Penjual Kenangan

Friday, December 26, 2014

Sepotong Masa Lalu Dalam Hujan di Afternoon Tea




Hujan sore ini membawa saya ke sebuah kedai kecil bergaya Eropa kuno yang didominasi warna putih dan salem tua. Sebuah kedai kue. Hujan menjebak saya, tetapi kali ini sepertinya di tempat yang tepat. Tak ada salahnya menunggu hujan reda di kedai cantik ini.

Saat membuka pintu, dencing lonceng kecil di toko kue ini menyambut. Ketika hendak beranjak ke meja sudut dekat jendela lebar berbingkai putih, sesuatu menghentikan saya—yang akhirnya membuat saya memilih meja tak jauh dari sana. Seseorang tepatnya. Seorang perempuan dengan kue cokelat di mejanya.

Mungkin mata saya tak lepas dari meja perempuan itu ketika seorang pramusaji datang dan menawarkan pesanan, pesanan yang sama dengan perempuan di meja sudut. "Soufflé cokelat," katanya, "menu istimewa koki kami." Senyum hangat perempuan itu seakan menyihir dan membuat saya mengangguk, mungkin saja hari ini memang hari istimewa, pikir saya.

Kala menatap sudut-sudut kedai yang sepi pengunjung hari ini, kecuali perempuan souffle itu, saya seakan menemukan sudut-sudut itu dipenuhi kenangan. Lalu, saya teringat sebuah pertanyaan yang diajukan kepada saya beberapa waktu lalu oleh sesorang: apa kenangan yang tak pernah kau lupakan? Kala itu, saya berpikir-pikir dan memberikan jawaban tentang goresan nama-nama di dinding tua rumah rumah masa kecil saya. Goresan yang dituliskan Ayah setiap anaknya lahir. Ayah, laki-laki itu, yang telah lama menjelma kenangan—menjelma masa lalu.

Pramusaji itu datang lagi, membawakan saya menu istimewanya. Ia bilang, itu buatan koki andal di toko kue ini. “Tapi, tak seperti soufflé buatannya yang hangat dan manis, ia sedikit dingin,” candanya kepada saya tentang koki pembuatnya, yang saya tebak adalah seorang laki-laki. Anise, ia memperkenalkan namanya. Kala itu, saya merasa kalau ia sedang berusaha menata hatinya, tetapi malah menyempatkan diri menghibur saya yang terjebak hujan.

"Kau sendirian?" tanyanya, kemudian entah bagaimana saya meminta agar ia duduk menemani saya. An tak keberatan melakukannya dan saya mendapati ia melirik penasaran ke perempuan di meja sudut—dan kami seakan mengawasi perempuan di meja sudut itu. Lalu, hari ini, sebuah kisah masa lalu saya hadir di meja kayu ini. Di hadapan Anise, seorang perempuan yang ternyata bukan pramusaji, melainkan juga seorang koki.

***

Ada sebuah kisah yang sejak lama terpatri di benak saya. Lekat. Kenangan tentang seseorang yang saya sayang, ayah saya. Kala itu, saya baru berusia enam tahun. Kami menginap di rumah kakak tertua saya. Ayah bertanya apakah saya sudah minta hadiah kepada Kakak sebelum kami pulang. Lalu, gadis kecil itu menjawab dengan lugas, “Aku tidak suka meminta, Ayah. Mungkin Ayah yang suka.”

Hingga kini, saya masih mengingat dengan jelas adegan di depan pintu itu. Seakan saya masuk ke putaran waktu dan menyaksikan gadis kecil berbaju terusan selutut dan aksen pita di pinggangnya. Gadis itu dengan polos berkata kepada sang Ayah di depan banyak orang.

Hari itu, entah bagaimana saya ingat, air mata jatuh dari mata laki-laki paruh baya itu.  Lalu, kenangan itu mengendap menjadi perasaan bersalah pada diri gadis enam tahun itu, membuatnya luka setiap mengingat air mata yang jatuh itu.

Entah kapan saya mulai mengingat kenangan itu, saya lupa. Mungkin setelah ayah saya meninggal dunia. Yang saya tahu saya telah membuat luka seseorang yang saya sayangi dan rasanya begitu sakit, melebihi luka terkena sembilu di jari manis saya. Ketika dewasa, saya menerka-nerka, mungkinkah saya telah melukai harga diri ayah saya? Pertanyaan itu mengendap bertahun-tahun setelah ayah saya tiada.

Hari ini, kenangan itu hadir kembali, di hadapan An. Kenangan itu hampir membuat saya tenggelam jika saja suara itu tidak begitu jelas di telinga saya, “Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja. Hujan pasti berhenti. Setelahnya, kau akan melihat pelangi.” Saya pikir kata-kata itu diucapkan kepada saya. Namun, ternyata kepada seseorang di meja sudut.

Perempuan yang bicara itu, dia adalah An. Anise. Perempuan baik hati yang menemani saya di Afternoon Tea. Perempuan yang bisa kau temui dalam novel Walking After You. Seorang perempuan yang juga terjebak di masa lalu. Perempuan yang mencoba mengejar impian yang bukan miliknya agar perasaannya bisa bahagia. Namun, yang ia temukan malah luka.

An, perempuan berbau rempah-rempah itu menyembunyikan luka di balik tawanya. Lalu, hari ini, dia juga seakan bicara kepada saya. Bahwa semua akan baik-baik saja.

Ketika saya menatap ke meja sudut, gadis yang duduk di sana sudah tak ada lagi. Hujan pun sudah berhenti. Lalu, An, saya pun tak menemukannya lagi. Namun, hari ini, dia telah menemani saya bercerita. Menceritakan kisah sedih yang telah lama saya sembunyikan. Dan, ketika ia bicara bahwa semua akan baik-baik saja, saya seakan merasa ia juga sedang bicara kepada dirinya sendiri. An, semoga lukanya pun terhapus dalam hujan, dalam manis soufflé istimewa.

An, bisa saja dia adalah saya. An, mungkin saja dia adalah kau. Bersama An, kita akan mencoba memaknai kehilangan, juga arti memaafkan.

Kau tahu tak ada saat yang tepat untuk melupakan masa lalu. Hanya ada waktu yang tepat untuk memaafkan, menerima sesuatu yang telah menjadi bagian hidupmu.




***

Ketika bercerita kepada An tentang kisah ayah saya itu, saya masih mengingatnya dengan pilu. Namun, kau tahu, ada sesuatu yang terangkat dari diri saya ketika selesai menyampaikannya. Mungkin, memang benar yang orang katakan, rahasia yang paling rahasia adalah rahasia yang kau sembunyikan dari dirimu sendiri. Ketika terjebak dalam masa lalu, tak banyak yang bisa kau lakukan jika kau berdiam diri di sudut rahasiamu. Kau harus bisa menemukan seseorang yang bisa kau percaya untuk kau bagi kisah paling rahasiamu. Agar hatimu pasti bahwa kau tak sendiri.

Saya keluar dari kedai kecil bergaya Eropa kuno itu, dan menatap papan kayu yang tergantung di langit-langit teras bangunan: Afternoon Tea.

Sore yang hujan itu, saya bertemu seorang perempuan yang istimewa di toko kue ini. Belajar banyak darinya. An, nama perempuan itu, tak akan terlupa nama manis itu.

Bersama An, kau akan berbagi rahasia. Kau akan menemukan masa terpuruk gadis periang itu. Namun, kau juga akan menemukan makna mendalam ketika ia mengisahkan “Pelangi Dalam Gelas Kaca”, dan merasa kau tak sendiri yang terjebak dalam masa lalu. Kau akan tahu bahwa kau pun mampu segera keluar dari masa lalu—tempat tanpa arah itu.

Suatu ketika, saat kau menyusuri kisahnya dalam Walking After You, kau akan menemukan An berkata, “Untuk melepaskan masa lalu, yang harus kita lakukan bukan melupakannya, melainkan menerimanya.” Kau, sudahkah kau mampu melakukannya?

Nah, tuliskan kisahmu di kolom comment postingan ini sebanyak sekitar 200 kata. Seorang yang beruntung dengan kisah “melepaskan masa lalu”-nya akan mendapatkan sebuah buku Walking After You karya Windry Ramadhina.

Saya tunggu kisahmu hingga pukul delapan malam ini. (ralat: karena masih ada waktu, tulisanmu ditunggu hingga pukul 24.00 malam ini).

Good luck! ;)






Salam,

Widyawati Oktavia

______________

PS. Terima kasih, Windry, telah menuliskan kisah yang begitu menyentuh ini. Yang mampu membuatmu berjanji di dalam hati untuk tak lagi melukai dan tak akan melepas seseorang yang kau sayangi. :*


#VirtualBookTour @GagasMedia #TigaCeritaCinta #WalkingAfterYou @windryramadhina

Tuesday, December 16, 2014

selamat jalan

dari media sosial, membaca kabar seorang teman sma berpulang hari ini. saya ingat dia seorang yang baik, penyayang. suka menggambar. ketika itu, saya percaya dia akan menjadi seorang desainer. cita-cita itu tercapai. terakhir berkabar, dia mendesain baju sebuah merek ternama.

masih lekat di ingatan saya dia pernah membuatkan saya dua buah desain kebaya. cantik. belum sempat saya wujudkan menjadi sebuah kebaya. namun, gambar itu masih saya simpan di antara barang-barang kenangan.

hari ini, dia menjadi kenangan.
hari ini, dia telah berpulang.

ah, selamat jalan, sahabat lama. kita pernah jajan di kantin sma, lalu berdiri di lantai dua, melihat ke arah lapangan di bawah kita, dengan jajanan di tangan kita. saat itu, kita bicara banyak tentang berbagai hal. kau selalu memuji gambar acak-kadulku sebagai gambar yang bagus. kau bilang aku bisa menggambar. meski kutahu itu tidak sepenuhnya benar, aku begitu senang. kau tulus mengatakannya karena kau memang orang baik yang ingin orang lain bahagia. kau juga selalu bilang suka tulisanku dengan tawa kecilmu. kadang sambil menggoreskan desain-desain baju di buku tulisku.

saat itu, aku tahu suatu hari kau akan berhasil dengan gambar-gambar cantik yang kau goreskan dengan sekejap. bertahun-tahun kemudian, kau memang mewujudkannya. 
dan, kau tahu, baru saja aku membuka buku tahunan sma kita, mencari namamu di sana. dan, aku menemukan kau memang menuliskan "designer" melekat di namamu. 

selamat jalan, heri gani. semoga kebaikanmu menjadi penerang di Sana. lama kita tak berkabar, kemudian aku dikejutkan kabar dirimu berpulang. leukemia, seperti dalam cerita-cerita novel yang dituliskan orang. tapi kau tahu, katanya, seperti bunga tercantik di taman, ia selalu lebih dulu dipetik pemilik-Nya. selamat jalan, heri. baik-baik di sana, ya.

terima kasih atas sketsa yang pernah kau goreskan. juga semangat yang kau tularkan.

___________

ps. dear heri, aku pinjam juga salah satu desainmu yang kau publikasikan di facebook, ya. desain yang sungguh keren. yang aku pinjam ini salah satu yang menyihirku kala melihatnya.






salah satu desain keren heri, yang diposting di FB pada 2010
(maaf, pinjam gambarnya, ya, iyi)


LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin