Penjual Kenangan

Wednesday, February 20, 2013

Penjual Kenangan [The Untold Story]



Untuk kau yang berkenan duduk bersama, saya ingin berbagi sebuah draf awal yang belum pernah saya publikasikan. Ini merupakan sebuah versi cerita pendek yang akhirnya bermetamorfosis menjadi cerita pendek “Penjual Kenangan” yang dimuat di buku saya yang terbaru.

[Penjual Kenangan: A First Draft Version]

Subuh, saat hari masih kelam, perempuan itu sudah menyusuri jalan-jalan yang tentu saja masih lengang. Dengan karung di bahunya, ia tampak seperti pemulung. Tapi, ia bukanlah pemungut barang-barang bekas itu. Meskipun katanya uang yang didapat para pemulung itu bisa membangun rumah mewah di kampung halaman mereka, perempuan itu tak tertarik pada pekerjaan itu. Ia bukan pemulung walaupun orang-orang tetap menganggapnya demikian. Ia juga mengais-ngais tempat sampah, ia juga mengumpulkan hal yang telah dibuang orang-orang, ia memang seperti pemulung itu. Tapi, perempuan itu bukan mengumpulkan sampah. Perempuan itu mengumpulkan kenangan. Kenangan yang telah dicampakkan orang-orang di tempat sampah, di trotoar-trotoar sepanjang jalan, ataupun di selokan-selokan air. Tak peduli kenangan yang indah atau kenangan yang buruk (sedikit robek atau rusak sama sekali), tetap ia kumpulkan.
                Kenangan indah adalah barang yang langka baginya, barang seperti itu jarang ia temukan terserak. Ia tahu, pasti orang-orang telah menyimpan kenangan macam itu baik-baik. Dijaga dengan sepenuh hati. Yang banyak ditemukannya bergeletakan di pinggir jalan adalah kenangan yang sudah rusak. Kenangan yang rusak sama sekali biasanya ia temukan terbenam di tempat sampah, berbaur dengan sampah-sampah busuk. Bagi orang-orang pasti sulit membedakan sampah dan kenangan. Namun, tidak bagi perempuan ini. Ia sudah sangat akrab dengan hal yang bernama kenangan. Ia sangat bisa membedakan sampah dan kenangan. Jadi, tak heran perempuan ini sudah mempunyai banyak sekali koleksi kenangan. Kenangan-kenangan yang ia pungut itu kemudian dibersihkannya, kemudian diberi bingkai kayu sederhana.
                Perempuan ini tidak hanya mengumpulkan kenangan itu untuk kesenangan saja. Ia mengumpulkannya untuk kemudian menjualnya. Ia mempunyai kios di pinggir jalan. Kios kecil yang buka setiap pukul sembilan pagi sampai pukul sepuluh malam itu tampak sedikit suram. Namun, tulisan “Penjual Kenangan” di depan toko itu cukup menarik perhatian orang-orang. Orang yang melewati kios itu pasti memalingkan wajahnya, sekadar melihat sekilas isi toko itu. Awalnya, orang-orang menganggap toko dan juga perempuan penjual kenangan itu aneh. Kenangan yang telah dibuang kok dijual? Ada-ada saja, pikir mereka. Siapa yang mau membeli?
                Memasuki toko itu harus mempunyai keberanian. Keberanian untuk melihat berbagai kenangan, baik dan buruk. Dan, jarang ada orang yang mempunyai keberanian seperti itu. Orang-orang lebih memilih melewati begitu saja toko itu karena mereka takut melihat kenangan-kenangan di dalam toko itu. Mereka takut saat melihatnya menemukan kembali kenangan yang telah mereka buang atau bahkan telah dibenamkan dalam sampah-sampah. Namun, perempuan penjual kenangan itu tahu bahwa ada beberapa orang yang melirik isi toko itu dengan ekor matanya saat melewatinya. Orang-orang ini adalah orang-orang yang takut akan kenangan yang telah ia campakkan, tetapi sebenarnya ia berharap dapat melihatnya kembali dan bahkan kadang masih ingin memilikinya. Perempuan itu sadar, menjual kenangan tak sama dengan menjual beras, yang pasti akan dibeli orang. Tetapi, ia tetap setia menunggui kiosnya, menunggu pembeli.
                Biasanya, orang yang membeli kenangan di kiosnya adalah orang-orang yang khilaf membuangnya. Saat kenangan itu telah mereka campakkan, baru terasa bahwa ia tak dapat melanjutkan hidupnya tanpa itu. Kemudian, mereka sibuk mencari ke sana kemari dan jika ia benar-benar berniat maka ia akan sampai di toko “Penjual Kenangan” dan menemukan kembali kenangannya telah dibingkai. Pembeli itu biasanya membayar dengan harga yang mereka tentukan sendiri. Perempuan penjual kenangan itu tak pernah menentukan harga atas kenangan yang dikumpulkannya itu. Katanya, “Aku tak berhak memberi harga. Hanya pemiliknya yang bisa menentukan harga kenangannya itu.”  Pembeli menentukan harga sendiri.
                Namun, terkadang, terjadi kebingungan pada pembeli ketika pembeli itu ingin membeli kenangan yang bukan miliknya….
***
           

Saya menuliskan cerita itu pada 2004, sekitar—so last century—sembilan tahun lalu, tetapi akhirnya terhenti di kalimat terakhir tersebut. Kemudian, draf cerita pendek “Penjual Kenangan” itu saya tuliskan kembali dalam versi baru. Versi baru cerita pendek “Penjual Kenangan” itu saya tulis setelah versi sebelumnya—tapi, lupa berapa lama jeda waktunya. Sempat saya kirimkan ke Koran Tempo dan dimuat di kolom cerpen yang terbit setiap hari Minggu (2005). Cerita pendek itulah salah satu kisah yang juga dimuat di buku Penjual Kenangan.

Mengapa penjual kenangan? Hal itu terpikir ketika muncul pertanyaan, bagaimana jika kau tidak mampu menyimpan lagi kenangan yang kau miliki, tetapi kenangan itu pun tak ingin kau buang. Kenangan itu terlalu indah, tetapi kau tahu tak ada lagi yang mampu mengelanakannya, yaitu “harapan”.
Kenangan yang berputar-putar di ruang yang sama—tak beranjak ke mana-mana—akan menyesakkan, bukan? Itulah sedikit gambaran cerita pendek “Penjual Kenangan” yang juga mengilhami nama blog/toko kenangan saya. Oh ya, ini teaser untuk “Penjual Kenangan” yang dimuat di buku Penjual Kenangan yang segera beredar.


[Penjual Kenangan: Final Draft Version]

Gadis itu lagi.
            Setiap petang, ia duduk di kursi kayu taman dengan keranjang rotan yang sama. Aku sudah begitu hafal dengan wajah tirus dan tubuhnya yang mungil. Apalagi, dengan rambut hitam sebahunya yang bergelombang.
               Ia bukan seorang gadis remaja, ia seorang gadis dewasa.
          Dan, ia tahu cara berpakaian. Hari ini, ia memakai rok panjang cokelat tua dan blus berlengan pendek, berwarna cokelat susu. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat pakaian itu membalut tubuhnya dengan indah. Sebuah syal berwarna lebih muda tersampir di bahunya. Padanan yang manis.
            Namun, aku tak pernah tahu apa yang dilakukannya di taman ini, setiap petang. Mungkin ia menjual bunga, pikirku saat melihat keranjang rotan yang dibawanya. Penampilannya yang selalu tampak menarik membuatku tidak percaya ia menjual bunga. Mungkin orang akan lebih tertarik kepadanya daripada  bunga yang ia jual. Maaf, Gadis, itu hanya pikiran burukku saja.
            Angin sore bertiup perlahan. Aku terpana. Gadis itu menyibakkan rambutnya yang diterpa angin bersamaan dengan jatuhnya daun-daun yang menguning dari pohon besar di belakangnya. Daun-daun yang sempat berputar-putar itu jatuh tak jauh dari tempatnya duduk. Mereka seakan-akan ingin menemani gadis yang selalu sendiri itu.
            Aku pun mungkin suatu hari akan berhenti dan menemuinya sebentar, sekadar memberi salam: hai, aku sering melihatmu duduk di sini.
            Mungkin itu akan membuatnya kaget karena menyangka aku akan berniat jahat kepadanya.
            Atau, mungkin suatu hari, di persimpangan jalan yang aku lalui, langkahku akan kubelokkan ke arah tempat ia duduk, lalu pura-pura lewat di depannya. Sambil lewat, aku akan melirik isi keranjangnya, kemudian memotong jalan dan berbalik arah lagi ke arahku yang sebenarnya. Hal itu pasti akan terlihat konyol.
            Tapi, akhirnya, beberapa hari kemudian, aku melakukannya.
         Saat arahku seharusnya lurus, aku berbelok ke kiri, ke arah tempat duduk gadis itu. Kami hanya berjarak tiga langkah saat ia memalingkan wajahnya kepadaku.
           Dan, aku menjadi begitu hafal pandangan matanya. Pandangan yang kosong. Ia tersenyum. Aku juga sangat hafal senyum itu. Senyum kaku yang dipaksakan.
           Entah mengapa, aku merasa sudah begitu hafal. Mungkin karena aku selalu memperhatikannya. Sejak kapan, aku lupa. Yang pasti sudah cukup lama kurasa.
        Aku hanya mematung di tempatku berdiri, tak berani melewatinya. Saat sadar, aku sudah berbalik arah, kembali ke jalan tujuanku.
           Gadis manis yang aneh. Ia menyuguhkan aku senyum, padahal baru kali itu kami bertatap muka.
           Aku pergi begitu saja dan tak ingat lagi untuk melirik isi keranjangnya.

[baca lebih lanjut di Penjual Kenangan, Bukune, 2013]
***


Setelah membaca kedua kutipan itu, versi “Penjual Kenangan” mana yang lebih kau suka? Senang jika kau berkenan berbagi pendapatmu itu.
Oh ya, di dalam buku itu, ada repih kenangan berikut untukmu. Semoga kau berkenan membacanya nanti. :)

Carano [sebuah novela]
- Dalam Harap Bintang Pagi
- Percakapan Nomor-Nomor
- Kunang-kunang
- Perempuan Tua di Balik Kaca Jendela
- Penjual Kenangan
- Tengara Langit
- Menjelma Hujan
- Nelangsa
- Tembang Cahaya
- Bawa Musim Kembali, Nak

  Intip juga trailer-nya di sini:

- part 1: http://www.youtube.com/watch?v=c5z3rumCsnY
- part 2: http://www.youtube.com/watch?v=0hhLAmM3f-k
- part 3: http://www.youtube.com/watch?v=yHX0tNl1z2k




Thursday, February 14, 2013

[book trailer] Silang Hati


mari menelusuri jejak cinta dalam Silang Hati







SILANG HATI merupakan proyek Gagas Duet 
yang ditulis oleh Sanie B. Kuncoro & Widyawati Oktavia. 

Seperti berjalan, kita tak sempat menghitung langkah. Seperti jatuh cinta, kita tak sempat menentukan arah. Dan, ada tiga sisi di cinta ini, ada tiga perasaan yang tengah dipertaruhkan. 

Sudah beredar di toko buku. 

Dapatkan segera dan semoga kamu berkenan menelusuri kisahnya. :) 



Wednesday, February 13, 2013

[book trailer] penjual kenangan





Hidup terlalu singkat, 
kata seorang kekasih menggugat cintanya yang pergi.


part 1




part 2




“Semoga ada persimpangan di depan sana. 
Agar aku bisa menjual kenangan 
 dan rindu yang menyisa,” lirih hatinya, perih.





LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin