Penjual Kenangan

Sunday, October 27, 2013

Menikah

gambar pinjam di sini!



Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk memutuskan dengan pasti bahwa kau akan menikah dengan seseorang? Tampaknya, ini bukan perkara yang sama dalam memilih kau mau es teh manis atau es lemon tea. Ini tentang orang yang akan mengikat janji atas nama Tuhan dan berjanji menjagamu sampai mati (plus dalam kenangan sampai akhir hayatnya pula).

Beberapa waktu lalu, seorang teman bercerita bahwa meski “tidak suka-suka banget”, ia akhirnya memutuskan menikah karena sang laki-laki pendiam yang kini jadi suaminya itu ngotot. Namun, ia baik dan bertanggung jawab. Cinta, biarlah nanti disemai dan disuburkan seiring detak-detak waktu yang berjatuhan. Begitu katanya, yang malah saya tambahkan pula, “Iya, sih, susah pula laki-laki baik sekarang.” (Soalnya, baru tahu ceritanya setelah dia nikah :p). Namun, hal itu tidak terlalu mengganggu benak saya karena mereka pun memang berpacaran.

Lalu, hari ini, seorang teman membawakan kue dan tiba-tiba saja mengabarkan bahwa ia telah menikah beberapa hari yang lalu di tempat kelahirannya. Kabar yang sempat bikin mata terbelalak dan mulut menganga karena ia mengatakan itu seperti sekadar bilang, “Saya tadi sudah minum teh manis.” Seakan bukan tentang “berjanji sehidup-semati dengan seseorang yang akan kau temui ada di sisimu ketika kau terbangun pada pagi hari”. 

Ia bilang, alasannya ibunya “seneng” kepada laki-laki itu. Alasan yang saya pikir sungguh sederhana. Orangnya memang telah dikenal keluarganya, tetapi ia bahkan hanya beberapa kali bertemu dengan laki-laki itu dan tidak terlalu “kenal”. Dalam hitungan tiga minggu dari pertemuan kembali (setelah bertahun-tahun), akhirnya mereka menikah. Kemarinnya masih ragu, esoknya perempuan itu sudah mengiyakan kepada sang Ibu. Laki-laki itu pun memutuskan hanya dalam tiga hari. Waktu yang begitu singkat.

Saya pikir, hal itu hanya terjadi dalam cerita-cerita lampau ataupun cerita fiksi, tetapi hari ini saya menemukan tokoh nyatanya. Binar mata perempuan itu begitu tulus. Saya belum terlalu lama kenal teman saya ini, tetapi dari sikap dan gaya tuturnya, saya percaya ia tidak mereka-reka ketika bilang belum “ada rasa” saat memutuskan mau menikah dengan laki-laki itu. Satu alasan kuat yang membuat ia yakin adalah ibunya “seneng” dengan laki-laki itu. Ia begitu memercayakan pilihan kepada ibunya.

Ia menerima pinangan laki-laki itu meski tanpa rasa yang kita sebut cinta. Hanya berbekal ikhlas atas pilihan perempuan yang ia sebut Ibu, yang dari rahimnya pernah ia “sesap” hidup.

Ah, benar-benar masih ada tokoh itu. Jika dia berada dalam novel romance yang saya edit, saya akan meminta penulisnya menambahkan alasan lain bagi sang perempuan, apa punlah—diam-diam ia menyimpan cinta pula kepada sang laki-laki sejak lama, mungkin. Atau ada “momen manis” dengan laki-laki itu. Atau apalah yang lebih logis dan lebih dalam lagi buat tambahan alasan “ibunya seneng dengan laki-laki itu”. Toh, ia termasuk perempuan modern, menempuh pendidikan di kota metropolitan. Orang bilang, cinta saja tidak cukup, apalagi jika tanpa cinta, ya, kan?

Namun, hidup terkadang memang tak perlu alasan logis. Atau, mungkin saya—kita—yang terkadang hanya menelusuri arti “logis” dalam kehidupan itu hanya sekulit ari. Ikhlas yang ia persembahkan untuk sang Ibu—yang ia simpan di senyum dan matanya—tampaknya telah menghancurkan berbagai teori kelogisan yang ingin saya pertanyakan.

Malam ini, terkirim doa untuknya, semoga melimpah bahagia dalam keluarganya sepanjang perjalanan. :')

Begitulah cerita hari ini. Nah, kau, berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk memastikan hatimu dan mengatakan “iya” untuk seseorang yang akan jadi teman perjalananmu sepanjang masa nanti?

Tuesday, October 01, 2013

Hari Semakin Kelam, Angin Semakin Dingin, dan Hati Semakin Beku [1]

i owe the pic!

            
Embusan angin sore pantai itu menembus baju dan kain usang yang dikenakannya. Dinginnya terasa sampai ke tulang-tulang tuanya yang ringkih. Namun, ia tetap berdiri memandang hamparan laut di pelabuhan yang terletak di selatan kota Padang itu dengan bertopang pada tongkat kayu yang setia menemani langkahnya. 

Setiap sore, di akhir pekan, perempuan tua itu selalu menanti kedatangan kapal yang membawa anaknya kembali dari rantau. Suasana pelabuhan cukup ramai. Akhir pekan merupakan hari pasar di pelabuhan ini. Beberapa kapal yang membawa beraneka barang dagangan akan merapat. Akan tetapi, ia tidak hanyut dengan suasana pelabuhan. Ia hanyut dengan suasana hatinya. Tujuh tahun lalu, di pelabuhan ini juga ia melepas anak satu-satunya itu.
            “Mande [2], setiap bulan akan awak [3] kirimkan Mande kabar. Usahlah Mande bersusah hati seperti ini.”
            “Malin, hati Mande tak Mande pikirkan. Engkau yang Mande pikirkan, Malin. Di kampung saja kita tidak ada sanak saudara, apalagi di nagari seberang nan jauh itu, Malin. Mande tak tega mendengar engkau terlunta-lunta di rantau, Malin.”
            Saat itu, air mata menghujani pipinya yang keriput dimakan usia.
            “Mande, awak sudah besar, lah bisa menjaga diri. Lagi pula, awak bersama Kasim. Tak usah Mande khawatir. Di kampung kita ini, hanya makan saja yang kita dapat, Mande. Biarlah awak mengadu nasib di rantau.”
            Malin, kalau sudah dapat makan, sudah cukup bagi Mande. Berjualan tapai, seperti yang Mande kerjakan sekarang, memang tidak cukup untuk bisa hidup seperti dulu Malin. Tapi, Mande bahagia kalau hidup bersama engkau, Nak. Andai saja, badan Mande ini masih kuat Malin, akan Mande kerjakan sawah-sawah orang.
Tapi, itu hanya bisik-bisik di hati perempuan tua itu. Ia tidak bisa menentang tekad bulat anaknya yang katanya, bosan hidup susah. Anaknya itu ingin juga merantau, mencoba ikut orang berdagang. Bukankah dulu ayahnya seorang pedagang yang cukup kaya.
            Gambaran itu masih melekat erat di benak perempuan tua yang saat ini masih berdiri di tepi pantai itu. Kembali, air hangat bergulir dari matanya. Namun, hangat air itu tidak mampu mengusir dingin angin pantai, malah membekukan hatinya. Ia biarkan air itu mengalir di pipinya. Mungkin, air mata yang berjatuhan ke pasir itu bisa bersatu dengan air laut dan kemudian dapat memanggil anaknya yang tak pernah kembali.  Ia tetap berdiri dan tidak ingin duduk sekejap pun. Kali ini, ia tidak ingin kapal yang ditumpangi anaknya terlewatkan.
            Malin, mana engkau, Nak? Lah putiah mato Mande mamandang. Bilo engkau tibo, Nak[4]
            Dulu, ia juga pernah menanti seperti ini. Menanti suaminya yang pulang berdagang. Namun, tidak seperti yang dialaminya sekarang, dulu penantiannya selalu berujung. Masa-masa indah yang selalu dikenangnya.
            Suaminya adalah seorang pedagang yang cukup kaya. Mereka hidup lebih dari berkecukupan. Mereka memiliki rumah yang tergolong bagus di kampung. Kebahagiaan itu bertambah saat kelahiran anak laki-laki mereka yang kemudian dinamakan Malin Kundang. Sampai usia Malin enam tahun, kebahagiaan itu masih mereka miliki. Akan tetapi, suatu hari saat Malin mulai menginjak setengah usianya pada tahun ketujuh, cobaan menimpa mereka. Ayah Malin ditipu habis-habisan oleh relasi dagang yang paling dipercaya. Akibatnya, rumah, sawah, habis untuk membayar utang dagang.
            Ayah Malin mengalami goncangan jiwa yang cukup berat dan kemudian berubah menjadi penyakit. Ibu Malin yang biasa hidup senang mulai mencoba berjualan makanan pada hari pasar. Malin mulai mengerti arti penderitaan. Jika ayahnya cukup sehat, Malin kecil ikut membantu ibunya berjualan di pasar. Jika tidak, Malin kecil menjaga ayahnya itu.
Biaya makan mereka bertiga hampir tak tercukupi. Apalagi ditambah biaya pengobatan ayah Malin  yang sangat besar. Sisa-sisa perhiasan ibu Malin habis tandas.
            Orang-orang yang mengaku sanak saudara sedikit demi sedikit menjauh. Anak-anak pun segan bergaul dengan Malin, kecuali Kasim. Cobaan terberat akhir datang saat Malin tepat berusia tujuh tahun. Ayahnya meningal dunia dan hanya meninggalkan rumah gubuk. Malin Kundang semakin mengerti akan arti penderitaan. Anak itu tumbuh menjadi laki-laki pekerja keras, tetapi tertutup. Ia bertekad untuk mencampakkan penderitaan jauh-jauh, jika nanti sudah besar.
            Sekarang anaknya itu pasti bertambah besar. Seperti apakah dia kini? Pastilah gagah seperti ayahnya dulu. Hati ibu Malin berkecamuk.
            “Malin, cepat pulang, Nak. Mande rindu engkau, Nak...,” lirih bisik itu terdengar dari mulut perempuan yang telah melewati beribu-ribu malam sendirian di rumahnya yang semakin reyot.
            Setelah engkau pergi, hanya dua kali kabar yang Mande dengar dari engkau, Nak. Setelah itu, Mande tak tahu lagi bagaimana kabarmu. Apakah engkau masih hidup atau tidak pun, Mande tak tahu, Nak. Tapi, dalam hati Mande selalu yakin engkau baik-baik saja. Engkau—mewarisi sifat ayahmubukan orang yang mudah menyerah, Nak. Meskipun akhirnya ayahmu itu pun kalah, Mande tahu engkau lebih tangguh, Malin.
            Perempuan itu semakin hanyut dengan perasaan cintanya kepada sang anak. Tujuh tahun masa penantiannya pada Malin akan berakhir hari ini, di tepi laut ini. Kabar yang dibawa Kasim, sahabat anaknya yang akhirnya kembali ke kampung halaman karena tidak betah bekerja di rantau mengobati penantian sia-sia yang dilakukannya pada pekan-pekan yang sudah lewat. Ia ingat saat Kasim mampir ke gubuknya, sepekan yang lalu.
            “Mak, kapal tempat Malin bekerja itu akan merapat lama pada pekan depan.”
            “Seperti apa dia sekarang, Sim?” tanya perempuan itu dengan matanya yang berkaca-kaca.
            “Awak indak tahu juga, Mak. Tempat kerja kami terpisah jauh sejak empat tahun lalu. Awak indak pernah lagi bertemu dengan Malin. Indak ada waktu istirahat dari pekerjaan awak. Itulah yang membuat awak memutuskan pulang lagi ke kampung, Mak. Hidup di rantau itu susah.” Kasim bercerita panjang lebar pada perempuan tua yang telah menumpuk-numpuk rindu di hatinya. “Tapi, awak tahu benar jadwal kapalnya merapat di pelabuhan kita, Mak.”
            Hari hampir kelam, tapi kapal yang membawa Malin belum juga datang.
            Malin, capeklah tibo, Nak. Lah tambah dingin beko nasi jo sambalado hijau kasukoan ang nan Mande masak tadi pagi. [5]
            Hari semakin kelam dan lembar harapan di hati ibu Malin tak berkurang sedikit pun, malah semakin bertambah. Ia yakin anaknya akan datang.
            Tubuh ringkih itu menjadi sangat kuat ketika mendengar suara kapal dari jauh. Matanya berbinar-binar. Itu adalah kapal terakhir dan ia yakin anak tercintanya berada dalam kapal itu. Firasatnya kali ini pasti tepat.
            Ia segera mendekat ke pintu pelabuhan. Oleh karena tidak boleh melewati tali pembatas, ia berdiri sedekat mungkin dengan pintu. Orang yang akan turun dari kapal terlihat jelas dari tempat itu.
            Kapal dagang yang sudah merapat itu lebih bagus dari beberapa kapal yang tadi melabuh. Mata perempuan tua itu tidak lepas memandangnya. Beberapa orang turun memanggul barang dagangan. Namun, ibu Malin tidak menangkap sosok anaknya di antara mereka. Debaran dadanya yang sejak tadi sudah tidak beraturan, semakin tidak beraturan. Ia mulai takut. Tapi, keyakinan masih tersisa.
            Seorang laki-laki berpakaian sangat bagus keluar dari geladak kapal. Ia sangat gagah dan tampak sangat terhormat. Seorang perempuan muda yang cantik menyusul dari belakang. Laki-laki gagah itu menyambutnya dengan senyum. Mata tua perempuan yang sejak tadi menanti di pelabuhan itu menangkap senyum yang selalu diingatnya itu. Senyum itu milik anaknya.
            “Malin...?” gumamnya terdengar lirih. Ia mulai tidak percaya pada mata tuanya.
Laki-laki dan perempuan itu turun dari kapal dan beranjak menuju pintu keluar. Perempuan tua yang masih terpaku itu mengerjap-gerjapkan matanya dan ia yakin mata tuanya masih berfungsi. Laki-laki itu memang Malin Kundang, anak tercintanya.
            Air matanya mengalir deras. Anaknya akan pulang ke rumah membawa perempuan cantik yang akan diperkenalkannya padanya. Kebanggaan menyelimuti hatinya.
            “Malin, akhirnya engkau pulang juga, Nak,” ujarnya sambil berjalan tertatih dengan tongkat kayunya mendekati laki-laki yang hampir melewatinya begitu saja. Ia ingin segera memeluk dan menumpahkan kerinduannya kepada anaknya yang tampak sangat gagah itu.
            Laki-laki itu tampak terkejut dengan kehadiran perempuan tua yang menyebutnya dengan nama Malin. Begitu juga dengan perempuan cantik yang berada di sisinya.
            “Malin, engkau gagah sekali, Nak.” Perempuan tua itu mencoba menyentuh pakaian bagus yang dikenakan laki-laki itu.
            “Siapa kau?” tanya laki-laki itu bengis sambil menepis tangan perempuan tua itu. Perempuan di sampingnya bergidik menunjukkan rasa jijik.
            Perempuan tua itu tiba-tiba menjadi bisu.
            “Pergi sana, Pengemis! Aku tidak punya uang kecil!” bentaknya lagi.
            “Malin, ini Mande, Nak. Mande, Malin, bukan pengemis.”
Air mata yang sudah sejak tadi mengalir dari mata tua perempuan itu membuat pandangan matanya menjadi kabur. Badannya bergetar hebat. Tampaknya tongkat kayu yang menopang tubuhnya juga ikut merasakan getaran itu.
            “Perempuan tua! Jangan sembarangan kau. Aku sudah tidak punya Mande. Mande-ku sudah lama meninggal.” Kebengisannya tidak berkurang. Ia segera meraih tangan istrinya, mengajaknya segera pergi. Berpasang-pasang mata memperhatikan mereka.
            “Malin, Malin, jangan pergi, Nak.”
            Perempuan tua itu berusaha mengejar dan menarik lengan baju laki-laki muda tersebut. Namun, laki-laki muda itu menarik dengan kasar lengannya dan mendorong perempuan tua itu. Tubuh ringkih yang hanya ditopang tongkat kayu itu terjatuh terhempas ke pasir pantai. Laki-laki itu hendak segera berlalu, tetapi teriakan perempuan dan tatapan mata orang-orang menghentikan langkahnya.
            “Malin... ini Mande yang melahirkan engkau, Nak. Buyuang,[6]  permato hati Mande. Tujuh tahun, Malin. Tujuh tahun Mande menunggu. Tujuh tahun Mande menderita sendirian, Nak. Mande rindu engkau, Nak. Jangan... pergi, Malin..., jangan....Suara perempuan itu lama-kelamaan hilang ditelan isak tangisnya. Yang tertinggal hanya isak tangis yang sangat memilukan.
            Semua orang pun bisu. Hanyut dalam isak tangis itu.
            “Ini... Man-de... Malin.... Mande... yang... lahir-kan engkau...,” lirih suara terdengar lagi di sela isaknya.
            Namun, laki-laki itu tetap mematung. Ia sekarang saudagar kaya menggantikan mertuanya yang telah meninggal. Ia sekarang terhormat dan disegani semua orang. Ketika bekerja ia sangat disayang oleh majikannya. Apalagi dengan kisah hidupnya yang tragis sebagai yatim piatu. Ia telah mengaku sebagai yatim piatu. Sekarang, di hadapannya hadir seorang perempuan tua yang sangat tidak layak menyentuh pakaiannya dan mengaku sebagai ibunya.
            Ia melirik perempuan cantik yang berada di sampingnya. Perempuan itu adalah anak majikannya yang berhasil dipersuntingnya. Saat ini, air muka perempuan itu menunjukkan rasa sangat tidak suka pada perempuan tua yang berada di depannya. 
            Ia telah mengaku sebagai yatim piatu. Ia tidak sudi mengotori namanya sebagai pembohong pada istri dan keluarganya. Ia telah lama bertekad untuk membuang kesengsaraan dari hidupnya.
            “Aku tidak pernah dilahirkan dari rahimmu, Nenek Tua!” ucapnya dengan mata menyimpan amarah.
            Mendengar itu, hati perempuan tua itu semakin hancur seperti butir-butir pasir di pantai itu. Ia tidak menyangka yang tadi telah menghempaskan adalah Malin Kundang yang dilahirkannya dengan mempertaruhkan nyawa. Ia tidak menyangka Malin Kundang, anak yang sembilan bulan dalam kandungannya itu akan mengingkari dirinya sedemikian rupa.
            Benarkah dia Malin Kundang? Malin yang rengeknya telah menghabiskan malam-malam perempuan itu, Malin yang sewaktu kecil mengiringi langkahnya dan bergelayut di lengannya saat ke pasar, Malin yang setiap malam telah membuat air matanya berjatuhan. Malin itu kini telah menusuk hatinya dengan sengaja. Sakit hati itu terasa ke setiap helaan napasnya.
            “Durhaka engkau, Nak. Durhaka engkau kepada ibumu.”
            Malin bergegas pergi. Namun, sayang, bonggol akar yang menyembul menangkap kakinya dan ia tersungkur.
            “Durhaka engkau, Nak. Jadilah engkau batu seperti hatimu itu!”
            Malin Kundang yang jatuh tersungkur tiba-tiba, secara ajaib, menjelma menjadi batu tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun lagi. Juga maaf.
            Seorang ibu yang tidak dapat lagi menahan sakit hatinya telah mengucapkan hal yang benar-benar keluar dari lubuk hatinya. Dan, ternyata Yang Mahakuasa mengabulkan perkataannya itu.
            Melihat Malin Kundang menjadi batu, lidah perempuan tua itu kelu. Ia tidak ingin berhenti menangis. Namun, air matanya telah mengering.
            Segaris senyum terpahat di bibirnya. Di pantai itu, penantiannya akhirnya berujung. Malin Kundang, anaknya itu, akan selalu berada di dekatnya dan tak akan pergi ke mana-mana lagi.
            Di pantai itu, hari semakin kelam, angin semakin dingin.
            Dan hati semakin beku.
             
Depok, 5 November 2004      





       [1] Penceritaan kembali Malin Kundang, cerita rakyat dari Minangkabau, Sumatra Barat. Widyawati Oktavia, Tugas IV Penulisan Populer I, Kelompok Rabu, Pkl. 10.30 WIB
       [2] Ibu
       [3] Saya
       [4] ‘Sudah putih mata Ibu memandang’ (ungkapan ini digunakan orang Minang untuk menunjukkan penantian yang sudah cukup lama). ‘Kapan engkau tiba, Nak?’ 
       [5] ‘Malin, cepatlah sampai, Nak. Sudah tambah dingin nasi dan sambal hijau kesukaanmu yang Ibu masak tadi pagi.’
          [6] Panggilan kepada anak laki-laki.

TIGA ORANG DI RUANG TUNGGU


gambar dipinjam di sini!


            Aku memejamkan mata, menahan sakit seolah-olah seribu jarum menusuk-nusuk gusiku. Namun, hal itu tidak mengurangi rasa sakitnya. Gusi bagian atas, sebelah kanan, tempat gerahamku tumbuh terasa semakin berdenyut-denyut. Aku membayangkan seribu jarum itu ditusukkan melalui celah-celah gerahamku yang berlubang.
            Aku benci sakit gigi! teriakku dalam hati.
            Di luar, hujan masih mengguyur tanah dengan deras sehingga aku tidak dapat
pergi ke mana-mana dan hanya dapat meringkuk di tempat tidurku. Obat sakit gigi yang sejak tadi sudah aku telan belum juga terasa khasiatnya. Aku membenamkan kepalaku di bantal sambil merapatkan geraham kanan bagian atas dan bawah dengan keras. Dengan demikian, rasa sakit tersebut agak berkurang. Aku tetap memejamkan mata dan berdoa semoga rasa sakit ini segera hilang.
            Entah beberapa lama kemudian, udara dingin menerpa tubuhku dan aku segera membuka mataku. Aku sangat kaget mendapati diriku sedang duduk di dalam ruangan yang bukan kamar kosku. Kamarku yang sempit telah berubah menjadi ruangan luas bercat putih dengan lampu terang-berderang. Bau alkohol yang menyengat menyusup ke hidungku. Bau khas rumah sakit, otakku langsung mengenalinya.
            Di hadapanku, sederetan kursi plastik berwarna biru yang melekat satu sama lain terletak merapat ke dinding dan memanjang ke kanan. Kursi itu serupa dengan kursi yang aku duduki. Saat aku sadari, ternyata aku duduk di bagian ujung kursi yang juga meman-jang ke kanan ke arah pintu masuk. Tulisan Loket Pendaftaran Pasientergantung di ujung ruangan dekat pintu masuk, sejajar denganku. Di sebelah kiri kursi di hadapanku, terdapat sebuah pintu dengan tulisan Ruang Periksa.
            Ruangan itu mirip dengan ruang tunggu di Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) UI, tetapi lebih luas dan lebih terang. Lalu, aku ingat bahwa aku sakit gigi. Namun, sekarang sakit itu tidak terasa lagi. Jadi, kenapa aku di sini?
            Tiba-tiba hawa menjadi lebih dingin dan tiba-tiba pula aku merinding.
            Aku hanya sendirian di sini, pikirku.
            Ketika aku hendak berdiri untuk segera pergi dari ruangan ini, tiga orang masuk beriringan. Tanpa berkompromi lebih dulu, jantungku mempercepat detaknya dan tak bisa kukendalikan. Saat mencoba beranjak, tubuhku seperti dipakukan ke kursi. Aku tidak bisa bergerak.
            Orang-orang itu masuk, kemudian berhenti dan antre di depan loket pendaftaran. Namun, aku tidak tahu apakah mereka yang sedang antre itu layak disebut orang atau tidak. Laki-laki muda dengan rambut gondrong yang berdiri di bagian depan mulai menulis di loket itu. Tiba-tiba, dia menengok ke arahku dan memperlihatkan kedua matanya yang pecah. Darah kering mengumpal-gumpal di sekitar matanya. Bajunya penuh darah. Aku merasakan perutku mual.
            Namun, aku tidak tahu kenapa aku masih juga duduk dan melihat lagi orang yang di belakangnya, yaitu laki-laki tua yang seluruh kulit keriputnya berjuntai-juntai. Laki-laki itu menyeringai terlalu lebar kepadaku sehingga kedua ujung bibirnya robek. Akan tetapi, tidak ada darah yang keluar. Aku benar-benar ketakutan. Aku tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.
            Aku memaki mataku yang kemudian mengalihkan pandangan ke orang berikutnya. Ia adalah seorang perempuan muda yang sedang hamil. Lingkaran hitam mengeli-lingi matanya yang cekung, seperti mata orang yang sudah lama mati. Namun, hal yang lebih mengerikan adalah darah yang mengalir dari balik dasternya. Darah itu menuruni kedua kakinya perlahan dan menggenang di tempatnya berdiri dan kemudian genangan itu semakin lama semakin melebar.
            Tuhan, tolong aku! Kenapa aku tiba-tiba lupa semua bacaan ayat suci? Aku memejamkan mata dan berteriak dalam hati.
            Saat kubuka kembali mataku, ketiga orang itu sudah duduk berdampingan di kursi di hadapanku. Namun, mereka tidak memedulikanku. Mereka menatap lurus ke depan. Darah perempuan hamil itu masih mengalir dan membentuk garis panjang dari arah loket sampai tempat ia duduk saat ini. Keringat dingin sudah sejak tadi membasahi bajuku.
            Tak lama kemudian, seorang laki-laki berbaju putih dan berkaca mata yang tam-pak seperti dokter keluar dari pintu ruang periksa di depanku. Ketiga orang itu langsung berdiri dan masuk ke dalam. Sebelumnya masuk ke dalam ruangan yang ternyata sangat gelap itu, mereka sempat menatapku dengan senyum yang semakin membuatku ketakutan.
            Aku sedikit lega karena mereka telah masuk. Namun, tiba-tiba saja dokter yang tadi berjalan ke arahku. Ia menarikku dengan kasar. Aku berteriak-teriak berharap ada orang menolongku. Saat ia menyeretku ke dalam ruang tempat tiga orang menakutkan tadi masuk, tangan kiriku bertahan di senderan kursi dekat pintu. Namun, tenaga dokter itu lebih kuat dan peganganku lepas. Aku masuk ke dalam ruangan yang gelap itu. Ruangan itu berguncang-guncang. Aku semakin berteriak sekuat tenagaku. Keringat semakin membasahi bajuku.
***
            “Wid, Wid, bangun!”
            Aku merasakan guncangan semakin keras.
            “Wid, bangun, dong!”
Aku membuka mataku dan ternyata ruangan masih gelap.
“Lo ada lilin nggak? Mati lampu nih!” Suara Gita terdengar dalam gelap.
Aku menarik napas lega dalam gelap. Ternyata, Gita yang mengguncang-guncang badanku.
“Woi! Lo dah bangun belum, sih? Ada lilin nggak?”
“Tadi gue mimpi serem banget, Git. Sumpah! Serem banget!” Aku tak berani membayangkan wajah-wajah menakutkan yang ada dalam mimpiku tadi.
“Lagian, sih lo, magrib-magrib tidur. Gimana nggak mimpi serem. Udah gitu, lo tidur lama banget tau nggak.”
“Iya, tadi kan gue sakit gigi.” Aku memegang-megang pipiku kananku untuk memastikan denyut di gusiku. Ternyata, gusiku itu tidak terasa sakit lagi. Akhirnya, obat sakit gigi yang tadi kutelan bereaksi.
“Wid, Lo punya lilin nggak, sih?” Gita sudah bosan karena pertanyaannya tidak kugubris.
“Eh, mati lampu, ya? Pantesan gelap banget. Aduh! Kipasnya mati juga lagi, gue gerah banget nih.”
 “Ya elah! Kan udah gue bilang dari tadi.”
“Tolong cariin lilinnya, Git, di laci nomor dua. Gue masih syok, nih!” ujarku sambil mengibas-ngibaskan bajuku yang dibasahi keringat.


___________________

Widyawati Oktavia
Tugas IV Penulisan Populer I (yang diajar oleh seorang dosen kondang, Almarhum Ismail Marahimin)
Kelompok Rabu, Pkl. 10.30 WIB, 2004

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin