Penjual Kenangan

Friday, March 21, 2014

Perkawinan



gambar pinjam di sini!



Aku menatap bingkai foto yang akan kuturunkan. 

Foto saat kami di sebuah pantai saat masih berkencan. Bisa dibilang, di sinilah aku menyadari bahwa aku mencintai laki-laki yang ada di sampingku itu dengan sangat. Cinta yang yang tak akan pernah tergantikan oleh apa pun. Saat kami menikah, aku pulalah yang akhirnya mencetak dan membingkai foto ini. Bagus. Hanya itulah yang kusampaikan kepada laki-laki yang telah menjadi suamiku. Tanpa pernah menyampaikan alasan sebenarnya. 

Dan, hari ini, menatap foto dua orang berjalan bergandengan tangan di tepi pantai dengan bayangan memantul di bawah mereka, mataku memanas. Tuhan, jangan sampai aku menangis. Tidak. Aku tidak boleh lemah. Aku buru-buru meraih bingkai itu, tetapi ternyata tanganku tidak sampai. Aku perlu kursi, sementara kursi-kursi sudah berada di mobil boks sewaan yang ada di halaman rumah. Siap membawa semua barang yang ada di rumah ini.

Saat aku memaksa untuk berjinjit meraih bingkai itu, sebuah suara menghentikanku.

“Hei, kenapa tidak minta bantuanku?” tanyanya. Ia sudah berada di sampingku, bersiap menjangkau bingkai itu.

“Aku bisa sendiri, kok. Cuma mengambil bingkai itu saja,” sahutku, berharap tak ada air mata yang membias.

Bingkai foto itu sudah berada di tangannya. Laki-laki itu menatapnya lama, hal yang tak aku duga.
Dia menoleh kepadaku, bertanya, “Kau mau menyimpannya?”

Aku menjawab cepat. “Tentu saja, ini foto bagus. Aku suka, entah denganmu.”

“Oh, iya, maksudku….” Ia tampak menahan kata-katanya, dan aku pun mencoba tak tertarik mendengar lanjutannya. Memang dia yang membelikan bingkai itu, tetapi bukan berarti bingkai dan foto ini menjadi miliknya, kan?

“Maksudku, kalau kau tidak keberatan, sebenarnya, aku ingin menyimpannya. Aku tidak punya foto kita yang tercetak.” Ia melanjutkan, seakan ada nada takut-takut dalam suaranya.

Aku tercekat. Tak pernah berpikir ia berniat menyimpan foto kami ini.

“Kau tahu,” lanjutnya, “ada sesuatu yang berarti dalam foto itu. Tapi, mungkin memang sudah tidak ada artinya lagi saat ini.” Ia menatap kami yang berjalan di tepi pantai kala petang menjelang.

“Iya, efek senja di foto ini memang cukup dramatis,” selaku, tak ingin membicarakan apa-apa lagi saat ini—apalagi, yang terkait dengan perasaan.

“Bukan itu,” balasnya. Dalam beberapa jeda, ia melanjutkan, “Kau tahu, jika aku harus memilih, itulah hari yang ingin terus kuulang selama hidupku. Hari saat aku paham arti bahagia.”

Ada hening yang panjang di ruang keluarga yang dulu pernah kami sesaki dengan cinta. Hening yang dengan ganjilnya kemudian menjelma angin dingin yang bagai angin berembus ke hatiku yang porak-poranda. Membekukannya segala hal yang ada di sana.

“Amy,” ucapnya, meraih tanganku untuk ia genggam. “Kalau suatu hari nanti kau mau memaafkanku—“
Ucapannya terputus. Suara klakson mobil boks yang kami sewa sudah menunggu.

Aku melarikan tanganku yang ia genggam longgar ke bingkai foto yang masih ia pegang dengan tangan yang sebelah lagi.

Klakson mobil boks yang sudah lama menunggu itu memanggil sekali lagi. 

Tak ada waktu panjang untuk membicarakan sebuah bingkai foto tua. Sudah sepuluh tahun berlalu. Banyak yang berubah.

Juga perasaan.

Dan, memang sudah saatnya kami berpisah. Pindah ke tempat hati masing-masing merasa nyaman.
Ke mana pun. Yang pasti, bukan lagi di dalam sesuatu yang sebelumnya kami sebut sebagai perkawinan.

***



*504 kata, praktik menulis tentang "pindah" dalam waktu 15 menit (pukul 1.10—1.25 WIB),
1 Februari 2014

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin