Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berikut ini kutipan dua pasal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Pasal-pasal ini saya anggap penting untuk orang-orang yang terlibat dalam dunia tulis-menulis.
BAGIAN KELIMA
PEMBATASAN HAK CIPTA
Pasal 14
Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
… c. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
Pasal 15
Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta: a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta; ….
Berikut ini penjelasan untuk Pasal 15. Penjelasan ini saya kutip dari bagian PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA, bagian II Pasal demi Pasal.
Huruf a
Pembatasan ini perlu dilakukan karena ukuran kuantitatif untuk menentukan pelanggaran Hak Cipta sulit diterapkan. Dalam hal
ini akan lebih tepat apabila penentuan pelanggaran Hak Cipta didasarkan pada ukuran kualitatif. Misalnya, pengambilan bagian yang paling substansial dan khas yang menjadi ciri dari Ciptaan, meskipun pemakaian itu kurang dari 10 %. Pemakaian seperti itu secara substantif merupakan pelanggaran Hak Cipta.
Pemakaian Ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial. Misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Penciptanya.
Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan Ciptaan untuk
pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber Ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama Pencipta, judul atau nama Ciptaan, dan nama penerbit jika ada.
Yang dimaksud dengan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta adalah suatu kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan.
Dalam Pasal 15, dijelaskan bahwa penggunaan ciptaan untuk kepentingan pendidikan—dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan—tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta. Lalu, ketika kita membicarakan buku pelajaran sekolah, buku itu masuk ke dalam kepentingan yang mana? Di satu pihak, jelas buku pelajaran adalah untuk kepentingan pendidikan. Jadi, tidak melanggar toh jika di dalam buku itu ada penggunaan hak cipta orang lain (ya, tentu saja dengan syarat yang tadi itu: sumbernya disebutkan atau dicantumkan). Namun, di pihak lain, tentu saja kita tahu bahwa buku pelajaran diperjualbelikan. Hal itu berarti bersifat komersial. Jadi, posisi buku pelajaran masuk ke dalam kepentingan yang mana?
Saat membicarakan hak cipta, banyak hal yang membingungkan saya sebagai orang awam. Menurut saya, batasan-batasan yang diberikan masih tidak jelas. Saya dan teman-teman sering mempertanyakan apakah karya sastra (baik karya penyair terkenal ataupun tidak) yang dicantumkan dalam buku pelajaran sekolah melanggar hak cipta? Selain itu, hal yang juga menjadi pertanyaan adalah apakah pengutipan artikel dari surat kabar untuk buku pelajaran merupakan pelanggaran hak cipta? Selama ini, kita pasti menemukan banyak karya sastra dan juga artikel dari surat kabar bertebaran dalam buku-buku pelajaran.
Berdasarkan pendapat pribadi (tanpa mengikutsertakan undang-undang hak cipta yang berlaku di negara kita ini), saya dan teman-teman berpendapat bahwa jika sumbernya disertakan, tindakan itu bukan merupakan pelanggaran hak cipta. Karya sastra ataupun artikel yang digunakan dalam buku-buku pelajaran tersebut merupakan bahan pendukung yang substansial (masa jika membicarakan puisi, misalnya, kita tidak memberikan contoh karya dari penyair-penyair yang ada?). Materi utama tetap ada (jadi, dapat dikatakan, yang dijual bukan karya-karya itu meskipun materi utama dan pendukung adalah suatu kesatuan). Namun, jika dikembalikan pada hak eksklusif pencipta (meskipun telah dicantumkan sumbernya), orang sering mempermasalahkan izin atas pencantuman ciptaannya. Pengutipan suatu karya harus melalui izin dari yang memiliki karya itu.
Suatu hari, seorang teman saya dikirimi sebuah buku yang berisi antologi sajak. Dalam antalogi tersebut, terdapat beberapa sajaknya. Teman saya itu sangat heran, dari mana penerbit buku itu mendapatkan karyanya. Namun, teman saya tidak mempermasalahkan hal itu. Ia merasa, jika dipermasalahkan, penerbit itu mungkin akan berdalih, bukannya Anda beruntung dengan pemuatan karya dalam buku itu? Dengan begitu, karya Anda bisa dibaca orang banyak, kan? Mana tahu setelah ini jadi terkenal. Akan tetapi, dalih penerbit itu cuma pikiran (buruk) saja, tidak pernah disampaikan teman saya. Pasti hanya akan jadi “kisah yang tak berujung” (pikiran buruk lagi). Dalam kasus itu, saya merasa perizinan pencantuman karya seseorang memang perlu. Dalam antologi sajak tersebut, isi utama buku adalah sajak-sajak. Jika dijual, yang dijual adalah sajak-sajak itu.
Lalu, bagaimana dengan perizinan pencantuman karya dalam buku pelajaran sekolah? Jika hal itu dipermasalahkan, penerbit-penerbit buku pelajaran sekolah pasti akan kalang-kabut. Sebagian besar (bahkan mungkin hampir semua) penerbit semacam itu tidak meminta izin untuk mencantumkan karya seseorang dalam buku yang mereka terbitkan. Karya almarhum Chairil Anwar wara-wiri dalam buku-buku pelajaran bahasa Indonesia. Begitu juga dengan karya Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan penyair lainnya. Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis juga tidak pernah ketinggalan muncul dalam buku pelajaran.
Saya jadi ingat. Saat saya sekolah, kutipan cerpen dan karya sastra lainnya dalam buku bahasa Indonesia selalu saya baca terlebih dahulu dan hal itu menjadi hiburan tersendiri bagi saya. Tidak terbayang jika dalam buku bahasa Indonesia tidak ada karya sastra dari sastrawan kita. Dari hasil curi dengar, agar aman dari tuntutan undang-undang, ada sebuah penerbit buku pelajaran yang menyarankan kepada penulis/editornya membuat sendiri artikel, puisi, atau cerpen untuk buku mereka. Menurut saya, hal itu akan mempersulit editor (yang sering merangkap jadi “penulis dadakan”) yang menangani buku tersebut. Selain itu, bukankah hal itu akan serupa dengan “katak dalam tempurung”. Siswa jadi tidak berkembang (bukan berarti karya penulis/editor itu tidak bagus). Akan tetapi, bukankah siswa diharapkan meluaskan cakrawala? Atau mungkin, jika harus mengetahui karya sastrawan, siswa diminta untuk membeli buku yang dimaksud (dan siswa akan minta uang lagi pada orangtuanya!).
Perizinan pencantuman karya memang sangat menghargai pemilik ciptaan. Namun, akan menjadi kendala juga jika perizinan itu harus melalui prosedur yang berbelit-belit (apa sih yang tidak berbelit-belit di negara ini? Bahkan, saat mau izin pulang dari rumah seseorang saja, kita berbelit-belit). Lalu, bagaimana baiknya? Kembali lagi pada persoalan semula, di mana posisi buku pelajaran sekolah? Buku untuk kepentingan pendidikan yang komersial? Atau apa? Jika kita mengutip suatu ciptaan orang lain untuk buku sekolah, apakah sama posisinya dengan pengutipan pendapat orang lain untuk suatu artikel di surat kabar (jika tulisannya dimuat, penulis artikel akan mendapatkan uang)? Sebagai orang awam, saya masih bingung dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
No comments:
Post a Comment