Penjual Kenangan

Friday, February 27, 2009

Kucing Melulu & Cerita Cinta (Me)Lulu

mungkin, kisah kita dan LULU sama,

mungkin, harapan kita dan LULU sama

mungkin, peliharaan kita dan LULU sama

mungkin, yang PERLU kita baca sama

hehe, ini novel remaja yang saya tulis ^_^

beli, ya. hehe.





sekilas yang LULU rasa ;)

Bodoh! Kenapa aku ngaku-ngaku miara kucing persia di depan Gilang yang cute itu, sih? Tapi, mana aku nyangka kalau dia beneran mau liat “kucing persia imajiner”-ku itu. Arrrhgh… aku bingung. Seumur hidup, aku belum pernah miara kucing, apalagi kucing persia!

Trus, aku harus gimana? Aku enggak mau Gilang ilfil gara-gara tau aku boong. Tapi, aku harus beli kucing persia di mana? Mana mahal lagi, belum lagi ngerawatnya. Di kosan pula. Gimana cara mandiinnya? Bersihin eeknya? Arggghhh! Tapi, aku HARUS miara kucing persia!

Reya dan Nino nganggap aku berlebihan. Nino malah bilang aku terobesi sama Gilang. Dih, cowok tau apa tentang cewek yang lagi jatuh cinta? Tapi, aku juga enggak tau apa-apa tentang kucing persia!


(penerbit: GagasMedia)

lalu

lalu, samar
sebelum gelap

aku tak ingin di sini terlalu lama

Februari Lagi (Surat Keempat)


Maaf, surat kali ini terlambat. Semoga tetap sampai, menggenapi tiga suratku sebelumnya. Ya, tahun keempat. Tanpa terasa.

Kali ini, musim masih tidak jelas. Hujan datang tiba-tiba, setelah panas yang begitu menyengat—hingga kepala seolah-olah menyimpan panas yang melama. Ah, maaf, aku bercerita tentang cuaca, bukan karena tidak ada percakapan, hanya ingin menceritakan seperti apa bulan kelahiranmu—kelahiranku?

Oh, ya, aku belum sempat ceritakan yang ini. Sebuah foto kecilku yang kutemukan setahun lalu—ya, setahun lalu aku mengunjungi rumah masa kecil kita, yang semakin tua. Tapi, baunya masih sama. Bau masa lalu, masa kecil kita yang tak terlalu banyak, mungkin hanya ada di salah satu sudutnya. Andai kau ada di sana, aku pasti betah berlama-lama, minta kau antar sana sini, minta (menyuruh) kau belikan ini itu.

Ah, aku melantur. Aku ingin bercerita tentang foto itu. Dalam foto itu, aku mungkin berusia dua tahun, dengan rambut keriwil yang dipotong pendek, dan pipi yang—uh!—tentu saja tembam. Kau pasti belum pernah melihat foto kecilku, ya?

Foto itu kutemukan saat aku sedang menyelamatkan foto keluarga kita yang melama. Kau ingat, kan, lemari kayu yang ada di ruang tengah itu. Foto keluarga kita ada di laci kaca, di sebelah kiri. Semakin tidak terawat—seperti rumah masa kecil kita juga, yang ditinggal semua (13) tangisan yang dulu diredam tembok-temboknya. Ah, rumah itu semakin sepi—kau pasti tahu bagaimana rasanya (semoga tidak kau rasakan di sana).

Tapi, kau jangan marah, ya, kalau aku ceritakan apa yang ada di foto itu. Aku juga tidak tau yang mana yang benar. Jadi…, di belakang foto itu, dituliskan namaku dan tanggal lahirnya. Setelah bulan ini, pada angka ke-11. Masih angka kembar juga, meski bukan 22. Yup! Bukan yang selama ini selalu kutuliskan dalam formulir-formulir buat masuk sekolah itu. Aku juga tidak tahu kenapa bisa salah. Kalau hari lahirmu pasti benar—hari lahirmu tercatat di tembok rumah kita, aku juga ingat itu.

Jadi, kita tidak lahir di musim yang sama ternyata. Seperti itu yang tertulis. Dan, itu baru kuketahui setelah hampir 26 tahun kemudian. Selama ini, aku mengingat kelahiranku sebulan lebih awal. Jadi, ya, begitu. Aku menabung 26 bulan, ya berarti. Hehe.

Hei, tenang saja. Aku masih percaya, kok, kita dilahirkan pada musim yang sama. Aku juga suka musim penghujan ini—yang kata orang musim cinta.

Bicara tentang cinta, mungkin sebenarnya ada yang mau kuceritakan. Tapi, ah, entahlah, terlalu rumit. Tidak apa-apa, kan, kalau tidak kuceritakan?

Apa kabarmu?—belum sempat kutanyakan. Kabarku, semakin payah. Semakin perlu lama berpikir ketika masuk pintu dorong/tarik yang tidak ada tulisan “dorong” atau “tarik”-nya. Semakin perlu diam dalam beberapa jeda untuk menentukan pintu itu didorong atau ditarik. Padahal, kalau saja aku memilih salah satu dengan cepat, toh, kalau salah, aku tidak akan dipenjara ataupun mati saat itu juga.

Itu juga terjadi di tempat kerjaku dulu—dua tahun yang lalu. Saat makan siang, aku tidak mau berjalan di depan. Aku takut harus jadi orang yang membuka pintu ruang makan itu—pintu dorong/tarik—yang tidak ada tulisan dorong/tarik-nya.

Sampai hari terakhir aku di sana, itu pun masih terjadi—yang berarti, hampir satu tahun aku melihat orang membuka pintu itu—entahlah, aku lupa, didorong atau ditarik. Entah kenapa, hal ini sering kualami.

Dan, sekarang, semakin parah. Aku butuh waktu lama untuk berdiri di depan pintu semacam itu. Dorong atau tarik. Hanya dua pilihan. Hanya dua kata yang sederhana. Dan, aku terjebak sangat lama di sana. Ah, kakakmu ini semakin payah, bukan?
Haa, harusnya ini tidak kuceritakan padamu. Sudahlah, lupakan saja.

Ah, ya, kau tahu, dalam empat tahun ini, kita sudah punya (wow!) lima orang keponakan lagi. Semakin banyak. Mereka lucu-lucu, kau pasti senang menggendong mereka. Tangis dan tawa mereka semakin memenuhi ruang-ruang. Membawa bahagia. Sayangnya, mereka tidak sempat mengenalmu....

Apa kabarmu di sana?
Malam selalu dingin di sini. Di sana? Semoga doa-doa yang membubung menjelma menjadi selimutmu, semoga dapat menghangatkanmu. Maaf jika doa terkadang diucapkan terlalu cepat. Apa mungkin karena waktu terlalu cepat berdetak juga—entahlah.

Apa kabarmu di sana?

Kami di sini rindu.


p.s.

oh, ya, novelku sudah terbit, cerita cinta remaja. ada namamu kusebut di sana. aku bisa membayangkan tawamu saat membacanya. dan pasti kau tidak akan sampai habis membacanya. minat bacamu memang payah. Kucing Melulu & Cerita Cinta (Me)Lulu, itu judulnya.

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin