertawa senang dengan kesimpulannya sendiri. Memamerkan lesung pipitnya.

"Bener banget!" batin saya lagi. Hoho.

"Iya," sahut si cewek sambil menghabiskan makanannya pelan-pelan, seakan-akan tidak ingin obrolan itu habis. Tapi, kerennya, dia sangat cool--nggak disorientasi. 

"Eh," si cowok memulai percakapan lagi, tetapi saya tidak mendengar lanjutannya karena diinterupsi oleh si penjual yang sudah menyodorkan makanan pesanan saya. 

By the way, menurut perasaan dan pengamatan saya yang sangat sekilas, si cewek suka sama si cowok--tapi si cowok sama sekali nggak sadar. Gelagat cewek itu, meskipun cool, menyimpan sesuatu. Dan, dia sempat gimana gitu saat si cowok cerita tentang mantannya ataupun cewek yang suka sama dia. Ups, maaf menuduh. :D 

Tapi, kalau besok-besok saya ketemu mereka lagi dan mereka masih bertanya apakah obrolan mereka nyambung atau nggak, kayaknya saya bisa tiba-tiba teriak, "Masa sih lo pada masih aja nggak tahu? Atau cuma pada pura-pura nggak tahu biar ada bahan obrolan?" Haha. :p












Saturday, March 19, 2011

fairy (tale)



saya masih orang yang sama, yang begitu percaya akan keajaiban.
dan, kau tahu, saya kembali menemukan sebuah keajaiban dalam gegas langkah. entahlah, mungkin hidup memang ajaib. dan, beruntunglah saya hidup di antara orang-orang ajaib pula, yang tak pernah bosan dengan saya--betapa pun menyebalkannya saya, betapa mengesalkannya saya.

saya bahkan mungkin, sangat jauh dari sosok peri, tetapi untunglah jelmaan-jelmaan peri selalu mengangsurkan tangan kepada saya: dengan serbuk-serbuk ajaib di tangkup kedua belah tangannya. peri-peri selalu meninggalkan jejaknya untuk saya, agar saya tak kehilangan arah, tak kehilangan hitungan langkah. rapalan mantra doa mereka bagai lingkaran tak kasatmata, mengelilingi saya. membisiki, memanggil-manggil ketika langkah semakin jauh di dalam sebuah labirin tak bernama. doa-doa--kata mereka--setiap hari dirapalkan. tentu, betapa beruntungnya saya.

dan, saya begitu menyayangi mereka--sungguh. dan juga berharap mereka mendapatkan keajaiban-keajaiban.
doa-doa yang memercik, di udara, mengkristal menjadi sebuah bola besar bahagia. begitu tampaknya keajaiban yang saya harapkan untuk mereka.

maafkan, belum juga saya mampu menjadi peri, dan masih hanya menjadi orang yang begitu percaya akan keajaiban.


#i owe the pic!#


Monday, March 14, 2011

satu-dua keping kenangan (kita)




suatu ketika, bahkan, satu-dua keping kenangan terkecil pun menjadi sesuatu yang sangat berharga--membuat kita merasa bahwa jalan kita pernah bersilangan pada masa lalu. bukan hanya dua orang asing yang kebetulan bertemu dalam sebuah persimpangan. 

suatu ketika, merekatkan keping-keping kenangan kecil itu menjadi kegiatan yang begitu menyenangkan. dan, tentu akan lebih menyenangkan ketika bisa melihat wujud kepingan itu. bagai kau diberi potongan-potongan puzzle yang tak pernah kau tahu apa bentuknya, tetapi entah kenapa kau merasa itu adalah sesuatu yang manis. sesuatu yang akan memberimu tawa ketika mencoba merangkainya, membawa bahagia--semoga.

suatu ketika, saat kau menemukan sebuah kenangan kecil lagi di dalam langkahmu, maukah kau berhenti sejenak? meraihnya dengan tanganmu, lalu menyimpannya di saku baju, membuatnya merasa aman berada di situ. dan, maukah kau membawakannya untukku?

mana tahu, itu potongan terakhir kepingan puzzle yang sedang kita terka-terka apa bentuknya.  

suatu ketika, kita akan tahu. mungkin, kita hanya perlu waktu. dan membubuhinya dengan satu dua keping harapan--jangan terlalu banyak, mungkin, agar kita tak hanya akan larut dalam harapan yang terkadang mudah terserap udara kosong. akan kutambahkan satu dua keping senyuman di antara jeda-jeda kosong yang membuat kita pusing dengan apa harus mengisinya.

suatu ketika. jika kau-aku percaya. :)  




#i owe the pic!

Tuesday, March 08, 2011

Catatan Kecil tentang Zona Nyaman



Kurang dari dua bulan lagi, saya akan keluar dari sebuah zona nyaman. Resahkan saya mengingatnya? Tiba-tiba, teringat peribahasa, "harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan". Seperti itukah keadaan ini? 
"Hush!" Saya mendengar sisi lain diri saya mengujarkan hal itu. Ya, bukankah semua akan berjalan dengan apa yang kita pikirkan, begitu kata mereka-mereka.
Jadi, sepertinya, peribahasa itu perlu diubah (bagi saya), "harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan disimpan di kandang dulu". Haha, terdengar serakahkah? Semoga tidak. :p

Zona nyaman, bukankah diri kita juga yang menyamankan diri di zona itu? Timur, selatan, barat, utara, utara barat daya, bukankah segala arah milik-Nya juga? #notes to myself part 2 


p.s. semoga aku selalu berjalan ke arah-Mu. tak lagi meragu, tak lagi mengacaukan arah utara dengan arah sebaliknya. :) 

p.s.s. beberapa waktu belakangan ini, banyak teman yang menanyakan kenapa saya terlihat sangat kurus--dibandingkan dengan diri saya dua-tiga tahun lalu yang beratnya kisaran 48 kg, berarti berentang 10 kiloan dengan berat sekarang. hmm, mungkin itu doa yang mewujud, jawab saya, yang dulu selalu menepuk-nepuk pipi saat bercermin, berharap tembamnya berkurang dengan cara itu. dan, ajaibnya, beberapa tahun kemudian, hal itu benar-benar terwujud--kayaknya, itu hasil tepuk-tepuk pipi pas ngaca itu de. buat yang mau kurus, cobain de. :))
kata seorang teman, kurus kan identik dengan masalah kesehatan, jadi wajar orang pada nanya, berarti mereka khawatir terhadap saya. hehehe. *terharu*

p.s.s.s. doa kali ini: "semoga berat badan saya nambah biar ga terbang kebawa angin pas (sedikit) ngebut bareng chizumi. amiin." :)

Monday, March 07, 2011

di antara petang

senja tiba lebih dulu daripada kita, dan lampu-lampu pun sudah menyala.
membawakan banyak kenangan, ternyata, di jalan setapak ini.

"sudah begitu lama," aku mendengar samar suara di sana, "kenapa kau baru kembali?"

ternyata, jalanan hutan kapuk itu merindukanku.
senangnya. ;)






 







#ceritanya mau hunting foto, tapi--katanya--kebanyakan perempuan cenderung menjadikan dirinya objek di dalam sebuah foto atau selalu mengusahakan dirinya selalu ada di dalam latar yang menurut mereka oke (itulah bedanya dengan para laki-laki itu), jadilah saya melakukan hal itu juga. biar seperti para perempuan. jadi ini bukan karena alasan *narsis mode on* lho. :p

Menjelma si Tudung Merah

Suatu hari, keinginan saya mewujud lagi--punya jaket merah dengan tudung yang merah pula. ;) Dengan jaket itu, yang fungsinya lebih ke arah jas hujan dengan model yang lebih trendi, saya berasa-berasa jadi Little Red Riding Hood, menjelma si Tudung Merah, yang akan menengok sang Nenek. Semoga tidak bertemu serigala di perjalanan. :p






Wednesday, March 02, 2011

Nyanyian dari Kampung Nelayan

“Din, kamu tidak ikutan ke rumah Pak Lurah?” ujar Ibu Nurdin saat melihat anaknya duduk termenung di depan pintu.

“Sana pergi. Daripada kamu bengong kayak sapi ompong begitu,” ujar ibunya lagi.

Nurdin bergeming. Wajahnya membeku. Menyimpan sesuatu. Ia menoleh ke dalam rumah. Di meja kayu rumahnya itu, sebuah buku tulis tergeletak. Miliknya. Masih baru. Hadiah dari permainan yang diikutinya kemarin siang. Bersama anak-anak kampung ini. Bersama kakak-kakak mahasiswa yang datang dengan dua bus besar dan membawa barang-barang untuk orang-orang di kampungnya itu.




Nurdin masih ingat suasana kemarin. Saat pertama kali mereka, anak-anak kampungnya, dikumpulkan. Di samping rumah Pak Lurah. Di depan rumah Pak Lurah, yang juga berarti di depan masjid, ibu-ibu dan bapak-bapak kampungnya berdesakan. Mengantre. Kata ibu Nurdin, hari itu mereka menukarkan kupon dengan sembako murah yang dijual para mahasiswa itu. Barisan sembako itu kacau. Namun, Nurdin tidak memperhatikannya. Ia sedang asyik memperhatikan kakak mahasiswa yang sedang menerangkan permainan. Nama permainan itu tebak kata.

Akhirnya, anak-anak kampung itu larut dalam permainan antarkelompok itu. Jadi, satu orang dari satu kelompok harus mendeskripsikan suatu kata dan tidak boleh menyebut kata yang dimaksud. Anggota kelompok harus menebaknya.

Nurdin sangat senang dengan permainan itu. Gampang-gampang susah. Namun, Nurdin lebih senang menjadi penebak daripada pemeraga.

Akhirnya, kelompok Nurdin menang. Setiap orang mendapat satu buah buku dari kakak mahasiswa itu. Bungkusan-bungkusan yang tadinya disiapkan kakak mahasiswa itu untuk para pemenang harus dirobek dan isinya dibagikan satu per satu karena jumlah anak-anak kampung Nurdin sangat banyak. Padahal, bungkus kadonya sangat bagus, Nurdin menyayangkan. Namun, Nurdin senang mendapat hadiah.

Setelah permainan itu, yang kalah diminta menyanyi. Tapi, tidak ada yang mau. Nurdin gelisah. Dia mau. Untunglah kakak mahasiswa itu capek dan meminta siapa saja yang mau menyanyi untuk maju. Akhirnya, Nurdin tunjuk tangan.

“Kamu mau nyanyi apa?” kakak mahasiswa itu mengulurkan pengeras suara pada Nurdin

“Nyanyi 'Donal Bebek' boleh nggak, Kak?”

Kakak mahasiswa itu tampak bingung. Pasti kakak itu tidak tahu lagunya, pikir Nurdin.

“Boleh, boleh …,” sahut kakak mahasiswa itu.

Nurdin memegang pengeras suara dan ia mulai menyanyi. "Donal Bebek, mau ke mana?" Dan, serentak, anak-anak yang lain, yang jumlahnya sekitar 120 orang itu mulai menyanyi. Dengan nada yang sama. Seperti membentak karena mereka ingin suaranya terdengar.

Donal Bebek, mau ke mana? Mau ke pasar. Membeli apa? Membeli motor. Motornya mogok didorong sama kodok. Kodoknya capek, didorong sama tape. Tapenya lembek, didorong sama bebek. Bebeknya nelor, didorong sama telor. Telornya pecah, didorong sama bocah. Bocahnya nangis, didorong sama kumis. Kumisnya jamlang, didorong sama jamblang. Jamblangnya kecil, didorong sama kancil.


 

Siang sudah menjemput petang. Anak-anak masih menyanyikan lagu "Donal Bebek". Bahkan, kakak mahasiswa minta diajari. Semakin serulah hari itu.

Petang semakin menjelang. Ibu-ibu yang mengantre sembako sudah beranjak pada kerumunan baju layak pakai yang dijual dengan sangat murah. Anak-anak dibubarkan. Dan, satu per satu, bersama ibu atau bersama bapak, mereka pulang. Esok akan ada acara lagi, buat anak-anak, juga buat ibu-ibu dan bapak-bapak.

Nurdin tidak pulang. Bersama adiknya, Udi, ia ikut dengan kakak-kakak mahasiswa itu yang duduk-duduk di depan masjid. Hari itu, Nurdin sangat senang.

Namun, hari ini, saat matahari sepenggalah, ia hanya melamun. Duduk di depan pintu. Entah apa yang dipikirkan Nurdin. Yang pasti hari itu ia tidak datang lagi ke rumah Pak Lurah, tempat para mahasiswa itu menginap.

“Bukannya kemarin kamu sangat senang sekali, Din. Ibu lihat kamu tidak henti-hentinya ketawa. Malahan, kamu buru-buru pulang untuk mengajak si Udi.”

Nurdin masih diam. Ia memandang jauh ke depan. Ke hamparan sawah yang hampir panen. Namun, sayangnya itu bukan sawah penduduk kampung. Itu sawah milik orang-orang di kota sana. Masyarakat kampung sini hanya jadi kulinya. Nurdin pernah mendengar bapak dan ibunya bercakap.

“Sebenarnya, upah mengerjakan sawah itu tidak sebanding dengan kerja yang kita lakukan, Bu …,” keluh bapaknya suatu hari.

“Mau bagaimana lagi, Pak? Hasil laut juga kadang-kadang tidak ada. Kemarin saja, sampai tiga hari di laut, Bapak cuma dapat sekilo ikan ….” Ibunya ikut-ikutan mengeluh.

“Mau jadi buruh tambak tambah jauh lebih berisiko, Bu. Kalau laut pasang dan gagal panen, buruh tidak dapat apa-apa …. Si Tauke mah tidak peduli. Mereka bilang, itu salah buruh yang tidak bisa menjaga. Ada-ada saja. Apa mereka tidak pernah mengenal alam?” suara Bapak semakin lirih.

“Yah, mau bagaimana lagi, Pak?” Ibu terdengar pasrah.

Nurdin yang saat itu berusia 10 tahun tidak mengerti banyak tentang percakapan orangtuanya. Bocah kurus dengan kulit warna matahari itu hanya mengerti begitulah hidup di kampung ini. Hidup di kampung nelayan.

Mereka telah terbiasa hidup seperti itu. Hidup di kampung yang angin laut sangat terasa ke kulit. Kampung yang airnya terasa asin. Nurdin tidak pernah memikirkan air yang asin ataupun angin laut yang begitu terasa. Malahan, ia sangat senang karena kadang, sore-sore, ia bisa ke pantai dengan teman-temannya. Melihat laut yang bergemuruh seakan-akan akan menyapu apa pun yang didapatnya. Juga melihat tambak udang yang dikerjakan orang-orang kampungnya.

Namun, ibunya selalu marah kalau ia ke pantai.

“Jangan main-main di pantai, Nurdin! Nanti kamu terbawa ombak. Lagi pula, Ibu takut kamu jatuh dari karang-karang yang tajam itu. Lagian, kamu mau lihat apa sih di pantai itu. Wong, tidak ada pasirnya begitu.” Ibunya berkata dengan serius. Namun, kadang, diam-diam, Nurdin pergi juga ke pantai. Pantai yang menyatu dengan laut. Abrasi.

Nurdin ingat kakak mahasiswa lagi. Kemarin, salah satu mahasiswa itu bertanya pada Nurdin, “Kalau mandi di mana, Din?”

“Di kali,” jawab Nurdin cepat.

Kening kakak mahasiswa itu berkerut. “Di kali situ?” Ia menunjuk kali kecil di depan rumah Pak Lurah. Kali yang berwarna butek itu mengalir dengan tenangnya.

Nurdin mengangguk. “Kali itu kan lewat juga ke rumah saya, Kak,” jelasnya.

“Oh ….” Kakak mahasiswa itu tampak kehilangan kata-kata.

Nurdin tidak menanggapinya lagi. Ia dan teman-temannya tidak peduli mau mandi di mana. Bahkan, mereka jarang mandi. Kali itu menjadi sumber air di kampung tersebut. Di sana juga, ibu-ibu mencuci. Mandi. Di sana, di kali butek yang mengalir dengan tenangnya itu.

“Din, si Rohmat, temanmu itu, kelas berapa?” tanya salah seorang mahasiswa lagi. Mereka begitu banyak bertanya. Tentang ini dan tentang itu. Namun, Nurdin menyukainya. Ia suka ditanya. Ia suka menjelaskan ini dan itu.

“Nggak sekolah, Kak,” jawab Nurdin.

“Kenapa?” Kakak mahasiswa itu begitu penasaran.

“Kata emaknya Rohmat, buat apa sekolah. Rohmat bakalan jadi nelayan juga. Dari dulu, keluarganya Rohmat udah jadi nelayan semua. Nanti, kalau saya udah lulus SD, saya juga nggak sekolah lagi, Kak. Saya mau ikutan Bapak nyari ikan juga.” Nurdin menjawab dengan semangat.

Kakak mahasiswa itu melihat Rohmat dan Nurdin dengan iba. Sementara itu, Nurdin menunggu pertanyaan selanjutnya.

“Emangnya di sekolah cuma ada tiga kelas ya, Din?”

“Iya. Jadi ada yang masuk siang.”

“Di sekolah ada kamar mandinya nggak?”

“Nggak.”

“Trus, kalau mau pipis atau eek di mana?”

“Jauh, Kak. Di sawah.”

“Jauh? Trus, pada balik ke sekolah lagi nggak habis itu?”

“Nggak, Kak. Habisnya capek,” jawab Nurdin cepat.

Kakak mahasiswa itu memicingkan matanya. Dia garuk-garuk kepala. Berganti-gantian, ia memandang Nurdin dan anak-anak lain yang juga masih ada di situ. Embusan napasnya terdengar berat.

Kakak mahasiswa itu mungkin semakin miris. Ia telah mendapat kabar—dari teman yang sempat survey—tentang kondisi sekolah di kampung itu. Kampung yang hanya berjarak dua jam dari kota. Di situ, hanya ada tiga kelas. Kondisi tidak layak. Hanya ada tiga guru. Salah satu guru merangkap kepala sekolah sekaligus pengajar, sekaligus pegawai administrasi sekolah, sekaligus seksi sibuk sekolah. Di sekolah itu, baru saja ada pergantian kepala sekolah. Dan, sudah dua bulan, belum ada pegawai administrasi. Jadi, semua ditangani sang kepala sekolah. Ia dengar juga, salah seorang guru—dari yang tiga itu—sudah tidak tahan mengajar di kampung itu dan sudah berkali-kali minta mutasi, tapi tidak pernah dikabulkan. Begitu cerita tentang sekolah di kampung itu.

Tentang murid-muridnya, ada juga cerita lainnya. Katanya, mereka pakai seragam hanya tiga hari. Sisanya pakai baju bebas. Bukan karena kurikulum atau karena ikut-ikutan sekolah luar negeri yang pakai baju bebas. Tapi, itu karena baju seragam yang dipunya sang murid terbatas. Oalah.

Saat ditanya tentang seragam, Nurdin menjawab, “Si Fikri nggak sekolah soalnya dia nggak punya seragam, Kak.”

Dan, embusan napas kakak mahasiswa itu terdengar berat lagi.

Saat hari hampir gelap, Nurdin segera pulang. Esok, ia akan datang lagi. Bermain bersama kakak-kakak mahasiswa itu. Dan, ia akan mengajak kakak mahasiswa itu menyanyikan Donal Bebek. Sekarang, kakak mahasiswa itu sudah hafal. Kalaupun besok ada yang salah, Nurdin bisa mengajarinya lagi. Ia menggandeng tangan Udi dengan riang. Sebuah buku hadiah, ia masukkan ke balik bajunya. Diselipkan di karet celananya.

Malam harinya, Nurdin tidak bisa tidur. Ia tidak sabar menunggu pagi. Ia ingin segera bertemu kakak-kakak mahasiswa itu. Ia ingin bermain bersama mereka. Ingin bernyanyi bersama. Ingin bercerita. Ingin ditanya. Akan tetapi, pagi berjalan begitu lambat. Ketika Nurdin sudah sangat capek menunggu, pagi baru datang. Dan, membawa bau laut.

Dan, pagi itu, perasaan bahagia yang kemarin tiba-tiba membeku. Segala keinginan yang semalam menyentak-nyentak juga ikut membeku. Bau laut yang dibawa pagi itulah yang membekukan semuanya. Tiba-tiba, Nurdin terpekur di depan pintu.

Kemarin, anak-anak kampungnya begitu bahagia. Para mahasiswa itu mengajak mereka bermain dan bermain. Semua anak kampung itu tertawa dan tertawa. Hari ini pun pasti seperti itu. Kakak mahasiswa itu pasti punya permainan yang memberi mereka tawa lagi. Dan, pasti mereka juga punya hadiah yang dibungkus dengan bungkus kado yang sangat bagus. Bungkus itu juga akan dirobek karena hari ini anak-anak kampung Nurdin akan semakin banyak yang datang.

Tiba-tiba, Nurdin menjadi benci dengan tawa mereka yang kemarin itu. Ia benci. Saat angin pagi bertiup begitu kencang, pasir-pasir di halaman rumah Nurdin mampir ke matanya. Dan, air mata Nurdin terbercak. Ia menangis. Namun, bukan karena pasir itu.

Nurdin ingat kakak-kakak mahasiswa yang membawa tawa itu. Tawa yang tiba-tiba dibencinya. Ah, tidak. Sebenarnya, ia tidak membeci tawa itu. Ia tidak membenci kakak-kakak mahasiswa itu. Ia hanya sedih. Ia sedih karena para mahasiswa itu akan kembali lagi ke rumah mereka. Ke kota. Dan, mereka akan membawa tawa dalam bus yang membawa mereka ke kampung itu. Dua bus yang besar itu sangat cukup membawa tawa anak-anak yang berjumlah sekitar seratus dua puluh orang itu. Dan, hari ini jumlah itu pasti bertambah. Akan semakin banyak anak-anak yang datang. Mereka semua ingin tertawa. Tapi, dua bus besar itu tetap akan bisa memuat tawa mereka dan membawanya pergi.


Nurdin sedih karena itu semua. Nurdin juga sedih karena tidak ada lagi orang yang bertanya-tanya dengan begitu penasaran. Ia tidak bisa lagi menjelaskan tentang ini dan tentang itu. Di kampung ini, siapa yang mau bertanya di mana mereka mandi? Di mana mereka buang air?

Kampung ini sudah begitu dari dulu. Tidak ada yang perlu ditanyakan. Dari dulu, air di kampung ini sudah asin. Kali di sini sudah butek. Anak-anak sudah mandi di kali. Anak-anak sudah biasa tidak sekolah. Semua sudah begitu dari dulu.

Saat matahari condong ke barat, Nurdin pergi juga ke rumah Pak Lurah. Ia ingin melihat kakak-kakak mahasiswa itu terakhir kalinya. Ia ingin melepas mereka.

Namun, saat ia datang, orang-orang kampung, juga anak-anak yang ada di rumah Pak Lurah sudah bersiap-siap ke rumah mereka masing-masing. Kakak-kakak mahasiswa itu baru saja berangkat dengan dua bus besar mereka.

Nurdin menatap anak-anak kampungnya. Benar saja. Tawa-tawa sudah terbawa dalam bus-bus kakak mahasiswa itu.

Nurdin melangkahkan kaki. Pulang.

“Donal Bebek, mau ke mana? Mau ke pasar. Membeli apa ….” Terdengar nyanyian Donal Bebek dari mulut Nurdin. Lirih. Tidak membentak.

Sekarang, kakak-kakak mahasiswa itu pasti juga sudah hafal lagu itu. Tapi, apa mereka masih ingat saat mereka sampai di kota nanti?

Nurdin tidak tahu. Yang ia tahu, di kampungnya, angin laut begitu terasa. Air begitu asin. Dan, karang pantai begitu tajam.


Depok, 23 November 2005, 02. 40 wib

“untuk anak-anak matahari di desa yang bau lautnya begitu terasa”


[repost, i owe the pics from my friend, zizah]

pada suatu perjalanan (kita)



; buat apiz ^_^

lalu, setelah beberapa perjalanan, engkau pun ditinggalkan, bukan?
padahal, kau tak pernah lelah hitung langkahnya.
dengarkan dia bercerita. dan kadang tertawa mendengar tingginya angan dan mimpinya.

"memang sudah saatnya." kau dengar ia berkata. tapi, tak kau tangkap nadanya.
entahlah, kau hanya terlalu lelah juga untuk menduga.

ah, ini bukan tentang ditinggalkan dan meninggalkan, kau mengibur hati.
memang sudah saatnya.
mungkin Dia pikir sudah cukup panjang perjalanan untukmu.
sudah penuh setiap sudut hingga tak ada lagi ruang untuk cerita selanjutnya.

ini bukan karena meninggalkan dan ditinggalkan, memang.
ini hanya tentang masa. masa yang tak lagi memihak kau dan dia.
kau mengerti, sungguh. dan melupakan siapa yang meninggalkan dan ditinggalkan.
tapi, kadang, rindu memecah sesakmu. dan kembali bertanya, "kenapa masa tak lagi memihak kita? kau dan aku pernah bersama."

ya, aku tahu, kau hanya rindu pada ilalang. juga tawa di antaranya.


[repost, 10 December 2009]

Sinetron?

Terkadang, saat didera masalah, kita merasa yang paling susah, yang paling menderita. Mungkin, itu pun yang saya rasakan. Bahkan, terkadang, hal itu membuat kita kehilangan akal sehat, ingin bersiteru dengan dunia yang seakan-akan tidak adil dalam membagi kasih sayangnya.

Saat seperti itu, kita pun merasa (wajib) didengarkan. Namun, ternyata saat seperti itu, kita pun harus “mendengarkan”.

Saya sudah lama tidak bercakap dengan perempuan ini karena kami jarang bertemu.
Lalu, beberapa waktu lalu, percakapan kami mengalir. Perempuan kurus ini seusia saya, sudah menikah dan punya dua anak. Anak perempuan dan laki-laki. Mereka tinggal dekat sebuah kampus yang cukup terkenal di wilayah Jakarta Barat.

Percakapan itu berawal dengan bertanya kabar, pekerjaan, berlanjut dengan kapan saya akan menikah, lalu tentang “hidup”.

“Ya, keluarga kami tampaknya harus pindah dari rumah ini,” kata anak kedua dari empat bersaudara ini. Saya menyayangkan, bukankah sayang jika menjual rumah yang berada di lokasi yang cukup strategis itu.

“Rumah Pak Aji yang di sebelah mau dijual, jadi nanti kami bingung mau lewat mana keluar,” jelasnya.

Ya, rumah perempuan ini berada di pojok, jalan keluarnya lewat teras rumah Pak Haji yang meninggal belum lama ini, menyusul istriya yang telah meninggal terlebih dahulu. Anak-anak Pak Haji sudah tidak tahan untuk segera membagi warisan mereka. Cara paling mudah adalah menjual rumah itu, kemudian membagi-bagi uangnya.

“Kalau rumah itu dijual, rumah kami ini tidak punya jalan keluar lagi,” lanjut perempuan itu dengan mata menerawang.

“Lho, bukannya bisa menjebol tembok teras depan?” tanya saya, berpikir cepat mencari solusi—yang tidak mungkin tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya. Tembok yang tidak terlalu tinggi itu memisahkan rumah perempuan ini dengan deretan rumah kontrakan yang ada persis di depan rumah ini, dipisahkan dengan jalan kecil kira-kira sepanjang 10 meter. Jalan itu lebih praktis untuk dijadikan jalan keluar juga untuk rumah ini. Tinggal belok kanan dan jalan sekitar tujuh langkah, jalan itu sudah bertemu dengan jalan yang agak besar, tapi masih berupa gang juga.

Perempuan itu tertawa. Miris. “Kalau bisa begitu, kami tidak perlu bingung dan tidak perlu juga Pak Aji dulu berbaik hati ‘merelakan’ teras rumahnya kami lewati setiap hari.”

Saya mengeryit tak mengerti.

“Iya, dulu, kenapa jalan keluar rumah ini lewat teras Pak Aji, itu karena yang punya kontrakan di depan nggak memperbolehkan kami menginjak ‘jalan’-nya,” kata si perempuan.

Saya ternganga, tak percaya. Lho, yang punya rumah itu kan nggak rugi apa-apa. Toh, jalan itu sudah dia buat juga buat jalan bagi penghuni kontrakannya. Dan, kalau menyusut pun, palingan hanya berupa jejak-jejak kaki di jalan bersemen itu. Itu juga baru beberapa (ratus) tahun kemudian, kali! Ah, saya emosi mendengarnya. Pelit sekali, sih! Saya nggak habis pikir. Jadi, itulah alasannya kenapa tembok yang dijejeri beberapa pot tanaman ittu dibangun di teras kecil rumah perempuan ini.

“Yah, Papa juga bilang lebih baik kami pindah saja,” lanjut perempuan itu, “sekalian cari tempat usaha baru.”

“Memangnya, kontrakan warung yang dekat kampus itu udah mau habis, ya?” tanya saya.

“Tiga tahun lagi. Sekarang, baru jalan tahun pertama,” jawabnya. “Tapi, kalau nyambung lagi nanti, kami sudah tidak sanggup. Tiga puluh juta setahun dan harus dibayar langsung tiga tahun.” Ia terdengar kehilangan harapan. “Harusnya, lima puluh juta. Tapi, karena kami minta kurang, yang punya minta supaya warung itu dibagi tiga. Jadinya, yang kami dapat sangat kecil.”

Saya terdiam. Dulu, sebelum daerah kampus itu belum terlalu ramai—sebelum internet berkembang pesat--kontrakan warung itu baru lima juta rupiah.

“Ah, itu juga kami mencoba bertahan karena belum dapat tempat usaha yang baru,” katanya.
“Kenapa?” tanya saya.

“Sekarang, sikap yang punya udah lain. Nggak kayak dulu.”

Ya, dulu, saya ingat, mereka sudah seperti saudara. Antar-antaran makanan. Ibu perempuan ini sangat kompak dengan ibu yang punya rumah. Mengobrol sepanjang hari, belanja bareng, dan segala hal tampak harmonis.

“Mungkin, karena sekarang, mereka sudah punya banyak uang,” ucap si perempuan, bukan bernada iri. “Dulu, ibu yang punya rumah betah ngobrol lama-lama dengan Mama di dapur,” katanya, “tapi, dulu, ujung-ujungnya, ibu itu minjam uang. Sekarang, mereka nggak perlu pinjem uang lagi.” Perempuan itu semakin miris.

Berdirinya sebuah kampus bonafide di daerah ini, dan juga melebarkan sayapnya di tempat yang tak jauh dari daerah ini memang membawa rezeki besar buat yang punya tanah dan kontrakan, biasanya orang asli yang punya. (Meski mahasiswa kampus ini juga kerap dipalak oleh orang-orang asli sekitar situ). Harga kontrakan jadi puluhan juta per tahun. Kosan juga jutaan sebulan. Dan, ibu yang punya kontrakan tempat usaha keluarga perempuan ini punya sekitar 10 tempat usaha dan punya kosan sekitar 50 kamar. Sebuah keluaga yang terdiri atas seorang ibu dan empat orang anak yang sudah berkeluarga itulah pemiliknya.

“Kami harus segera pindah,” sambung perempuan ini. Saya mengangguk-angguk. “Sedih banget waktu ngeliat orang toko yang di paling ujung pindah. Mereka diusir,” kata si perempuan. “Yah, mereka tidak sanggup bayar lima puluh juta dan mesti langsung tiga tahun, jadi mesti pindah. Mereka minta setahun dulu, tapi nggak boleh.”

“Emangnya gak bisa kompromi dulu?”

“Yang punya rumah cuma bilang, ‘Kalo nggak sanggup bayar, ya pindah aja.’ Cuma itu kata-kata mereka.” Si perempuan menarik napas. “Nggak tau buat apa, uang puluhan juta cepet banget abisnya ama mereka. Kayaknya nggak cukup-cukup.”

Ya, bukankah uang, harta, hanya cukup bagi mereka yang mencukupkan diri? Saya sedih mengingat jalinan hubungan para pemilik usaha—termasuk keluarga perempuan ini--dengan pemilik kontrakan itu, sudah puluhan tahun. Sejak daerah itu masih sepi dan kampus itu belum begitu terkenal. Ah, uang.

“Bahkan, anak si pemilik kontrakan ngeliatin setiap hari waktu yang paling ujung itu pindah. Plus ocehan, ‘Lama amat, sih, pindahnya?! Lagian, pake motor mindahin barang-barangnya. Gimana nggak lama.
Barang banyak begitu!’ Kan, emang barangnya banyak, ya. Namanya juga udah bertahun-tahun tinggal di sana. Tapi, klo malem, mereka pindahin pake mobil. Kalo siang kan macet, jadi pake motor.” Perempuan itu menjelaskan. Tapi, ternyata, yang punya kontrakan itu tidak peduli. Mereka tidak tahan untuk menawarkan pada pengontrak baru, dan tentu saja tidak sabar menerima uang kontrakan. U.A.N.G.

Ah, kenapa saya seperti sedang mendengar cerita sinetron? Ternyata, sinetron nggak bohong-bohong amat, ya? Ataukah, penontonnya yang terlalu menghayati ceritanya sehingga tidak bisa membedakan lagi di dunia mana mereka berada?

“Yang ujung itu bilang, ‘Anak almarhum Pak A*** sudah pintar-pintar ya sekarang,’ dengan maksud menyindir. ‘Iyahlah, kan disekolahin, ya, pinter,’ jawab mereka.” Perempuan ini tertawa kaku.
Saya tersenyum miris.

“Harusnya, orang itu bilang, ‘Iya, dulu, waktu disekolahin, minjem duitnya sama saya. Lupa ya?’” kata si perempuan dengan emosi. “Sayangnya, mereka nggak bilang.”

Ya, dahulu, waktu keluarga kaya itu baru ada tiga kontrakan kios, mereka sering kas bon. Setelah penyewa membayar kontrakan selama beberapa tahun, mereka juga akan meminjam uang lagi. Untuk keperluan ini dan itu. Para penyewa itu pasrah dan meminjamkan uang—bahkan, terkadang saat sebenarnya mereka pun sedang tidak punya uang. Tapi, Yang Berkuasa meminta, jadi apa daya.
Lalu, sekarang, mereka diusir oleh Yang Berkuasa dan kembali lagi mereka pada kondisi “apa daya”. Tak boleh ada kenangan masa lalu. Tak boleh ada ikatan “bertetangga” bertahun-tahun.

“Kalau yang sebelah warung saya, dia lebih beruntung. Utang ibu itu sudah sangat banyak dari dulu. Jadi, kontrakan mereka sudah dibayar sampai 2013 dengan hitungan uang kontrak waktu masih lima juta per tahun. Tapi, kalau sudah habis, nanti mereka juga mesti bayar lima puluh juta per tahun,” jelas perempuan itu tentang warung di sebelah tempat usahanya.

Hati saya mencelos. Pendapatan warung-warung itu tidak akan bisa menutupi biaya kontraknya. Begitu banyak pesaing dan begitu banyak yang lebih modern.

“Makanya, kami pelan-pelan mau cari tempat usaha lain. Yang di sini juga cuma lepas makan sekarang. Nggak tahu nanti.” Perempuan itu mengelus kepala anak laki-lakinya yang baru berusia tiga bulan. “Keadaannya udah nggak enak. Ibu itu aja udah nggak mau negor Mama. Kalau lagi bareng di tukang sayur, juga diam-diaman. Kalau disapa, buang muka.” Dia tertunduk.

Saya terbayang hubungan harmonis mereka dahulu. Miris.

“Entahlah. Sama saudara-saudaranya juga begitu. Nggak tau kenapa, dia makin sombong sejak naik haji.”

Saya kaget. Apa saya salah dengar. Ah… dunia. Mau jadi apa kita?

“Mudah-mudahan, bisa dapet tempat yang lebih bagus,” kata saya, “Allah nggak akan menutup rezeki umat-Nya yang mau berusaha.” Saya menghiburnya--cuma hal itu yang bisa saya lakukan, sayangnya.

Dan, selesaikan percakapan itu. Membicarakan orang. Membicarakan diri sendiri. Membicarakan hidup.

Ah, permasalahan saya, dilema saya, belum seberapa dibandingkan mereka. Masihkah saya mengeluh?



[repost, 13 July 2009]

entah(lah)





apa lagi yang aku (kita) tunggu?

cinderella tak lagi kehilangan sepatu kaca,
aurora telah terbangun dari tidur panjangnya.
semua cerita telah selesai--tak perlu kita selipkan fragmen baru.
mula telah dipertemukan dengan akhir, katanya.

apa lagi yang aku (kita) tunggu?
aku pergi,
ya?



[repost 25 September 2009, i owe the pic]

peri gigi dan hipnoterapi

i owe the pic!

Waktu saya kecil, ada sebuah kebiasaan yang dalam keluarga saya kalau gigi salah seorang anggota keluarga kami tanggal. Mungkin, bagi sebagian orang, gigi itu disimpan di bawah bantal agar diambil peri gigi. Kalau di keluarga saya, gigi tanggal itu harus dilemparkan ke atap rumah kami. Sambil melempar, orang yang giginya tanggal itu perlu mengucapkan dalam hati agar giginya cepat tumbuh. Dan, sepertinya saya pun pernah melakukan kebiasaan itu. Dan, kalau dipikir-pikir, kebiasaan itu konyol dan mungkin gigi-gigi itu sudah menjadi fosil di atas atap rumah kami. Tapi, ah, namanya juga kebiasaan zaman dulu (tapi, setelah tahu tentang peri gigi, saya jadi lebih berharap kebiasaan itu yang kami terapkan. Lebih keren kayaknya. Haha).

Sepertinya, saya termasuk orang yang kerap berurusan dengan sakit gigi. Tapi, saya lupa kapan tepatnya terakhir saya ke dokter gigi. Sepertinya waktu saya kuliah, ke pusat kesehatan mahasiswa di kampus saya. Seingat saya, biayanya gratis—kecuali ada obat yang beda daripada biasanya. Soalnya, seingat saya (lagi), obat yang dikasih rata-rata sama. Apa pun sakitnya, dua-tiga macam antibiotik obatnya. ;)

Biasanya, kalau sakit gigi, saya nggak berani atau malas ke dokter. Hari ini, karena lubang kecil di geraham kanan bawah saya terasa semakin membesar dan membuat saya keranjingan dengan tusuk gigi, saya memantapkan niat ke dokter gigi dan mengambil waktu izin yang sudah saya sampaikan sejak kemarin-kemarin kepada atasan saya. Menyeberang jalan dari kosan saya, lalu berjalan sedikit ke deretan ruko dekat gang yang disebut Kober, ada dua klinik gigi. Saya ragu-ragu mau masuk ke klinik yang mana. Yang satu, dengan plang yang tidak terlalu elegan—atau sekadar menarik—buka pukul sepuluh. Yang satu lagi, dengan plang yang tak berusaha untuk lebih menarik juga, sudah buka sejak pukul delapan.

Saya ragu-ragu masuk ke mana. Tak ada orang yang bisa merekomendasikan untuk saya. Dan, saya butuh rekomendasi seseorang untuk urusan tambal-menambal ini. Dan, haha, akhirnya, saya teleponlah sahabat saya yang sudah berangkat kerja. Sahabat saya itu tak bisa juga merekomendasikan yang mana yang sebaiknya saya datangi—apalagi, dia termasuk orang yang takut ke dokter gigi. Tapi, sarannya untuk ke rumah sakit di jalan raya kota itu lumayan membuat saya tenang juga. Lalu, akhirnya, naik angkotlah saya sambil berpikir-pikir, ah, harusnya tadi sekalian bawa motor aja ya, sambil berangkat kerja. Duh, kenapa nggak sekalian aja tadi biar nggak bolak-balik. Itulah hal yang saya pikirkan selama perjalanan di angkot itu, yang hanya sekitar lima-sepuluh menit.

Saya mendaftar di ruang informasi, sebagai pasien baru. Katanya, saya pasien urutan kedua, baru dapat giliran pukul setengah sebelas—setengah jam lagi. Tidak apa-apalah, pikir saya, mau nimbang berat badan dulu (kadang-kadang, saya niat sekali nimbang berat badang di RS ini, sambil ngambil uang di ATM yang ada di dekat lobi :p ). Tapi, ternyata, tak lama, setelah saya memberikan data pasien kepada perawat, saya langsung dipanggil.

Saya langsung masuk, tapi bingung nggak ada dokternya. “Di sebelah, Mbak,” kata si Perawat. Di sebelah tirai warna hijau, Pak Dokter itu sudah menunggu. Seorang pria paruh baya berkacamata. Cukup meyakinkan sebagai dokter. Untunglah. Setelah mempersilakan saya duduk, dia ngomong sesuatu seperti bergumam. Sependengaran saya, sih, dia nanya kabar yang saya jawab, “Baik,” dengan suara seperti bergumam juga. Entahlah, seperti biasa, kalau ke dokter, saya sering kagok dan lupa. Sampai rumah, barulah ingat. Ah, tadi kenapa nggak nanya ini ya, kenapa nggak nanya itu ya. Dan, akhirnya mengambinghitamkan si dokter yang terkadang pasif terhadap pasien. Hehe.

Setelah saya bilang mau nambal gigi, si dokter langsung menyuruh saya duduk di kursi pasien yang berwarna hijau, senada dengan warna ruangan. Saya langsung duduk dengan kagok di bangku mendatar itu. Cermin bulat yang bisa digerakkan itu berada di hadapan saya, lebih tinggi dari kepala saya (eh, apa itu lampu penerang ya?). Sebelah kiri saya, tempat kumur dan gelas plastik terletak di bawah keran otomatis itu—dulu, saya pikir, itu keran otomatis yang langsung mengisi gelas kalau airnya kosong. Ternyata, ada alat yang ditekan gitu toh. Soalnya, saya mesti ngomong dulu ke dokternya buat nambah air kumur. ;p

Dan, mulailah penjajahan itu. Si dokter gigi sudah mengenakan sarung tangan, memegang cermin kecil yang bisa dimasukkan ke mulut dan alat buat mengorek-ngorek gigi. Setelah dokter itu menilik-nilik gigi saya, saya bertanya apakah di atas ada yang bolong juga, soalnya makanan sering nyangkut di sana. Ternyata, Pak dokter itu bilang gigi saya banyak karangnya dan kadang itu bikin makanan tersangkut—oh…. Ah, saya malu kenapa tidak rajin sikat gigi sejak kecil dulu.

Lalu, pemeriksaan yang lebih serius dimulai. Dan, terdengarlah bunyi bor itu. “Ziiiiiiiiiiiinggggg!” Saya pikir, suaranya tidak semenyeramkan itu—karena sudah lama nggak dengar suara itu. Dan, ternyata, si dokter mengecek bagian gigi atas yang saya tanyakan apakah bolong atau tidak itu. Dan, saya nggak tau apa yang dia lakukan karena saat saya membuka mulut lebar-lebar dan bor masuk ke dalam mulut saya, saya memilih untuk memejamkan mata. Dan, ternyata terasa sangat sangat ngilu.

Karena takut lidah saya kena bor, saya cuma bisa mengeluarkan suara kecil yang tak mudah-mudahan bisa dimengerti oleh si dokter. “Ngilu, ya,” kata si dokter. “Ditahan sedikit ya…” Saya tidak bisa merespons apa-apa. Cuma tangan saya yang saya katupkan lebih kuat dan jari-jari kaki yang menekan satu sama lain. Dan, untunglah ada seorang perawat yang dengan sigap memasukkan alat yang terasa dingin itu ke mulut saya. Sepertinya, alat itu berfungsi buat mengeringkan cairan di mulut. Saat itu, saya sempat berpikir betapa berbahayanya bor itu buat anak kecil. Saya saja sampai berusaha menahan-nahan diri untuk tidak menggerakkan lidah dan mengatupkan mulut. Kalau itu sampai terjadi, saya sudah membayangkan hal-hal yang horor terjadi dalam mulut saya. Bor itu berkuasa dalam mulut saya cukup lama. Menyisakan rasa ngilu sampai ke gusi. Setelah selesai, saya langsung disuruh berkumur. Dan, uh, ternyata gigi saya berdarah. T_T

Setelah mengeringkan mulut dengan tisu, saya tiduran lagi. Si dokter sudah mendekatkan cermin ke muka saya dan dia sudah siap dengan bor dan pencukil di tangannya—sebenarnya, saya nggak tahu dengan pasti apa yang ada di tangannya. Dan, langsung saja saya kembali memejamkan mata.

Lalu, sampailah pada gigi yang saya bilang berlubang itu. Si dokter mengoreknya, dan bilang, “Bolongnya kecil, tapi dalam,” kata dia. Saya mengiyakan dalam hati.

Dengan mulut menganga lebar dan menjauhkan lidah dari bor, saya semakin memejamkan mata saya bunyi “Ziiiiiiing” itu terdengar. Arrrgggg… air dingin yang keluar dari alat itu mengenai gusi saya dan terasa sangat-sangat ngilu. Dan, sakitnya terasa ke ujung-ujung jari… Bunyi bor itu tak berhenti, si dokter memperbesar lubang itu sebelum menambalnya. “Lebih lebar lagi buka mulutnya,” kata si dokter ketika refleks mulut saya mengatup sendiri karena sakit dan juga capek menganga terus dan saya harus berjuang melawannya. Saat itu, saya sempat berpikir, gimana ya tampang saya saat lagi kayak gitu. Lucu juga kalau ada dokumenter ekspresi orang-orang saat nambal gigi.

“Ziiiiingggggg!” Suara bor membuyarkan pikiran saya. Suaranya semakin menambah rasa sakit di gusis saya. Lidah saya bergerak-gerak sendiri, dan untungnya ditahan dengan alat oleh si perawat. Dan, alat yang mengeluarkan udara dingin maju mundur di lubang gigi saya itu. Dan, saat mendekat dan dinginnya sampai ke gusi, sakitnya tak tertahankan.

Dan, tiba-tiba, saya ingat dengan buku Hipnoterapi karya Pak Andri Hakim yang belum lama ini saya edit (dan akan segera terbit). Di dalam buku itu, ada bagian hipnoterapi untuk menghilangkan rasa sakit. Lalu, (haha, padahal saya orang yang awalnya kurang suka dan kurang percaya dengan hal-hal semacam itu), kali ini, dengan berbekal mengedit buku itu dan buku-buku semacam itu, saya menerapkannya. Mencoba menyugesti pikiran bawah sadar saya untuk mengontrol rasa sakit. Bahwa rasa sakit itu untuk kebaikan saya. Sayangnya saya lupa apa yang harus diucapkan—seharusnya, kita mengingat hal-hal yang menyenangkan dan membuat nyaman dan bahwa tubuh saya bisa mengatasi rasa sakit itu.





Tapi, dalam keadaan mendesak itu, yang pasti saya mencoba menyugesti diri saya bahwa rasa sakit itu untuk kebaikan diri saya, supaya makan jadi nyaman, supaya tidak perlu tusuk gigi lagi, supaya tidak sakit gigi lagi, dan hal itu tidaklah sakit. Saya berusaha menafikan bunyi bor dan bau khas tambalan itu, yang mengingatkan saya pada bau belerang di lereng sebuah gunung.

Dan, aha, ternyata hipnoterapi (ala kadarnya) saya itu cukup membantu. :)

Saat saya sibuk menyugesti diri, si dokter dan si perawat malah ngobrol, bukannya ikut menenangkan saya yang mungkin sudah pucat pasi :(. Dan, sialnya, saya juga menyimak obrolan mereka. Si dokter bilang ke si perawat untuk mengirim SMS ke dokter entah siapa gitu, bilang suruh kirim foto buat web. Lalu, obrolan tentang foto buat web itu berlangsung cukup lama. Kata si perawat, ada dokter yang bilang suruh sediain waktu kapan bisa foto bareng. “Suruh kirim foto yang ada ajalah. Nggak punya waktu buat yang kayak gituan,” kata si dokter yang mengoprek-oprek geraham saya, sementara saya sedang sibuk membuat alam bawah sadar saya untuk relaks dan jangan memikirkan rasa sakit. Padahal, saya ingin dia ikut menyugesti saya agar tidak memikirkan suara bor dan rasa ngilu gusi yang terasa sampai ke jari-jari itu.

Dan, setelah satu jam proses tambal-menambal itu, saya keluar dari ruangan dokter gigi itu—dan, kayaknya, ruangan dokter gigi itu perlu dibikin lebih santai, jangan dibuat terlalu formal biar tidak menciptakan suasana—dalam istilah hipnosisnya, jangkar emosi atau anchor—mencekam dan menakutkan.

Dan, saat bayar di kasir, saya lebih menyesali lagi kenapa saya tidak rajin sikat gigi sejak kecil dan kenapa tidak cukup perhatian pada gigi yang merupakan aset penting dalam hidup. Hiks, mahal banget sih nambal bolongan kecil gitu doang ….

Oh, ya, kata sebuah artikel, the healthier your teeth are, the happier you look—saya setuju deh. Soalnya kalau udah sakit gigi, uh, joke-joke-an paling lucu sedunia juga nggak ngurangin rasa sakitnya. Hehe. :)

So, buat para calon orangtua, jangan lupa biasakan anak menyikat gigi dan merawat gigi sejak dini. Jadi inget Willy Wonka yang punya gigi bagus banget. Pantasan si bapak Willy Wonka, yang dokter gigi itu, sampai mengerangkeng gigi si Willy.




[repost dari notes Facebook, 22 Juli 2010]

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin