Penjual Kenangan

Saturday, February 18, 2017

Never Give Up



Dapat upeti dari Nala--salah satu isi bingkisan ultah temannya hari ini--karena saya berhasil benerin mainannya. :D

"Ibu Iwid, bisa benelin mainan Nala gak?" sambut Nala begitu saya membuka pintu rumah Gita Romadhona sore ini.

"Mainan apa?" Pertanyaan saya langsung dijawab dengan giringan Nala ke ruang tengah tempat mainan itu berada.

"Oh, ini kenapa?" tanya saya melihat alat pancing yang terbuat dari plastik.

"Gak bisa dimainin," kata Nala, "Ibu Iwid bisa benelin, kan?"

"Dia nungguin lo tuh dari tadi," imbuh Ibun Gita yang berada tak jauh dari saya dan Nala, "katanya lo pasti bisa benerin."

"Oh...." Saya tertawa sambil melihat-lihat bagian alat pancing itu. Ternyata tali pancingnya salah tempat dan jadi melilit di sela dudukan penggulung.

Setelah berkutat mengurai benang yang tersimpul kuat di ruang sempit itu, saya mengikatkan ujung tali yang terbuat dari semacam benang kasur di dudukan yang disediakan.

"Nih, udah bisa," kata saya sambil mencoba memutar tuas alat kail pancing mainan itu. Benang 
tergulung di dudukan, menarik kail bermagnet yang disediakan di ujung benang.

"Tuh kan, Ibu Iwid emang bisa benelin," komentar Nala senang. "Ibu Iwid kan nevel gipap," tambahnya.

Semangat "never give up" dari lagu "Try Everything", soundtrack film Zootopia itu, adalah senjata Nala untuk menyemangati orang agar tak menyerah akan sesuatu. FYI, itu salah satu "lagu Nala", yang artinya kalau lo ikutan nyanyi saat Nala nyanyi, kelar hidup lo. :p

Nala langsung menghilang membawa alat pancingnya. Kata-kata "Ibu Iwid kan nevel gipap" masih tergiang di benak saya.

Ah, Nala, aku ingat dulu selama beberapa lama kau kesulitan memahami dan menjelaskan apa hubungan orang yang juga kau panggil "Ibu" ini dengan ibumu--akhirnya kau ketahui kemudian ia sebagai "best friend" ibumu setelah konsep itu diajarkan di sekolahmu (juga setelah kau bilang, kau pun punya best friend di sekolah).

Nala, orang yang bahagia melihat kau akhirnya bisa memancing ikan-ikan plastik dengan riang di baskom kamar mandi sore ini memang bisa dibilang pantang menyerah. Namun, kelak, kau mungkin akan tahu bahwa ia pernah menyerah pada suatu hari dalam sebuah perjalanan.

Mungkin saja, kelak, kau akan meragukan kepercayaan dan harapanmu kepadaku.

Ah, mungkin juga tidak. Aku rasa, itu hanya kebaperanku saja. Aku tahu, suatu hari, jika bukan sekolahmu, ibumu pasti akan membuatmu memahami bahwa menyerah bukan selalu berarti kalah.


With love, 
Ibu Iwied, yang sering bikin Nala bergeleng-geleng sambil berdecak gemas karena selalu lupa lirik lagu 

Friday, February 17, 2017

Bang Kumis


gambar dari sini


"Bang, ini 'Bakso si Kembar' sama ya sama ini?" tanya saya malam ini kepada abang bakso dekat rumah kakak saya di Jakbar, saat memesannya untuk dibawa pulang ke Jaksel. Saya merujuk ke plang nama sederhana yang dipasang di gang sebelah gerobak dan tadi melihat si abang keluar dari gang itu.

"Iya, sama, Wied. Kalau makan di sini, bisa di belakang," sahut si abang yang memang sudah kenal saya. Dulu, dia biasanya mangkal beberapa saat di depan rumah kakak saya sebelum berkeliling dengan gerobaknya. Rasa baksonya enak, salah satu favorit orang sekitar, ditambah si abang ramah sama pembeli.

"Oh, kirain beda. Kirain dinamainnya 'Bakso si Kumis', Bang?" Si abang yang sekarang sudah mangkal di satu tempat ini memang dikenal dengan sebutan Bang Kumis atau si Kumis, merujuk ke kumis khasnya yang masih sama hingga sekarang.

"Iya, kan anak saya kembar." Jika kau juga berada di sana, kau akan tahu bahwa ada kebanggaan dalam suara Bang Kumis.

"Ho, kembar, Bang. Alhamdulillah. Udah kelas berapa?" tanya saya.

"Kelas 3," jawabnya sambil membuka tutup panci besar di sebelah kirinya; seketika uap dan aroma kaldu langsung menguar.

"SD, Bang?" tanya saya pede.

"Bukan, SMA," katanya yang membuat saya ber-oh kaget sambil menertawakan diri sendiri karena tebakan saya tertinggal jauh banget. "Saya udah punya cucu juga, lho, Wied." Dia melanjutkan sambil sekilas menengok ke arah saya di antara kesibukannya menuangkan bakso ke plastik untuk dibungkus. Wajahnya gembira.

"Hoo, iya, ya, Bang. Alhamdulillah...." Saya mengangguk-angguk, ikut bahagia.

Setelah obrolan ringan tentang rumahnya di semarang hanya satu jam dari tempat kuliah salah satu keponakan saya, saya tinggal di mana sekarang, dan beberapa hal lainnya, saya berterima kasih dan meninggalkan Bang Kumis sambil menenteng plastik berisi bakso telur seharga 12 ribu rupiah.

Lalu, saya mengingat-ingat lagi bahwa saya memang sudah mengenal Bang Kumis ini sejak keponakan saya masih bayi, yang kini juga sudah SMA. Memang sudah selama itu, ternyata. Ah, sering kali, waktu terasa baru sebentar saja.

Gerimis merintik lagi saat saya menyalakan motor. Sebelum memacu motor, sekali lagi saya menengok ke gerobak Bang Kumis yang memilih mengabadikan perihal anaknya yang kembar--ketimbang sebutannya yang sudah dikenal banyak orang--untuk nama usaha yang ia jalankan selama bertahun-tahun. Orangtua itu tampak berbinar ketika berbicara tentang anaknya.

Ah, orangtua, bukankah memang selalu tentang anaknya yang ada di benaknya dan selalu bersemangat akan hal itu?

Dan, waktu, seakan tak mampu menggilas ingatan dan semangat itu.

Saya teringat ibu saya, yang ternyata selalu khawatir akan hal-hal yang saya pikir sepele, seperti pulang malam dari kantor ataupun naik motor malam-malam.

Ah, ia pasti akan khawatir kalau tahu saya mengendarai motor selama satu jam di antara rintik kecil hujan malam ini. Namun, mungkin ia akan memaafkan karena saya berkendara jauh malam ini akibat terjebak hujan setelah tadi siang menunaikan hak dan kewajiban--memilih seorang pemimpin yang saya yakini amanah untuk kota yang selalu menjadi tempat saya kembali, yang ternyata saya cintai dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Ibu saya pasti mau mengerti, apalagi tadi saya disuguhi banyak tawa oleh bocah-bocah yang saya sayang. Juga bertemu wujud orangtua yang masih dengan semangat yang sama seperti yang saya tahu, berjuang untuk keluarganya.

Semoga Allah membalas jasa dan pengorbanan orangtua kita, juga memberikan yang terbaik untuk kota yang kita cinta. Insya Allah. Amin.

Tuesday, January 31, 2017

luka kali ini





sering kali, kau terluka lagi bukan karena kau tak ingat bagaimana rasanya nyeri. bisa jadi karena kau terlalu antusias akan sesuatu. aku pun pernah begitu. sering, tepatnya. bahkan, kemarin baru saja terjadi.

luka memanjang di jariku, darahnya mengalir. namun, semua seakan tak terasa kala seseorang yang baik hati merawat lukamu. merelakan plester kesayangan ia bagi satu untukmu. "boleh untukmu," katanya, "karena kali ini kau terluka." lalu, ia memasangkannya, dan tak lupa bilang agar esok aku hati-hati.

luka kali ini, entah mengapa ia terasa begitu menyesap ke hati. bukan meninggalkan nyeri, melainkan rasa syukur. entah mengapa. bukankah luka seharusnya selalu meninggalkan nyeri yang sama?

ternyata tidak di luka kali ini.

luka kali ini, ia seakan ingin mengingatkanku--bahwa ternyata seseorang ini, ia pun tak membiarkanku terluka sendiri.




Saturday, January 07, 2017

Menemukanmu


source: pinterest 



Hari ini, aku menelusuri waktu, kembali ke masa lalu. Lalu, aku menemukanmu, yang berkisah tentang jatuh cinta. Kepadaku. Hangat ganjil hadir di hatiku, perlahan. Menerbitkan senyum kecil di bibirku. Itu disebut bahagia, kurasa.

Saat hangat itu menyusup ke ruang jauh di hatiku, baru aku mengerti ada yang terlewat. Bahwa kau pernah berada di sisiku pada saat yang tepat.

Kau menyembuhkan luka, pada suatu masa.
Kau menyelamatkanku dari badai panjang tak terkira.
Seharusnya itu sudah lebih dari cukup, bukan?

Kau adalah jelmaan doa yang entah pada sujud keberapa kuucap. Bisa jadi aku tak sebutkan di dalamnya tentang rentang waktu yang kuinginkan untuk bersama. Kala itu, yang aku tahu, aku hanya inginkan sembuhkan luka-luka. Lalu, itu menjadi nyata.

Bagaimana bisa aku kemudian tak bersyukur akan hal itu?
Jika kemudian pada masanya kau pergi, aku seharusnya mengingat ini. Kau pernah menjelma bahagia.

Maaf jika aku sempat lupa.

Semoga kali ini kau pun menemukan bahagia. Jangan lupa selipkan dalam doa, agar ia selamanya.

Aku rasa, kali ini, aku pun akan bisa ikut bahagia.



Tuesday, October 25, 2016

Sebuah Catatan Kecil tentang (Bukan) Salam Perpisahan




GagasMedia. Sahabat saya yang kali pertama berada di balik “kubikel” penerbit itu. Sebuah penerbit bacaaan popluer untuk anak muda. Saat itu, kami baru saja lulus dari fakultas sastra, fresh graduate, dengan bekal ilmu teori-teori sastra berjejalan di kepala. Perusahaan dengan label “penerbit buku populer” itu kemudian menjadi tempat bekerja sahabat saya sebagai editor penuh waktu.

Saat sahabat saya masuk GagasMedia, saya baru saja meninggalkan sebuah penerbit ternama yang fokus ke buku pelajaran dan memutuskan menjadi editor lepas. Tak lama kemudian, sahabat saya pun ikut memilih bekerja “di luar redaksi” karena kami masih jet lag dengan “karya populer”.

Suatu hari, setelah kami menjadi editor lepas selama dua tahun, sahabat saya kembali masuk jadi editor in house di GagasMedia, di rumah besar Montong 57. Lalu, setahun kemudian, saya menyusul ke rumah di bilangan selatan Jakarta itu, tetapi di penerbit dan fokus terbitan yang berbeda. Saat itu, saya juga sudah berkesempatan menulis buku di GagasMedia, sebuah novel remaja.

Editor lepas dan penulis adalah langkah awal saya di GagasMedia. Namun, kau tidak akan pernah menebak ke mana langkahmu, kan? Suatu kali, saya hijrah dari Montong 57, tetapi ternyata tak lama saya kembali ke rumah besar itu lagi. Seakan ada cinta yang memanggil kembali ke sana. Saya masuk ke sister company-nya GagasMedia, memegang lini fiksi yang baru akan dimulai. Lalu, dua tahun lebih kemudian, jalan takdir membawa saya ke balik “kubikel” GagasMedia.

Hingga kini, sudah sepuluh tahun saya “bekerja” di bidang penerbitan. Saya sebut “bekerja” karena sejak sepuluh tahun lalu itulah saya mulai mendapatkan uang di bidang ini, dimulai dari jadi korektor/penyelaras aksara dengan honor 750 rupiah per halaman, yang berperan besar dalam langkah saya dan sahabat saya. Dalam sepuluh tahun itu, sekitar tujuh tahunnya saya habiskan “berkeliaran” di Montong 57, rumah besar dengan halaman hijau luasnya, yang selalu membuat para penulis yang datang berbinar melihat keasriannya.

Pada bulan ini, setelah beberapa lama dipercaya memegang desk fiksi GagasMedia, saya mengirimkan pesan melalui surel kepada para penulis. Berterima kasih untuk tahun-tahun menyenangkan berkerja sama sebagai editor mereka. Rasa haru menyesak ketika mendapati rasa sedih teman-teman penulis atas surel saya. Orang-orang yang saya kenal dengan baik tak hanya dalam hitungan hari. Orang-orang yang memercayakan karya berharganya, yang bahkan ada yang ditulis dalam hitungan tahun.

Mungkin, kepercayaan mereka itulah yang membuat saya ingin menjadi editor terbaik untuk mereka. Untuk karya mereka. Berharap tak mengecewakan ketika karya itu terpampang di toko buku dan sampai ke tangan pembaca. Berharap ketika karya itu keluar dari mesin cetak, itu memang sudah hal terbaik yang bisa saya berikan. Meski terkadang itu tak mudah, yang penting kita telah berusaha, bukan? Bukan ingin segala-galanya sempurna, melainkan hanya mencoba memberikan hal terbaik yang kita bisa.

Rasanya gombalan tentang profesi editor, “Tanda koma aja diperhatiin, apalagi kamu” bisa dipercaya. Selain memperhatikan tanda koma, editor juga sering berdoa. Berdoa agar sebuah buku yang diedit bisa segera cetak ulang hanya karena ada tanda koma yang terlewat. Juga kerap berdoa royalti yang kelak diterima penulis banyak-banget-banget agar penulis bahagia—dan editornya dapat kiriman kue, #hihi. Kalau penulis bahagia, kan, bisa cepat selesai juga naskah selanjutnya, terus dapat royalti lagi. Terus, editornya berdoa lagi. Gitu aja terus.

Rasanya, menjadi editor bukanlah paket hemat. Bukan juga sekadar seseorang (berkacamata) di balik laptop, yang duduk tenang di balik kubikelnya.

Dia adalah seseorang, dengan paket komplet. Dan, itulah yang saya pelajari lama di sebuah rumah dengan pintu bercat putih nomor 57 itu.

Menjadi editor, dia terkadang perlu waktu panjang untuk menulis sebuah surat yang berisi salam perpisahan. Memilah kata-kata sambil hanyut dalam cerita-cerita lama.

Dan, beberapa hari lalu, seorang editor mengucapkan salam perpisahan kepada para penulis tercintanya. Dia tidak lagi berkantor di rumah besar nomor 57. Editor itu, selama sepuluh tahun menjalani profesinya, dia sempat berpikir tak akan pernah mencapai cita-cita masa kecilnya sebagai insinyur, sarjana teknik.

Namun, mungkin dia salah. Jika dipikir-pikir, menjadi editor rasanya juga sudah seperti seorang insinyur; insinyur buku. Dia bisa “membangun” banyak buku. Bahkan, hingga tinggi sampai ke langit, tempat orang-orang menggantungkan mimpi-mimpi.

Semoga.

Lagi pula, salam perpisahan bukan selalu berarti akhir sebuah cerita. Bisa jadi, itu adalah awal mula yang lainnya, bukan? :)



Salam hangat,
Widyawati Oktavia, seorang editor

Friday, November 06, 2015

dialog yang mungkin terhapus dari ingatan


gambar dari sini!


mon·o·chrome
/ˈmänəˌkrōm / 
noun 
1. a photograph or picture developed or executed in black and white or in varying tones of only one color. 
adjective 
1. (of a photograph or picture, or a television screen) consisting of or displaying images in black and white or in varying tones of only one color.




“monokrom, itulah yang selama ini kulihat pada diriku,” ucapmu di antara alunan lagu sendu kedai penuh buku. “begitu jugakah, menurutmu?” kau menyatakan tanya, matamu penuh harap aku menjawab tak sekadar untuk menyenangkan hatimu.
kejadian itu bertahun-tahun lalu. aku lupa tepatnya apa jawab yang kusampaikan. dahulu, aku yakin kau mendengarkan jawabanku dengan ragu-ragu. kau seakan masih memercayai dirimu mungkin hitam atau abu-abu.
bertahun-tahun, banyak kisah dan tawa yang kau bawakan untukku. berpendar dalam hari-hari saat kau isyaratkan rindu. saat aku mendapati punggungmu menjauh, tetapi hanya untuk membuatku tak sabar kembali bertemu.
bertahun-tahun, kau menjelma pendar bahagia.
lalu, apakah menurutmu bahagia hanya satu warna?
mungkin saja kau telah lupa percakapan kita. karena kau telah lama temukan mozaik warna.
monokrom, bagiku, kau tak pernah menjelmanya. jika saja kau tahu.
kemarin ataupun hari ini; ketika aku mendapati kesedihan hampir hilang di matamu. bahkan, aku membayangkan, mungkin saja kau sedang atau kembali jatuh cintaentah kepada siapa.






Friday, May 29, 2015

Menulis Berantai #TimMoveON #LoveCycle: Lifted Up #6 [Bagian Akhir]



c e r i t a   s e b e l u m n y a:

Abduraafi Andrian (@raafi) di blog Raafirmation (LIFTED UP Part 1)
Bimo Rafandha (@bimorafandha) di blog Embertumpah (LIFTED UP Part 2)
Andhika Citra Handayani (@andhkctra) di blog chaznologic (LIFTED UP Part 3)
Mandewi (@mandewi) di blog Mandewi (LIFTED UP Part 4)



sumber gambar



***


ORANG PATAH HATI dilarang keluyuran sendirian. Hatinya bisa komplikasi kena udara malam,” sambut Luna. Ia sudah duduk di teras rumah indekosku.

Telepon darinya mengembalikan langkahku yang tadi hilang arah setelah bertemu Tiffany dan Gilang. Aku duduk di sampingnya, tetapi tidak menyahuti kelakar yang ia lontarkan. Benakku masih dipenuhi suara-suara.


Apakah cinta adalah tentang waktu bersama ataukah tentang kerelaan berkorban untuk hari depan? Mengapa ketika diam-diam aku meninggikan tembok rumah impian Tiffany, pelan-pelan aku juga justru merobohkan cinta kami?

“Fi, kamu nggak cocok dengan muka murung begitu,” ujar Luna. “Yang berlalu, biarkan berlalu. Kesedihan tak akan pernah kedaluwarsa. Kita tertawakan saja.”

Aku tak menemukan kata yang tepat untuk menjawabnya.


Memangnya, kamu mau melewatinya dengan apa? Menangisinya?

“Bagaimana kalau dengan nggak membicarakannya?” sahutku.

Kami terdiam beberapa jeda. “Kalau begitu, sampai bertemu lagi. Titip berkas ini buat di kantor.” Luna menepuk bundelan di sampingnya.

“Eh, kamu mau ke mana?”

“Cuti, liburan ke Dufan. Hehe.” Luna sudah berdiri. “Aku mau ke makam ibuku, di Malang,” ungkapnya. “Aku balik, ya. Nggak enak mencuri panggung kesedihanmu.” Ia masih sempat meledekku.

"Luna," kejarku, meraih tangannya.

“Terima kasih sudah menolakku.” Kata-kata itu terlontar begitu saja. “Saat sudah jatuh cinta kepadaku, kamu mau mengakuinya?” Entah bagaimana, bersama wanita ini, aku jadi mudah berterus terang.

Luna malah tertawa. “Fi, cinta bukan untuk diberitakan. Tapi, bukan juga untuk dirahasiakan,” ucapnya. Ia menatapku dengan tatapan yang kelak baru kumengerti.

“Saat sudah bisa melepasnya, kamu mau mengakuinya kepadaku?”

Pertanyaan itu membuatku kelu.

“Tidur, Fi. Besok pagi kamu kerja. Aku juga harus mengejar kereta pukul 10 pagi,” imbuh Luna. “Tapi, kalau Raafi-si-gila-kerja-ini mau bolos dan ikut aku, kabari saja. Hidup ini singkat, jangan habiskan dengan muka masam begitu. Sudah berapa lama kamu nggak liburan?"

Luna kemudian menjauh. Tak menunggu jawabanku.



***




AKU rebah di tempat tidur, dengan seprai biru pilihan Tiffany. Bayang wanita yang kusayang itu melintas. Ia tadi tampak begitu sedih. Apakah aku telah menyerap kebahagiaannya?

Aku meraih ponsel. Nama Tiffany masih di sana, dengan foto favoritku. Senyum bahagianya abadi dalam foto itu, di bawah cahaya sore saat aku wisuda. Hatiku berdebar. Rasa sayang ini begitu luas untuknya hingga tak menyisakan untuk yang lain. Bahkan, mungkin untuk diriku sendiri.

Fan, aku memikirkanmu. Draf pesan itu tersimpan di ponselku, sejak hari pernikahan Tiffany dan Gilang.

Hidup ini singkat, ucapan Luna mengiang.

Aku menghela napas. Hari ini, lima menit berdiam diri bersama Tiffany dan Gilang terasa begitu panjang. Lalu, saat bersama Luna tadi, waktu tiba-tiba berlalu begitu cepat.

Fan, aku memikirkanmu,

tetapi aku harus melepasmu....

Agar kau bahagia.

Aku pun bahagia.


Aku menghapus pesan itu. Lalu, mengetik pesan baru.

Tidak panjang, tidak pendek.


Sent.

Pesan itu terkirim.

Kepada Luna.

Semoga ia tersenyum ketika membacanya.

Sesekali, aku harus berani keras terhadap diriku sendiri—dan kini adalah saatnya. Kesedihan tak akan pernah kedaluwarsa jika kita tidak menentukan batas waktunya.

Agar hidup singkat ini tak habis sia-sia.

Aku menutup mata. Melapangkan dada; memberi tempat untuk maaf dari Tiffany, juga maaf dari diriku sendiri. Berharap esok terjaga dengan rasa berbeda.

Fan, I think of you. But I have to let you go.
Karena akhir bahagia adalah milik orang-orang yang berani melangkah ke muka dan memperjuangkannya.


—FIN—








_________________________________________________

PS.

Psst, ini adalah bagian terakhir dari menulis berantai “Lifted Up” #TimMoveOn.
Kamu—sebagai pembaca—bisa ikut serta di tulisan ini. Caranya?

1.      Tuliskan isi pesan Raafi kepada Luna. Pesan apa, sih, yang dikirimkan Raafi?
2.      Twitpic pesan Raafi untuk Luna versimu itu, mention @widya_oktavia @GagasMedia
3.      Gunakan tagar #TimMoveOn #LiftedUp #LoveCycle

Jadilah bagian dari kisah Raafi dan Luna. Juga #TimMoveOn, pastinya.

Satu orang beruntung akan mendapatkan sebuah buku Penjual Kenangan bertanda tangan dari saya.

Good luck! ;)

Salam,

@widya_oktavia
#TimMoveOn


 ________________________________________________



LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin