Penjual Kenangan

Sunday, May 05, 2013

[hari ini]

Hari ini, perempuan itu menangis. 

Ia terkenang kekasihnya, yang telah meninggalkannya. Ia tak siap ketika laki-laki itu dipanggil untuk kembali kepada-Nya. Ia belum mempersiapkan hatinya.

Dua tahun telah berlalu, ternyata.

Dan, perempuan itu masih belum bisa melupakan rasa cinta. Hatinya masih dipenuhi kesedihan, penyesalan. Kenangan cinta bersama laki-laki itu menjelma luka dan menerbitkan hangat di matanya. Menjatuhkan bulir air mata.

Entahlah, mungkin enam tahun mencintai seseorang memang tak mudah dilupakan. Enam tahun kau simpan cinta untuknya. Cinta yang membara, cinta yang membuat tulang-tulang meluruh. Cinta semacam itu yang ia simpan, yang ia tuliskan.

Hari ini, perempuan itu menangis. Menyusuri lagi larik-larik cinta yang ia tulis untuk laki-laki itu. Dari kertas yang telah memburam, kata-kata beterbangan menyambutnya. Perempuan itu meraup beribu kata yang ia tuliskan. Ia rangkum dalam pelukan, penuh cinta.

Ia lirihkan nama laki-laki itu, penuh rindu. Namun, malah air mata yang menjawabnya. Perempuan itu, telah lama ia terkungkung akan cinta. Cinta yang tak lagi bisa ia rengkuh. Cinta yang selalu ia simpan, tetapi malah melukainya setiap harinya.

“Apakah Dia tidak tahu betapa aku mencintainya? Apakah Dia tak bisa membacanya di sini?” ucapnya di antara air mata yang menderas, menyusuri jemarinya di antara beribu larik yang tak lelah ia tuliskan.

Ia bukan ingin menggunjingkan Dia. Hanya saja, ia tidak mengerti bagaimana jalan pikiran sebuah cinta.
Ia telah tulus dalam mencintai. Tak perlu diragukan lagi. Tapi, mengapa laki-laki tak berada di sisinya?

Mengapa ia menemukan dirinya sendiri, tersudut di antara repih kenangan yang menjelma bilah-bilah yang menajam di setiap sudutnya. Sedikit saja ia bergerak untuk merengkuh kenangan itu, ia temukan kulitnya tergores, meluka. Rasa sakit sampai ke hatinya.

“Apa salahku?” ucapnya. Kau akan menemukan kata-kata yang ia rangkum akan terasa asin karena penuh air mata. “Apa salahku?” ulangnya lagi. Dan, tak ia temukan jawaban yang ia harapkan.

Ia menggenggam erat larik-larik cinta yang ia tuliskan untuk laki-laki itu, kekasihnya. Hangat dan manis menguar dari kata-kata yang tumpah meruah dari raupan tangannya—meruah-ruah karena terlalu banyak.
Dirinya mengapung di antara kata-kata cinta, yang ikut menusuk dalam hatinya.

Kata-kata yang ia tuliskan itu telah lama mendengarkan risau perempuan itu, telah lama mereka ingin meringankan lukanya. Namun, mereka tak temukan cara yang tepat. Hanya saling berbisik dalam tanya yang tak mereka temukan jua jawabnya, “Apakah jika dulu perempuan ini berani lantang mengucapkan cinta kepada kekasihnya, tak hanya menuliskannya, apakah laki-laki itu akan kembali ke tempat ini, menemaninya merangkum tawa—bukan luka seperti yang sekarang ini ada?” Bisik-bisik mereka penuh rasa iba, mengirim harap kepada keajaiban. Terlalu lama mereka saksikan perempuan itu hanya memiliki mimpi buruk di dalam tidurnya.  

“Tuhan, aku benar-benar mencintainya,” ucap perempuan itu, bagai mendengar harap kata-kata yang ia tuliskan. Suaranya serak di antara isak yang memilukan hati.

Namun, tak ada percikan keajaiban yang berjatuhan dari langit.

Perempuan itu tetap menemukan dirinya sendiri. Tangannya melemah, tak kuasa lagi merangkum kata-kata cinta yang ia tuliskan.  

—Kata-kata meluruh di lantai dingin. Diam-diam, mereka kembali ke dalam kertas-kertas yang memburam karena waktu. Tak sampai hati menyaksikan perempuan itu menangis. Lagi.

Dan, di sini, cinta telah lama hanya menjelma air mata. Bukan hanya hari ini.

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin