Penjual Kenangan

Thursday, December 14, 2006

Di Angkot, Kubaca Surat Cintamu

Mencuri dengar percakapan orang, mencuri baca bacaan orang merupakan jenis kejahatan yang sering terjadi di angkot. Biasanya, pelakunya kebanyakan kaum perempuan. Mungkin Anda juga pernah melakukannya atau pernah jadi korbannya. Jika tidak kesibukan di dalam angkot, saya juga kerap melakukannya, sekadar iseng mencari penghilang bosan. Namun, terkadang, sebenarnya, saya tidak mau melakukannya, tetapi kejahatan itu mengundang, misalnya si calon korban bicara terlalu keras sehingga seisi angkot mendengar atau si calon korban terlalu lebar membuka koran yang dibacanya sehingga head line-nya terbaca dengan jelas. Banyak juga motifnya, tetapi yang paling utama sebenarnya adalah karena orang dalam angkot tidak punya pekerjaan sehingga bawaannya iseng, seperti yang saya alami.

Kemarin sore, saya keluar kantor pukul lima. Mendung sudah hujan. Namun, kalau menunggu hujan berhenti, tak akan saya bertemu dengan magrib di Margonda, tempat kos saya. Hujan masih rintik saat saya mengambil kartu absen. Namun, untungnya saya bersama seorang teman yang membawa payung. Sayangnya, kami harus berpisah arah. Hujan berbaik hati memilihkan arah saya—tadinya, saya berencana naik angkot yang memutar agar tidak jalan kaki menuju angkot yang ke Depok. Hujan berhenti. Lalu, setelah salam perpisahan seperti biasanya dengan teman saya itu, saya naik angkot merah yang sudah sejak tadi ngetem, seperti biasa. Saat naik, saya terpeleset, tapi untung tidak sampai jatuh. Orang yang dalam angkot, seorang laki-laki, berkomentar standar, “Hati-hati licin, Mbak”. Orang itu sempat mengajak ngobrol, tapi saya lebih suka menikmati jalanan yang basah sehabis hujan. Jikapun tidak hujan, saya sebenarnya lebih suka diam daripada ngobrol dengan orang yang tidak dikenal di angkot.

Sampai di persimpangan tempat saya turun, tiba-tiba hujan menderas. Waduh, saya tidak bawa payung ataupun jaket. Terpaksa berhenti sebentar di depan warung indomi. Namun, saya memutuskan untuk menerobos hujan. Kangen juga untuk berjalan dalam hujan.

Sampai persimpangan jalan utama, saya ikut mendesak di depan sebuah toko telepon seluler bersama orang-orang. Saya lebih suka berjalan dalam hujan daripada berdiri dalam hujan. Angkot yang menuju Depok belum kelihatan, sedangkan hujan semakin bersirebut jatuh. Tak lama, angkot berwarna biru yang jarang sekali terburu-buru itu muncul. Lumayan kosong. Awalnya, saya duduk di bangku enam, tepat di depan pintu. Di belakang saya, hujan masuk lewat jendela yang tak rapat. Saya mencari-cari tempat di bangku empat. Seorang perempuan muda, dengan rambut panjang yang digerai, dan seorang anak laki-laki berusia tiga tahun mengambil tempat terlalu banyak. Anak itu berdiri berpegangan ke kaca belakang. Perempuan itu duduk miring ke arah si anak. Ada tempat kosong di antara mereka. Hujan deras dan genangan air semakin banyak. Salah satu hal yang pasti terjadi adalah air akan menciprat lewat pintu yang terbuka. Saat hujan lebat seperti ini, pengendara-pengendara di jalan raya menjadi semakin egois. Tak akan mereka pikirkan cipratan air yang mereka ciptakan saat deru mesin mereka semakin kencang.

Lalu, saya segera mengambil tempat di pojokan di bangku empat. Anak kecil yang asyik dengan botol susunya itu juga refleks duduk di sebelah saya. Anak itu melihat lama pada saya. Saya tersenyum kecil padanya, lalu memerhatikan si perempuan muda, mungkin kakaknya, pikir saya. Perempuan itu sedang sibuk komat-kamit. Ternyata, ia sedang membaca. Saya melirik. Yang dibacanya adalah kertas folio bergaris dengan tulisan tangan yang sangat rapat dan kecil-kecil. Dari tampilan kertas itu, sepertinya itu sebuah surat. Saya melirik lagi. Tulisan tangan itu terlalu kecil. Si perempuan masih komat-kamit tanpa suara, gaya membaca yang juga pernah saya lakukan, mungkin sewaktu SD.

Lalu, ia membalik halaman. Terbaca oleh saya tulisan yang tertera cukup besar di bagian atas, hlm. 4. Si perempuan masih serius. Saya memperhatikan anak kecil yang mulai menyenderkan kepalanya kepada saya. Anak ini siapanya, ya? Kok dari tadi tidak diperhatikan. Perempuan itu sibuk dengan bacaannya itu dan semakin membuat saya penasaran. Baca apa sih dia sampai serius sekali. Di depan saya ada seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka sibuk memikirkan hujan yang semakin deras. Mereka tidak peduli dengan perempuan yang sedang membaca itu, sepertinya.

Saya, karena tidak ada kesibukan dan juga telanjur penasaran, kembali melirik. Perempuan itu sampai pada bagian bawah kertas surat. Lalu, dengan gerak cepat, ia mendekatkan surat itu ke wajahnya. Ia mencium surat itu. Lalu, mendekapnya di dada.

Saya kaget. Tak menyangka ia melakukan itu. Wajahnya sumringah. Tampak bunga-bunga betebaran di sekelilingnya. Dan, saya sadar. Ooh … Itu surat cinta, toh. Lalu, ia melipat surat itu. Lalu, tangannya merogoh kantong celananya. Dikeluarkan lagi kertas yang lain (sebelumnya sudah empat halaman). Satu lembar kertas yang sudah kusut di sana sini. Sepertinya, itu kertas terakhir dari surat tersebut. Pada kertas itu, tulisannya lebih besar-besar dan ditulis dengan spidol warna biru. Saya melirik sekilas. Ada yang sempat terbaca oleh saya.  Sudut kemiringan kepala saya semakin besar. Sekarang, saya bukan lagi melirik, tapi menengok. Perempuan itu tidak akan tahu. Ia terlalu hanyut dalam komat-kamitnya. Di situ tertulis:

Sundari yang kucintai selamanya …. (meskipun merasa bersalah, rasanya saya ingin tertawa membaca kata-kata itu. Gombal bukan?)

Mohon maaf … bla bla….  (entah apa lanjutannya, tapi
mungkin intinya, maaf kalau ada salah-salah kata) .... maaf tidak bisa menulis panjang karena aku pusing mikiran kamu (mmpphhh … aku menahan tawa, tambah gombal lagi bukan?)

Lalu di bawahnya ada tulisan lagi, kira-kira begini:

Sebelumnya, aku mau ngasih pantun dulu.

Satu titik dua koma kamu cantik siapa yang punya

(waduh, ini pantu zaman kapan ya? Namun, bagus juga ada yang melestarikan)

Lalu, di bawahnya ada pantun lagi:

Bandung dulu baru jakarta senyum dulu baru dibaca

(pantun di atas juga tidak kalah silamnya. Lagi pula, si perempuan sepertinya sudah selesai membaca yang empat halaman sebelumnya. Jadi, tak cocok toh diletakkan di halaman belakang. Meskipun tidak membaca pantun itu, ia sudah tersenyum sejak tadi).

Semacam cinta yang sederhana. Saya jadi ingat puisi “Aku Ingin”-nya Sapardi.

Wajah perempuan itu semakin sumringah. Saya masih menahan tawa, maaf. Hujan masih deras. Anak kecil—yang entah apanya si perempuan—masih menyenderkan kepalanya kepada saya.

Perempuan itu melipat lagi kertas pantun itu, lalu mengeluarkan satu lembar lagi. Saya bertanya sendiri, “Masih ada lagi?”

Surat itu lengkap dengan tanggal di sudut kanan. Tulisan tangan kali ini kembali lagi kecil-kecil sehingga susah untuk dibaca dalam jarak jauh. Karena merasa terlalu terlibat jauh, saya tidak enak untuk tidak peduli begitu saja. Namun, saya hanya mampu membaca tulisan DIY, Jateng. Oh, dari Yogyakarta, toh, pikir saya. Lho, kok Jateng? Entahlah, mungkin saya salah baca.

Terakhir, saat perempuan itu melipat surat cintanya, saya melihat gambar hati yang ditembus panah dan tulisan “Sundari yang kucintai selamanya”. Terlalu gombal lagi. Namun, tampaknya, laki-laki yang mengirim surat itu begitu jatuh cinta. Dan, perempuan ini begitu percaya pada cinta sang lelaki, yang disampaikan lewat berlembar-lembar surat. Kertas-kertas surat itu dilipat kecil-kecil, lalu dimasukkan ke dalam kantong celananya. Lalu, ia berpaling pada anak kecil di sebelah saya. Anak itu dipangkunya.

“Nanti jangan bilang-bilang Mama kalau kamu kehujanan, ya,” katanya sambil mengusap-usap kepala anak itu. Anak itu mengangguk.

“Nanti bilang apa kalau Mama nanya ‘Adek dari mana?’” tanya si perempuan.

“Terima kasih,” kata si anak. Penumpang di depanku tersenyum. Aku juga.

“Nanti bilang kalau Adek abis main ke kampung rambutan,” lanjut si perempuan dengan nada yang riang. Ia benar-benar jatuh cinta, sepertinya.

“Makan rambutan,” kata si anak. Ha-ha-ha. Perempuan di depanku tertawa lagi.

“Bukan makan rambutan, bilangnya dari kampung rambutan,” ralat perempuan yang sedang jatuh cinta itu.

Saya tersenyum kecut. Anak kecil itu didikte. Mudah sekali.

Anak laki-laki yang sudah selesai dengan botol susunya itu melihat saya lagi. Lama. Mungkin ia menyadari saya telah melakukan kejahatan.
 

1 comment:

Unknown said...

nice story hehehehe

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin