Penjual Kenangan

Monday, December 22, 2008

Maafkan Saya. Lagi.




akhir-akhir ini--ah, bukan, sudah jauh sejak sebelumnya--saya mengizinkan diri saya menyakitinya. bahkan, mungkin, sehelai demi sehelai, kebencian--bukan lagi kekesalan--itu telah menumpuk. buat saya. memang sewajarnya saya dapatkan. lalu, saya bersiteru dengan ketakutan itu--ya, saya memang selalu takut untuk dibenci. naif.

lalu, saya mendapati diri saya yang telah menjelma wujud kebencian itu. saya semakin ketakutan. dan, saya bilang saya tidak menyadari. padahal, kali ini, jelas-jelas saya yang "mengizinkan" diri saya menyakitinya, membuatnya terluka. sampai pada ceruk yang tak saya ketahui lagi.

ah, saya benar-benar telah mengizinkan diri saya untuk membuatnya berkaca-kaca--bukan, bukan, saya membuatnya tak mampu lagi mengeluarkan air mata. malam-malam lalu sudah sejak lama diam-diam menghapus air matanya. hingga kering, tak bersisa lagi. betapa berdosanya saya.
saya memang benar-benar telah menjelma kebencian itu.

lalu, tiba-tiba saja, saya ingat seorang junior di tempat kami dahulu tinggal, sekitar empat atau lima tahun silam. entah kenapa, kami begitu kesal (mungkin juga sangat-sangat tidak suka, membenci) dirinya, seorang laki-laki kurus tinggi. saya masih ingat wajahnya yang lonjong. kulitnya yang kuning pagi.

awalnya, mungkin kami tidak membenci dia. hanya semacam tidak suka. entah karena apa. mungkin sikapnya, tingkahnya. lalu, bertambah lagi ketidaksukaan kami. logatnya, suaranya, bahkan derap langkahnya. kami tidak suka. lama-kelamaan, kami semakin tidak suka. dan, seiring waktu, semua itu berubah jadi rasa benci. kebencian. sebenarnya, semua itu memang tidak tiba-tiba, seiring waktu.

namun, itu tanpa kami--bahkan, laki-laki kurus itu--sadari.
yang kami tau, setiap bayang dia mengintip, hati kami panas, kebencian kami terbit. dia menjadi sungguh-sungguh mengancam mata. menjadi orang yang (selalu) tidak tepat dalam ruang. di sudut mana pun.

saya ingat laki-laki itu beberapa hari ini, saat saya berdiri di tepi jalan, saat saya menyeberang, bahkan saat saya akan menutup mata untuk tidur.
lalu, saya merasa ganjil ketika saya menjadi sering ingat untuk menelepon ibu saya, menanyakan kabarnya. ah, apakah saya takut? entahlah.

ah, saya sering kali terjebak pertanda. ingin selalu membacanya--sekadar iseng, pada mulanya.

dan, saya menjadi ketakutan untuk tiba-tiba ingat laki-laki dengan garis wajah melayu itu. ingat ketika kabar itu datang tiba-tiba saat kami makan malam--saya ingat kami meninggalkan makanan kami yang masih separuh. mengejar berita ke teras kantin dengan meja-meja kayu cantik itu. menyerbu. bahkan, ikut menitikkan air mata.
malam itu, magrib baru saja lewat, laki-laki itu--yang menjelma kebencian bagi kami--dijemput-Nya. dengan kereta yang melaju dengan begitu kencangnya. membelah malam yang belum begitu kelam. kabarnya, ia Pergi sehabis menanyakan kabar orangtuanya.

ah, dia meninggalkan ulah, kata orang-orang. biar dikenang.
dan ia berhasil. dia masih bersemayam di salah satu sudut--mungkin di ceruk yang tak akan pernah jauh--kepala saya, kepala kami.

dan, saya, tiba-tiba saja, akhir-akhir ini, saya ingat dia. di jalan raya. ketika memejamkan mata.

ya, saya takut.
saya telah mengizinkan diri saya membuat seseorang terluka. dengan ceruk yang begitu dalam.

saya takut menjelma kebencian. saya takut menjelma laki-laki itu. sementara, seseorang itu masih berdiri di sana, tak mampu lagi mengeluarkan air mata, tak mampu lagi menjahit hatinya seperti semula--bahkan mungkin memang tidak akan bisa lagi. mungkin tambalan bongkar pasang telah di sana sini, saya juga yang membuatnya. dan hanya maaf yang saya mampu kirim padanya. yang sebelumnya, telah dia terima, lalu saya ambil lagi, dengan paksa (itulah yang menyebabkan tambalan sana sini itu, semakin tidak berbentuk). maaf dan maaf hanya saya tebarkan. ke udara kosong.

kali ini, saya kirimkan lagi. maaf. untuk semua. untuk semua.

ah, saya takut. saya takut dia tidak memaafkan saya--lagi. padahal, saya begitu menyayangnya--juga telah begitu melukanya. ah, saya, saya begitu naif, tidak pernah ingin dibenci, ingin selalu dia ada. sementara saya melangkah dengan langkah saya. betapa egoisnya saya, manusia.

saya takut. saya takut menjelma laki-laki yang Pulang bersama kereta senja kemalaman itu. saya takut menjelma laki-laki itu saat seseorang inginkan hatinya membeku biar tidak terasa lagi luka itu.

dia meninggalkan ulah, kata orang-orang selama beberapa hari waktu itu.
ah, saya tidak ingin percaya pada pertanda.

dan, jika perjalanan ini masih jauh, temani saya lagi. agar semua tidak tanpa arti. saya mohon.
terlalu tinggikah harap saya?


--maafkan saya. lagi. untuk semua. kemarin, hari ini, dan esok. maafkan saya. lagi.

Tuesday, October 28, 2008

Kau Tahu




sayap ini semakin rapuh
tak mampu bawa harapan dan doa itu meninggi lagi
sudah sejak lama, aku tahu
ia membenci angin,
tapi selalu ingin terbang
ia membenci arah,
tapi selalu ingin kembali ke pondok di tepi sungai itu

kali ini,
kau tahu siapa yang akan menyerah
bukan kalah, hanya terlalu lelah

Patah



ada dahan yang patah pagi tadi
di jalan yang kulewati dengan gegas yang terburu-buru
mungkin hujan semalam begitu deras
entahlah--aku begitu lelap
merekatkan keping-keping mimpi--yang tak akan kuselesaikan, sungguh

dahan itu patah pagi tadi atau sudah sejak malamnya?
dihempaskan angin? berderakkah suaranya?
entahlah
yang kutahu, ia patah

padahal, kemarin, di sana, bau rumput yang dipotong disesap pagi
tak sempat kumasukkan tabung kaca, seperti aroma senja yang lalu itu
--aku juga terlalu terburu-buru kali itu

ah, sudahlah,
sepertinya, aku hanya perlu tidak terlalu terburu-buru


Teluk Mandar, 28/10/08

Monday, October 27, 2008

Perompak




Dia pikir, kematian suaminya dapat membuatnya tenang. Bahkan, bisa dibilang, dia mengharapkan kematian suaminya itu. Mungkin, telah bertumpuk-tumpuk doa agar kematian itu segera tiba.

Ah, mengingat saat suaminya pulang, ia selalu seperti melihat seorang perompak pulang, dengan sekeranjang luka, buatnya.

Dan, sekarang, kematian itu menjelma. Namun, entah kenapa, rindu pun ikut menjelma.
Usianya semakin akrab dengan senja, saling menyapa dan menitip salam. Dan, tiba-tiba saja, dia rindu pada wajah perompak itu, pada dekapnya yang mengguratkan banyak luka di setiap sudut tubuhnya.

Dia tidak hanya sekadar rindu. Dia ingin perompak itu ada di sini. Dia dalam ketakutan sekarang. Di antara deru hujan yang terdengar lebih menakutkan daripada gemuruh suara perompak itu, suaminya yang telah menjelma kematian.

Benarkah, ia kehilangan? Kehilangan sekeranjang luka itu? Entahlah.
Dia tidak dapat jernih berpikir. Di sudut kamarnya, onggokan batu hitam meninggi. Tembok batu hitam yang dibangunnya--antara dirinya dan diri perompak itu--luluh lantak. Membuka ruang yang ada di balik tembok itu.

Kemarin, baru saja kemarin, semua onggokan batu itu berjatuhan--entah siapa yang menjatuhkannya. Ia begitu ketakutan. Akan sesuatu yang ada di balik tembok itu. Yang selama ini ia takuti. Tapi, nyatanya, tidak ada apa-apa di balik tembok batu itu.

Tidak ada apa-apa di sana. Jadi, apa yang ia takuti selama ini?
Ia hanya menemukan dirinya. Sendirian.
Perompak itu sudah menjelma kematian.
Sekeranjang luka pun tak pernah ia bawakan lagi. Atau, memang tidak pernah ia bawakan?

Saturday, August 16, 2008

Jodoh?




Beberapa hari lalu, Andri, si littlegurl, datang ke kosan—-sahabat saya ini emang ngerti banget sama kedua sahabatnya, saya dan Gita. Karena itu, setiap datang, tak luput dia membawakan kue buatan sang Ibu. Enak banget, lho, kue buatan ibunya Andri. Ada sosis solo, apple pie—-you must try!, dadar gulung, chiken pie—-eh, apa, sih, Ndri, nama kue yang isinya ayam itu? Yang mirip sama apple pie itu, lho?—sampai dodol (eh, yang ini, mah, oleh-oleh dari Jawa).

Nggak cuma kue, Andri juga suka membawakan lauk-pauk, mulai dari kering tempe, kikil, sampai ayam goreng. Sedap! Pokoknya, makanan apa pun buatan ibunya Andri—katanya, Andri juga suka bantuin makanya nggak mau lama-lama mampir di kosan ;p—enak banget. Katanya lagi, Ibu Andri juga bikin ayam bumbu rujak—-wah, yang ini saya belum nyobain, soalnya belum pernah dibawain. Hehe. Kalau mau tahu lebih lanjut, bisa hubungi Andri langsung aja. Menerima pesanan, kan, ya, Ndri? ^_^

Oh, ya, sebenernya, saya sedang teringat percakapan tempo hari dengan Andri. Jadi, pas lagi ngobrol-ngobrol—-lupa ngobrol apa—-tiba-tiba aja, kita ngomongin reality show gitu, deh. Oh, iya, jadi, saya dan gita lagi cerita reality show tentang seorang cewek yang backstreet dari abangnya.

Terus, pas mau ngasih tahu abangnya, ternyata, si abang tahu “sesuatu” tentang si cowok itu. Sempet hampir tonjok-tonjokan gitulah dan, tentunya, tangis-tangisan si cewek (pasti nggak terlewatkan, deh, dalam acara macam gitu. Mas Ia yang gape banget soal pertelevisian negeri tercinta kita ini pasti lebih tahulah. Ya, nggak, Mas Ia? Kayaknya, Mas Ia nonton juga, nih, acara).

Terus, setelah reda acara berantem dan tangis-tangisan, si abang ngajak si adik dan cowoknya itu ke suatu tempat—-rumah seorang cewek. Begitu sampai, si cowok kabur, euy. Penasaran, dong?—-saya, sih, enggak, habisnya drama banget. Tapi, entah kenapa, sampai habis juga nontonnya. Halah! Usut punya usut, ternyata, jreng-jreng, si cewek yang didatengin itu—-yang ternyata sahabat si abang—-pernah pacaran sama si cowok yang kabur itu.

Oh, gitu. Eit, tunggu dulu. Ternyata lagi, itu cewek barusan keluar dari tempat rehabilitasi narkoba. Dan…, si cowok kabur itulah yang memengaruhinya. Dialah penyebab si cewek jadi ketergantungan narkotik. Oh, gitu, toh. Ternyata, selama ini, si abang nggak mau adiknya pacaran sama si cowok gara-gara itu.

Menangislah si adik menghadapi kenyataan. Meraung-raung tepatnya—-padahal, baru pacaran tiga bulanan gitu. Tapi, yah, bisa diterimalah itu cerita. Dan, ekspresi tokoh-tokohnya juga lumayan. Nggak melotot-melotot nggak jelas kayak yang di sinetronlah. Jadi, yang jadi penonton masih bisa bilang, “Beneran nggak, sih? Apa settingan?” Yah, masih di area abu-abulah.

Nah, berceritalah si Andri. “Eh, lo nggak tau?” mulainya. Terusik, dong, jiwa gosip manusia saya dan gita. Hehe.

“Ada yang lebih norak lagi,” kata si Andri. “Enggak banget!” tambahnya.

“Eh, apaan?” saya dan Gita jadi semangat—-yah, sore-sore nggak ada kerjaan gitulah.

Jadi, kata Andri, dia nonton salah satu reality show juga. Ceritanya, ada cewek gitu mau dijodohin sama orangtuanya. Nah, si cewek nggak mau, dong. Dia cari cara buat cari cowok biar orangtuanya tahu kalau dia punya pilihan sendiri. Jadilah dia ikutan, tuh, reality show yang bisa nyomblangin orang itu. Terus, ada dua cowok pilihan, nih—-mereka sempat berantem, tentunya. Mas Ia nonton juga, kan?--Hehe, nuduh.

Pas akhir acara, pas salah satu udah dipilih sama itu cewek—-biasanya, karena mereka merasa klop dan semacamnya gitu, deh—terjadilah huru-hara. Bokap si cewek datang. Jreng-jreng! Marah-marah, bow! Pakai acara nampar si host-nya pula. Katanya, dia dateng mau nyari anaknya—-jadi, ceritanya, dia nggak tahu, tuh, kalau itu acara TV.

Tapi, masa, dia nggak tahu, toh? Kalau gitu, gimana dia bisa ke tempat itu. Pas datang, pastinya dia juga ngeliat, dong, tuh kamera dan kru-kru tuh acara di mana-mana.

Secara garis besar, percakapannya begini. (Saya merangkum cerita Andri, jadi maaf kalau beda omongannya. ;p )

Si Bapak: "Ngapain kamu di sini? (dengan wajah geram dan mata melotot menghadap ke anak gadisnya). Anak saya ini sudah dijodohin! (menghadap host-nya)."

Si Anak: (intinya, dia minta bokapnya dengerin dia dulu bahwa, sekarang, dia udah punya pilihan. Dia nggak mau dijodohin!)

Si Bapak tetap nggak mau terima dan masih marah-marah. Nih, bapak masih belum nyadar acara itu—ceritanya….

(Eh, Ndri, si cewek itu nangis nggak, sih? Apa host-nya yang ditampar itu yang nangis? Hihi).

Lalu, jreng-jreng (lagi!) si bapak melihat cowok pasangan anak gadisnya (yang udah jadi pilihan hati si anak itu).

“Lho, kamu ngapain di sini?” tanya si Bapak bingung pada si cowok pasangan si anak.
Ternyata, si Bapak kenal sama si cowok yang jadi pasangan anaknya itu.

(Tebak, dong, kelanjutannya apa? Saat itu, saya dan Gita udah nggak mau dengerin cerita si Andri.)

“STOP, NDRI!” teriak saya sambil nutup kuping—-reaksinya jadi ikutan berlebihan, nih. Hehe.

“Iya,” kata Andri, “gue juga mohon-mohon ama adek gue buat ganti itu saluran TV.”

Yup! Si cowok yang dipilih cewek itu jadi pasangannya itu adalah … calon yang mau dijodohkan dengan dia.

Wow! Sungguh kebetulan sekali! Ceritanya, mau bilang kalau kedua orang itu jodoh, gitu. Wuek!

Tuh acara TV mau ngebodohin siapa, sih?

“Dia pikir, semua orang Indonesia bego kali,” celetuk Gita.

Ya, ampun! Dunia tuh emang sempit banget, ya? Nggak segitunya kalee!

Yang lebih dramatisasi lagi, si cowok pake acara ngejelasin sama si bokap cewek.

Intinya, dia ngomong gini, “Iya, Om, maaf, saya tahu. Tapi, saya harus menyelesaikan ini dulu. Saya tidak bisa meninggalkan acara ini begitu saja.” Pokoknya, gitu, deh, sok gentleman gitulah.

Huahahaha. Mereka pikir, penonton percaya gitu kalau itu reality show? Mbok, ya, kalau mau bikin skenario kayak gitu sekalian buat skenario sinetron aja. Yah, kalau sinetron, kan, udah jelas visi dan misinya. Nggak ada logika juga udah jadi nama belakangnya. Realitas, mah, udah jelas entah di mana kalau di sana.

Ya, ampun! Kenapa juga Andri nonton acara itu sampai habis? Kenapa juga saya dan Gita semangat banget dengerin ceritanya? Kenapa juga saya malah nulis ini pukul 3:08 pagi—bukannya bikin kerjaan yang deadline! Halah!

p.s.
Pas makan malam tadi, saya, Gita, dan Azizah, lagi cerita-cerita masa lalu gitu, deh. Saya cerita kalau waktu kelas 1 SMA dulu saya pernah telat waktu mau ngambil nilai lari di Senayan. Udah telat, nyasar pula. Kebetulan saya ketemu sama seorang cowok—saya nggak kenal, tapi yang jelas dia pake baju olahraga SMA saya. Kami sama-sama nyasar dan telat.

Kemudian, ketemulah itu lapangan tempat ngambil nilai. Sialnya, saya dan cowok itu salah pintu. Kami berdiri di pintu belakang yang digembok. Kalau mau ke depan, mesti muter dan pasti tambah telat lagi.

Dari jaring-jaring pagar besi, guru olahraga melihat kami dan marah-marah. Acara pengambilan nilai hampir selesai dan dia nggak mau nunggu lagi, apalagi nungguin kami muter dulu. Jadi, terpaksalah saya dan cowok itu manjat pagar. Tinggi, euy. Kalau diingat-ingat, pasti saya—sebagai perempuan—nggak ada anggun-anggunnya waktu manjat itu. Duh!

“Wah, kalau di sinetron,” komentar Gita, “cowok itu pasti jadi jodoh lo, Wied.”

Pastinya. Saya dan Azizah tidak menyangkal.

Hehehe. Untungnya, saya masih di dunia nyata, soalnya, seingat saya, tuh cowok agak-agak aneh, deh. Hehe.

Eh, kalau saya di sinetron, nih, awalnya, saya tahunya tuh cowok emang aneh. Tapi, di akhir cerita, ternyata, cowok itu keren abis dan tajir abis. Abis, dah!

gambar: di sini!

Tuesday, August 05, 2008

saya takut

tiba-tiba saya ingat lagi.

"lo denger suara tadi juga, ya? lo takut? wah, wied, di mana akidah lo?" tanya seorang teman. saya terpojok--ya, benar-benar terpojok di tenda yang sempit itu.
itu. ah, saya tidak bisa menjelaskan entah kenapa napas saya menjadi sesak saat mendengar suara dari sisi tenda saya dan gita huni. yah, habisnya, suara itu ber-hihihi. nah, lho?



jadilah saya dan gita mengungsi ke tenda sebelah--dengan alasan napas yang sesak itu. setelah minum teh hangat--di antara dingin angin gunung--yang dibuatkan seorang teman dan melihat banyak orang yang terbangun, napas saya mulai normal.

dan, menjadi sesak kembali saat seseorang mempertanyakan akidah saya di mana? wah, iya, ya. di mana akidah saya berada ketika saya berada di antara gelap malam dan angin yang berkuasa di gunung itu?

lalu, saya kembali mempertanyakan akidah saya ketika saya sedikit ragu-ragu--alias deg-degan--masuk ke sebuah tempat makan di margonda. masalahnya, beberapa hari sebelumnya, si gita bawa-bawa cerita "aneh".

salah seorang karyawan restoran itu bercerita kalau di sana mereka menemukan sesuatu yang berdarah-darah. di kamar mandi. di tangga. setiap malam--eh, jangan-jangan korban si ryan, hehe. yah, semacam film-film horor norak itulah. wajah karyawan itu pucat pasi saat bercerita. yah, masa niat banget gosip pake ekspresi. dan, muncullah suatu konsep tentang tempat makan itu di benak saya. konsep negatif pula. duh.

lalu, malam kemarin, saya dan gita terpaksa menemui seseorang di tempat itu. jadilah kami ke sana.

malamnya, sebelum tidur, saya jadi inget-inget cerita-tak-penting-tapi-bikin-merinding--termasuk suara hihihi di gunung itu, padahal udah berdoa, lho. hehe. lalu, saya mikir, kenapa saya jadi penakut gini, sih? di mana akidah saya?

setelah mencoba mengamati gorden yang tersingkap karena kipas angin, bayangan di dinding kamar, dan seorang sahabat yang sudah terlelap di kasur seberang, ada rasa sedikit lega di hati saya. untunglah saya masih punya rasa takut. ternyata, saya manusia, rupanya. belum berubah wujud. hehe.

tak lama, saya terlelap.

gambar dari sini!

Tuesday, July 22, 2008

Hilang di Surya Kencana



Jumat kemarin, saya dan empat orang teman—termasuk Gita—berangkat lagi ke Gunung Gede, Jawa Barat. Dari Depok, kami menuju Terminal Kampung Rambutan. Saat itu, waktu sudah merangkak ke pukul setengah sembilan malam. Calo-calo di terminal itu tentu saja langsung mendekat saat kami turun dari angkot merah itu. Untunglah, ada Ardi—yang-enggak-kalah-serem-sama-calo. Hehe.

Kami naik bus yang masih kosong menuju Gunung Putri. Harga lima belas ribu turun jadi empat belas ribu—berkat Ardi yang baru saja menjelajahi jurang-jurang Gunung Leuser. (Di terminal, tawar-menawar diperlukan dan, tentu saja, didampingi teman yang terlihat sangar juga--jauh lebih--diperlukan.)

Saat menapakkan kaki di tepi jalan masuk ke Gunung Putri itu, angin dingin langsung menyambut. Sudah dini hari. Angkot berwarna biru sudah menanti kami. Setelah tawar harga—lagi-lagi tugas Ardi—kami segera naik. Jalanan berliku itu cukup menanjak tinggi untuk harga empat ribu rupiah. Namun, sepertinya, memang itulah harga standar angkot menuju kaki gunung yang akan kami jajaki itu.

Kaki gunung itu sudah dipenuhi para pendaki—terlalu banyak, malah. Seorang penjual menggelar dagangannya di dekat kami berdiri. Sarung tangan, kupluk, syal, berjajar rapi. Saya dan Gita membeli sarung tangan tipis—cukup penting, biar nanti, mau pegangan di mana saja hayo. Setelah ditawar, dua pasang jadi 20 ribu—beda sepuluh ribuanlah sama yang di emperan.

Dingin mulai menyergap. Perut terasa lapar. Warung yang ada di sini hanya menjual roti-rotian. Padahal, kami ingin makan nasi. Untunglah, di warung atas—searah tempat kami mulai menanjak—ada warung nasi yang buka.

“Cuma tinggal telor, Neng,” ucap si Ibu penjual nasi.

Tidak masalah. Jadilah saya dan teman-teman makan nasi dan telur dadar plus kecap. Rasa keliyeng-keliyeng di kepala segera beranjak. Alhamdulillah.

Kami mulai mendaki pukul dua pagi. Lapor di pos yang penjaganya masih “fresh”. Segala peraturan masih begitu dia hafal dn disampaikan dengan cara yang kurang bersahabat. Tidak boleh bawa sabun dan odol. Tidak boleh bawa MP3 atau iPod. Jangan buang sampah sembarangan. Jangan pakai pisau dapur—yang saya bawa, yang katanya terlalu besar, tapi tak masalah—buat nulis-nulis di pohon. Bla-bla-bla. Yah, tentu saja hal itu tidak akan kami lakukan. Wong, udah terlalu banyak juga ukiran di pohon-pohon dan batu-batu di atas gunung itu—heran, kenapa, sih, orang-orang itu seenaknya saja merusak!

“Ngejar apa, sunset atau sunrise?” tanya teman saya di kosan—setelah kami pulang.

“Enggak ngejar apa-apa,” sahut saya. Ya, kami cuma numpang tidur dan makan di padang edelweis itu.

Entah kenapa, ada yang hilang di perjalanan kali ini. Mungkin karena saat mendaki terlalu banyak orang berkeliaran. Seperti di pasar, bukan gunung. Bahkan, orang-orang yang berseliweran banyak yang saltum—menurut laporan pandangan mata saya dan Gita. Hehe. Yah, masa ke gunung pake tas slempang dan celana jeans ketat begitu—Haha. Iri ajah, niy, kami!

Porter berkeliaran dengan pikulan yang berisi tas dengan beragam bentuk. Orang-orang melangkah dengan santai, dengan keluhan-keluhan—padahal tanpa beban apa-apa di pundaknya.

Lalu, di tengah jalan, ada percakapan yang tidak sesuai latar. Hehe.

Ibu-ibu yang juga mendaki: “Jualan, ya, Bang?”

Mamang Tukang Nasi Uduk: “Iya, Bu. Nasi uduk. Tapi, udah abis. Saya mau turun dulu.”

Ibu-ibu yang satu lagi: “Oh, ada cincau, nggak, Bang?”

(Kayaknya) Anak si Ibu: “Rujak ada nggak, Bang?”

Saya: Halah! Ada-ada aja siy tu si ibu-ibu dan anak-anaknya. Eh, jangan-jangan ada beneran. Hihi.

Mamang Tukang Nasi Uduk: “Wah, nggak ada, Bu.”

Ibu-ibu yang juga mendaki: “Tapi, kan, si Abang mau turun. Ya, udah, nanti bawa aja ke atas. Kita kemah di Padang Surya Kencana itu, kok.”

Ibu-ibu yang satu lagi: “Iya, ke sana, aja. Pasti kita beli, kok. Cincau, ya, Bang.”
(Kayaknya) Anak si Ibu: “Rujak juga jangan lupa, ya, Bang.”

Saya: Dih!

Mamang Tukang Nasi Uduk: “Ya, kalau ada, ya, Bu.”—(Kelihatan bingung.

Ibu-ibu yang juga mendaki: “Tenang aja. Nanti, pasti kita beli, deh.”

Dih! (lagi). Mesennya enak banget, kayak si Mamang tinggal pergi ke dapur dan bikin pesenan mereka. Pasti mereka bayar, sih. Tapi, bukan itu kale masalahnya. Bayangin aja, tuh si Mamang mesti turun naik gunung setinggi 2.958 meter cuma untuk es cincau dan rujak buat mereka. Halah!

Saya tidak mendengar lagi apa kesepakatan mereka. Tanjakan-tanjakan Jalur Putri masih menanti langkah-langkah kaki.

Saya dan teman-teman hanya sampai Surya Kencana. Tidak berminat ke puncak. Bahkan, untuk foto-foto saja, saya dan Gita kehilangan selera—awalnya. Entah kenapa. Tapi, tentu saja teteup ada foto-foto—akhirnya. Hehe.

Pulangnya, saat lapor di pos, kami malah kena denda. Ternyata, kami telat satu hari dari jadwal—di kertas pendaftaran tertulis, kami turun tanggal 19 (Sabtu). Namun, kami baru sampai pos pada Minggu, pukul satu siang. Padahal, itu kesalahan penjaga pos pendaftaran yang salah menulis tanggal kami turun. Masa, sih, kami cuma daftar buat dua hari? Ogah, deh, naek trus langsung turun lagi!

“Trus, kalau mereka tau kita belum turun dari kemaren, kok, mereka nggak nyariin kita, Piz?” tanya saya dan Gita.

Apiz yang habis diceramahi (tadi, dari luar, sayup-sayup, kami mendengar kalimat-kalimat yang nadanya seperti nasihat) di dalam pos tak menggubris.

“Padahal, itu, kan, kan, dah lewat 1 x 24 jam,” lanjut kami sewot.

Yah, wajar, sih, mereka enggak nyariin. Wong, kami baru mulai naik pukul 02:30 dini hari—udah masuk hari Sabtu. Masa udah turun lagi sorenya atau malamnya.

Kami berjalan dengan hati yang tidak begitu riang.

Kali ini, sepertinya, ada yang hilang di Surya Kencana.


Gunung Gede, 18—20 Juli 2008.

Sunday, May 11, 2008

KITA BERLAGU

Wajah-wajah yang lucu.
Aku teringat kupu-kupu yang lucu,
yang mengayun-ayun di ranting yang rapuh.




"Jablai gopek," terdengar teriakan suara kalian.
Hah? Benarkah itu kalian yang bersuara?

Ah, wajah-wajah yang lucu.
Mari sini,
kita berlagu saja, tentang kupu-kupu yang lucu.
Kupu-kupu yang mengayun-ayun tanpa lelah
di ranting-ranting itu.

Mari kita berlagu saja,
/kupu-kupu yang lucu/
/ke mana engkau terbang/
/hilir mudik mencari/
/bunga-bunga yang kembang/

Mudah, bukan?
Mari, wajah-wajah yang lucu.
Kita berlagu saja.

MATA AIR HARAPAN DARI CIBEDUG

Anak-Anak Harapan dari Ulu Cai
Anak-anak yang ada di dalam foto di bawah ini adalah siswa SMP Sekolah Mandiri, Cibedug, Bogor. Mereka sedang mengikuti acara pengenalan pentingnya air pada 25—26 April 2008, lalu, di Camp Ulu Cai—ulu cai: ‘mata air’.

Mereka anak yang bersemangat, ceria, dan punya rasa ingin tahu yang besar. Semangat kebersamaan mereka pun terasa erat. Anak-anak yang “benar-benar” anak-anak. Begitu mudah tertawa, mengalir bagai mata air yang jernih dan segar dari desa itu. Namun, masihkah mata air itu membawa harapan?—saat air-air dari desa itu semakin banyak dikemas.
Anak-anak SMP ini sekolah pada siang hari, mulai pukul satu hingga pukul empat. Bukan mereka memilih masuk siang, tetapi karena pagi hari “ruang kelas” digunakan oleh adik-adik mereka yang masih duduk di SD.
Kebanyakan jarak rumah para siswa ini ke sekolah cukup cukup jauh, di “bawah” sebut mereka menyebut daerah tempat tinggal mereka. Biasanya, mereka jalan kaki. Ada juga yang naik ojek, tetapi jarang karena ongkosnya mahal.
“Sekitar setengah jam, Kak,” jawab mereka ketika saya tanya berapa lama waktu yang diperlukan untuk jalan kaki ke sekolah.
Buat mereka yang tinggal di “bawah”, tanjakan tajam—mungkin mirip “tanjakan setan” di salah satu gunung—menuju sekolah ini mungkin sudah bukan masalah lagi. Mereka adalah anak-anak yang bersemangat.
Hari Senin ini, 5 Mei 2008, siswa SMP yang kelas 3 (Kelas VIII) akan mengikuti UAN. Mereka ikut ujian di “induk”, sebutan sekolah negeri tempat mereka “numpang” ujian. Namun, saat marak diberitakan bahwa banyak siswa yang berdebar-debar takut tidak lulus karena nilai kelulusan yang tinggi, debar itu mungkin juga begitu kuat di antara siswa-siswa kelas 3 sekolah ini—apalagi, mereka belajar dengan guru dan fasilitas yang ada saja.

“Lulus SMP”, mungkin, adalah cita-cita yang akan mereka tulis jika ada orang yang memaksa mereka menuliskan apa cita-cita mereka.
“Doain saya lulus, ya, Kak,” ujar salah satu siswa perempuan, sebut saja Ida.
Ia sangat berharap lulus agar tidak membebani orangtuanya. Namun, ia tidak akan melanjutkan ke mana-mana. “Lulus SMP saja sudah untung, Kak,” ujarnya, “kakak saya saja cuma sampai SD, itu juga tidak lulus.”

Kalau melanjutkan ke SMA, orang tua Ida tidak punya biaya—apalagi, ada empat orang anak lagi di bawah Ida. Dan, sayangnya, saat ini, belum ada SMA Terbuka—konon, hal itu karena negara kita hanya mencanangkan Wajib Belajar 9 Tahun.
Dan, Ida tidak sendiri. Ada banyak teman sekelasnya yang seperti itu. Mungkin, saat nanti mereka lulus—semoga, ya, Allah—mereka tidak akan bingung-bingung untuk membuat pilihan. Pilihan mereka hanya satu—ironis kalau ini disebut pilihan, maaf—tidak ke mana-mana. Kembali ke rumah. Ke sawah membantu orang tua—yang bukan milik orangtuanya. Atau, jika rumah dan orangtua tidak dapat “mengikat” mereka, mereka akan ke pinggir-pinggir jalan, bergerombol dengan anak-anak yang sudah duluan di sana: memainkan gitar dengan lagu-lagu “populer”.
Mungkin, tak lama berselang, anak perempuan “menganggur” pun segera dinikahkan. Berkeluarga. Beranak-pinak. Dan, mengirim anak-anak mereka ke “lingkaran-tanpa-pilihan” itu lagi.
Ah, tampaknya, bukan nilai keluluasan yang tinggi itu yang membuat jantung mereka berdebar-debar kencang. Toh, jika mereka pun mengulang di kelas 3 SMP, biaya untuk sekolah di Sekolah Mandiri itu tidak perlu dikhawatirkan—mereka tidak perlu membayar “uang-sumbangan-sekolah”. Mungkin—ini hanya pikiran yang konyol saya—mereka akan senang jika tidak lulus karena berarti masih bisa sekolah, berstatus pelajar. Mereka jadi tetap punya tempat untuk belajar, membaca buku-buku di rak buku sekolah itu—yang baru sedikit dan senang hati menerima sumbangan buku jenis apa saja, yang penting menambah pengetahuan anak-anak.
Bayangan akan lulus dan tidak melanjutkan ke mana-mana mungkin lebih menghantui mereka. “Ya, pengennya ngelanjutin, Kak ….. Tapi, gak ada uangnya. SMA kan mahal, ya, Kak ….” Wajah yang menunduk itu, sepertinya, tak akan bisa menuliskan cita-citanya pada selembar kertas. Mimpi-mimpinya tidak pernah sampai ke mana-mana, terhenti di “jalan menanjak” desa itu.
“Tapi, saya bersyukur bisa sekolah di Sekolah Mandiri ini, Kak,” wajahnya mencoba sumringah.

Sekolah Mandiri: Kesahajaan Pak Ali dan Bu Tini
Sekolah Mandiri. Sekolah yang berlokasi di Jalan Pesantren, Kampung Cibedug, RT 01/04, No. 7, Desa Cibedug, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang didirikan oleh Pak Ali dan Bu Tini ini mengalirkan harapan bagi anak-anak usia sekolah di Desa Cibedug itu. Ada sekolah gratis untuk mereka. Tempat menapak dan mengawali langkah menuju masa depan, meraih cita-cita.
“Kita gak pernah bayar apa-apa, Kak, di sekolah. Kadang, buku juga dikasih,” cerita salah satu siswa Sekolah Mandiri ini.
Ya, sekolah ini memungut biaya apa pun kepada siswanya. Gratis. Sekolah ini terdiri atas TK, SD, dan SMP.

Namun, jangan bayangkan sekolah ini terdiri atas tiga bangunan, apalagi bertingkat, dan punya ruang-ruang kelas. Sekolah ini hanya sebuah rumah—tempat tinggal Pak Ali dan Bu Ali—yang disulap jadi sekolah pada pukul 07.00—16.00 WIB. Ruang kelas mereka adalah gabungan ruang tamu, garasi, dan teras. Meja rendah. Tanpa kursi. Hanya menggunakan karpet sebagai alas duduk—tapi, mungkin masih lebih nyaman dibandingkan dengan sekolah-sekolah roboh di daerah Indonesia. Di sana, anak-anak belajar dengan antusias—meski awalnya masih malu-malu.

“Waktu itu, waktu Ibu lagi jalan nyari udara segar, Ibu heran melihat banyak anak-anak usia sekolah yang berkeliaran pagi hari. Itu gak cuma sekali, tapi hampir tiap hari. Ibu nanya mereka dan mereka bilang gak sekolah. Trus, Ibu nanya-nanya sama ibu-ibu dekat sini. Ternyata, anak-anak daerah sini jarang yang sekolah,” Bu Tini membuka cerita tentang sekolah ini.
Ia dan suaminya, Pak Ali, sorang pensiunan sebuah bank swasta, pindah ke Desa Cibedug sekitar dua tahun lalu. Mereka ingin melewatkan masa pensiun mereka di daerah itu.

Daerah Cibedug yang cukup padat itu cuma 75 km dari Monas. Jadi, bukan daerah terpencil atau sebagainya.

“Mereka bilang karena gak ada biaya. Di sini, kan rata-rata kan petani. Jadi, ya, mereka cuma cukup buat makan hari ini—itu juga syukur. Trus, faktor lainnya, juga karena pikiran para orangtuanya juga. Mereka pikir sekolah atau gak sekolah sama saja, toh, nanti juga jadi seperti mereka,” lanjut Ibu Tini, pensiunan dari perusahaan asuransi.

Penduduk Cibedug rata-rata memang petani—tapi lahan-lahan sawah itu kebanyakan bukan milik mereka lagi. Pengaruh modernisasi—atau kredit motor murah?—membuat mereka memutuskan menjual tanah-tanah mereka dan menjadi tukang ojek. Namun, ternyata, penghasilan sebagai tukang ojek tidak lebih menguntungkan—malah mungkin merugikan. Tarikan sepi—ya, tentunya, penduduk sana mikir dua kali buat naik ojek, lagi-lagi karena masalah uang.

“Ibu sedih dengar kayak gitu. Anak-anak di sini banyak. Ibu pikir, hidup mereka bakal kayak gini-gini aja kalau mereka gak sekolah. Trus, Ibu bujuk Bapak buat bikin TK. Kan, Ibu juga tidak punya kerjaan. Alhamdulillah, Bapak setuju. Trus, Bapak ama Ibu nyari-nyari informasi tentang sekolah mandiri. Akhirnya, setelah ke sana-sini, alhamdulillah, kita bisa bikin TK.

Awalnya, muridnya cuma sedikit. Maklum, penduduk sini masih mikir ini dan itu. Yah, banyak juga tantangan dari lingkungan sini. Tapi, Alhamdulillah, lama-lama, banyak juga yang ngebolehin anaknya sekolah di sini.

Dari 100 orang anak, yang wisuda TK ada 50 orang. Dua kali seminggu, Ibu ngadain pengajian ibu-ibu yang nungguin anaknya TK. Biar ibu-ibu sini juga punya kegiatan.

Trus, Ibu mikir, ke mana mereka setelah TK. Akhirnya, Bapak dan Ibu bikin SD. Ya, kelasnya di ruang tamu ini. Mereka duduk seadanya saja. Oh, ya, Ibu kaget juga, ternyata sekolah mandiri kayak gini ada sekitar 17. Alhamdulillah, Ibu dan Bapak gak sendiri.

Setelah itu, Ibu mikir lagi, kasihan anak-anak kalau cuma sampe SD. Ibu dan Bapak pengen buka SMP. Alhamdulillah, ada rezeki dari anak Ibu, akhirnya, jadilah teras di luar itu. Jadi lebih lega dan bisa buat kelas SMP. Karena keterbatasan guru, anak SMP masuk siang. Awalnya, cuma Ibu ama Bapak yang ngajar. Kalau sekarang, Alhamdulillah, kita sudah ada guru lain. Semuanya sukarelawan. Bahkan, ada yang dari Jakarta. Tapi, dia ngajar dua kali seminggu, ngajar matematika. Trus, ada juga lulusan Gontor yang kebetulan dapat suami orang sini. Dia ngajar bahasa Inggris dan bahasa Arab.

Ya, meski sukarelawan, Bapak ama Ibu gak enak kalau gak ngasi mereka apa-apa. Yah, kita usahin buat sekadar ongkos meskipun mereka bilang mereka ikhlas ngajar. Katanya, sih, dari Induk ada bantuan buat guru. Tapi, yang ditunggu-tunggu itu gak pernah ada. Setelah ditanya-tanya, baru turun 100 ribu. Akhirnya, itu dibagi-bagi barang sedikit buat guru-guru.”

Menurut cerita Pak Ali dan Ibu Tini yang tampak selalu tersenyum bahagia, dana rutin mereka berasal dari dua orang anaknya dan juga adik-adik Bu Tini dan Pak Ali. Dari sukarelawan, belum ada yang rutin. Mereka juga sudah memasukkan proposal-proposal, tetapi tidak pernah (belum) ada yang tembus. Pak Ali dan Ibu Tini itu begitu bersahaja—asal lahirnya Sekolah Mandiri—dan mereka sangat terbuka dengan orang-orang baru. Mereka akan dengan senang hati membagi “jalan kebahagiaan” dengan siapa saja.

“Kalau ada yang mau jadi guru di sini, Ibu dan Bapak sangat senang. Tapi, kami tidak mau kalian repot juga karena jarak yang jauh. Ya, bantuan itu kan gak cuma uang. Ibu ama Bapak juga mengharapkan ide-ide untuk sekolah ini. Kalaupun tidak ada ide, Ibu dan Bapak mengharapkan doa biar Ibu dan Bapak selalu sehat dan bisa mengurus sekolah ini,” Bu Tini berkata dengan senyum cerianya kepada kami.

“Wah, kalau cuma doa, berarti itu sudah sampai tahap selemah-lemahnya iman, tuh,” celetuk salah seorang teman saya. Kami tergelak, tersentil.

Menurut cerita Bu Tini dan Pak Ali, yang sungguh bijaksana itu, mereka juga resah memikirkan nasib anak-anak yang akan lulus SMP. Namun, apa daya, mereka baru bisa membuka sekolah sampai SMP—masalah ruang, biaya, guru, dan lain sebagainya.

“Sekarang, yang SD ada 35 orang. Harapan Ibu sekarang ini anak-anak SD ini pakai seragam. Ibu pengen liat mereka pakai seragam soalnya selama ini mereka belum punya. Pasti mereka senang sekali,” tambah Ibu Tini tentang harapannya.

Saya dan teman-teman ikut membayangkan anak-anak SD itu pakai seragam Sekolah Mandiri. Ah, betapa akan senangnya mereka mempersiapkan baju baru itu untuk esok pagi. Melenggang ke sekolah dengan seragam baru mereka itu. Mencium baru khas baju baru. Dan, menukar baju sehari-hari yang mereka kenakan—yang terkadang mungkin belum kering atau sudah “bau matahari”—dengan seragam itu. Betapa akan senangnya anak-anak SD itu.

Cerita Ibu Tini dan Pak Ali “merebut hati” kami yang mendengarnya. Betapa tulusnya niat mereka. Betapa mulianya. Betapa ikhlasnya. Betapa sabarnya. Betapa sangat berguna. Betapa bahagianya jika dapat membantu mereka, membantu anak-anak itu ….
Menurut teman saya, mendengar cerita Bu Tini dan Pak Ali seakan-akan melihat dan mendengar cerita di acara “K!ck Andi”.
“Namun, yang ini, begitu nyata tanpa halangan kaca. Keharuannya lebih saya rasakan,” katanya.
Ya, cerita Ibu Tini dan Pak Ali memang bukan cerita yang, hendaknya, “mampir” di hati kita, dan tidak hanya meresap dan hilang begitu saja. Itu adalah cerita tentang anak-anak yang bersemangat. Anak-anak masa depan. Anak-anak yang ingin tumbuh dengan cita-cita—dan berani menuliskannya di kertas atau mengucapkannya dengan lantang. Itu adalah cerita mata air harapan, yang akan kering jika “hujan” tak pernah lagi jatuh. Itu adalah cerita yang ingin berakhir bahagia. Semoga ….
***
P.S
Saat ini, saya dan teman-teman sedang mengumpulkan dana untuk mewujudkan harapan Ibu Tini—Ibu yang selalu tersenyum bahagia itu—dan, tentunya, harapan terpendam anak-anak SD Mandiri itu. Kami sedang mengumpulkan dana untuk baju seragam SD—bukan seragam merah-putih, tetapi seragam Sekolah Mandiri—kaus kaki, sepatu (jika memungkinkan), dan untuk ATK (jika dana untuk seragam berlebih). Namun, yang terpenting adalah pengumpulan dana untuk seragam.
Mungkin, cerita Ibu Tini dan Pak Ali ini juga “merebut hati” teman-teman. Dengan senang hati, kami menerima sumbangan untuk anak-anak Sekolah Mandiri, Desa Cibedug.
Untuk informasi lebih lanjut, teman-teman dapat menghubungi kami.
Iwied/Gita (iwied_bae@yahoo.com)

Friday, April 11, 2008

A Little Girl

/Fragile as a leaf in autumn/Just fallin' to the ground/Without a sound/

Kutipan itu menjadi salah satu bagian lirik favorit saya dalam lagu "Seven Years"-nya Norah Jones. Membawa suasana. Entah dari sudut kenangan yang mana.




Seven Years

Spinning, laughing, dancing to
her favorite song
A little girl with nothing wrong
Is all alone

Eyes wide open
Always hoping for the sun
And she'll sing her song to anyone
that comes along

Fragile as a leaf in autumn
Just fallin' to the ground
Without a sound

Crooked little smile on her face
Tells a tale of grace
That's all her own

Fragile as a leaf in autumn
Just fallin' to the ground
Without a sound

Spinning, laughing, dancing to her favorite song
She’s a little girl with nothing wrong
And she's all alone
A little girl with nothing wrong
And she's all alone


--Norah Jones--

Laki-Laki Tua di Sore Hari

Sore hari, sekitar pukul setengah empat, saya dan Gita melangkah di Jalan Kober, Margonda, Depok. Seorang laki-laki tua memikul dagangannya. Jajanan yang sudah jarang ditemui.

"Beli, Pak," ujar saya.

Pak tua yang memikul dagangannya itu berhenti.

"Saya memang mulai jualan sore, Neng," ujarnya.

Mungkin biar tidak menimbulkan "pikiran negatif" di benak saya dan Gita, sahabat saya, yang melihat dagangannya masih banyak.

"Berapa, Pak?" tanya kami, menunjuk pada ketan yang dibungkus rapi dengan daun kelapa itu, lepet.

"Seribu, Neng," jawab laki-laki tua itu. "Saya sudah sejak muda jualan, sejak taun 75," lanjutnya sambil membungkus lepet yang kami beli.

Saya dan Gita hanya bisa bilang, "Wah, udah lama banget, Pak. Kita aja belum lahir taun segitu."

"Iya. Sekarang, mantu saya aja udah empat," jawabnya.

"Ini bumbunya, Neng," tambah si Bapak memperlihatkan bungkusan kecil dengan kertas--yang setelah dibuka nantinya, ternyata, isinya serundeng (kelapa yang diongseng dan dicampur dengan gula pasir).




"Itu apa, Pak?" Gita menunjuk ke keranjang satu lagi.

"Kelepon. Sama, seribu juga," jawab Pak tua itu dengan senyum ramahnya.

Kami beli kelepon itu juga, yang dibungkus daun pisang.

"Bapak emang keliling, ya, Pak?" saya ingin tahu karena saya suka sekali dengan jajanan ini, tetapi jarang bisa menemukannya.

"Iya. Itu, rumah saya di belakang bidan," si Bapak tua menunjuk arah belakang kami. "Kemarin, ada acara di pameran gitu. Saya diundang tiga hari. Dapet lumayan, tapi, ya, ada potongan dari RT juga," si Bapak bercerita, masih dengan senyumnya yang ramah.

"Oh ...," gumam saya dan Gita. Potong-memotong, masalah lama yang selalu terjadi, kapan saja dan di mana saja. Ah ....

Kemudian, transaksi selesai dengan ucapan terima kasih dari kami.

"Udah tua gitu, masih jualan, ya, Wied. Kenapa gak anak atau mantunya aja, sih?" Gita membuka percakapan saat kami melanjutkan langkah.

"Iya, tau. Mungkin, dia orang yang gak bisa diem kali, Git. Kan, ada, tuh, orang tua yang gak betah kalau cuman diam aja di rumah," jawab saya.

"Mungkin juga, sih. Tapi, kasihan juga dah tua begitu."

"Iya ...."

Bapak tua itu entah sudah sampai mana. Yang pasti, dia terlihat menikmati langkahnya dan pikulannya itu, berisi lepet yang dibungkus rapi dengan daun kelapa, serundeng yang garing, dan "kelepon asli daun suji"--kata si Bapak saat membungkus kelepon itu.

Masa sekarang, mungkin kesulitan ekonomi yang membuat orang harus terus membanting tulang hingga tulang-belulangnya semakin rapuh dan meluruh.

Saya dan Gita melanjutkan langkah, cukup jauh.

Bapak tua yang memikul dagangannya itu juga melanjutkan langkah. Langkah-langkah yang sama sejak 1975. Langkah di antara jalan-jalan yang selalu berubah setiap jengkalnya.

Namun, tampaknya, bagi laki-laki tua itu, waktu seakan-akan berhenti dalam langkahnya. Langkahnya itu masih langkah yang sama sejak 33 tahun lalu.



Margonda, 10 April 2008

Tuesday, March 25, 2008

Mari!



mari menata


hari
pagi
mimpi
hati
diri



perempuan yang melenggang itu bilang,
saya telah lama menata
pancipanci
dengan rapi



ah, saya,
saya baru dan masih katakan, mari ....



Margonda di waktu pagi, 25 Maret 2008

Monday, March 10, 2008

kegiatan yang tidak menarik


melangkah?

nggak melangkah?

melangkah?

nggak melangkah?


pagi-pagi dah niat banget mau ngirim editan lewat warnet. dikejar deadline semaleman ampe gak tidur--eh, sebenernya, pas hari terang benderang, tidur gw kelebihan, sih--dan (sering) ganggu temen sekamar dengan lampu yang menyala dengan terangnya. maap, ya, git ^_^ trus, sekarang, disesaki rasa sebel. ugggh!


sebel, ni warnet lemot banget. masa ng-attach file aja blum kelar ampir satu jam--dan, bodohnya, gw tetep nunggu, berharap kekirim. deru jalan raya, lagi-lagi, bikin kegiatan menyeberang jalan jadi tidak menarik. harus meragu.


ini nih akibat males. sebenernya, gak males, sih--cuma gak terlalu berminat dengan kegiatan yang tidak menarik itu--tadi, gw udah nyeberang-jalan-margonda-yang-rame-naujubillah-apalagi-pagi. trus, flashdisk yang berisi naskah yang harus dikirimin gak bisa dibuka. dicoba beberapa kali, ampe pindah komputer, ampe mbak-mbak warnetnya nyobain juga, tetep aja gak bisa. hiks. terpaksa, balik lagi ke kosan. dan, nyeberang lagi tentunya. dengan langkah yang terkadang harus meragu. lagi. kayaknya, klo ada pertanyaan kegiatan yang disukai dan tidak disukai, nyeberang adalah kegiatan yang tidak gw sukai.


trus, sekarang, diri ini terjebak di warnet yang lemot banget. menunggu.

melangkah?
nggak melangkah?
melangkah?
nggak melangkah?


masih berharap?

enggak, deh, ya.

bikin capek dan sesak membukit tinggi. dan semakin tinggi.






matahari tidak lagi sepenggalah di Margonda, 10/03/08

*gambar minjem di sini

Friday, February 29, 2008

Kenangan Selalu Dilarikan Masa Lalu






Februari.

Masih penghujan. Ya, memang masih.

Marilah kita bercakap. Kau mau, kan? Ah, kau selalu terlalu banyak diam. Atau, aku yang selalu tidak punyak banyak waktu. Terbenam dalam langkah-langkahku sendiri, dalam arahku sendiri. Maaf.

Marilah duduk bersamaku. Kita bercerita. Bukankah kita pernah bercerita panjang, dahulu? Ah, aku lupa mengapa kita begitu sedih saat bercakap kali itu. Cerita yang diakhiri dengan tangisku. Juga tangismu. Ah, kau, seharusnya kau tidak menangis.

Kita juga pernah bercakap lama setelah jauh dari percakapan kita sebelumnya. Kita akhiri dengan air mata juga, benarkah? Ah, mungkin, karena itu kau, ah, bukan kau, aku, kita, tidak pernah bercerita lama lagi. Kita tidak ingin menangis lagi. Benarkah?

Tapi, marilah bercakap malam ini. Aku tidak akan membawakan cerita sedih. Aku juga tidak akan memarahimu. Memintamu melakukan ini itu. tidak akan menyuruhmu mengubah arah langkahmu. Tidak. Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan membuatmu menangis.

Jadi, marilah duduk bersamaku, kita bercakap.

Kita akan bicara tentang tawa.

Atau, kita bicarakan tentang hujan saja. Tahukah kau, dalam Februari, dalam butir-butir hujannya yang jatuh, dia selalu menyelipkan cerita buatmu. Ah, sebenarnya, tidak hanya Februari. Selalu ada cerita untukmu yang terselip dalam setiap detak.

Namun, dalam Februari, hujan membawakan kembali kenangan-kenangan yang dilarikan masa lalu. Tentangmu, tentu saja. Maafkan aku lagi. Kenangan ini mungkin tidak sebanyak yang kita pikir. Dan, banyak yang memburam begitu saja. Tidak dapat diterka ada dalam cerita yang mana. Maaf, aku tidak merekatkannya erat. Mungkin, tangan-tanganku terlalu kecil saat itu, apalagi tanganmu. Masa kanak-kanak kita tidak dalam langkah yang sama. Aku menjauh, dipilihkan takdir. Dan, ketika aku tahu, waktu telah memilihmu untuk berjalan bersama.

Kenangan itu akan kembali dilarikan masa lalu. Akan selalu terjadi pada kenangan, bukan?

Tapi, kau. Kau bukan kenangan.

Kita akan selalu bercerita. Bersama. Tentang apa saja—dan tidak akan kita akhiri dengan tangis, tentu saja. Kita akan selalu bersama bahagia.

Subuh datang tidak terlalu terburu-buru kali ini. Ia masih di sini. Saat ia Kembali, aku ingin titipkan satu cerita kepada-Nya, untukmu—semoga sampai juga pesan singkat itu, “Aku rindu kepadamu, adikku”. Tahun selalu terburu-buru, terlalu mencintai masa lalu.

Ah, maaf, lagi-lagi, aku tidak bisa tidak menangis saat membicarakanmu.


Februari 2008--"hari lahirmu tertera dalam catatan pengingat. semoga engkau bersama bahagia di Sana"

Saturday, February 16, 2008

Biar Enggak Bosen di Kereta

Kereta membawa perjalanan panjang. Apalagi, kereta ekonomi. Selain panjang, sesak selalu ada di sana. Segalanya ada di sana.
Mungkin, terkadang, perjalanan menjadi begitu membosankan.





Tapi, ada berbagai cara buat mengatasinya.
Baca koran adalah salah satu cara yang cukup bermanfaat.



Saat baca koran, kita harus hati-hati. Mungkin, ada orang yang mencuri baca.
Gak pa-pa, sih, sebenernya. Tapi, risih gak, sih, diliatin? Padahal, orang itu gak peduli ama kita, sih. Dia cuma refleks aja pengen ikut baca. Tapi, tetep aja bikin gak konsen.




Trus, kalo bosen kembali menyerang, jangan kalut. Cari kegiatan lainnya, misalnya ngisi TTS. Biasanya, di kereta ekonomi ada yang jual, kok--lengkap dengan pulpennya. Trus, sibukkan diri kita dengan pertanyaan-pertanyaannya. Kalo ada jawaban yang kita udah tahu, nih, tapi kotaknya gak cukup, jangan panik. Yah, pindah aja ke lembar berikutnya. Kalo jawabannya gak tau, tapi malu nanya ma temen seperjalanan kita--kayak ada seorang temen saya--yah, gak usah malu. Nanya aja ama temen kita itu--biar dia gak bosen juga.





Setelah itu, kalo udah bosen ama TTS juga? Isi buku harian ajah. Tulisin aja segala perasaan bosen kita itu. Lama-lama, kita tambah bosen, sih, jadinya. Eh, jadi ngantuk, sih. Trus?





Kalo dah ngantuk, cari aja posisi tidur yang enak. Kalo keretanya lega--gak mungkin ada di akhir pekan--banyak gaya yang bisa dicoba.




Itu gaya yang beruntung duduk di pojokan deket jendela. Kalo gak?




Catatan: ruang kosong di sebelahnya merupakan pengecualian di kereta ekonomi. Kalo lagi rame-ramenya, hmm, jangan pernah meninggalkan tempat Anda! Kalo gak, ya, wassalam.



Gaya tidur orang di atas, ekstrem banget. Padahal, dia itu "perebut" kursi orang lain. Huh!
Kalo yang di bawah ini, .... kayak mau dieksekusi gak, sih? Karena itu, jangan lupa bawa handuk or kaen-kaenan gitu buat nutupin muka kalo gak biasa tidur di tempat terang--kayaknya, kita gak bisa, deh, minta tolong pak masinis buat matiin tuh lampu dengan alasan kita gak bisa tidur kalau tidak di tempat gelap, kecuali kalo kita emang lagi beruntung/sial duduk di gerbong yang lampunya rusak.




Kalo terbangun tengah malem dan semua temen seperjalanan kita tertidur-berusaha-pulas. Kita pasti merasa bosen lagi. Trus, laper pula. Jangan khawatir, kereta ekonomi tidak pernah tertidur. Para penjaja selalu ada di sana.







Perjalanan selalu panjang di kereta.
Percakapan terasa sudah begitu banyak.
Namun, terkadang, cerita tidak selesai.
Terkadang, alurnya tidak dapat ditebak, padahal kita sudah berkali-kali dalam perjalanan yang sama.
Jadi, nikmati saja.
Toh, stasiun yang kita tuju sudah jelas tertera dalam tiket, tersimpan aman dalam saku.

potongan puzzle yang tidak sama

Beberapa malam lalu, saya memutuskan kembali ke masa lalu. Lorong waktu itu ada di sana sejak lama, dibawakan seorang teman. Ada hal yang harus membuat saya memutuskan kembali ke masa lalu. Ada yang mengancam masa sekarang saya —dan mungkin juga masa mendatang saya—karena hal kecil yang baru saja terjadi beberapa waktu lalu.


Saya hampir menyelesaikan susunan puzzle kekinian—meminjam istilah Mas Ia—saya. Namun, tiba-tiba, ada goresan kecil pada pinggiran sketsa yang saya susun. Padahal, potongan puzzle yang saya susun telah ada di tempatnya masing-masing. Bahkan, saya sedang bersiap dengan potongan untuk bagian yang lain.


Sebuah goresan. Itu membuat sketsa kekinian saya tidak seperti yang seharusnya. Bahkan, saya takut, di masa mendatang saya, goresan itu akan melebar dan akhirnya merusak tampilan sketsa saya.



Karena itu, saya putuskan untuk masuk ke lorong waktu itu. Saya pikir, ada kesempatan untuk memperbaiki itu semua. Ada peluang untuk mengembalikan semua seperti semula. Kembali pada titik saat sesuatu itu belum menjejak di masa sekarang saya. Lalu, saya putuskanlah untuk menggunakan lorong waktu itu—ia ada memang untuk menyelesaikan apa yang tidak kau inginkan, itulah anggapan saya.



Kembali ke masa lalu. Tentu saja hal yang ada masa kini tidak akan sama lagi, saya tahu tentang itu. Tapi, ada cara untuk mengecoh masa. Simpanlah baik-baik apa yang ingin kau pertahankan di tempat lain, di luar bagian semesta yang akan dikembalikan ke waktu sebelum sesuatu—goresan—menjejak dan menjadi mimpi buruk. Itulah yang saya ketahui sebagai cara untuk mempertahankan apa yang tidak ingin kita usik. Yang bisa kita masukkan kembali nanti, saat kita telah mencapai titik—yang kita pikir—aman.



Saya telah tahu itu. Karena itu, saya dengan cepat memutuskan untuk kembali ke masa lalu ketika ada goresan kecil yang saya rasa mengusik kekinian saya itu. Jika dibiarkan, goresan kecil itu akan menjadi besar dan mungkin akan membahayakan masa mendatang saya—yang belum dapat saya intip sedikit pun. Namun, ada bahaya yang mengancamnya dan tentu saja hal itu membuat saya waswas. Kekinian dan masa mendatang saya harus diselamatkan, bukan.


Lalu, mulailah saya masuk lorong waktu—kembali ke titik sebelum sesuatu yang membahayakan kekinian dan masa mendatang saya. Sebelumnya, tentu saja hal yang ingin saya pertahankan telah saya simpan di luar semesta saya yang akan kembali ke masa lalu. Nanti, saat atmosfer saya aman, akan saya pasangkan kembali hal yang saya pertahankan itu—potongan puzzle yang telah saya ketahui di mana letaknya. Potongan puzzle itu telah saya tandai dan dengan mudah semua akan terpasang—tidak perlu lagi membuang waktu. Tentu saja, sketsanya sudah saya hafal dan saya akrabi.



Mulailah perjalanan waktu ke masa lalu itu. Tidak ada yang akan berubah pada sketsa saya, tidak ada yang akan bergeser. Potongan-potongan puzzle telah saya rekatkan erat-erat dalam kotak rahasia, sisi teraman benak saya. Lalu, sampailah saya di masa belum ada goresan pada sketsa. Di sana, potongan puzzle memang belum terpasang. Tidak apa-apa, toh, saya sudah merekamnya lekat-lekat dan hanya tinggal menaruhnya kembali.


Namun, saat kotak rahasia itu terbuka, saya mendapatkan kejutan, yang tidak saya harapkan. Dan, saya memang terkejut
. Potongan-potongan puzzle dalam kotak rahasia itu belum ditandai. Masih seperti semua saat pertama kali saya menerimanya di titik awal. Dari-Nya.


Dan, s
aya sudah kembali ke masa lalu. Di masa lalu itu, ingin kembali lagi ke saat saya belum kembali ke masa lalu. Ke tempat hampir semua potongan puzzle telah terpasang di sketsa. Di tempatnya masing-masing.


Sekarang, saya sudah berada di masa lalu.
Kemudian, saya ingin kembali ke masa saat saat saya belum kembali ke masa lalu. Jadi, bukankah itu masa depan?


Ah, adakah lorong untuk ke masa depan? Saya
begitu memikirkannya. Namun, bukankah saya telah tahu dan telah begitu menyadari bahwa semua akan berubah saat kembali ke masa lalu. Harus ada yang hilang jika saya tidak menyimpannya baik-baik, merekamnya lekat-lekat, menutupnya erat-erat dalam kotak rahasia.



Jadi, sekarang, kekinian saya adalah masa lalu yang saya datangi dari masa depan. Saat ini, masa lalu ini bukanlah masa lalu. Ia kekinian saya. Dan, ada lagi masa lalu dari masa lalu—kekinian—saya ini.

Lalu, apakah saya masih ingin sibuk mencari jalan ke masa depan agar saya tidak berusah-susah lagi memilah-milah potongan puzzle yang pas untuk sketsa masa lalu—kekinian—saya ini? Berapa lama waktu yang saya perlukan? Berapa banyak goresan lagi yang akan saya buat dalam sketsa ini?



Lalu, mengapa tidak saya terima saja masa lalu—kekinian—saya ini sebagai kekinian saya—tanpa tambahan kata “masa lalu”. Hanya kekinian. Inilah kekinian saya. Yang harus saya jejaki agar saya sampai ke masa mendatang saya—yang sempat saya jejak.



Bukankah saya memang telah memutuskan untuk kembali ke masa lalu?


Segala sesuatu memang mempunyai ceritanya sendiri. Sekarang, saya harus menjalani cerita masa lalu ini. Sekarang, ia bukanlah masa lalu itu. Inilah kekinian saya.

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin