Penjual Kenangan

Friday, December 26, 2014

Sepotong Masa Lalu Dalam Hujan di Afternoon Tea




Hujan sore ini membawa saya ke sebuah kedai kecil bergaya Eropa kuno yang didominasi warna putih dan salem tua. Sebuah kedai kue. Hujan menjebak saya, tetapi kali ini sepertinya di tempat yang tepat. Tak ada salahnya menunggu hujan reda di kedai cantik ini.

Saat membuka pintu, dencing lonceng kecil di toko kue ini menyambut. Ketika hendak beranjak ke meja sudut dekat jendela lebar berbingkai putih, sesuatu menghentikan saya—yang akhirnya membuat saya memilih meja tak jauh dari sana. Seseorang tepatnya. Seorang perempuan dengan kue cokelat di mejanya.

Mungkin mata saya tak lepas dari meja perempuan itu ketika seorang pramusaji datang dan menawarkan pesanan, pesanan yang sama dengan perempuan di meja sudut. "Soufflé cokelat," katanya, "menu istimewa koki kami." Senyum hangat perempuan itu seakan menyihir dan membuat saya mengangguk, mungkin saja hari ini memang hari istimewa, pikir saya.

Kala menatap sudut-sudut kedai yang sepi pengunjung hari ini, kecuali perempuan souffle itu, saya seakan menemukan sudut-sudut itu dipenuhi kenangan. Lalu, saya teringat sebuah pertanyaan yang diajukan kepada saya beberapa waktu lalu oleh sesorang: apa kenangan yang tak pernah kau lupakan? Kala itu, saya berpikir-pikir dan memberikan jawaban tentang goresan nama-nama di dinding tua rumah rumah masa kecil saya. Goresan yang dituliskan Ayah setiap anaknya lahir. Ayah, laki-laki itu, yang telah lama menjelma kenangan—menjelma masa lalu.

Pramusaji itu datang lagi, membawakan saya menu istimewanya. Ia bilang, itu buatan koki andal di toko kue ini. “Tapi, tak seperti soufflé buatannya yang hangat dan manis, ia sedikit dingin,” candanya kepada saya tentang koki pembuatnya, yang saya tebak adalah seorang laki-laki. Anise, ia memperkenalkan namanya. Kala itu, saya merasa kalau ia sedang berusaha menata hatinya, tetapi malah menyempatkan diri menghibur saya yang terjebak hujan.

"Kau sendirian?" tanyanya, kemudian entah bagaimana saya meminta agar ia duduk menemani saya. An tak keberatan melakukannya dan saya mendapati ia melirik penasaran ke perempuan di meja sudut—dan kami seakan mengawasi perempuan di meja sudut itu. Lalu, hari ini, sebuah kisah masa lalu saya hadir di meja kayu ini. Di hadapan Anise, seorang perempuan yang ternyata bukan pramusaji, melainkan juga seorang koki.

***

Ada sebuah kisah yang sejak lama terpatri di benak saya. Lekat. Kenangan tentang seseorang yang saya sayang, ayah saya. Kala itu, saya baru berusia enam tahun. Kami menginap di rumah kakak tertua saya. Ayah bertanya apakah saya sudah minta hadiah kepada Kakak sebelum kami pulang. Lalu, gadis kecil itu menjawab dengan lugas, “Aku tidak suka meminta, Ayah. Mungkin Ayah yang suka.”

Hingga kini, saya masih mengingat dengan jelas adegan di depan pintu itu. Seakan saya masuk ke putaran waktu dan menyaksikan gadis kecil berbaju terusan selutut dan aksen pita di pinggangnya. Gadis itu dengan polos berkata kepada sang Ayah di depan banyak orang.

Hari itu, entah bagaimana saya ingat, air mata jatuh dari mata laki-laki paruh baya itu.  Lalu, kenangan itu mengendap menjadi perasaan bersalah pada diri gadis enam tahun itu, membuatnya luka setiap mengingat air mata yang jatuh itu.

Entah kapan saya mulai mengingat kenangan itu, saya lupa. Mungkin setelah ayah saya meninggal dunia. Yang saya tahu saya telah membuat luka seseorang yang saya sayangi dan rasanya begitu sakit, melebihi luka terkena sembilu di jari manis saya. Ketika dewasa, saya menerka-nerka, mungkinkah saya telah melukai harga diri ayah saya? Pertanyaan itu mengendap bertahun-tahun setelah ayah saya tiada.

Hari ini, kenangan itu hadir kembali, di hadapan An. Kenangan itu hampir membuat saya tenggelam jika saja suara itu tidak begitu jelas di telinga saya, “Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja. Hujan pasti berhenti. Setelahnya, kau akan melihat pelangi.” Saya pikir kata-kata itu diucapkan kepada saya. Namun, ternyata kepada seseorang di meja sudut.

Perempuan yang bicara itu, dia adalah An. Anise. Perempuan baik hati yang menemani saya di Afternoon Tea. Perempuan yang bisa kau temui dalam novel Walking After You. Seorang perempuan yang juga terjebak di masa lalu. Perempuan yang mencoba mengejar impian yang bukan miliknya agar perasaannya bisa bahagia. Namun, yang ia temukan malah luka.

An, perempuan berbau rempah-rempah itu menyembunyikan luka di balik tawanya. Lalu, hari ini, dia juga seakan bicara kepada saya. Bahwa semua akan baik-baik saja.

Ketika saya menatap ke meja sudut, gadis yang duduk di sana sudah tak ada lagi. Hujan pun sudah berhenti. Lalu, An, saya pun tak menemukannya lagi. Namun, hari ini, dia telah menemani saya bercerita. Menceritakan kisah sedih yang telah lama saya sembunyikan. Dan, ketika ia bicara bahwa semua akan baik-baik saja, saya seakan merasa ia juga sedang bicara kepada dirinya sendiri. An, semoga lukanya pun terhapus dalam hujan, dalam manis soufflé istimewa.

An, bisa saja dia adalah saya. An, mungkin saja dia adalah kau. Bersama An, kita akan mencoba memaknai kehilangan, juga arti memaafkan.

Kau tahu tak ada saat yang tepat untuk melupakan masa lalu. Hanya ada waktu yang tepat untuk memaafkan, menerima sesuatu yang telah menjadi bagian hidupmu.




***

Ketika bercerita kepada An tentang kisah ayah saya itu, saya masih mengingatnya dengan pilu. Namun, kau tahu, ada sesuatu yang terangkat dari diri saya ketika selesai menyampaikannya. Mungkin, memang benar yang orang katakan, rahasia yang paling rahasia adalah rahasia yang kau sembunyikan dari dirimu sendiri. Ketika terjebak dalam masa lalu, tak banyak yang bisa kau lakukan jika kau berdiam diri di sudut rahasiamu. Kau harus bisa menemukan seseorang yang bisa kau percaya untuk kau bagi kisah paling rahasiamu. Agar hatimu pasti bahwa kau tak sendiri.

Saya keluar dari kedai kecil bergaya Eropa kuno itu, dan menatap papan kayu yang tergantung di langit-langit teras bangunan: Afternoon Tea.

Sore yang hujan itu, saya bertemu seorang perempuan yang istimewa di toko kue ini. Belajar banyak darinya. An, nama perempuan itu, tak akan terlupa nama manis itu.

Bersama An, kau akan berbagi rahasia. Kau akan menemukan masa terpuruk gadis periang itu. Namun, kau juga akan menemukan makna mendalam ketika ia mengisahkan “Pelangi Dalam Gelas Kaca”, dan merasa kau tak sendiri yang terjebak dalam masa lalu. Kau akan tahu bahwa kau pun mampu segera keluar dari masa lalu—tempat tanpa arah itu.

Suatu ketika, saat kau menyusuri kisahnya dalam Walking After You, kau akan menemukan An berkata, “Untuk melepaskan masa lalu, yang harus kita lakukan bukan melupakannya, melainkan menerimanya.” Kau, sudahkah kau mampu melakukannya?

Nah, tuliskan kisahmu di kolom comment postingan ini sebanyak sekitar 200 kata. Seorang yang beruntung dengan kisah “melepaskan masa lalu”-nya akan mendapatkan sebuah buku Walking After You karya Windry Ramadhina.

Saya tunggu kisahmu hingga pukul delapan malam ini. (ralat: karena masih ada waktu, tulisanmu ditunggu hingga pukul 24.00 malam ini).

Good luck! ;)






Salam,

Widyawati Oktavia

______________

PS. Terima kasih, Windry, telah menuliskan kisah yang begitu menyentuh ini. Yang mampu membuatmu berjanji di dalam hati untuk tak lagi melukai dan tak akan melepas seseorang yang kau sayangi. :*


#VirtualBookTour @GagasMedia #TigaCeritaCinta #WalkingAfterYou @windryramadhina

Tuesday, December 16, 2014

selamat jalan

dari media sosial, membaca kabar seorang teman sma berpulang hari ini. saya ingat dia seorang yang baik, penyayang. suka menggambar. ketika itu, saya percaya dia akan menjadi seorang desainer. cita-cita itu tercapai. terakhir berkabar, dia mendesain baju sebuah merek ternama.

masih lekat di ingatan saya dia pernah membuatkan saya dua buah desain kebaya. cantik. belum sempat saya wujudkan menjadi sebuah kebaya. namun, gambar itu masih saya simpan di antara barang-barang kenangan.

hari ini, dia menjadi kenangan.
hari ini, dia telah berpulang.

ah, selamat jalan, sahabat lama. kita pernah jajan di kantin sma, lalu berdiri di lantai dua, melihat ke arah lapangan di bawah kita, dengan jajanan di tangan kita. saat itu, kita bicara banyak tentang berbagai hal. kau selalu memuji gambar acak-kadulku sebagai gambar yang bagus. kau bilang aku bisa menggambar. meski kutahu itu tidak sepenuhnya benar, aku begitu senang. kau tulus mengatakannya karena kau memang orang baik yang ingin orang lain bahagia. kau juga selalu bilang suka tulisanku dengan tawa kecilmu. kadang sambil menggoreskan desain-desain baju di buku tulisku.

saat itu, aku tahu suatu hari kau akan berhasil dengan gambar-gambar cantik yang kau goreskan dengan sekejap. bertahun-tahun kemudian, kau memang mewujudkannya. 
dan, kau tahu, baru saja aku membuka buku tahunan sma kita, mencari namamu di sana. dan, aku menemukan kau memang menuliskan "designer" melekat di namamu. 

selamat jalan, heri gani. semoga kebaikanmu menjadi penerang di Sana. lama kita tak berkabar, kemudian aku dikejutkan kabar dirimu berpulang. leukemia, seperti dalam cerita-cerita novel yang dituliskan orang. tapi kau tahu, katanya, seperti bunga tercantik di taman, ia selalu lebih dulu dipetik pemilik-Nya. selamat jalan, heri. baik-baik di sana, ya.

terima kasih atas sketsa yang pernah kau goreskan. juga semangat yang kau tularkan.

___________

ps. dear heri, aku pinjam juga salah satu desainmu yang kau publikasikan di facebook, ya. desain yang sungguh keren. yang aku pinjam ini salah satu yang menyihirku kala melihatnya.






salah satu desain keren heri, yang diposting di FB pada 2010
(maaf, pinjam gambarnya, ya, iyi)


Tuesday, November 25, 2014

SUATU HARI

suatu hari, kita mungkin akan mengingat hari ini. tentang jemari yang menyembunyikan keluh letih ketika mengejar janji. tentang rencana-rencana yang tidak berjalan. tentang harapan yang tak kesampaian.

juga tentang orang-orang berwajah masam.

tentang seharusnya kita saling tersenyum menguatkan.

toh, bukankah kita ingin mewujudkan hal yang sama?

ah, entahlah. kita ikuti saja langkah kita. lagi pula, suatu ketika, hari akan menjadi senja.

kita pun akan menuju senja-Nya.
tak akan ingat lagi kita tentang orang-orang berwajah masam. mungkin saja, mereka akan lupa lebih dahulu akan kita.

Tuesday, October 07, 2014

untuk gadis yang selalu ceria

kemarin, saat saya sedang bersepeda, seorang karib lama menelepon, membuat perasaan saya tidak enak untuk mengatakan apa yang sedang saya lakukan. ia, karib saya itu, sisa-sisa keceriaan dan semangatnya masih terdengar. membuat saya merasa malu karena sering berkeluh-kesah hanya karena hal-hal remeh.

karib saya itu, dia mengucap alhamdulillah atas kondisinya sekarang. yang merupakan kemajuan besar dalam perjalanan hidupnya beberapa tahun terakhir.

karib saya itu, ia menanyakan kabar saya lewat ponselnya. menanyakan sudah berapa anak sahabat saya dan apakah dia datang ke pernikahan sahabat saya itu. empat tahun lalu. lalu, tertawa dari ujung sana ketika ia menyadari kejadian yang ia alami lebih dulu satu tahun sebelumnya. yang menyebabkan sebagian memorinya samar-samar.

kapan menikah, tanyanya. membuat luka di hati saya. bukan, bukan karena saya tidak suka ditanya demikian. namun, karena berkelebat di benak saya tentang apakah suatu saat ia juga akan bisa menikah.

karib lama saya itu, tumpukan pekerjaan terkadang membuat saya lupa dan baru teringat lagi ketika ia menelepon menanyakan kabar saya.

sedang apa? saya balik bertanya. meneleponmu, candanya. dari kursi rodaku, lanjutnya ceria.

saya bahkan tak berani bertanya di manakah ia berada dengan kursi roda itu. di teras rumahkah, di ruang tamukah, ataukah di kamarnya yang berjendela.

sudah dulu, ya, ucapnya buru-buru. salam untuk teman-teman, siapa pun yang kenal aku, ucapnya tertawa.

aku rindu kalian. sangat. ia ucapkan sesaat menutup panggilan teleponnya.
maaf mengganggumu, ya, ucapnya begitu sopan.

saya teringat lima tahun lalu, saat ia meregang nyawa. melawan koma. dan lebih dari empat tahun tak berdaya di tempat tidur, ia malah seperti lupa caranya resah, malah selalu mendoakan teman-teman yang ia ingat.
lalu, saat menuliskan ini, saya teringat sebuah hal yang belum saya lakukan untuknya. sebuah kisah.

gadis yang selalu ceria, semoga doa-doamu sampai kepada-Nya. semoga keajaiban selalu ada bersamamu. semoga kau segera sehat, sahabat….

http://widyawati-oktavia.tumblr.com/post/99327469033/untuk-gadis-yang-selalu-ceria

Saturday, October 04, 2014

kita



lama aku mencari alasan mengapa aku mencintaimu. mengapa kupu-kupu mengepak begitu riuhnya kala aku bersamamu. kau tahu, aku malah menemukannya dalam salam perpisahan kita.

cinta adalah tentang kepercayaan dan kesetiaan. kau kemudian menjelma sosok itu. laki-laki yang bersetia.

hangat jemarimu menambah riuh kepak kupu-kupu yang lama menghuni sudut hatiku. namun, pada saat bersamaan, ia meluruhkan sayap kupu-kupu itu. mereka tak mampu lagi mengepak. sayapnya mengabu, menyisakan sebentuk luka dari cinta yang kehilangan arah.

cinta adalah tentang kepercayaan dan kesetiaan. tanpa itu, aku akan tersesat.  kau katakan di antara malam yang kian jauh.

pulanglah, kataku. pada rumah yang kau tuju. tahu kau tak akan bisa kembali jika bersamaku.
setidaknya, kini aku tahu alasan mengapa aku bisa jatuh cinta kepadamu.

lalu, aku mendengar sayap-sayap yang mengabu beterbangan.

kini saatnya untuk menumbuhkan sayap-sayap baru, ucap mereka.

aku tahu kau tak mendengarnya. kau sudah jauh dalam perjalananmu.
pulang, kepada cinta yang lebih dulu mengikatmu.


*foto dari sini!

Wednesday, June 18, 2014

untuk perempuan kurus banyak bicara





ini untuk seorang perempuan kurus banyak bicara. aku dan perempuan itu selalu belajar bersama-sama, tentang banyak hal. 

aku masih ingat kali pertama berjalan jauh bersama perempuan kurus yang tak henti membicarakan abangnya yang mengenalkan banyak bacaan, ketika kami menembus jalan setapak penuh ilalang menuju sebuah kampus. tentang papanya yang lebih suka naik kendaraan "loncat-loncat" kala menuju jakarta dari sumatra. juga tentang cinta masa sma-nya yang kala itu masih membara. dia membicarakan mereka dengan penuh cinta dan kasih sayang, yang membuatku iri karena merasa dia memiliki banyak orang penuh kasih sayang. saat itu, perempuan yang lebih kurus daripada aku itu juga lebih muda setahun. perempuan banyak bicara yang selalu berapi-api dan kerap tak bisa menahan emosinya.  

lalu, bertahun-tahun kemudian, barulah kusadari, perempuan itulah yang memiliki banyak kasih sayang di hatinya; kasih sayang perempuan itu seakan tak pernah habis. dan, bahkan ikut dilebihkan banyak, untukku. perempuan itu, gita romadhona namanya.


hei, git, hari ini sudah masuk 18 juni. 
malam kemarin, aku membaca kembali salah satu serial cantik favorit kita, kisah chizumi dan fujiomi. kau tahu, di sana, ada bagian saat kakak chizumi menikah dan pergi, perempuan itu begitu khawatir meninggalkan chizumi sendiri di rumah mereka. 
dan aku jadi bertanya-tanya, seperti itu pulakah yang kau rasakan saat kau memutuskan pindah dari "rumah" kita di margonda saat kau menikah, ketika meninggalkan gadis peragu di ruang biru? 

dalam kisah chizumi, selama beberapa lama tak lagi hidup dengan kakaknya, gadis ceroboh itu masih dibangunkan kakaknya pada pagi hari lewat telepon; hari sudah pagi, bangunlah, biar tidak terlambat sekolah, ucap si kakak lembut. membuat gadis ceroboh itu diam-diam merasa malu dan bertekad harus bisa mandiri. 

membaca itu, aku merasa menjelma chizumi. 

bahkan, sampai pagi tadi pun, kau masih membangunkanku. bukan lagi untuk kuliah, melainkan untuk sebuah rapat di tempat kerja! dan kau tak marah ketika aku tertidur kembali (meski aku kemudian menjelma chizumi yang payah). kau mungkin juga tahu, tapi jaga-jaga kau lupa, aku sampaikan kembali bahwa aku selalu bertekad yang sama seperti chizumi. hehe.

setelah tiga belas tahun dari jalan setapak menuju kampus itu, kau tahu, perempuan muda yang bersamaku itu tetap banyak bicara. suatu ketika, aku menyadari, dia menjadi lebih dewasa daripada aku. menjadi tak lagi lebih kurus daripada aku. menjadi lebih logis, menjadi lebih tegar dan sabar, dan jadi kerap mengingatkanku agar tidak suka marah-marah. belakangan ini, aku banyak belajar dari perempuan itu. darimu, git.

dulu, aku pikir aku yang akan lebih banyak mengajarkan perihal ketegaran dan ketabahan kepadamu setelah melewati banyak kehilangan. ah, kau tahu, sebenarnya, sejak awal, aku yang selalu belajar kepadamu. hanya saja, mungkin kita terkadang berharap bisa memberikan sesuatu kepada orang yang kita sayangi, tak melulu "mengambil". semoga ada yang bermanfaat dariku. karena aku ingat status facebook seorang petinggi di kantor kita. aku lupa apa tepatnya, sudah agak lama aku membacanya (kau bisa stalking nanti, kau lebih canggih dalam urusan itu). intinya, dalam persahabatan itu, harus saling menguntungkan. semoga persahabatan kita juga.

tapi, jika kau merasa tak beruntung bersahabat denganku, cobalah gali lagi lebih jauh akan hal itu. jangan cepat menyerah, mana tahu memang ada. lagi pula, sayang sekali 13 tahun yang kita lewati jika kau ingin mengakhiri hari ini, pada perayaan hari lahirmu.

ah, aku sebenarnya mencoba melucu di paragraf atas itu. maafkan jika tak lucu, soalnya hampir setahun ini, aku selalu dicekoki lawakan, hmm, kurang lucu seorang editor (komedi) di ruangan kita. sebut saja inisialnya e.l.l.y. :))) ya, setelah pernah satu asrama, satu indekos, kini kita satu ruangan di tempat kerja.

semoga untuk menjadikan hubungan lebih kuat tak melulu seseorang harus jauh terlebih dahulu. tak mengapa bukan, jika kau kuat dengan tetap dekat dan bersama sampai akhir usia.

baiklah. kali ini, aku ingin mengakui postingan ini tentang kisahku sendiri (setelah aku kerap meniru tagline sebuah blog tetangga: it's my blog, it's not about me). jadi, tak perlu kau menerka-nerka ini tentang siapa.

dan, sebenarnya, aku ingin mengucapkan selamat lahir untukmu. jauh sebelum hari ini, kau telah menjelma perempuan dewasa, lalu menjelma seorang ibu yang penuh kasih sayang. semoga kebaikanmu menjadi tabungan bahagia. tidak hanya sampai 15 tahun seperti rentang cicilan kpr. semoga selamanya.

mengutip novel tomodachi yang ditulis winna efendi, semoga kita selalu tetap ada untuk satu sama lain; karena kita adalah teman--tomodachi--dan semoga selamanya.

selamat hari lahir, gita.
terima kasih masih mau mempertahankan persahabatan kita.
suatu hari, aku ingin menghadiahkan sebuah novel untukmu. tentang kita.
suatu hari. anggaplah ini sebuah janji (seperti janji kita juga buat seorang editor di kantor kita. hehe).

aku sayang gita. melebihi siapa pun yang pernah kubuatkan sebuah--ataupun lebih--tulisan di blog ini. :D




with love,
--iwied, yang berusaha tidur pada waktu normal pukul 11, tetapi tetap gagal dan akhirnya sudah pukul dua pagi saja. yang sempat berhenti di beberapa kalimat ketika menuliskan ini, mengusap air matanya. lalu, memaki diri karena menyadari dirinya cengeng. yah, sebelas-dua belas-lah sama chizumi. :p



Thursday, June 12, 2014

sejenak

malam sudah jauh.
aku tahu seharusnya aku sudah beranjak tidur.
pekerjaan esok menunggu, tertumpuk tak selesai di atas meja.

namun, televisi tiba-tiba saja memutarkan lagu kesukaanku, tentang pulang.
tiba-tiba saja, aku ingin pulang. 
entah ke mana; karena sebenarnya aku sudah berada di rumah.

tiba-tiba saja, aku ingin pulang.
berhenti sejenak dari segala pembicaraan yang membuat isi otakmu seolah habis terkuras. hingga hal terlucu pun tak mampu memicu saraf tawa.
aku ingin pulang,
ke tempat hal paling menyedihkan pun terhapus, hanya dengan sapa tulus.
ke tempat alunan lagu-lagu sendu yang kusuka bahkan mampu menguarkan bahagia.

aku ingin pulang.
sejenak.


kepadamu





besok,
tunggu aku di kafe kecil favorit kita.
kita akan merayakan sesuatu, tentu saja. 
baiklah, memang sudah terlalu banyak yang kita rayakan, di sudut kecil kafe yang penuh buku di dindingnya.
tapi, bukankah begitu sebaiknya kita memperlakukan sebuah hari? 
tak ada hari yang tak istimewa. dan, agar pula tidak habis kebersamaan kita.
kebersamaan yang terkadang mungkin membuatmu harus mereka-reka apa lagi kata-kata yang akan lebih bertahan lama hangatnya ketimbang minuman yang kita pesan. 

namun, setelah besok, mungkin tak perlu lagi kau mencari-cari bahan cerita. dan, aku pun akan berhenti mencoba memaki diri karena terlalu banyak bicara. 

besok, tunggu aku di sudut favorit kita.
pukul tujuh malam, agar kita punya waktu sedikit lama. tidak terlalu terburu-buru agar tak mengurangi waktu tidurmu. 

besok, kita merayakan sesuatu. 
kau tahu, kata orang, kita tak tahu kapan kita jatuh cinta.
namun, kita tentu tahu kapan kita harus berhenti jatuh cinta.
aku telah memutuskan besoklah harinya.
dan, kita harus merayakannya.
kau dan aku.
kita berdua. di tempat kali pertama kita bercerita panjang. tentang apa saja, kecuali di mana kita harus berhenti. karena dalam segala mimpimu, mata angin tak pernah mengutara.

besok, 
aku telah memutuskannya. 
tunggu aku pukul tujuh. mungkin, akan lewat sedikit. tapi, aku tak akan membiarkanmu lama menunggu, kali ini.
dan, kita akan merayakan hari ketika aku memutuskan berhenti jatuh cinta.
kepadamu.


Wednesday, June 11, 2014

dalam memori




gambar dari sini




"the waters calm and still
my reflection is there
  i see you holding me
but then you disappear
all that is left of you
is a memory
on that only, exists in my dreams"




ri,

aku tak tahu bagaimana cara menghubungimu. kau telah lama menghilang dalam halaman-halaman kisah kitaya, kita memutuskan kau harus "dihapus".
tapi, seperti dahulu, sesekali, mungkin saja kau akan singgah ke sini. dan, jika kau membaca suratku ini, kau akan tahu bahwa kaulah yang aku tuju.

apa kabarmu? masihkah kau menyeduh kopi pada pagi yang tak pernah kau lewatkan? 

masihkah kau menghabiskan waktu membaca buku dengan "kiss the rain" berulang-ulang dari laptopmu yang kau biarkan menyala?

masihkah kau melewati akhir pekan dengan berlari di jalan setapak yang dinaungi pohon-pohon kapuk?

masihkah kau ingat kata-kata yang membeku di antara kita, ketika waktu tak memberi kita kesempatan lebih dulu? "aku menyayangimu, tetapi seharusnya kita bertemu sejak dulu."

aku masih ingin bersamamu, kita saling mengucapkannya. tetapi, diam-diam, kita pun saling tahu itu hanya untuk membesarkan hati yang pilu. kita tak akan pernah bisa bersama meski berjuta "ingin" kita jadikan mantra.

kata-kata pun tak mampu bersetia pada janjinya sendiri. kita? kita terbiasa menertawakan anak-anak remaja yang jungkir balik karena cinta.
kita tak lagi muda untuk melakukan sesuatu yang disebut demi cinta. dan, akhirnya kita pikir; biar mengalir saja. cinta akan membawamu ke akhir yang tepat. begitulah seharusnya kita berlaku sebagai orang dewasa.

ri,
hidup memang tak pernah seperti dongeng, yang mampu mematahkan sihir duka dengan kecupan atau peluk hangat dari orang yang kau cinta. yang mampu merekatkan repih hati menjadi seperti semula.


nyatanya, hingga kini, hati ini masih saja retak; ah, mengikis, lebih tepatnya.  


ri,
ketika kau membaca surat ini, mungkin di luar, matahari sedang garang-garangnya.
tapi, jika kau di sini malam ini, kau akan tahu.
malam ini, hujan di luar bertalu-talu. begitu pula rindu.

ri,
ketika menuliskan pertanyaan ini, aku tahu diriku akan menjelma sisipus dan tak akan ada mantra yang akan mematahkannya. tetapi, tak apa. kau harus tahu. bahwa tetap ada satu tanya yang masih saja berkeliaran di tempat paling jauh di sudut hatiku
: mengapa cinta bukan milik kau dan aku?




p.s.
ri, 
pernahkah kau dengar bagaimana akhir kisah sisipus? apakah ia akhirnya menyerah dengan apa yang ia lakukan? ataukah ia menemukan bahagia pada satu titik dalam langkahnya? 

Wednesday, May 07, 2014

dia

jika kau bertanya, ya, masih ada cinta untuk laki-laki yang dulu kerap membawakan aroma pagi untukku. dan, kau pasti akan bertanya mengapa, padahal waktu telah lama berlalu.

entah. padahal, bersamanya, tidak semua kisah adalah bahagia. dan, untuk rencana hari depan, tidak terlalu banyak pula bahagia yang disisihkannya dalam helai-helai buku yang ia baca.

mengapa masih ada cinta untuk dia? 
entah. mungkin hidup memang tak perlu melulu tentang bahagia.
hanya saja, bersamanya, kau percaya semua akan baik-baik saja. 
mungkin itulah mantra yang mengekalkan dia dalam waktu. 

dan, kurasa, itu cukup untuk bekal dalam sisa usiaku.




Friday, March 21, 2014

Perkawinan



gambar pinjam di sini!



Aku menatap bingkai foto yang akan kuturunkan. 

Foto saat kami di sebuah pantai saat masih berkencan. Bisa dibilang, di sinilah aku menyadari bahwa aku mencintai laki-laki yang ada di sampingku itu dengan sangat. Cinta yang yang tak akan pernah tergantikan oleh apa pun. Saat kami menikah, aku pulalah yang akhirnya mencetak dan membingkai foto ini. Bagus. Hanya itulah yang kusampaikan kepada laki-laki yang telah menjadi suamiku. Tanpa pernah menyampaikan alasan sebenarnya. 

Dan, hari ini, menatap foto dua orang berjalan bergandengan tangan di tepi pantai dengan bayangan memantul di bawah mereka, mataku memanas. Tuhan, jangan sampai aku menangis. Tidak. Aku tidak boleh lemah. Aku buru-buru meraih bingkai itu, tetapi ternyata tanganku tidak sampai. Aku perlu kursi, sementara kursi-kursi sudah berada di mobil boks sewaan yang ada di halaman rumah. Siap membawa semua barang yang ada di rumah ini.

Saat aku memaksa untuk berjinjit meraih bingkai itu, sebuah suara menghentikanku.

“Hei, kenapa tidak minta bantuanku?” tanyanya. Ia sudah berada di sampingku, bersiap menjangkau bingkai itu.

“Aku bisa sendiri, kok. Cuma mengambil bingkai itu saja,” sahutku, berharap tak ada air mata yang membias.

Bingkai foto itu sudah berada di tangannya. Laki-laki itu menatapnya lama, hal yang tak aku duga.
Dia menoleh kepadaku, bertanya, “Kau mau menyimpannya?”

Aku menjawab cepat. “Tentu saja, ini foto bagus. Aku suka, entah denganmu.”

“Oh, iya, maksudku….” Ia tampak menahan kata-katanya, dan aku pun mencoba tak tertarik mendengar lanjutannya. Memang dia yang membelikan bingkai itu, tetapi bukan berarti bingkai dan foto ini menjadi miliknya, kan?

“Maksudku, kalau kau tidak keberatan, sebenarnya, aku ingin menyimpannya. Aku tidak punya foto kita yang tercetak.” Ia melanjutkan, seakan ada nada takut-takut dalam suaranya.

Aku tercekat. Tak pernah berpikir ia berniat menyimpan foto kami ini.

“Kau tahu,” lanjutnya, “ada sesuatu yang berarti dalam foto itu. Tapi, mungkin memang sudah tidak ada artinya lagi saat ini.” Ia menatap kami yang berjalan di tepi pantai kala petang menjelang.

“Iya, efek senja di foto ini memang cukup dramatis,” selaku, tak ingin membicarakan apa-apa lagi saat ini—apalagi, yang terkait dengan perasaan.

“Bukan itu,” balasnya. Dalam beberapa jeda, ia melanjutkan, “Kau tahu, jika aku harus memilih, itulah hari yang ingin terus kuulang selama hidupku. Hari saat aku paham arti bahagia.”

Ada hening yang panjang di ruang keluarga yang dulu pernah kami sesaki dengan cinta. Hening yang dengan ganjilnya kemudian menjelma angin dingin yang bagai angin berembus ke hatiku yang porak-poranda. Membekukannya segala hal yang ada di sana.

“Amy,” ucapnya, meraih tanganku untuk ia genggam. “Kalau suatu hari nanti kau mau memaafkanku—“
Ucapannya terputus. Suara klakson mobil boks yang kami sewa sudah menunggu.

Aku melarikan tanganku yang ia genggam longgar ke bingkai foto yang masih ia pegang dengan tangan yang sebelah lagi.

Klakson mobil boks yang sudah lama menunggu itu memanggil sekali lagi. 

Tak ada waktu panjang untuk membicarakan sebuah bingkai foto tua. Sudah sepuluh tahun berlalu. Banyak yang berubah.

Juga perasaan.

Dan, memang sudah saatnya kami berpisah. Pindah ke tempat hati masing-masing merasa nyaman.
Ke mana pun. Yang pasti, bukan lagi di dalam sesuatu yang sebelumnya kami sebut sebagai perkawinan.

***



*504 kata, praktik menulis tentang "pindah" dalam waktu 15 menit (pukul 1.10—1.25 WIB),
1 Februari 2014

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin