Penjual Kenangan

Tuesday, December 26, 2006

Saat Pergi, di Mana Kau Titipkan Hati?

mungkin kita dapat bicarakan arah--yang tak pernah pasti
atau kita bicarakan tentang tahun cahaya
yang tak pernah sampai lagi di sini;
ia tak akan pernah bisa membawa masa lalu, katamu

tahun cahaya telah larut dalam perjalanan teori
padahal, di sana ada lorong waktu: ke masa lalu

MENCARI ARAH UTARA

seorang laki-laki, muda, selalu mencari arah utara
"aku tak akan tersesat," katanya, "jika kutemukan utara"

sungai-sungai, yang telah bersahabat lama dengan hujan, akan membawamu sampai. ke muara

seorang laki-laki, muda, tak pernah lagi mencari arah
"aku kehilangan kompas. aku takut tersesat," katanya

Thursday, December 21, 2006

SIAPA DIA?

Jika Anda berjalan-jalan ke kota Depok, jangan lewatkan untuk melihat foto ini.




Saat arah sudah melewati terowongan, setelah kampus BSI—yang tampak selalu ramai—setelah tugu yang menandakan batas kota Jakarta dan kota Depok, jangan lupa untuk mendongakkan wajah ke arah kiri. Di sana, di antara spanduk-spanduk dan baliho-baliho iklan yang selalu berganti, ada satu baliho yang tak pernah berganti—entah sejak kapan, saya lupa. Rasanya sudah sangat, sangat, sangat lama. Di situ, seorang laki-laki berpose dengan gaya yang aduhai, jadulnya.

Lihatlah baju lengan panjang (atau itu bisa disebut blus?) dengan warna ungu mengilat yang dikenakannya. Tampak bukan untuk ukuran tubuhnya yang masuk kategori orang bayaran (preman, maksudnya). Entah apa pula maksudnya membuka separuh dari kancing-kancing bajunya itu. Menyimpan harapan akan tampak dadanya, yang entah dia pikir sebidang apa. Mungkin. Belum lagi potongan rambut ala Deddy Dhukun—yang entah masih dipakai atau tidak oleh si Deddy sekarang ini. Tengok pula senyum yang mungkin dia pikir memesona semua wanita. Bagaimana dengan kumis dan jenggotnya yang ala mafia? Mungkin ia ingin tampak sangar, menutupi kilatan warna ungu yang tak akan terlupakan itu. Terpesonakah Anda? Ah, mungkin yang tak bisa dilupakan dari wajahnya adalah lirikan matanya—berharap setajam mata elang, tampaknya. Tidakkah ia terlalu berharap?

“Siapa sih orang ini? ada yang tau ga? serius nih!!!” Itu yang tertulis di primary foto di friendster salah seorang teman saya, Truly. Saya tahu dia serius mengomentari foto itu. Dan, foto itu pulalah yang menarik hati saya untuk segera membuka profil teman saya itu--kami menyimpan keresahan yang sama. (Truly, terima kasih buat fotonya, ya)

Ah, pertanyaan itu juga sudah lama ada di benak saya, dan juga mungkin Anda—orang-orang yang keluar-masuk kota Depok tercinta setiap harinya. Apakah WR. EQ. SWARA itu namanya? Entah. Saat lewat di sana, saya dan teman-teman selalu memperbincangkan hal itu. SIAPAKAH DIA? Apakah dia seorang warga yang terpilih jadi wajib pajak teladan? Mengingat di baliho itu ada tulisan:

PEMBANGUNAN KOTA DEPOK
TERLAKSANA ATAS KELANCARAN
ANDA MEMBAYAR PAJAK

BAYARLAH PAJAK ANDA TEPAT WAKTU

Entah. Atau juga dia sponsor utama, mungkin dari salah satu salon di kota Depok.

Atau juga dia adalah salah satu calon yang akan menjadi penguasa Depok? (Soalnya, saya juga sering melihat foto seseorang—di mana-mana—dengan slogan “antinarkoba” hingga saya pikir dia dari Partai Antinarkoba. Tetapi, kalau beliau itu sudah jelas salah seorang pejabat.) Kalau yang ada di foto ini?

“Berapa ya dia bayar buat bisa nampang di situ? Udah lama banget,” itu percakapan saya dan teman-teman jika teringat pada lirikan-tak-terlupakan sang-pria-misterius itu. Bertahun-tahun pula (jujur, sebenarnya, saya tidak tahu pasti sudah berapa lama dia di sana). Sudah-sangat-lama.

Ah, siapakah dia? Tidakkah dia kesepian duduk sendirian di sana? Mungkin, dia seorang anak hilang yang ingin menemukan siapakah orangtuanya. Berharap ayah atau ibunya melihat foto itu, kemudian mencarinya. Kalau benar begitu, kasihan juga dia, sudah lama tak ada orangtua yang merasa kehilangan anak seperti dia—terlalu menyilaukan.

Mungkin juga dia seorang pria—mungkin duda—yang ingin mencari soulmate-nya.

Mungkin dia reinkarnasi Narsisus, yang telah menolak cinta Echo--yang terus-terusan mengulang kata yang terakhir didengarnya, membayar cinta yang diungkapkannya? (sepertinya bukan, bukankah Narsisus belum mengenal Deddy Dhukun?)

Na, na, na, na, na, na, na, na, na, na, … Ow, ow, siapa dia? Mungkin Om Kris tahu.

Sudahlah. Tak peduli siapa dia. Mungkin hanya seseorang yang butuh eksistensi diri. Butuh pengakuan akan keberadaannya.

Sudahlah, buat apa juga dipikirkan.

Namun, dia mengganggu tidur-tidur saya …. Bagaimana tidak, setiap hari, setiap memasuki kota Depok tercinta, saya selalu merasa ditatapnya—dengan mata yang dia curi dari seekor elang malang.

Jika Anda pernah melihatnya, mungkin dia juga telah mengganggu tidur-tidur Anda. Jika belum melihatnya, jangan merasa kecewa. Anda masih bisa—dan akan selalu bisa—melihatnya. Datang saja ke kota Depok tercinta. Setelah melewati terowongan “Selamat Datang Kota Depok”, jangan alihkan mata Anda ke arah mana pun. Tenggoklah ke arah kiri, sedikit tenggadah. Dan Anda akan bertemu dengannya dan mungkin akan bertanya pula, SIAPA DIA?

Wednesday, December 20, 2006

Bukan Tak Mungkin

Jika laut meminangmu
katakan kau akan ingat
akulah yang mampu memuarakan
napas-napasmu
walau tak setiap tetes sampai

jika laut meminangmu
ingatlah setiap jengkal lekuk menuju hilir
kau dan aku pernah ukir

jika laut meminangmu
aku akan tetap iringi ratapan riakmu
maka dengarlah harapku
lewat doa-doa hujan pagi
pula kutitipkan dalam sujud-sujud angin pantai

jika laut meminangmu
dengarkan hatimu
dan kenanglah aku.


Depok, 02 Juli 2002 

Terima Kasih, Ni




"Ni, bangunlah .... Lihatlah Cipa yang selalu bernyanyi dengan lucu. Ia ingin mamanya melihat kerlingan manja matanya. Ni, bangunlah ..... Kalau tidak, siapa yang akan memasak ketupat paling enak saat Lebaran .... Ni, bangunlah .... Sekarang, Puput juga sudah pintar, sudah bisa mengangkat jemuran ...."

Dan, tiba-tiba, aku berhenti berbisik di telingamu. Ah, entah kenapa, bocah kecil dengan rambut kepang itu mulai belajar untuk melangkah sendiri.

"Tidak, Ni .... Belum .... Puput belum bisa mengangkat jemuran sendiri. Rambutnya saja masih perlu disisiri. Dan, ia masih ingin seragam merah putih itu sudah terletak rapi begitu ia selesai mandi. Ni, bangunlah .... kami menunggumu."

Saat itu, kau hanya diam ..., tapi aku tahu kau mendengar bisikku. Di sudut matamu, ada air mata yang tak jatuh. Membeku di sana. Saat itu, aku percaya kau akan membuka matamu. Kau tangguh. Yang telah mampu menaklukkan lelah di sepanjang perjalanan panjang yang telah kau lalui. Kau tangguh. Dan aku percaya penyakit itu tak akan jauh membawamu. Itu yang kau tunjukkan padaku. Pada kami.

Ni, kau selalu mengkhawatirkan perjalananku, perjalanan kami. Ada saja yang kau titipi agar jalan tak terasa terlalu jauh, agar jalan terasa tak terlalu berat. Dan agar sedih tak ikut di sepanjangnya. Namun, tak pernah kau biarkan kami mengkhawatirkanmu. Bahkan, sampai saat waktu berhenti berdetak untukmu. Tak kau biarkan kami untuk khawatir. Malah masih sempat kau titipkan harapan lewat senyummu. Seakan-akan kau tahu kami masih perlu bekal untuk melewati perjalananan--yang entah berapa jauh lagi.
Suatu ketika aku mengenangmu, kau masih tak biarkan aku bersedih. Kau tetap tak biarkan aku mencari di mana kau sembunyikan lelahmu. Kau selalu dan selalu titipkan harapan. Di sana, terbingkai rapi dalam tawamu.

Terima kasih, Ni ....
Terima kasih untuk ada.
Selalu.

Monday, December 18, 2006

benah-benah

pusing ngeliat tulisan di blog gw yang miring-miring, gw mencoba membenahinya. Mulai dari mengedit posan, ngepos ulang, sampai--dengan sangat terpaksa--menghapusnya. Tapi, tetap aja miring-miring. Hilang deh momen gw nulisnya. Kenapa sih blog ini? Fiuf.

Ni, Kami Rindu Tawamu

saat hari kemarin,
sudah dua minggu cahaya hilang dari matanya

(masih seperti minggu lalu, saat aku menyadari betapa hanya dunia di mimpilah yang mampu menghiburnya)

bukankah cahaya itu yang selalu ada di sepanjang detak usiaku? sejak dulu.
dan aku masih saja sibuk. masih saja bertaruh dengan waktu.
masih saja sibuk menghitung deru. menghitung detak.
aku masih saja tak sempat ikuti jejak cahaya itu,
dan katakan, seorang perempuan yang lemah lembut hatinya mencarimu.
seorang perempuan yang di tangannya tergariskan cinta.
yang di tangannya tergariskan kasih. yang di tangannya tergariskan sayang.
yang di hatinya selalu ada ruang untukku. hangat. seperti saat aku dekat dengan ibu.

Tuhan, milik-Mu-lah segala cahaya. semoga langkah hari ini membawa cahaya itu kembali pada matanya

Ni, maaf, hanya doa lagi yang tertitip hari ini.

(Senin, 20 November 2006, 12:12)

Untuk Sahabat

Suatu hari, gita yang duduk di belakang gw, menyodorkan kertas ke meja gw.
“Wied, baca deh,” katanya sambil membuka earphone warna hitam dari kupingnya. Tangan kanannya memegang flash disk warna putih, yang juga bisa buat dengerin lagu. Punya seseorang. Saat itu, benda yang sempet bikin gw terkagum-kagum itu—soalnya bagus, tapi murah—belum rusak. Gw mengambil kertas yang disodorkan gita. Gw langsung baca tulisan yang sedikit acak-acakan itu. Judulnya “Untuk Sahabat”.

saat hidup terasa berat
genggam tanganku lebih erat
satukan langkah sehati
menggapai mimpi-mimpi
jangan lagi kau meragu
aku ada di sampingmu
berbagi hujan dan mentari
melukis angan di hati
tatap bintang...
bersinar terang di sana
sabagai tanda..
kita selalu bersama
saat airmata membasahi relung jiwamu
nyanyikan lagu ini denganku
akan slalu ada sudut hangat di hatiku
kutahu begitu pula di hatimu
begitu banyak cerita
berjuta kenangan yang ada
berbeda telah terbiasa
mendewasakan kita


Bagus, Git,” ujar gw—yang selalu disebut “komentar standar” oleh Gita.
Saat itu, gw terharu, Gita bikinin puisi yang bagus banget buat gw. Tepat bener. “Iya, lo dengerin, deh.” Gita langsung meyodorkan earphone yang sebelumnya dia pakai ke gw.
“Eh, emang ini apaan?”
“Lagunya Cokelat,” kata Gita datar.
“Oh ....” Saat itu, gw diam aja sambil menerima earphone itu dari tangan gita. Ada yang terbang. Yah, kirain ... Tadinya, gw udah ge-er aja. Tapi, jangan-jangan Cokelat bikinin itu buat gw.
Pas pulang dari kantor—hari itu Gita lagi ada kerjaan di kantor, jadi pasti gw ma dia pulang bareng—gw bilang, “Git, kirain yang tadi itu puisi buat gw.”
Gw lupa Gita jawab apa. Mungkin dia bilang, “Makanya, jangan sering jadiin diri lo tokoh utama dalam lagu. Haha.” Itu ungkapan pinjaman dari si Utara-nya Gita.
Mungkin orang di angkot ikut mendengarkan percakapan kami diam-diam—seperti yang gw dan Gita sering lakukan juga, ikut dalam adegan orang ataupun mencuri percakapan orang dalam angkot.
Di kosan, gw minjem flash disk putih--yang sekarang udah rusak dan kembali ke orangnya lagi--dan dengerin lagu itu. Lagunya pas banget. Kaya buat gw. Yah, bolehlah kalo kita ingin jadi tokoh utama dalam lagu. Toh, gak ngambil peran orang lain. Tapi, kalo emang kita yang dipilih jadi tokoh utamanya, lebih boleh lagi. Git, udah lama gak bikinin puisi buat gw, hehe

p.s: Git, ternyata judulnya "Nyanyian Sahabat", bukan "Untuk Sahabat".

Cipa Aja

Cipa—ponakan gw yang Oktober kemaren ulang tahun ke-3 dan juga suka warna pink (entah kenapa anak kecil banyak banget suka warna pink. Bahkan, sekarang, cowok-cowok [yang udah pada gede] pun suka. Idieh! Apa pasal sih?—suka banget nyanyi.

"Cipa, nyanyi, dong."
"Nyanyi apa?" kata Cipa sambil membulatkan matanya yang lucu.
"Nyanyi cicak-cicak, ya. Satu, dua, tiga, Cicak-cicak ...."

"Cipa aja. Cipa aja." Cipa tak ingin seorang pun mendahuluinya menyanyikan lagu andalannya. Dan langsunglah ia menyanyi dengan tempo cepat, seperti mau menyelesaikannya dalam satu napas (mungkin takut ada yang ikutan nyanyi).

Titak-titak dindinding,
nyiam-nyiam melayat
da-tang -ekor nyamuk
hap. hap
yayu ditatap.


"Yeee .... Cipa hebaat ...."
Dan Cipa akan tersenyum. Malu-malu.




Ani, Buah Buni, dan Fadil

Ani, yang punya lengkap nama Lenny Fitri Anwar, ini salah satu ponakan gw. Dia kelas 1 SD. Dulu, dia pendiam. Klo gw suruh kenalan ama temen gw, pasti dia akan meyuruk-nyurukkan mukanya ke pangkuan gw.

Trus, dia punya hobi ngerjain pe-er. Apalagi, kalau saudara-saudara gw lagi ngumpul rame-rame di rumah, misalnya pas lebaran kemaren. Orang lagi sibuk-sibuknya maap-maapan, makan-makan kue lebaran, dan bagi-bagi duit, dia malah ngambil buku pe-ernya dan ngerjain pe-er. Yah, kita taulah kalo di diri anak kecil tuh ada keinginan selalu diperhatikan (gak cuma anak kecil, sih, ya. Yang udah pada gede pun kalo gak dibales SMS-nya ngambek. Itu mah si Enchit banget. Hehe).

Anak kecil selalu punya cara untuk mencari perhatian orang lain, terutama orang dewasa di sekitarnya. Cari perhatian juga bisa dilakukan dengan cara berbuat nakal sehingga dia mendapat hukuman. Menurut Hurlock, mendapat hukuman merupakan salah satu kesenangan bagi seorang anak. Dia tidak akan merasakan tidak enaknya hukuman itu, tapi dia senang telah mendapat perhatian dari orang dewasa. Untung si Ani mencari perhatian dengan bikin pe-er. Yah, baguslah, kan tuh pe-er jadi selesai. Si Ani juga seneng banget baca. Apa aja dibaca. Pernah gw bawain koran buat kliping Ikhsan (10 thn), kakaknya Ani, eh malah diubek-ubek sama si Ani. Dia bacain semua. Ampe berita-berita yang gak jelas juga.

Kira-kira seminggu sebelum lebaran, gw pulang ke rumah. Ani langsung ngeluarin bukunya dan membaca. Pas gw liat sekilas judul bukunya, ternyata kumpulan cerita anak. Ani membaca buku itu tanpa titik dan koma. Sampe-sampe dia terengah-engah (padahal, gw udah sering bilang tentang titik-koma, hela-napas, ama Ani. Tapi, masih aja. Pasti dia lupalah. Masih kecil, gitu lho).




Ani membaca dan gw mendengarkan.
"Lalu kepala kepiting itu putus dan menggelinding. Sang kera mengangkat kepala itu," kalimat itu gw dengar.

"Hah. Kenapa, Ni?"

"Tauk," kata Ani sambil mengangkat bahu.

Ya ampun. Itu buku cerita apaan sih?
Trus, ada lagi kalimat yang dibaca Ani, "Keparat! Sialan kamu," kata sang kera.

Ampun. Ampun. Ani, jangan baca buku itu lagi. Aduh, itu buku cerita anak-anak apa buku cerita kriminal sih? Ikutan kuliah cerita anak dulu, gih. Kalo gak, baca bukunya Ibu Riris K. Toha-Sarumpaet, deh, Hakekat [sic!] Cerita Anak .... (lupa judul lengkapnya, nyusul deh). Kalo gak, baca skripsi gw deh (hehe, belagu banget gw). Parah, parah, masa anak kecil disuguhin cerita pembunuhan hewan dengan cara brutal begitu. Bayangin, kepala kepitingnya putus, menggelinding, trus diangkat ama si kera (idih, serem bener). Udah gitu, kata-kata "keparat", "sialan" pun dengan gampang ditulisin ama tuh pengarang. Halah, halah.

Si Ani mah asyik-asyik aja bacanya. Orang dia baca kayak mobil di jalan tol (klo lagi gak macet). Terus aja gitu, gak ada jeda-jedanya buat nangkap maknanya. Dia udah baca semua isinya, tapi kalo disuruh ceritain apa isi buku itu, si Ani pasti langsung menjawab cepat, "Tauk," sambil mengangkat bahu dan melanjutkan bacaannya. Hehe, liat nih, gw bisa baca, itu kayaknya di pikiran Ani.

Trus, si Ani gak gw bolehin baca buku itu lagi. "Besok Ante Wied beliin buku yang bagus ya."

Di buku itu juga ada cerita tentang buah buni, yang diceritakan berasa enak sekali; sampai-sampai diperebutkan binatang-binatang di hutan. Halo ...., sang penulis. Kenapa harus buah buni sih? Gw aja kalo disuruh deskripsikan bentuk buah buni gak ngetri gimana, apalagi disuruh ngejelasin rasanya. Kenapa gak ceritain buah yang dekat dengan kehidupan anak-anak aja, sih? Lagian, emang iya rasa buah buni enak? Perasaan ....

Ani semakin suka baca. Baca apa aja.
Ah, Ani, maaf ya kalau Ante Wied jarang pulang dan gak sempet beliin Ani buku-buku cerita yang lucu, yang gak brutal, dan--yang kata ahli kesusastraan anak--"yang dekat dengan alam hidup anak-anak".

Selain baca, Ani juga suka nulis-nulis di diarinya (Cie, anak kecil aja punya buku hariannya). Isinya mah standar anak SD (waktu gw SD): nama, alamat, hobi, dll. Trus, ada beberapa nama temen-temennya. Ada jadwal mata pelajaran juga. Gw iseng aja bolak-balik tuh diari. Trus, tiba-tiba ada tulisan—sekitar di tengah halaman—ada tulisan "Lenny love (pake simbol hati) Fadil". Oh, kayaknya sih bukan si Ani yang nulis. Trus, gw tanya: “Ni, sapa yang nulis, Ni?” Dan, spontan dia langsung ngerebut tuh buku. Ow, ow .... Usut punya usut, Gita (Gita dah kenal Ani sejak dia berumur sekitar dua tahunan, waktu masih suka nangis malem-malem) bilang ke gw kalo dia pernah liat si Ani nulis-nulis nama Fadil, Fadil, berulang-ulang. Kayak kalo kita lagi jatuh cinta gitu; kan suka juga tuh tanpa sadar nulis-nulis namanya. Tapi, kalo si Ani yang nulis-nulis? Ya ampun, Januari besok dia baru 7 tahun gitu. Gw kayaknya gak gitu deh dulu—haha, ini penyakit orang dewasa; suka ngebanding-bandingin anak kecil ama dirinya di masa lalu.

Trus, saat keluar rumah, di dinding pagar, gw juga menemukan tulisan "Ani love (simbol hati) Fadil". Gw langsung ketawa. Dan, refleks si Ani menutupi dinding di depannya. Ada tulisan itu lagi di situ. Haha. Blunder. Padahal, kalo Ani diam aja, gw gak akan tahu di situ ada juga. Ani, Ani.
Trus, iseng-iseng, gw dan Gita nanya, “Fadil cakep gak, Ni?”
“Cakep, putih.” Haha. Kayaknya dulu—waktu umur si Ani—gw masih ingusan deh. Boro-boro tahu ada anak kecil yang lain yang cakep dan putih. Tapi, gak tahu juga sih, jangan-jangan ....

Thursday, December 14, 2006

Di Angkot, Kubaca Surat Cintamu

Mencuri dengar percakapan orang, mencuri baca bacaan orang merupakan jenis kejahatan yang sering terjadi di angkot. Biasanya, pelakunya kebanyakan kaum perempuan. Mungkin Anda juga pernah melakukannya atau pernah jadi korbannya. Jika tidak kesibukan di dalam angkot, saya juga kerap melakukannya, sekadar iseng mencari penghilang bosan. Namun, terkadang, sebenarnya, saya tidak mau melakukannya, tetapi kejahatan itu mengundang, misalnya si calon korban bicara terlalu keras sehingga seisi angkot mendengar atau si calon korban terlalu lebar membuka koran yang dibacanya sehingga head line-nya terbaca dengan jelas. Banyak juga motifnya, tetapi yang paling utama sebenarnya adalah karena orang dalam angkot tidak punya pekerjaan sehingga bawaannya iseng, seperti yang saya alami.

Kemarin sore, saya keluar kantor pukul lima. Mendung sudah hujan. Namun, kalau menunggu hujan berhenti, tak akan saya bertemu dengan magrib di Margonda, tempat kos saya. Hujan masih rintik saat saya mengambil kartu absen. Namun, untungnya saya bersama seorang teman yang membawa payung. Sayangnya, kami harus berpisah arah. Hujan berbaik hati memilihkan arah saya—tadinya, saya berencana naik angkot yang memutar agar tidak jalan kaki menuju angkot yang ke Depok. Hujan berhenti. Lalu, setelah salam perpisahan seperti biasanya dengan teman saya itu, saya naik angkot merah yang sudah sejak tadi ngetem, seperti biasa. Saat naik, saya terpeleset, tapi untung tidak sampai jatuh. Orang yang dalam angkot, seorang laki-laki, berkomentar standar, “Hati-hati licin, Mbak”. Orang itu sempat mengajak ngobrol, tapi saya lebih suka menikmati jalanan yang basah sehabis hujan. Jikapun tidak hujan, saya sebenarnya lebih suka diam daripada ngobrol dengan orang yang tidak dikenal di angkot.

Sampai di persimpangan tempat saya turun, tiba-tiba hujan menderas. Waduh, saya tidak bawa payung ataupun jaket. Terpaksa berhenti sebentar di depan warung indomi. Namun, saya memutuskan untuk menerobos hujan. Kangen juga untuk berjalan dalam hujan.

Sampai persimpangan jalan utama, saya ikut mendesak di depan sebuah toko telepon seluler bersama orang-orang. Saya lebih suka berjalan dalam hujan daripada berdiri dalam hujan. Angkot yang menuju Depok belum kelihatan, sedangkan hujan semakin bersirebut jatuh. Tak lama, angkot berwarna biru yang jarang sekali terburu-buru itu muncul. Lumayan kosong. Awalnya, saya duduk di bangku enam, tepat di depan pintu. Di belakang saya, hujan masuk lewat jendela yang tak rapat. Saya mencari-cari tempat di bangku empat. Seorang perempuan muda, dengan rambut panjang yang digerai, dan seorang anak laki-laki berusia tiga tahun mengambil tempat terlalu banyak. Anak itu berdiri berpegangan ke kaca belakang. Perempuan itu duduk miring ke arah si anak. Ada tempat kosong di antara mereka. Hujan deras dan genangan air semakin banyak. Salah satu hal yang pasti terjadi adalah air akan menciprat lewat pintu yang terbuka. Saat hujan lebat seperti ini, pengendara-pengendara di jalan raya menjadi semakin egois. Tak akan mereka pikirkan cipratan air yang mereka ciptakan saat deru mesin mereka semakin kencang.

Lalu, saya segera mengambil tempat di pojokan di bangku empat. Anak kecil yang asyik dengan botol susunya itu juga refleks duduk di sebelah saya. Anak itu melihat lama pada saya. Saya tersenyum kecil padanya, lalu memerhatikan si perempuan muda, mungkin kakaknya, pikir saya. Perempuan itu sedang sibuk komat-kamit. Ternyata, ia sedang membaca. Saya melirik. Yang dibacanya adalah kertas folio bergaris dengan tulisan tangan yang sangat rapat dan kecil-kecil. Dari tampilan kertas itu, sepertinya itu sebuah surat. Saya melirik lagi. Tulisan tangan itu terlalu kecil. Si perempuan masih komat-kamit tanpa suara, gaya membaca yang juga pernah saya lakukan, mungkin sewaktu SD.

Lalu, ia membalik halaman. Terbaca oleh saya tulisan yang tertera cukup besar di bagian atas, hlm. 4. Si perempuan masih serius. Saya memperhatikan anak kecil yang mulai menyenderkan kepalanya kepada saya. Anak ini siapanya, ya? Kok dari tadi tidak diperhatikan. Perempuan itu sibuk dengan bacaannya itu dan semakin membuat saya penasaran. Baca apa sih dia sampai serius sekali. Di depan saya ada seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka sibuk memikirkan hujan yang semakin deras. Mereka tidak peduli dengan perempuan yang sedang membaca itu, sepertinya.

Saya, karena tidak ada kesibukan dan juga telanjur penasaran, kembali melirik. Perempuan itu sampai pada bagian bawah kertas surat. Lalu, dengan gerak cepat, ia mendekatkan surat itu ke wajahnya. Ia mencium surat itu. Lalu, mendekapnya di dada.

Saya kaget. Tak menyangka ia melakukan itu. Wajahnya sumringah. Tampak bunga-bunga betebaran di sekelilingnya. Dan, saya sadar. Ooh … Itu surat cinta, toh. Lalu, ia melipat surat itu. Lalu, tangannya merogoh kantong celananya. Dikeluarkan lagi kertas yang lain (sebelumnya sudah empat halaman). Satu lembar kertas yang sudah kusut di sana sini. Sepertinya, itu kertas terakhir dari surat tersebut. Pada kertas itu, tulisannya lebih besar-besar dan ditulis dengan spidol warna biru. Saya melirik sekilas. Ada yang sempat terbaca oleh saya.  Sudut kemiringan kepala saya semakin besar. Sekarang, saya bukan lagi melirik, tapi menengok. Perempuan itu tidak akan tahu. Ia terlalu hanyut dalam komat-kamitnya. Di situ tertulis:

Sundari yang kucintai selamanya …. (meskipun merasa bersalah, rasanya saya ingin tertawa membaca kata-kata itu. Gombal bukan?)

Mohon maaf … bla bla….  (entah apa lanjutannya, tapi
mungkin intinya, maaf kalau ada salah-salah kata) .... maaf tidak bisa menulis panjang karena aku pusing mikiran kamu (mmpphhh … aku menahan tawa, tambah gombal lagi bukan?)

Lalu di bawahnya ada tulisan lagi, kira-kira begini:

Sebelumnya, aku mau ngasih pantun dulu.

Satu titik dua koma kamu cantik siapa yang punya

(waduh, ini pantu zaman kapan ya? Namun, bagus juga ada yang melestarikan)

Lalu, di bawahnya ada pantun lagi:

Bandung dulu baru jakarta senyum dulu baru dibaca

(pantun di atas juga tidak kalah silamnya. Lagi pula, si perempuan sepertinya sudah selesai membaca yang empat halaman sebelumnya. Jadi, tak cocok toh diletakkan di halaman belakang. Meskipun tidak membaca pantun itu, ia sudah tersenyum sejak tadi).

Semacam cinta yang sederhana. Saya jadi ingat puisi “Aku Ingin”-nya Sapardi.

Wajah perempuan itu semakin sumringah. Saya masih menahan tawa, maaf. Hujan masih deras. Anak kecil—yang entah apanya si perempuan—masih menyenderkan kepalanya kepada saya.

Perempuan itu melipat lagi kertas pantun itu, lalu mengeluarkan satu lembar lagi. Saya bertanya sendiri, “Masih ada lagi?”

Surat itu lengkap dengan tanggal di sudut kanan. Tulisan tangan kali ini kembali lagi kecil-kecil sehingga susah untuk dibaca dalam jarak jauh. Karena merasa terlalu terlibat jauh, saya tidak enak untuk tidak peduli begitu saja. Namun, saya hanya mampu membaca tulisan DIY, Jateng. Oh, dari Yogyakarta, toh, pikir saya. Lho, kok Jateng? Entahlah, mungkin saya salah baca.

Terakhir, saat perempuan itu melipat surat cintanya, saya melihat gambar hati yang ditembus panah dan tulisan “Sundari yang kucintai selamanya”. Terlalu gombal lagi. Namun, tampaknya, laki-laki yang mengirim surat itu begitu jatuh cinta. Dan, perempuan ini begitu percaya pada cinta sang lelaki, yang disampaikan lewat berlembar-lembar surat. Kertas-kertas surat itu dilipat kecil-kecil, lalu dimasukkan ke dalam kantong celananya. Lalu, ia berpaling pada anak kecil di sebelah saya. Anak itu dipangkunya.

“Nanti jangan bilang-bilang Mama kalau kamu kehujanan, ya,” katanya sambil mengusap-usap kepala anak itu. Anak itu mengangguk.

“Nanti bilang apa kalau Mama nanya ‘Adek dari mana?’” tanya si perempuan.

“Terima kasih,” kata si anak. Penumpang di depanku tersenyum. Aku juga.

“Nanti bilang kalau Adek abis main ke kampung rambutan,” lanjut si perempuan dengan nada yang riang. Ia benar-benar jatuh cinta, sepertinya.

“Makan rambutan,” kata si anak. Ha-ha-ha. Perempuan di depanku tertawa lagi.

“Bukan makan rambutan, bilangnya dari kampung rambutan,” ralat perempuan yang sedang jatuh cinta itu.

Saya tersenyum kecut. Anak kecil itu didikte. Mudah sekali.

Anak laki-laki yang sudah selesai dengan botol susunya itu melihat saya lagi. Lama. Mungkin ia menyadari saya telah melakukan kejahatan.
 

Monday, December 11, 2006

25.11


di sini, kita berdiri. dan tak pernah tahu apa yang ada di depan sana.

Wednesday, December 06, 2006

Mengenangmu, Ni

Ni, ternyata telah kau temukan jejak Cahaya itu. Aku bahkan belum sempat sampaikan padanya tentang pencarian seorang perempuan yang lemah lembut hatinya. Tentang pencarian seorang perempuan yang di tangannya tergariskan cinta. Yang di tangannya tergariskan kasih. Yang di tangannya tergariskan sayang. Yang di hatinya selalu ada ruang untukku. Hangat. Seperti saat aku dekat dengan ibu. Aku belum sempat sampaikan. Namun, hari itu, kau lebih dahulu menemukan Cahaya itu. Dan seakan-akan tak ingin Cahaya itu hilang lagi, kau tutup matamu. Kau dan Cahaya itu telah satu. Selamat jalan, Ni ....


Tuhan, milik-Mu-lah segala cahaya. Dan, langkah hari pada siang itu telah membawa Cahaya (milik-Mu) kembali. Tempatkanlah ia bersama kemuliaan-Mu di sana. Ni, maaf, hanya doa yang tertitip, lagi-lagi—

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin