Penjual Kenangan

Friday, February 23, 2007

sore

seperti berjalan
kita tak sempat lagi menghitung langkah
seperti jatuh cinta
kita tak sempat lagi menentukan arah

Virus

Dan virus itu menyerang komputer gw dengan dahsyatnya. Nyebelin. Padahal, Wira dah bela-belain ke warnet buat download-in Antivir [makasih ya, Wir. Kapan kita ngobrol lagi di perpustakaan? Ha-ha]. Setelah di-scan, virusnya malah melakukan kudeta. Sampe gak bisa login. Tapi, untungnya udah beres. Makasih buat Nopa yang udah meluangkan detak-detak waktunya buat mengembalikan file-file itu. Tengkyu ya, Nop ^_^

Huh, virus, jangan dekati aku lagi, dunk!

Peri

seperti hujan, tahun-tahun berjatuhan
usia semakin jauh

masih aku juga yang ditemani
selalu memintamu menjadi peri, maaf

Sunday, February 18, 2007

Minggu yang Hujan

Kemarin, seharusnya, langkah saya berbelok ke rental untuk menghilangkan virus di flash disk--hadiah ulang tahun dari seorang sahabat, setahun lalu--saya. Namun, karena kios kecil itu tampak sangat ramai dan tentu saja sesak, saya mengurungkan niat dan berjalan ke warnet.

Saya menyimpan beberapa data dalam flash disk itu. Setelah di-scan, antivirus di warnet itu tidak bilang apa-apa. Malah, dia bilang tak ada virus yang ketemu. Jadinya, saya percaya saja. Saya pikir, antivirus di warnet pastilah yang terbaru--mereka toh terhubung ke jaringan internet. Tak terlalu susah kan untuk meng-update-nya?

Cukup lama saya di warnet. Hujan begitu ganas akhir-akhir ini. Juga hari itu. Saya tidak berani pulang ke kosan--yang hanya berjarak sejauh langkah yang dapat dihitung. Jadilah saya terjebak di warnet itu. Hujan reda juga. Saya melangkah pulang.

Sampai di kosan, saya langsung memasukkan data yang saya simpan ke komputer saya. Tanpa pikir panjang. Dan, tiba-tiba saja, terjadi hal yang paling tidak saya suka itu. Salah satu hal yang saya takuti, mungkin. Ada virus di komputer saya. Ternyata, antivirus saya tidak bisa ngapa-ngapain. Sial!

Padahal, ada pekerjaan yang menunggu di dalam komputer itu. Saya nekat mengerjakannya. Namun, ternyata sedikit fatal. Setelah disimpan, file itu tidak bisa dibuka. T_T

"Wied, kalo bisa, jangan buka apa-apa dulu. Cari antivirusnya dulu," saran seorang teman.

Yah, jadinya, saya tidak bisa mengerjakan editan yang harus diserahkan hari Senin--mengejar tanggal yang akhir-akhir ini begitu cepat melangkah.

Duh, kenapa sih orang bikin virus?

Dan, sekarang, saya masih di warnet. Mencari antivirus yang bisa menolong saya. Semoga kita bertemu.

** Seharusnya, kemarin itu, langkah saya berbelok, ya. Sayangnya, takdir tak bilang begitu.


Thursday, February 15, 2007

Februari Lagi

Tuhan,
sedang apa dia di Sana?
jika ada butiran jatuh dari matanya,
tolong sekakan dan sampaikan padanya, "senyumnyalah yang dulu menghapus jejak kesedihan pada hati kami".

Tuhan, sampaikan padanya, "selamat hari lahir!"
tak pernah dirayakan memang.
tapi, di dinding kamar ibu masih ada sisa-sisa kapur tulis, yang mengeja nama dan waktu kelahirannya.
masih tertera di sana: harinya esok, bulan ini. (dan pada saat yang sama, telah Kau tetapkan pula bahwa 19 tahun nantinya, hari yang sama, ia dan Kau akan berjalan bersama. pulang).

"bulan lahir kita sama," katanya. ia selalu bilang, setiap tahunnya. dan selalu dengan tawa. ya, kita memang diciptakan pada musim yang sama nyamannya. musim cinta, kata mereka-mereka.

Tuhan,
esok, usia akan semakin jauh meninggalkannya. akan semakin jauh.
ah, tapi, tak lagi. usia tak lagi mampu meninggalkannya ataupun mengejarnya.

"selamat hari lahir"--memang yang tak akan pernah bisa kita rayakan lagi.
tapi, akan kukirimkan bingkisan doa.
selalu.
tenanglah bersama-Nya di Sana ...


--dua tahun sudah, Dik. kau akan selalu ada, dalam setiap doa--

pencatatdetaklangkah






Tell me your tale
Was your journey far too long

--Norah Jones, "Nightingale"--

Tuesday, February 13, 2007

Cerita dari Wira

Beberapa malam lalu, seorang teman, sebut saja namanya Wira, bercerita. Katanya, belum lama ini, tetangganya mengadakan selamatan. Besar-besaran, sampai-sampai ada acara “motong kambing”.

Selamatan itu untuk merayakan nasib mujur sang tetangga. Laki-laki lulusan SMA itu bekerja di kantor kelurahan, sebagai tenaga honorer. Masa kerjanya terhitung belum lama, baru satu setengah tahun. Pada hari yang cerah, laki-laki itu mendapat kabar, ia diangkat menjadi PNS—status yang dikejar-kejar banyak orang untuk menyandarkan hari tua mereka. Wajar saja si tetangga begitu bahagia. Ia—yang baru bekerja seumur jagung (untuk ukuran waktu bagian pegawai honorer)—diangkat menjadi pegawai.

Ah, mujur benar ia jika dibandingkan dengan pegawai-pegawai honorer yang sudah bekerja puluhan tahun, bahkan ada yang tetap berstatus sama. Mereka terkatung-katung. Entah faktor apa yang dijadikan pertimbangan pengangkatan sang tetangga—Wira tidak tahu juga, “Mungkin karena dia rajin atau apalah,” kata Wira.

Alhasil, sang tetangga merasa kebahagiaan itu perlu dirayakan. Jadilah acara “motong kambing” dan acara undang-undang tetangga untuk makan bersama. Hari tua sang tetangga akan terjamin. Begitu pula anak dan istrinya (jika ia menikah dan punya anak kelak). Tak terbayang sumringah wajah sang tetangga dan keluarganya itu. Seperti mendapat durian runtuh. Tak apalah habis-habisan untuk selamatan, toh mereka sudah ketemu pohon durian itu, pikir mereka (barangkali).

Saya dan teman-teman yang mendengar setuju juga jika si tetangga dimasukkan pada kategori orang yang beruntung (ya, kita bandingkan saja dengan peserta CPNS dan juga pegawai honorer, terutama guru, yang terus berharap tiap tahun. Tapi, tak kunjung jua diperhatikan). Yah, nasib orang siapa yang tahu.

“Ya, pastilah dia dan keluarganya senang banget,” kata Wira. Ya, saya bisa membayangkannya. Namun, saya sempat merasa wow! Sampai motong kambing? Yah, bolehlah, toh mereka yang punya acara.

(Menurut tuturan Wira, si tetangga cukup banyak mengundang orang. Semua tetangga diundang. Dan semua orang itu tahu bahwa ia diangkat menjadi PNS).

“Nah, setelah itu ...,” lanjut Wira.

Oh, cerita belum selesai ternyata.

Selang beberapa lama setelah acara selamatan, Pak Lurah dan bedinde-bedinde-nya datang ke rumah si tetangganya Wira. Membawa banyak sekali makanan dan juga buah-buahan. Bukan datang ke acara selamatan.


Masih menurut Wira, Pak Lurah dan rekan-rekan sudah sempat juga mencicipi gule kambing selamatan. Wong, itu keluarga seneng banget. Pastilah orang kantor juga kebagian rantangan.

Jadi, jelas mereka bukan datang ke acara selamatan. Acara selamatannya sudah lewat beberapa waktu lalu.


Kali itu, mereka datang untuk memberi kabar. Mereka juga membawa cukup banyak sesuguhan buat si tetangga.

“Jangan bilang, ya, Wir,” kata saya. Ada pikiran buruk di benak saya. Dan saya ingin cerita tidak dilanjutkan. Cukup sampai di situ.

Namun, Wira masih melanjutkan ceritanya, “Iya, jadi, Pak Lurah tuh dateng buat ngasih kabar ....”

Pak Lurah dan para bedinde datang (lengkap dengan sesuguhan). Minta maaf.

Katanya, ada kesalahan. Pengangkatan status PNS sang tetangga dibatalkan. Pak Lurah bilang, tahun ini, pengangkatan difokuskan pada yang sudah tua-tua dulu. Yang sudah bertahun-tahun berstatus honorer. Jadi, ya, si tetangga tidak jadi jadi PNS. Tetap jadi honorer.

Lha, semua orang juga sudah tahu bukan kalau banyak tenaga honorer yang terkatung-katung selama bertahun-tahun cahaya? Lalu, kenapa Pak Lurah itu ujug-ujug bilang kalau si tetangga diangkat jadi PNS?

“Ada kesalahan,” kata Pak Lurah. Mudah sekali.

Saya tidak dapat membayangkan wajah si tetangga dan keluarganya. Terbayang juga wajah kambing yang sudah dipotong. Wajah tetangga yang telah diundang.

Durian runtuh terlalu cepat. Jadilah mereka ketiban durian.

“Untungnya, mereka orang baik,” kata Wira. “Jadi, tetangga-tetangga tidak mencela. Malah ikut simpati.”

Ya, saya juga ikut bersimpati buat sang tetangga dan keluarganya. Pasti ada rencana yang lebih baik buat mereka.

Friday, February 09, 2007

saat hujan jatuh terlalu pagi

semoga kali ini bukan cinta,

benarkah hatinya yang berdoa?

AMBUN SURI

Aku takut ia mengenalmu. Aku takut darahmu yang mengalir dalam tubuhnya mewarisi apa yang ada padamu. Aku takut. Namun, ia selalu bertanya tentangmu. Abak mana, Mak? Abak mana? Tak mampu kusampaikan padanya. Ia semakin besar sekarang. Dan, aku, aku semakin tua.

Ingin kukatakan kau berada di tempat yang jauh, tapi jiko ado, baa kaba baritonyo? Ingin kukatakan kau telah tiada, tapi jiko mati, di ma pusaronyo? Aku tak akan pernah bisa menjawabnya.

Haruskah aku menceritakan kisah itu pada anak kita? Telah bertahun-tahun setelah hari itu. Namun, semua masih begitu jelas bagiku.

Akhirnya, hari ini, kuberanikan mengajaknya ke tepi pantai ini. Aku pun memberanikan diri lagi mengenal laut. Biarlah ia tahu dari mana ia berasal. Ah, kau lihat betapa riangnya ia berlari-lari di pantai ini. Aku turut bahagia dengannya. Tersunggingkah senyumku? Entah. Di dalam, hati ini begitu takut. Takut ia mewarisi segala yang ada padamu. Karena itulah, aku takut mengenalkannya padamu.

Mak, besar sekali kapal laut itu. Kenapa tidak tenggelam, Mak?” Bocah itu terkagum-kagum melihat kapal yang baru saja berlabuh, membawa barang-barang dagang--juga membawa masa lalu.

Mak, banyak sekali orang di atas kapal itu, Mak? Dari mana mereka, Mak? Bisa kita ikut naik, Mak?”

Aku hanya diam. Itu jugakah yang kau katakan pada ibumu saat kau ingin berlayar, merantau ke negeri seberang?

Mak, Mak, lihatlah kemari!” terdengar lantang suara bocah kita.

Anak itu, dia telah menyambung nyawaku. Aku telah lama menyadari bukan aku yang ingin diselamatkan dari laut. Harusnya, aku pun ikut bersamamu. Menemanimu di sana.

Cepatlah, Mak. Kemarilah!” Ia menjadi tak begitu sabar.

Aku berjalan menyeret kakiku. Sepanjang jejakku, yang ada hanyalah ketakutan. Namun, tak ada penyesalan. Aku tak pernah menyesal bersamamu. Entah kenapa. Bahkan, setelah hari itu, aku berusaha mati-matian untuk membencimu. Membenci segala yang ada padamu. Tak jua berwujud. Saat itu, aku begitu takut telah kehilanganmu. Nyatanya, ketakutan itu semakin besar saat bocah—yang saat ini tak sabar menungguku sampai ke sisinya—itu ada.

Aku takut ia mengenalmu. Aku takut ia mewarisi apa yang ada di dirimu. Dulu, saat ayah meminta mamak-ku untuk menerimamu, aku begitu bahagia. Aku selalu ingin orang mendendangkan, “Sasuai bana jo si Ambun. Ambun Suri, bini yang talah disuntiangnyo ....” Kata mereka, kau sesuai sekali denganku. Aku, istri yang telah kau sunting. Aku bahagia.

Tetapi, semua itu telah berubah rasa. Bersama malam-malam yang begitu panjang. Bersama tahun-tahun yang menganak-pinakkan ketakutan. Rasa inikah yang dirasakan perempuan tua itu. Beginikah rasanya hingga ia menjadi begitu terluka? Hingga air matanya kering?

Mak, cepatlah, Mak. Antarkan aku ke balik karang itu, Mak. Aku lihat ada batu serupa orang di sebaliknya. Aku hendak lihat dari dekat, Mak.”

Itu yang dikatakan buah hati kita. Apakah kau mendengarnya? Ah, aku semakin takut. Bahkan, melihat binar mata anak kita, ketakutan semakin menjeratku. Aku tak ingin ia mewarisi apa yang ada di dirimu—yang (awalnya) hanya ada di dalam hatimu.

Aku takut. Aku memang mencintaimu. Namun, anak kita semakin besar. Aku semakin tua.

Di pantai itu, hari semakin kelam, angin semakin dingin. Hati semakin beku.

Dan, Malin Kundang telah lama menjadi batu.

Pagi-pagi, Malin-lah bangun. Sasuai bana jo si Ambun. Ambun Suri, bini yang talah disuntiangnyo ....


Depok, 20 Maret 2006, 04.27 wib

tes

?

Sunday, February 04, 2007

4/2

Ia teringat laki-laki itu. Seorang petualang yang tak pernah lama menjejakkan kakinya di hangatnya rumah. Yang tak pernah menitipkan hatinya di mana pun. Atau pernah? Ya, laki-laki itu pernah. Namun, ia tak pernah menceritakan kisahnya itu. Perempuan itu hanya mendengarnya dari kata orang. Suatu hari, jika laki-laki itu berkenan, perempuan itu mau mendengar kisah laki-laki itu. Jikapun itu kisah sedih.

Laki-laki begitu banyak menyimpan cerita--tentang perjalanan yang telah dan akan dilaluinya--di matanya. Hanya di matanya. Jika tak berlebihan, laki-laki itu pasti akan berkata bahwa ia mampu menaklukkan dunia. Ia terlalu sederhana. Kadang ia memilih diam dan hanya mendengarkan.

Ia teringat laki-laki itu. Seorang petualang. Dan sampai hari ini, belum temukan juga arah kembali.

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin