Saya kali pertama
jatuh cinta dengan tulisan Bernard Batubara a.k.a @benzbara_ saat blogwalking ke bisikanbusuk.blogspot.com.
Mungkin karena saya juga pencinta cerpen, ada sebuah “tring!” di benak saya ketika menelusuri beberapa tulisan di blog Bara tersebut. Oleh karena itulah,
saya berpikir bahwa Bara harus menulis novel. (Oh ya, kali pertama berkenalan
dengan Bara, kami berkomunikasi lewat e-mail
Bara dengan format display name-nya
masih, hmm, sedikit toGGLE caSE :p --> beRnaRd batubaRa).
Setelah perkenalan
itu, lahirlah Kata Hati: Sebutlah Itu Cinta.
Lewat buku pertama Bara itu, saya mulai memahami gaya penulisan Bara. Sebagai
orang yang terbiasa menulis cerpen yang hanya perlu napas pendek untuk
menyelesaikan “sebuah kisah” , saya sedikit paham kendala-kendala dalam menuliskan
novel yang perlu napas panjang. Namun, kelebihan seorang penulis cerpen bisa jadi adalah mampu menulis dengan cepat karena biasanya ide satu “kisah
utuh” sudah ada di benak mereka dan terkadang bisa menuliskannya dalam satu
malam sampai “selesai”.
Nah, kemampuan
menulis cepat itulah yang dimiliki Bara yang terkadang jauh beberapa langkah di
depan jadwal deadline saya. Dalam menulis
novel, ia seakan menjelma Bandung Bondowoso yang mampu menyelesaikan seribu candi
untuk Roro Jonggrang. Diam-diam, saya berpikir bahwa dalam kehidupan
sebelumnya, Bara adalah Bandung Bondowoso yang bisa menyewa jin untuk
menyelesaikan naskah novel secepatnya.
Suatu hari yang ceria
pada September, Bara mengirimkan sinopsis dengan outline lengkap untuk judul “Love is Right”. Bara sudah sedikit
bercerita tentang tema yang akan dia angkat dalam novel terbaru ini, yaitu
perselingkuhan. Menjadi orang ketiga dengan tokoh utama seorang perempuan.
Menuliskan tokoh
dengan sudut pandang yang berkebalikan dengan gender kita pasti memiliki
kendala tersendiri, misalnya perempuan menulis tokoh laki-laki dan sebaliknya.
Jika tidak hati-hati, sering kali, “suara” tokoh laki-laki itu akan terasa terlalu
perempuan. Begitu juga sebaliknya, seorang laki-laki terkadang akan menemukan kesulitan
untuk memasukkan “suara” perempuan ke diri tokohnya. Ketika Bara menyodorkan
Nessa sebagai tokoh utama dalam draf “Love is Right” ini, saya tidak terlalu
mempermasalahkannya. Gaya bahasa dan gaya penceritaan Bara yang bisa dibilang sendu
dan penuh perasaan tentu tidak terlalu sulit untuk masuk ke dalam “suara”
perempuan.
Setelah membaca sinopsis
dan outline tersebut, saya
mengajukannya ke rapat redaksi untuk penentuan status terbit. Selang beberapa
waktu dari pengiriman outline
tersebut, pada sebuah hari pada Desember 2012, dengan kemampuan menulis
cepatnya, Bara sudah mengirimkan naskah yang sudah selesai ditulis. Hadirlah
kisah cinta Nessa yang berada pada posisi orang ketiga dalam kisah yang masih
bertajuk “Love is Right” ini. Ada Demas yang membuat Nessa jatuh cinta, dan ada
Endru yang dihadirkan oleh ayah Nessa agar putrinya tak lagi sepi.
Dalam naskah
tersebut, ada hal-hal mendasar yang perlu direvisi. Pada akhir Desember itu, saya
pun mengirimkan sekitar 15 catatan besar untuk hal-hal mendasar tersebut agar
naskah lebih utuh. Lalu, hanya dalam
hitungan hari, pada Januari 2013, Bara sudah mengirimkan kembali hasil revisi naskah
yang ia tulis. Tentu saja saya gundah gulana; senang, takjub, bingung, iri,
semua bercampur aduk. Dalam hati, saya tak lagi meragukan bahwa Bara memang
Bandung Bondowoso yang menyewa jin dan berpikir mungkin saya juga perlu menyewa
jin untuk menyelesaikan semua editan secepatnya. :p
Naskah yang sudah
saya terima itu telah menghadirkan Nessa sebagai seorang perempuan penyuka
puisi, yang kehilangan cinta dan merasakan gurat luka yang dalam di hati karena
ditinggalkan sang Ibu yang memilih cinta-yang-lain. Ia membenci “cinta-yang-lain” itu karena gores kesedihan masih jelas di gurat wajah sang Ayah, dan
seakan masih menggores di dinding-dinding rumah mereka. Namun, bagaimana jika
tanpa ia minta dan ia sadari dirinya malah menjelma cinta yang lain itu, dan
tentu saja akan mengguratkan luka di hati seseorang yang lain. Nessa dilema,
apakah harus memilih cinta ataukah mematahkan hatinya sendiri. Demikianlah
kisah yang dituturkan Bara.
Namun, sebelum lebih lanjut hanyut dalam kisah
Nessa, saya tentu harus mengecek hal-hal yang perlu diedit dan direvisi dalam
naskah tersebut. Dengan berat hati karena jumlahnya memang “sedikit” banyak,
pada April 2013, saya mengirimkan catatan untuk cinta Nessa kepada Bara. Memang
ada sekitar 200-an catatan agar kisah Nessa-Demas-Ivon-Endru itu lebih maksimal
lagi. Dan, karena saya sudah yakin Bara adalah Bandung Bondowoso, saya tidak
terlalu khawatir. Jin yang Bara sewa pasti bisa menyelesaikannya! Hehe.
Lalu, setelah revisi,
proses editing berlanjut, kemudian naskah masuk setting. Agar tempat-tempat yang diceritakan lebih terasa, saya
juga mencari beberapa referensi gambar untuk ilustrasi dan meminta bantuan
Gita—desainer Bukune—untuk memesankannya kepada ilustrator. Saat proses proofreading atau koreksi, setelah dicek
oleh proofreader—Elly, editor Bukune
juga—saya mengecek kembali naskah ini. Saya tipe orang yang merasa bahwa membaca naskah di layar komputer
dan di kertas itu punya sesuatu yang berbeda. Ketika membaca di kertas, saya
akan menemukan kembali hal-hal yang mungkin terlewat saat membacanya di layar komputer.
Saya merasa lebih maksimal membaca naskah di kertas, seperti membaca buku. Mata
jadi lebih awas. Oleh karena itu, saya kerap membaca kembali editan yang telah
di-setting dan dikoreksi tersebut dan
menemukan hal-hal yang masih terasa janggal. Saya pun mengirimkan catatan ke
Bara. Saya yakin Bara masih mampu menyewa jin untuk menyelesaikan beberapa
catatan itu agar hal yang masih terasa “bolong” bisa ditutupi.
Oh ya, selama proses
naskah ini, saat ada acara di Yogyakarta, saya sempat bertemu Bara di kedai
donat yang sepertinya jadi tempat favorit Bara menulis. Di sana, kami membahas
beberapa hal yang masih janggal. Saat itu, Bara langsung merevisi hal
tersebut-saya cek-Bara koreksi lagi-saya cek lagi sampai yakin itu sudah oke.
Saat itu, saya melihat Bara mengerjakannya sendiri, tanpa ada jin di sana. Saya
sempat merasa ragu kala itu apakah Bara adalah Bandung Bondowoso atau bukan.
Tapi, kemudian berpikir, bisa saja, saat itu, jinnya lagi libur kali ya atau
tidak suka donat.
Setelah naskah
selesai dikoreksi, revisi minor, memasukkan koreksian lagi ke naskah yang
telah di-setting, memasukkan
ilustrasi di tempat yang pas, akhirnya saya mengirimkan naskah yang sudah fix kepada Bara. Untuk setiap buku yang
akan terbit, tentu saja selalu ada usaha maksimal yang dilakukan agar pembaca
merasa puas dengan buku yang mereka beli. Segala usaha revisi dan sebagainya
itu merupakan sebuah langkah menuju hal itu. Berpikir bahwa penulismu adalah
jelmaan Bandung Bondowoso dan punya jin juga semacam penyemangat untuk
mengirimkan “banyak” catatan revisi- tanpa-merasa-bersalah. :D
Sementara proses
naskah dan settingan berlangsung, proses pembuatan cover juga sudah berlangsung. Kami—saya, Gita, dan Bara—sempat
berdiskusi sebelum disebar ke pooling
redaksi untuk cover yang sudah dibuat
beberapa alternatifnya oleh Gita. Dengan beberapa alternatif baru dan beberapa
yang alternatif lama, ternyata yang terpilih adalah cover yang sudah masuk alternatif sebelumnya, dengan beberapa
catatan.
Sementara itu juga, blurb, judul, dan tagline juga sedang digodok. Saya sempat meminta Bara untuk mengirimkan alternatif blurb agar dapat gambaran novel ini dari sudut pandang Bara. Saya memodifikasi beberapa blurb yang telah saya buat dengan memasukkan beberapa unsur usulan Bara. Lalu, terpilihlah judul Cinta. (yang diusulkan Mbak Windy Ariestanty, koordinator Bukune) dari beberapa usulan. Nah, saya modifikasilah blurb yang sudah ada agar “masuk” ke judul ini dan mampu merangkum isi buku.
Pemilihan tagline juga cukup alot karena perlu ada sesuatu penghubung antara judul dan isi. Tagline sekarang ini, yaitu (baca: cinta dengan titik) merupakan sebuah cara sederhana menerjemahkan judul buku ini. Tercetuskan oleh Mbak Windy ketika kami rapat bersama di sebuah kedai kopi, sebuah penerjemahan dari judul yang ia usulkan. Dengan judul dan tagline tersebut, pembaca diharapkan mendapatkan mampu memberi kesan atau tafsiran terhadap buku ini dengan pandangan #cintadengantitik yang mereka bayangkan.
Setelah judul, tagline, dan blurb fix, finishing cover pun dapat dilakukan. Bara pun
sudah oke dengan segala hal menyangkut buku ini. Materi pun masuk percetakan. Penghitungan
harga dilakukan, lalu jadwal masuk gudang pun dilakukan. Preorder dan sebagainya pun segera dikoordinasikan dengan
pihak-pihak terkait.
Sebagai editor, hal paling
menyenangkan dari sebuah buku terbit adalah ketika bukti terbitnya sudah sampai
di redaksi. “Eh, udah jadi, ya?” Itu pertanyaan retoris yang kerap terucap,
dengan hati riang. Bau buku baru akan menggiringmu untuk merecoki pekerjaan
bagian sekretaris redaksi yang sedang membuka kertas cokelat pembungkus bukti
terbit buku itu. Tanganmu akan menelurusi sampulnya, memastikan finishing cover-nya sesuai, membaca kembali judul, tagline, blurb yang
diperdebatkan cukup panjang ada di sana. Juga membolak-balik isinya dan
menghirup bau kertas yang khas.
Dan, hal paling menyenangkan lagi dalam melihat buku baru adalah ketika membayangkan penulis sumringah melihat hasil karyanya itu. Juga tentu saja, seorang editor akan ikut berdebar membayangkan respons pembaca terhadap buku itu. Kritik dan saran pembaca tentu saja akan menjadi catatan tidak hanya bagi penulis, tetapi juga bagi editor. Respons apa pun, semua itu sangat berarti, apalagi ketika mendengar pembaca berharap menunggu buku selanjutnya dari penulis yang bukunya kau edit. Itu akan semakin membuatmu bersemangat mengedit dan mengusahakan yang lebih baik lagi.
Selamat atas
terbitnya novel Cinta., Bara. Semoga
semakin berkarya dan menginspirasi dalam cinta (#eh). Untuk kamu, para pembaca,
selamat menikmati Cinta. dan semoga menemukan titik dalam perjalanan cinta.
P.S.
Saya sudah tidak
bertanya-tanya lagi apakah Bara itu Bandung Bondowoso atau bukan. Tapi,
sekarang, saya malah jadi bertanya-tanya, siapa Roro Jonggrang yang akan Bara buatkan seribu novel? ;)
With
love,
Widyawati Oktavia
______________
#VirtualBookTour
3 comments:
waa, mau dunk proses novel sy diceritain juga, qiqiqi....btw, belum pernah baca tulisan Bara, kemarin pesen Milana eeh lagi kosong, semoga ntar jodoh ama 'Cinta' :)
@mbak riawani elyta: hehe, siap, mbak. jika "tugas kenegaraan" dititahkan kembali, pasti akan dituliskan. :))
Sebuah kisah cinta dari balik kubikel memiliki cerita yang bagus dan menarik. Pembahasan mengenai proses novelnya juga dapat lebih memahami kepada para pembaca.
Post a Comment