Penjual Kenangan

Saturday, August 16, 2008

Jodoh?




Beberapa hari lalu, Andri, si littlegurl, datang ke kosan—-sahabat saya ini emang ngerti banget sama kedua sahabatnya, saya dan Gita. Karena itu, setiap datang, tak luput dia membawakan kue buatan sang Ibu. Enak banget, lho, kue buatan ibunya Andri. Ada sosis solo, apple pie—-you must try!, dadar gulung, chiken pie—-eh, apa, sih, Ndri, nama kue yang isinya ayam itu? Yang mirip sama apple pie itu, lho?—sampai dodol (eh, yang ini, mah, oleh-oleh dari Jawa).

Nggak cuma kue, Andri juga suka membawakan lauk-pauk, mulai dari kering tempe, kikil, sampai ayam goreng. Sedap! Pokoknya, makanan apa pun buatan ibunya Andri—katanya, Andri juga suka bantuin makanya nggak mau lama-lama mampir di kosan ;p—enak banget. Katanya lagi, Ibu Andri juga bikin ayam bumbu rujak—-wah, yang ini saya belum nyobain, soalnya belum pernah dibawain. Hehe. Kalau mau tahu lebih lanjut, bisa hubungi Andri langsung aja. Menerima pesanan, kan, ya, Ndri? ^_^

Oh, ya, sebenernya, saya sedang teringat percakapan tempo hari dengan Andri. Jadi, pas lagi ngobrol-ngobrol—-lupa ngobrol apa—-tiba-tiba aja, kita ngomongin reality show gitu, deh. Oh, iya, jadi, saya dan gita lagi cerita reality show tentang seorang cewek yang backstreet dari abangnya.

Terus, pas mau ngasih tahu abangnya, ternyata, si abang tahu “sesuatu” tentang si cowok itu. Sempet hampir tonjok-tonjokan gitulah dan, tentunya, tangis-tangisan si cewek (pasti nggak terlewatkan, deh, dalam acara macam gitu. Mas Ia yang gape banget soal pertelevisian negeri tercinta kita ini pasti lebih tahulah. Ya, nggak, Mas Ia? Kayaknya, Mas Ia nonton juga, nih, acara).

Terus, setelah reda acara berantem dan tangis-tangisan, si abang ngajak si adik dan cowoknya itu ke suatu tempat—-rumah seorang cewek. Begitu sampai, si cowok kabur, euy. Penasaran, dong?—-saya, sih, enggak, habisnya drama banget. Tapi, entah kenapa, sampai habis juga nontonnya. Halah! Usut punya usut, ternyata, jreng-jreng, si cewek yang didatengin itu—-yang ternyata sahabat si abang—-pernah pacaran sama si cowok yang kabur itu.

Oh, gitu. Eit, tunggu dulu. Ternyata lagi, itu cewek barusan keluar dari tempat rehabilitasi narkoba. Dan…, si cowok kabur itulah yang memengaruhinya. Dialah penyebab si cewek jadi ketergantungan narkotik. Oh, gitu, toh. Ternyata, selama ini, si abang nggak mau adiknya pacaran sama si cowok gara-gara itu.

Menangislah si adik menghadapi kenyataan. Meraung-raung tepatnya—-padahal, baru pacaran tiga bulanan gitu. Tapi, yah, bisa diterimalah itu cerita. Dan, ekspresi tokoh-tokohnya juga lumayan. Nggak melotot-melotot nggak jelas kayak yang di sinetronlah. Jadi, yang jadi penonton masih bisa bilang, “Beneran nggak, sih? Apa settingan?” Yah, masih di area abu-abulah.

Nah, berceritalah si Andri. “Eh, lo nggak tau?” mulainya. Terusik, dong, jiwa gosip manusia saya dan gita. Hehe.

“Ada yang lebih norak lagi,” kata si Andri. “Enggak banget!” tambahnya.

“Eh, apaan?” saya dan Gita jadi semangat—-yah, sore-sore nggak ada kerjaan gitulah.

Jadi, kata Andri, dia nonton salah satu reality show juga. Ceritanya, ada cewek gitu mau dijodohin sama orangtuanya. Nah, si cewek nggak mau, dong. Dia cari cara buat cari cowok biar orangtuanya tahu kalau dia punya pilihan sendiri. Jadilah dia ikutan, tuh, reality show yang bisa nyomblangin orang itu. Terus, ada dua cowok pilihan, nih—-mereka sempat berantem, tentunya. Mas Ia nonton juga, kan?--Hehe, nuduh.

Pas akhir acara, pas salah satu udah dipilih sama itu cewek—-biasanya, karena mereka merasa klop dan semacamnya gitu, deh—terjadilah huru-hara. Bokap si cewek datang. Jreng-jreng! Marah-marah, bow! Pakai acara nampar si host-nya pula. Katanya, dia dateng mau nyari anaknya—-jadi, ceritanya, dia nggak tahu, tuh, kalau itu acara TV.

Tapi, masa, dia nggak tahu, toh? Kalau gitu, gimana dia bisa ke tempat itu. Pas datang, pastinya dia juga ngeliat, dong, tuh kamera dan kru-kru tuh acara di mana-mana.

Secara garis besar, percakapannya begini. (Saya merangkum cerita Andri, jadi maaf kalau beda omongannya. ;p )

Si Bapak: "Ngapain kamu di sini? (dengan wajah geram dan mata melotot menghadap ke anak gadisnya). Anak saya ini sudah dijodohin! (menghadap host-nya)."

Si Anak: (intinya, dia minta bokapnya dengerin dia dulu bahwa, sekarang, dia udah punya pilihan. Dia nggak mau dijodohin!)

Si Bapak tetap nggak mau terima dan masih marah-marah. Nih, bapak masih belum nyadar acara itu—ceritanya….

(Eh, Ndri, si cewek itu nangis nggak, sih? Apa host-nya yang ditampar itu yang nangis? Hihi).

Lalu, jreng-jreng (lagi!) si bapak melihat cowok pasangan anak gadisnya (yang udah jadi pilihan hati si anak itu).

“Lho, kamu ngapain di sini?” tanya si Bapak bingung pada si cowok pasangan si anak.
Ternyata, si Bapak kenal sama si cowok yang jadi pasangan anaknya itu.

(Tebak, dong, kelanjutannya apa? Saat itu, saya dan Gita udah nggak mau dengerin cerita si Andri.)

“STOP, NDRI!” teriak saya sambil nutup kuping—-reaksinya jadi ikutan berlebihan, nih. Hehe.

“Iya,” kata Andri, “gue juga mohon-mohon ama adek gue buat ganti itu saluran TV.”

Yup! Si cowok yang dipilih cewek itu jadi pasangannya itu adalah … calon yang mau dijodohkan dengan dia.

Wow! Sungguh kebetulan sekali! Ceritanya, mau bilang kalau kedua orang itu jodoh, gitu. Wuek!

Tuh acara TV mau ngebodohin siapa, sih?

“Dia pikir, semua orang Indonesia bego kali,” celetuk Gita.

Ya, ampun! Dunia tuh emang sempit banget, ya? Nggak segitunya kalee!

Yang lebih dramatisasi lagi, si cowok pake acara ngejelasin sama si bokap cewek.

Intinya, dia ngomong gini, “Iya, Om, maaf, saya tahu. Tapi, saya harus menyelesaikan ini dulu. Saya tidak bisa meninggalkan acara ini begitu saja.” Pokoknya, gitu, deh, sok gentleman gitulah.

Huahahaha. Mereka pikir, penonton percaya gitu kalau itu reality show? Mbok, ya, kalau mau bikin skenario kayak gitu sekalian buat skenario sinetron aja. Yah, kalau sinetron, kan, udah jelas visi dan misinya. Nggak ada logika juga udah jadi nama belakangnya. Realitas, mah, udah jelas entah di mana kalau di sana.

Ya, ampun! Kenapa juga Andri nonton acara itu sampai habis? Kenapa juga saya dan Gita semangat banget dengerin ceritanya? Kenapa juga saya malah nulis ini pukul 3:08 pagi—bukannya bikin kerjaan yang deadline! Halah!

p.s.
Pas makan malam tadi, saya, Gita, dan Azizah, lagi cerita-cerita masa lalu gitu, deh. Saya cerita kalau waktu kelas 1 SMA dulu saya pernah telat waktu mau ngambil nilai lari di Senayan. Udah telat, nyasar pula. Kebetulan saya ketemu sama seorang cowok—saya nggak kenal, tapi yang jelas dia pake baju olahraga SMA saya. Kami sama-sama nyasar dan telat.

Kemudian, ketemulah itu lapangan tempat ngambil nilai. Sialnya, saya dan cowok itu salah pintu. Kami berdiri di pintu belakang yang digembok. Kalau mau ke depan, mesti muter dan pasti tambah telat lagi.

Dari jaring-jaring pagar besi, guru olahraga melihat kami dan marah-marah. Acara pengambilan nilai hampir selesai dan dia nggak mau nunggu lagi, apalagi nungguin kami muter dulu. Jadi, terpaksalah saya dan cowok itu manjat pagar. Tinggi, euy. Kalau diingat-ingat, pasti saya—sebagai perempuan—nggak ada anggun-anggunnya waktu manjat itu. Duh!

“Wah, kalau di sinetron,” komentar Gita, “cowok itu pasti jadi jodoh lo, Wied.”

Pastinya. Saya dan Azizah tidak menyangkal.

Hehehe. Untungnya, saya masih di dunia nyata, soalnya, seingat saya, tuh cowok agak-agak aneh, deh. Hehe.

Eh, kalau saya di sinetron, nih, awalnya, saya tahunya tuh cowok emang aneh. Tapi, di akhir cerita, ternyata, cowok itu keren abis dan tajir abis. Abis, dah!

gambar: di sini!

Tuesday, August 05, 2008

saya takut

tiba-tiba saya ingat lagi.

"lo denger suara tadi juga, ya? lo takut? wah, wied, di mana akidah lo?" tanya seorang teman. saya terpojok--ya, benar-benar terpojok di tenda yang sempit itu.
itu. ah, saya tidak bisa menjelaskan entah kenapa napas saya menjadi sesak saat mendengar suara dari sisi tenda saya dan gita huni. yah, habisnya, suara itu ber-hihihi. nah, lho?



jadilah saya dan gita mengungsi ke tenda sebelah--dengan alasan napas yang sesak itu. setelah minum teh hangat--di antara dingin angin gunung--yang dibuatkan seorang teman dan melihat banyak orang yang terbangun, napas saya mulai normal.

dan, menjadi sesak kembali saat seseorang mempertanyakan akidah saya di mana? wah, iya, ya. di mana akidah saya berada ketika saya berada di antara gelap malam dan angin yang berkuasa di gunung itu?

lalu, saya kembali mempertanyakan akidah saya ketika saya sedikit ragu-ragu--alias deg-degan--masuk ke sebuah tempat makan di margonda. masalahnya, beberapa hari sebelumnya, si gita bawa-bawa cerita "aneh".

salah seorang karyawan restoran itu bercerita kalau di sana mereka menemukan sesuatu yang berdarah-darah. di kamar mandi. di tangga. setiap malam--eh, jangan-jangan korban si ryan, hehe. yah, semacam film-film horor norak itulah. wajah karyawan itu pucat pasi saat bercerita. yah, masa niat banget gosip pake ekspresi. dan, muncullah suatu konsep tentang tempat makan itu di benak saya. konsep negatif pula. duh.

lalu, malam kemarin, saya dan gita terpaksa menemui seseorang di tempat itu. jadilah kami ke sana.

malamnya, sebelum tidur, saya jadi inget-inget cerita-tak-penting-tapi-bikin-merinding--termasuk suara hihihi di gunung itu, padahal udah berdoa, lho. hehe. lalu, saya mikir, kenapa saya jadi penakut gini, sih? di mana akidah saya?

setelah mencoba mengamati gorden yang tersingkap karena kipas angin, bayangan di dinding kamar, dan seorang sahabat yang sudah terlelap di kasur seberang, ada rasa sedikit lega di hati saya. untunglah saya masih punya rasa takut. ternyata, saya manusia, rupanya. belum berubah wujud. hehe.

tak lama, saya terlelap.

gambar dari sini!

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin