Sabtu, 1 Oktober 2005, hari itu, saya menerima SMS. Sedikit GR karena HP yang sudah lama tidak ada pulsanya itu—akhirnya—menerima SMS. Begini isi SMS itu:
Seperti yang tertera di akhir SMS itu, pengirimnya adalah DEPKOMINFO.
Kening saya berkerut. Apa iya? Kalau benar, kenapa kasak-kusuk mahasiswa di Kopma FIB UI begitu khusyuk, “Gila! Sehari, ongkos gue bolak-balik 24 ribu”. Ah, angka yang besar sekali untuk ongkos sehari untuk pergi kuliah.
Lain lagi dengan ujaran Mas Yo, pegawai Kopma yang sehari-hari menyajikan makanan kesukaan mahasiswa FIB UI, gorengan kopma yang harganya 600 rupiah—sebelumnya, sebelum zaman Megawati (juga) menaikkan BBM, harganya 500 rupiah—untuk semua jenis.
“Saya nggak bisa beli gorengan hari ini. Harganya naik. Takut anak-anak pada protes. Ongkos belinya juga mahal banget.”
Dan, walhasil, di Kopma, sampai hari ini, tidak ada lagi gorengan “pengganjal perut” yang sangat digandrungi mahasiswa.
Lalu, saya jadi ingat pedagang nasi goreng yang setiap malam mangkal di pojokan dekat kosan saya. Sudah beberapa minggu ini, setelah BBM naik, bapak yang sangat bersemangat itu tidak ada. Padahal, saya sering berharap-harap melihat gerobaknya di pojokan itu. Berharap bisa makan nasi goreng segar dengan porsi kenyang. Dan, murah pula, 3500 rupiah. Padahal, harga di luar gang sana untuk sepiring nasi goreng biasa sudah mencapai 8—10 ribu rupiah.
Dari obrolan dengan bapak dua anak (usia SMP dan SMA) itu, sambil menunggu bungkusan nasi goreng saya siap, saya tahu bahwa bapak itu sebenarnya menyadari bahwa 3500 rupiah itu tidak sampai ke mana-mana. Bahkan, mungkin terlalu jauh dari segala kebutuhan. Sejauh langkahnya yang mendorong gerobak dari Kelapa Dua, tempat tinggalnya, sampai ke Gang Pepaya, tempat ia biasa mangkal.
Namun, kalimat “Kalau dinaikin, saya nggak enak sama pelanggan, Mbak. Kasihan sama pelanggan” meluncur dari mulutnya sambil tangannya tangannya sigap memotong kol, menunggu telur ceplok matang. Ah, betapa mulia hatinya.
“Mungkin nanti, Mbak, habis lebaran saya naikkin jadi 4 ribu. Nanti saya tambahin dengan sosis deh,” ujarnya lagi.
Lha, tambahan gopek itu cuma jadi bayaran sosis saja, toh? Ah, semoga ada rezeki lebih untuk bapak yang sangat baik hati itu.
Dan, beberapa minggu yang lalu, BBM dinaikkan. Selama beberapa minggu itu juga, saya tidak melihat gerobak nasi goreng di pojokan sana.
BBM naik. Itu gejala pertama untuk kenaikan harga-harga yang lain.
Saya juga jadi ingat pada satu artikel di Sinar Harapan, Selasa (4/10/05), yang memberitakan harga eceran minyak tanah yang sampai 3 ribu rupiah bukan jadi tanggung jawab Pemda. Harga tertinggi pangkalan yang ditetapkan adalah 2.250 rupiah, kata Gubernur DKI Jakarta. Namun, tetap saja seorang ibu pedagang roti bakar dan kacang hijau kena imbasnya. Pengeluarannya yang biasanya 13 ribu rupiah untuk 10 liter minyak tanah sekarang menjadi 30 ribu rupiah per 10 liter. Ya, tentu saja pemerintah tidak bertanggung jawab. Tanggung jawab dipikul ibu itu sendirian. Nasib.
BBM naik. Sopir-sopir angkot kalang kabut. Mereka mogok. Tidak setuju BBM naik. Tapi, ya, seperti biasa, ndak ada hasilnya. Padahal, mereka sudah mengorbankan seharian penuh; tidak dapat setoran ke bos dan juga setoran ke perut anak-anaknya. Tapi, ya, BBM sudah naik. Tetap naik.
BBM naik. Di bundaran HI, mahasiswa demo. Tapi, ya, BBM sudah naik. Tetap naik.
Saya jadi ingat SMS tentang BBM itu lagi,
Harga BBM terpaksa dinaikkan agar subsidi dapat dialihkan dari orang kaya kepada rakyat miskin. Bantu awasi SUBSIDI tunai kepada rakyat miskin. Terima kasih. DEPKOMINFO.
Sepertinya, SMS ini benar-benar salah tik. Dialihkan kepada rakyat miskin yang mana? Setelah BBM “terpaksa” dinaikkan agar subsidi dapat dialihkan kepada rakyat miskin, kok, rakyat miskin malah jadi tambah miskin? Malahan, belakangan, yang saya dengar, subsidi untuk minyak tanah dipotong karena Pemda tidak punya dana untuk biaya pengawasan distribusi. Lalu, kita disuruh membantu mengawasi SUBSIDI. Subsidi yang mana? Subsidi yang dipotong sana-sini itu? Subsidi yang bikin kerusuhan itu? Subsidi yang sempat meminta korban nyawa itu? Subsidi itu?
SMS ini benar-benar salah. Saat punya sedikit pulsa, saya me-reply SMS itu dan mencoba protes karena INFO dari mereka (sangat) salah. Tombol send saya tekan. Tapi, nomor tujuan tiba-tiba kosong. Jadi, siapa DEPKOMINFO itu? Kok, tidak menerima balasan—tidak menerima protes? Kok, tidak mau bertanggung jawab atas “keterpaksaan” kenaikan BBM?
Apa dikirim ke 4949 saja. Itu lho, nomor SMS ke Bapak Presiden. Namun, sepertinya, sejak naik, presiden kita terlalu banyak menerima SMS dan surat. Jadi, tidak berguna juga mengirim ke nomor itu. Lha wong, BBM sudah naik. Tetap naik.
Ah, Bapak, padahal, saat mencoblos, saya berharap banyak pada senyum Bapak Presiden dan Bapak Wakil Presiden. Berharap banyak untuk negeri kita ini, Pak.
Kenapa kata NAIK untuk BBM begitu mudah diputuskan, Pak? Padahal, kalau mau belajar dari pedagang-pedagang kecil, mengucapkannya saja mereka tidak enak.
“Kalau dinaikin, saya nggak enak sama pelanggan, Mbak. Kasihan sama pelanggan.” Tiba-tiba, saya teringat lagi ucapan pedagang nasi goreng yang sejak BBM naik tidak kelihatan lagi mangkal di pojokan dekat kosan saya itu.
Depok, Oktober 2005
Harga BBM terpaksa dinaikkan agar subsidi dapat dialihkan dari orang kaya kepada rakyat miskin. Bantu awasi SUBSIDI tunai kepada rakyat miskin. Terima kasih. DEPKOMINFO.
Seperti yang tertera di akhir SMS itu, pengirimnya adalah DEPKOMINFO.
Kening saya berkerut. Apa iya? Kalau benar, kenapa kasak-kusuk mahasiswa di Kopma FIB UI begitu khusyuk, “Gila! Sehari, ongkos gue bolak-balik 24 ribu”. Ah, angka yang besar sekali untuk ongkos sehari untuk pergi kuliah.
Lain lagi dengan ujaran Mas Yo, pegawai Kopma yang sehari-hari menyajikan makanan kesukaan mahasiswa FIB UI, gorengan kopma yang harganya 600 rupiah—sebelumnya, sebelum zaman Megawati (juga) menaikkan BBM, harganya 500 rupiah—untuk semua jenis.
“Saya nggak bisa beli gorengan hari ini. Harganya naik. Takut anak-anak pada protes. Ongkos belinya juga mahal banget.”
Dan, walhasil, di Kopma, sampai hari ini, tidak ada lagi gorengan “pengganjal perut” yang sangat digandrungi mahasiswa.
Lalu, saya jadi ingat pedagang nasi goreng yang setiap malam mangkal di pojokan dekat kosan saya. Sudah beberapa minggu ini, setelah BBM naik, bapak yang sangat bersemangat itu tidak ada. Padahal, saya sering berharap-harap melihat gerobaknya di pojokan itu. Berharap bisa makan nasi goreng segar dengan porsi kenyang. Dan, murah pula, 3500 rupiah. Padahal, harga di luar gang sana untuk sepiring nasi goreng biasa sudah mencapai 8—10 ribu rupiah.
Dari obrolan dengan bapak dua anak (usia SMP dan SMA) itu, sambil menunggu bungkusan nasi goreng saya siap, saya tahu bahwa bapak itu sebenarnya menyadari bahwa 3500 rupiah itu tidak sampai ke mana-mana. Bahkan, mungkin terlalu jauh dari segala kebutuhan. Sejauh langkahnya yang mendorong gerobak dari Kelapa Dua, tempat tinggalnya, sampai ke Gang Pepaya, tempat ia biasa mangkal.
Namun, kalimat “Kalau dinaikin, saya nggak enak sama pelanggan, Mbak. Kasihan sama pelanggan” meluncur dari mulutnya sambil tangannya tangannya sigap memotong kol, menunggu telur ceplok matang. Ah, betapa mulia hatinya.
“Mungkin nanti, Mbak, habis lebaran saya naikkin jadi 4 ribu. Nanti saya tambahin dengan sosis deh,” ujarnya lagi.
Lha, tambahan gopek itu cuma jadi bayaran sosis saja, toh? Ah, semoga ada rezeki lebih untuk bapak yang sangat baik hati itu.
Dan, beberapa minggu yang lalu, BBM dinaikkan. Selama beberapa minggu itu juga, saya tidak melihat gerobak nasi goreng di pojokan sana.
BBM naik. Itu gejala pertama untuk kenaikan harga-harga yang lain.
Saya juga jadi ingat pada satu artikel di Sinar Harapan, Selasa (4/10/05), yang memberitakan harga eceran minyak tanah yang sampai 3 ribu rupiah bukan jadi tanggung jawab Pemda. Harga tertinggi pangkalan yang ditetapkan adalah 2.250 rupiah, kata Gubernur DKI Jakarta. Namun, tetap saja seorang ibu pedagang roti bakar dan kacang hijau kena imbasnya. Pengeluarannya yang biasanya 13 ribu rupiah untuk 10 liter minyak tanah sekarang menjadi 30 ribu rupiah per 10 liter. Ya, tentu saja pemerintah tidak bertanggung jawab. Tanggung jawab dipikul ibu itu sendirian. Nasib.
BBM naik. Sopir-sopir angkot kalang kabut. Mereka mogok. Tidak setuju BBM naik. Tapi, ya, seperti biasa, ndak ada hasilnya. Padahal, mereka sudah mengorbankan seharian penuh; tidak dapat setoran ke bos dan juga setoran ke perut anak-anaknya. Tapi, ya, BBM sudah naik. Tetap naik.
BBM naik. Di bundaran HI, mahasiswa demo. Tapi, ya, BBM sudah naik. Tetap naik.
Saya jadi ingat SMS tentang BBM itu lagi,
Harga BBM terpaksa dinaikkan agar subsidi dapat dialihkan dari orang kaya kepada rakyat miskin. Bantu awasi SUBSIDI tunai kepada rakyat miskin. Terima kasih. DEPKOMINFO.
Sepertinya, SMS ini benar-benar salah tik. Dialihkan kepada rakyat miskin yang mana? Setelah BBM “terpaksa” dinaikkan agar subsidi dapat dialihkan kepada rakyat miskin, kok, rakyat miskin malah jadi tambah miskin? Malahan, belakangan, yang saya dengar, subsidi untuk minyak tanah dipotong karena Pemda tidak punya dana untuk biaya pengawasan distribusi. Lalu, kita disuruh membantu mengawasi SUBSIDI. Subsidi yang mana? Subsidi yang dipotong sana-sini itu? Subsidi yang bikin kerusuhan itu? Subsidi yang sempat meminta korban nyawa itu? Subsidi itu?
SMS ini benar-benar salah. Saat punya sedikit pulsa, saya me-reply SMS itu dan mencoba protes karena INFO dari mereka (sangat) salah. Tombol send saya tekan. Tapi, nomor tujuan tiba-tiba kosong. Jadi, siapa DEPKOMINFO itu? Kok, tidak menerima balasan—tidak menerima protes? Kok, tidak mau bertanggung jawab atas “keterpaksaan” kenaikan BBM?
Apa dikirim ke 4949 saja. Itu lho, nomor SMS ke Bapak Presiden. Namun, sepertinya, sejak naik, presiden kita terlalu banyak menerima SMS dan surat. Jadi, tidak berguna juga mengirim ke nomor itu. Lha wong, BBM sudah naik. Tetap naik.
Ah, Bapak, padahal, saat mencoblos, saya berharap banyak pada senyum Bapak Presiden dan Bapak Wakil Presiden. Berharap banyak untuk negeri kita ini, Pak.
Kenapa kata NAIK untuk BBM begitu mudah diputuskan, Pak? Padahal, kalau mau belajar dari pedagang-pedagang kecil, mengucapkannya saja mereka tidak enak.
“Kalau dinaikin, saya nggak enak sama pelanggan, Mbak. Kasihan sama pelanggan.” Tiba-tiba, saya teringat lagi ucapan pedagang nasi goreng yang sejak BBM naik tidak kelihatan lagi mangkal di pojokan dekat kosan saya itu.
Depok, Oktober 2005
No comments:
Post a Comment