Penjual Kenangan

Monday, December 17, 2007

fragmen yang tertinggal

***


Aku sedang mencari mimpi, Rayina. Di sini, tak kutemukan. Jadi, aku harus segera melangkah. Kau, apa mimpimu, Rayina?’


‘Aku ingin punya sayap dan bisa terbang. Aku ingin pergi dari balik pelangi ini. Aku ingin melihat apa yang ada di balik pelangi ini. Aku ingin melihat apa yang kau ceritakan.’


Ternyata kau sama seperti aku, Rayina. Kita menyimpan mimpi. Dan aku, esok aku harus segera melangkah, Rayina. Aku terlalu lama di sini. Jika semakin lama lagi, aku takut aku lupa akan mimpi yang kucari. Mimpiku harus segera kutemukan. Dan kita mungkin tak akan bertemu lagi.’


Rayina tak bicara lagi. Hanya diam.


‘Rayina, kenapa? Tiba-tiba, kau menjadi begitu pendiam.’ Laki-laki itu berkata seakan-akan tidak pernah bisa membaca jejak harap di setiap hela napas Rayina. ‘Ah, Rayina, adakah yang membuatmu gusar? Ceritakan padaku, Rayina.’


Jika kuceritakan, akankah dapat membuatmu menghentikan jejakmu di tanah ini, di tempat hatiku tumbuh? Rayina menyimpan tanya untuk diamnya.


‘Oh, aku hanya selalu tak menyukai kepergian,’ jawab Rayina, ‘selalu ada kehilangan bersamanya.’


‘Bagiku, kepergian tak pernah menyimpan kehilangan, Rayina. Tak pernah ada. Kepergian hanya menyimpan langkah bersamanya. Dan memang selalu begitu. Aku bukan peminat kehilangan.’


Rayina mencari sudut-sudut dusta di mata petualang itu. Tak ia temukan. Apakah harus kukumpulkan setiap kepingan kehilangan untukmu? Agar kau tahu. Kepergianmu menyimpan kepingan-kepingan kehilangan untukku, Petualang.


‘Pernahkah burung pipit menitipkan hatinya saat pergi?’ tanya Rayina.


Pipit tak pernah pergi jauh, Rayina. Dan ia selalu kembali ke sarangnya. Ada yang menantinya di sana.’


‘Kau?’


***

Friday, December 07, 2007

Terlalu Lama Kau Pergi

hujan merinai lirih
ia terjatuh di atap
ia hanya merinai, tak membawa kisah apa-apa
pun tentang lukanya

selembar daun jatuh
mengering tiba-tiba
lalu terbang bersama angin
tak juga bawa kabar berita
pun tentang kesedihannya


matahari menyenja
aku tak melihat warna apa-apa
jangankan warna-tembaga-yang-kemarin-kau-bawa

ah, inspirasi
ayo kembali
terlalu lama kau pergi

Saturday, October 27, 2007

26/10/07

aku menemukan persimpangan.
silakan. lanjutkan ke arahmu.
aku berbelok di sini.


"kau tak mengerti arah juga ternyata. hanya pandai menerka."




--Margonda, saat purnama telah habis separuh--

hei!

musim bunga

Anak SMP?


Masih cerita seputar si Ani juga.
Saya dan Gita heran kenapa si Ani rajin sekali ikut dengan ayahnya ke tempat latihan bulu tangkis. Padahal, latihan diadakan pada malam hari. Pukul 10 hingga pukul 12. Ani ngotot buat ikut. Yah, karena libur, sang ayah membolehkan si Ani ikut.
Namun, saya masih heran. Pernah sekali, saya sedang pergi ke rumah Cipa di Ciledug, dengan Ani. Ani berisik, “Ante Wied, pulang yuk. Ntar Ayah keburu pegi.”

Saat sampai di rumah, dari pintu pagar, Ani langsung teriak-teriak, “Ayah! Ayah!”
Saat melihat ayahnya masih duduk nonton TV, Ani mengelus-elus dada, “Untung, untung,” ujarnya.

Kenapa sih, Dek?” tanya saya.
Ani mau ikut ayah main bulu tangkis. Untung ayah belum pegi,” jelasnya.

Saat malam takbiran, Ani masih bertanya kepada ayahnya, apakah malam itu ayahnya main bulu tangkis. Saya dan Gita sampai heran, “Malam takbiran, gitu, Dek!”

Kenapa sih, Ni, pengen banget maen bulu tangkis?” tanya saya dan Gita.
Ada gebetannya, ya?” kami becanda ala kami-kami. Cuma buat melampiaskan keheranan dengan keranjingannya si Ani.

Iya,” jawab si Ani, “anak SMP,” lanjutnya, tanpa Gita harapkan. Apalagi, saya harapkan.

Hah!” kami cuma terperangah, dengan tawa yang tidak rela di ujung bibir.

Ani suka sama dia?”

He-eh,” Ani mengangguk-angguk dengan mata bulatnya. Tersipu-sipu.

UHEI%&DGuBXixOYD&RAHB@$$YY&g99d9a0+Z##j9j ….. Wuah ….! Saya tidak ingat saya bilang apa pada Ani saat itu. Mungkin, saya marah-marah konyol. Tidak rela, tentu saja. Anak seusia itu? Oalah, saya tidak ketinggalan zaman, kan? Pun iya, bodo, deh. Pokoknya, saya tidak rela.

Di kamar, Ani curhat pada Gita. Nama anak itu Andri.
Gita : Kok Ani tau nama dia?
Ani : Ani denger bapaknya manggil-manggil, “Ndri, Ndri!”
Gita : Oh …. (menahan tawa).
Ani : Tapi, dia enggak tau nama Ani (mulai desperado).
Gita : Ayo, Dek! Semangat! Jangan putus asa! Ani deketin dia aja. Trus, ajakin ngobrol (Gita mulai gila).
Ani : (tersenyum-senyum tali temali).

Lalu, cerita sampai pada saya. Saya cuma bisa tertawa. Menangis di dalam hati, hiks.
Tuh, kan, dibeber-beberin,” kata Ani marah. Malu. Despret.

Gita : Ni, Andri gak bakalan mau ama Ani. Kurus. Ompong. Jarang sikat gigi, lagi. Dia aja gak kenal Ani. Gak tau nama Ani. Ngomong aja gak pernah.
Ani : Pernah. Dia pernah becanda …. Tapi, ama temen Ani. Temen Ani juga kurus. Ompong.
Ani semakin parah. Gita juga.

Ice : Emang Andri ganteng, Dek?
Ani : Buat orang sih, dia mungkin gak ganteng. Tapi, buat Ani, dia paling ganteng.
Ice : %$%????

Cerita sampai pada saya. Saya cuma bisa ketawa lagi. Sambil marah-marah enggak rela. Lagi. Jadilah Ani bahan banyolan. Duh, Dek, kosakatamu itu!
Tuh, kan, dibeber-beberin,” kata Ani marah. Malu. Despret. (LAGI)

Huhuhu, Pak A.T. Mahmud, Pak Kasur, dan Bu Kasur, tolong saya. Keponakan saya jadi korban SINETRON!

Saya jadi ngaco. Nyari-nyari kambing hitam. Coba mulai berhitung sampai sepuluh, ah. (Tarik napas) … Satu … Dua … Tiga ….

Monday, October 22, 2007

cipa, cipa

Kapan Kau Jatuh Cinta Lagi?



: nlr


Kau masih saja berlari bersama si kelinci yang selalu berkata, “Aku terlambat! Aku terlambat!”

Kau ikut berlari, tapi tak tahu terlambat untuk apa.

Kau masih berlari-lari bersama kelinci yang selalu akan merasa terlambat itu.

Masihkah kau di sana?” tanyaku suatu hari, saat usia mampir sekali lagi ke dalam catatan pengingat.

Tidakkah kau ingin pulang, ke tempat kisah cinta selalu kubacakan—roman-roman picisan. Jangan terus berlari bersama kelinci yang selalu merasa terlambat itu. Kau tak tahu dia terlambat untuk apa, bukan? Lagi pula, tidakkah negeri itu terlalu ajaib? Atau tidakkah negeri itu terlalu menyeramkan. Di sana, jejak, jalan, dan persimpangan bukanlah milikmu. “Milikku,” kata sang Ratu.

Duduklah bersamaku di sini. Menikmati teh sore. Aku memang belum menyelesaikan satu kisah cinta lagi—cinta tak terlalu picisan, sekarang. Terlalu sulit untuk diselesaikan. Namun, di sore ini, aku tidak ingin berbincang tentang itu.

Kapan kau jatuh cinta lagi?”, akan kubuka percakapan sore dengannya.

Teh sore tampak tak menguap lagi. “Kapan kau akan datang?”

Lebaran Kemarin


Setiap saya pulang ke rumah, selalu ada kejutan dari keponakan saya, terutama dari Ani. Sekarang, Ani sudah kelas dua SD. Masih suka membaca, dan menjadi semakin terlalu (cepat) dewasa.

Saat pulang menjelang dua hari Lebaran kemarin, saya disibukkan berberes di rumah, seperti tahun-tahun sebelumnya. Beberapa hari sebelumnya, Ani sempat menelepon. “Ante Wied, kapan pulang? Ani sekarang sudah bisa nyuci piring. Ani juga bisa nyapu.” Ani melaporkan dari Slipi.

Sebenarnya, kalimat itu untuk mempercepat saya pulang, berhubung, Mbak Was yang biasanya membantu berberes sudah pulang kampung dan tidak akan kembali lagi—belakangan, anaknya usia 10 tahun, yang ikut bersamanya, menyalami saya di tempat salat Ied. Entah kenapa harus pakai acara bohong segala itu si Mbak—kalau dibuat dugaannya, cerita jadi terlalu panjang, perlu ada postingan sendiri. Jadi, lewat aja, deh, ya.

Balik lagi kepada si Ani yang pamer sudah bisa ini dan itu. Saya cuma bisa komentar, “Wah, Ani hebat! Ante Wied pulang besok, ya.” Nyatanya, besok saya itu tertunda beberapa hari. Editan saya mengejar deadline—saya telah menjadi Penjelajah Deadline hampir setahun belakangan ini. Dan, tentu saja, saya menikmati setiap petualangannya.

Akhirnya, saya pulang juga. Saya pulang bersama Gita dan Ice. Pekerjaan berberes menunggu. Saat berberes, HP saya tergeletak begitu saja. Dan, jadilah si Ani menggantikan kebiasaan saya dan juga Gita—dan juga mungkin banyak perempuan di dunia ini—menjadi Penjelajah Inbox. Parah. Bahkan “hobi” ini sudah merambah anak usia si Ani.

Sibuklah dia bertanya ini siapa dan itu siapa. Saat membacakan isi inbox saya itu, dia belibet dengan segala singkatan yang dibuat oleh pengirim SMS dengan aturan “sama rasa”. Ani semakin sibuk dengan pertanyaan. “Apaan sih bacaaannya, Kak Gita?” Siapa sih ini?” tanyanya penasaran. Gita, kotak rahasia saya, usil pada Ani. “Itu tuh, Dek. Yang empat huruf,” pancing Gita. Tanya Ante Wid, deh,” Gita semakin usil.

Deg! Jantung saya sempat berdegup—ya iyalah, ya, masa enggak? Hehe. Saya sempat sedikit kaget, gitu. Aduh, jangan tanya. Jangan tanya, kata saya dalam hati. Sempat-sempatnya berdoa untuk hal yang tidak begitu penting, sebenarnya.


Nte Wied, siapa sih __ ___ __ __?”

Haha, saya tergelak. Doa saya yang serabutan sampai. Tuhan memang selalu mendengar setiap doa. Bukan orang yang saya maksud, ternyata. Ani menyebutkan nama-orang-yang-jauh-dari-saya-duga. Ani sibuk lagi menjelajahi inbox saya, bahkan sampai ke pesan yang tersimpan. Parah.

Kemudian, saya berjalan dengan Ani menjemput Cipa—keponakan saya satu lagi—di rumah kakak saya yang tidak begitu jauh. Saat itu, si Ani bergumam plus dengan deheman atau sejenis itulah.


Heh! Aak Garda,” ujarnya sambil lalu. Saya mendengar sekilas. Dan, langsung menangkap nada gumaman dan dehemannya.

Oh, itu temen Ante Wied. Namanya Aak. Dia anak Garda,” saya menjelaskan cepat—entah karena apa. Saya mengidentifikasi nama si Aak dengan nama belakang Garda—Garda Hijau, sebuah organisasi pecinta lingkungan di FIB UI.


Bukan! Namanya Garda,” ujar Ani cepat.

Heh? Bukan, namanya Aak,” saya menjelaskan lagi. Sambil tertawa, tentu saja. Jelas-jelas namanya Aak, bukan Garda. Ani sotoy, dey!

Bukan!” Ani melakukan pengingkaran lagi. Alah-alah, ngotot amat, yak.

Namanya Aak, Ani! Dia anak Garda. Garda Hijau,” seakan-akan, saya takut Ani menduga ada apa-apa. Saya ingat, ada beberapa SMS si-Aak dalam HP saya, berhubung dia mau nitip sesuatu di kosan.


Heh!” sahut Ani. Ada nada keyakinan bahwa “Gue gak bisa dibohongin!” dalam sahutan Ani itu.

Jadi, Garda itu … bla bla bla ….” Saya menjelaskan secara akedemis. Dan, tentu saja tidak dimengerti oleh Ani yang masih “belekan” itu. Dia sudah punya keyakinan, nama orang itu adalah Garda, dan tentu nama Aak di depannya itu dikira panggilan “sayang” dari saya. Duh!

Pulang-pulang, Ani langsung bisik-bisik sama Gita. Saya memergokinya. Gita langsung tertawa ngakak.

Kenapa, Git?” tanya saya.

Masa Ani nanya ….”

Aak Garda, ya?” potong saya yakin. Dan, ikut tertawa. Mendengar intermeso di jalan dengan Ani tadi, Gita semakin ngakak.


Parah, lo, Wied! Masa ponakan lo yang umur segitu menginterogasi lo. Waktu dia masih bayi, lo udah kuliah, kan,” sahut Gita di sela tawanya.

Eh, gue enggak setua itu kali, Git!” Masa waktu bayi saya sudah kuliah? Ya enggaklah!—terkadang, masalah usia, orang sering cepat sewot. Terkadang, banyak hal konyol lain yang bikin kita buru-buru emosi. Kalau begitu, yuk, berhitung dari satu sampai sepuluh. Katanya, itu dapat mengendalikan emosi, loh ^_^

Saya dan Gita masih tertawa. Saat Ice, adik Gita, datang dan mendengar siaran langsung ulangan, dia ikut tertawa. Tawa yang enak sekali—salah satu jenis tawa untuk menertawakan anak kecil.

Sementara itu, si Ani tersipu-sipu. Malu. “Tuh, kan …. Tuh, kan … dibeber-beberin …,” ujarnya semakin dekat ke pojokan.

Tuesday, October 09, 2007

PEJALAN

pejalan itu masuk. ia memesan secangkir kopi hitam, seperti kemarin. duduk dekat jendela kaca. jalan masih lengang. masih terlalu pagi. kopinya dibiarkan mengepul. pejalan itu memulai cerita. bercerita pada perempuan yang tadi menakarkan tiga sendok harapan dan sesendok senyum dalam cangkir kopi pejalan itu.

"aku akan ke negeri seruni pada musim ini. kau, apa yang kau lakukan pada musim ini?" tanya pejalan kepada perempuan itu.

perempuan itu menakar segelas kopi lagi. mencoba mencari kesibukan.

"aku sedang mengumpulkan kebencian, untukmu. dan nyatanya, belum juga cukup. pun hingga musim berganti."

haruskah itu yang kukatakan kepadanya? perempuan itu terlalu lama menakar hati.


Margonda, 09/10/2007

03/10

Hujan. Hujan. Hujan.
Suaranya masih terdengar.
Masih adakah jendela yang tersingkap?
Hujan. Hujan. Hujan.
Suaranya samar.
Masih inginkah kau dengar?

Tuesday, September 25, 2007

Belajar Membaca Arah

Kita akhiri di sini saja. Apa lagi yang dipertaruhkan? Semua sudah selesai. Matahari telah diselamatkan. Jadi, apa lagi yang kau-aku tunggu? Di malam yang tak hujan, kau bilang ceritamu tak akan habis sampai jutaan tahun. Tapi, "kita tak punya waktu hingga sejuta tahun"*, bukan?
Persimpangan juga tak menarik lagi untuk diperdebatkan. Dan, ceritamu selalu kutahu akhirnya--meski dahulu selalu kudengar. Sudahlah. Mungkin, ini akhir dari pertaruhan yang selama ini kau-aku pertanyakan.
Selamat tinggal, aku yang mengucapkannya kali ini. Tidak dengan lambaian. Tidak dengan tolehan--pun sejenak. Agar tidak ada harapan yang tertinggal, kata mereka-mereka.
Peta menuju rumah masih tersimpan di selipan buku-buku di rak kamarku. Belum begitu buram kurasa. Aku akan belajar membacanya. Belajar membaca arahku sendiri. Bukan arah kau-aku.


*dari Paris Je t'aime--fragmen-fragmen cinta yang memesona--

Sunday, September 02, 2007

Di Depan Masjid Raya




Pada Yang Mahasegala ....
ya,
aku melihatnya


Besuki, Jawa Timur, 21 Agustus 2007

MENINGGALKANNYA


semakin jauh di belakang, kami meninggalkannya
lapangan terbang peninggalan zaman Belanda
yang dibangun oleh jengkal-jengkal lelah bangsa Indonesia,
mereka yang kemudian tak sempat bertemu kembali dengan wajah-wajah pucat--orang-orang tercinta--yang mungkin menunggu di kaki gunung, di sudut-sudut kengerian
mungkin kesakitan atas peluru yang menembus tubuh-tubuh kering mereka tak sempat lagi terasa,
di sana, tampaknya mereka akan terlalu merindukan kehangatan tungku perapian rumah dan senyum hangat perempuan-perempuan mereka
semakin jauh di belakang kami,
ada sisa-sisa, tanda-tanda, adanya pembangunan
sebuah lapangan terbang,
konon.
--Cibunar, Argopuro/Agustus 2007--

dalam perjalanan




"aku tak akan memintamu mengambilkan bulan, Bu,"

aku mendengar gumam tawanya






di antara derit kereta Jakarta--Surabaya, 20 Agustus 2007

Tuesday, August 28, 2007

Di Argopuro

langit yang tak pernah kehilangan biru selalu menceritakan dongeng-dongeng

dan matahari ikut bercerita,
ada yang sempat takut kehilangan jejak, katanya




Argopuro, 22--26 Agustus 2007

Wednesday, August 01, 2007

Menunggu Matahari




Lonceng berbunyi di hari yang sempurna
matahari merah tembaga
dan terlalu merah
ternyata, percakapan akan selalu sunyi
saatnya pulang.

Saturday, July 21, 2007

TIDAK LAGI MENCARI UTARA

Suatu kali, screen server HP saya tulisi “tidak lagi mencari utara”.
Seorang teman saya mengomentari.

“Wah, bagus lo, Wied. Tidak lagi mencari utara.”

“Heh?” saya sedikit kaget. Saya pikir dia mikir “sesuatu”.

“Kan semua orang mencari utara, tuh. Kesannya utara tuh hebat banget. Sampe-sampe ada istilah ‘mengutarakan’. Iya, kan? Nah, bagus-bagus, lo gak nyari utara.”

“He-he,” saya tanggapi dengan tawa sekadarnya. Dalam hati bilang, “Bener juga”.

“Kenapa coba, Wied, ada istilah ‘mengutarakan’? Kenapa gak ‘menselatankan’? Eh, ‘menselatankan’ atau ‘menyelatankan’?

“’Menyelatankan’ kalo gak dibikin pengecualian kayak ‘mensosialisasikan’”.--via kamuz.

“Kenapa gak ‘menimurkan’? Eh, aneh yak kedengerannya?”

“He-eh. Tapi, kalo ada, lama-lama enak-enak aja kali.”

“Kenapa juga gak ‘menenggarakan’?”

“Ada sih, yang deket-deket ama itu, ‘menengarai’. Tapi, g-nya satu.”

“Eh, iya. Apa sih arti ‘menengarai’?”

“Menunjukkan; memberi tanda atau firasat. Banyak yang make sekarang. Tapi, tau deh tepat apa gak maknanya.”

“Eh, balik lagi, ni, Wied. Ama utara yang tadi. Apa utara sedemikian hebatnya? Kita tuh kaya diperbudak ama si utara,” si teman saya ini mulai hiperbola.

“Apa lagi sih? Cuma ‘mengutarakan’ doang, kan?”

“Coba, deh. Dikit-dikit, utara. Apa-apa, utara. Lo aja ampe bikin ‘tidak lagi mencari utara’ kan?”

“Iseng aja mah. Lucu aja kedengerannya. He-he. Itu kali, kita kena dampak ‘pengutaraan’, kayak ‘pembaratan’ gitu.” Ah, saya mulai lagu lama, mulai jayus.

“Gue penasaran, nih, Wied. Dulu kenapa kali. Jadi, ada istilah ‘mengutarakan’. Kenapa, Wied? Masa lo gak tau?”

“Ye, nonton TV aja kalo lagi nunggu nasi bungkus di warung padang doang.”

“Gak ada hubungannya, Wied!”

Mari kita lihat di sinih.

1 utara n mata angin yg arahnya berlawanan dng selatan; mata angin yg arahnya sebelah kiri jika menghadap ke timur (matahari terbit)
2 utara, mengutarakan v melahirkan (pendapat, pikiran, dsb); mengemukakan; menyatakan; mengatakan; menceritakan

(sumber: KBBI, 2001, hlm. 1256—1257)

“Apa dong, Wied?”

“Ada hubungan antara terbit (dalam matahari terbit) ama lahir. Kali,” saya ngaco.

“Masa, sih?”

“Ntar gue cari-cari lagi, deh, di internet. Yah, kalo enggak, ndak masalah juga. Namanya juga bahasa. Arbiter. Sama aja kayak kenapa gue bukan suka lo, tapi [sic!] suka dia.”

“Hah? Waduh, waduh, maksud lo apa, nih, Wied? Coba diutarakan!”

“Ha-ha-ha, kan gue udah gak mencari utara lagi.”

“Ya, udah. Coba diselatankan atau dibaratdayakan.”

“Udah, ah. Ada-ada aja, sih,” ujar saya [tersipu-sipu, kayaknya].

“Atau ditenggarakan, Wied.”

“Gue sama deh sama hubungan antara ‘utara’ dan ‘mengutarakan’. Mana-suka-gue-lah. Dah, yak. Gue banyak kerjaan, nih.”

“Wah, ada yang lo sembunyikan, nih. Eh, Wied. Coba perhatiin, sem + bunyi + kan. Artinya jadi, apa? Menjadi tidak kedengeran. Wah, sem + mata + kan, jadinya tidak kelihatan, Wied. Eh, gue liat kamus lo, ya .... Nah, semata-mata, artinya belaka. Bisa masuk juga niy, Wied ....”

Udahan, ah. Semakin ngaco, nih.

[....]

* (beberapa hal dalam percakapan ini direkayasa demi kepentingan penulis ^_^)

Sunday, July 15, 2007

Hilang Bersama Musim

Nak, musim telah berkali-kali berganti. Tapi, tidak seperti dulu. Sejak tak kulihat lagi punggung kalian saat melangkah, malam berubah menjadi begitu panjang-panjang. Daun-daun begitu cepat mengering dan tak sempat memekarkan bunga. Apakah di sana juga? Di sini, suara jangkrik kadang terdengar begitu jauh. Masih selalu membuat air mataku jatuh. Dan lagi-lagi, yang tertinggal, hanya aku dan ruang.

Wednesday, June 27, 2007

Mengakhiri Juni

surat itu belum juga sempat kukirimkan
alamatmu terselip di antara langkah-langkah yang selalu meragu
maaf,
masihkah kau menunggu?

Monday, May 28, 2007

Pagi yang Jatuh di Jendela

Sore itu, ia datang menemui Aya dan membawa oleh-oleh. Kuntum-kuntum melati yang telah mengungu. “Melati itu telah menyentuh tanah,” katanya menjelaskan.

“Aku ingin menyelesaikan lukisan kemarin,” Ia masuk begitu saja dan mengeluarkan cat yang beragam warna, kuas, dan palet dari tasnya.

Aya menatap laki-laki itu dari pantulan kaca jendela. Laki-laki itu, entahlah, katanya ia pelukis. Namun, lukisan laki-laki itu tak pernah selesai. Atau, mungkin, ia tak pernah ingin menyelesaikannya. Kadang ia terlalu sibuk mencari warna yang sesuai.

“Apakah pagi yang jatuh di jendelamu seperti ini warnanya?”

Kemarin, laki-laki itu bertanya pada Aya. Ah, bukan hanya kemarin. Berkali-kali, sejak mula-mula.

Lalu, Aya akan memilih warna, dan mencampurnya. Pagi yang dilihat Aya kemarin bukan pagi yang muram, meragu seperti di lukisan laki-laki itu. Pagi yang tidak terlalu terburu-buru. Namun, campuran warna Aya tak pernah sesuai bagi laki-laki itu.

Sore itu, lama Aya terdiam dalam campuran warnanya sendiri.

“Sedang tak berbahagiakah?” tanya laki-laki sambil lalu, sambil mengangkat lukisan yang tak pernah ia selesaikan. Membawanya ke tepi jendela.

Kau bisa membaca hati, rupanya. Ah, ada yang tersembunyikan di sana. Terbacakah?

Aya melarutkan tanya dalam secangkir kopi. Ada dua tiga kelopak senyum yang jatuh pula ke dalam cangkir itu.

“Barangkali, hari ini, aku melukis melati yang mengunggu itu saja, Aya.”

Laki-laki itu meletakkan kembali lukisan yang belum selesai itu di sudut, didirikan di lantai.

Laki-laki itu mengambil kanvas kosong lagi. Dan ia memulai lagi dengan warna-warna. Memilihnya. Mencampurnya. Menggoreskannya. Lalu, kembali ragu dan bertanya pada Aya, ungu seperti apa yang dilihatnya pada kuntum melati itu. Esok dan esoknya, kembali mencari warna yang sesuai.

Namun, lukisan-lukisan itu tak pernah ada yang selesai.

Aya terlalu sering membuat campuran warnanya sendiri. Semakin pekat.

Ah, barangkali, jikalau tahu Aya akan memulai goresannya sendiri di kanvas yang baru, laki-laki itu akan menyelesaikan satu lukisan. Mungkin, lukisan pagi yang jatuh di jendela Aya itu.

Tapi, pagi di lukisan itu malah semakin beku, semakin jauh dari warna pagi yang jatuh di jendela Aya.


Margonda, 23/05/07

Thursday, May 10, 2007

Foto Lama

laki-laki itu datang, saat sore masih ingin duduk berlama-lama;
bercakap-cakap dengan matahari yang sibuk melongokkan wajah yang menyimpan semu ke barat jendela; ingin juga duduk berlama-lama, tapi juga takut yang menjemput telah berdiri di luar sana.

"seperti foto lama," kata laki-laki itu, "semakin hari semakin mengabur, lalu meninggalkan bingkai kosong."

lalu, laki-laki itu hanya diam, dan diam

percakapan sore dan matahari pun tak terdengar lagi, pun bisiknya.

"mimpimu tentang kita," laki-laki itu tak mampu berdiam terlalu lama, "seperti foto lama, benarkah?" tanyanya.

Ia Begitu Cemburu




Bulan sabit yang kemarin kehilangan langit membeli karcis kereta. “Ke Venesia,” katanya.

Di sana, ada pelukis yang mampu membuat sketsa cinta yang kau cari; cinta yang kau tunggu. Semoga loket itu belum menutup kacanya. Aku juga ingin ke Venesia.

Bulan sabit yang kemarin kehilangan langit menoleh cepat padaku. 

Aku tak akan berbagi sketsa langit denganmu!

Seolah-olah, itu yang dikatakannya lewat kaca jendela kereta yang selalu setia pada derak rel--dan tak pernah sekali pun jatuh cinta pada hijau pepohonan yang selalu menitipkan senyum, di setiap pertemuan yang selalu ditinggalkan waktu dengan terburu-buru.

Bulan sabit itu; ia begitu cemburu.

Ah, harusnya ia tahu, cinta yang kutunggu bukan di Venesia. 
Kali ini, ia sedang bersamaku. 
Aku hanya ingin menikmati derak rel kereta bersamanya. 
Ke Venesia, atau ke mana pun.


#gambar pinjam di sini!

Monday, May 07, 2007

Suatu Sore yang Kemalaman

Dua potong cokelat begitu cepat kita habiskan.
Kotaknya tertinggal.
Pengamen yang sama menyanyikan dua kali lagu cinta.
dan, sampai hari ini aku belum ingat apa liriknya.



Margonda, 14/02/07

Oh, Hidup: Dua Perempuan Bicara di Angkot

Sungguh, saya tak berniat mencuri dengar percakapan orang (lagi) di angkot. Bahkan, saya berusaha mati-matian untuk tidak mendengarnya.

Petang kali itu terlalu gerah. Saya dan Gita, sahabat saya, juga sudah terlalu lelah memutari Jakarta (Depok—Blok M—Tanah Abang—Cipete—(menuju) Pasar Minggu—Depok). Jadi, tidak ada keinginan untuk iseng mencuri dengar percakapan orang. Lagi pula, saya tidak kekurangan teman mengobrol di angkot itu. Selain Gita, juga saya bersama Melati, editor Penerbit Hikmah.

Angkot S11 yang saya naiki dari Cipete menuju Pasar Minggu ini penuh. Saya pun antara duduk dan tidak duduk. Di depan saya, di bangku empat, ada dua orang ibu-ibu. Mereka diapit Gita dan seorang laki-laki setengah baya di pojokan. Sejak awal, dua orang ibu-ibu itu sudah mengobrol. Cukup keras suara mereka, untuk ukuran ngobrol di angkot. Saya dan dua orang teman saya juga mengobrol. Jadilah kami berebut ruang bicara di angkot itu. Obrolan saya dan teman saya tidak berlanjut karena yang satu pindah ke pojokan. Lagi pula, macet membuat kami menyerah dan memutuskan untuk diam. Tidak enak juga berebut ruang dengan ibu-ibu itu.

“Iye, saya tuh jarang mah naek angkot. Enggak dibolehin. Apalagi ama enyak saya. Die mah paling takut kalo saya pegi naek angkot. Apalagi, sendirian. Tapi, saya mah kalo dilarang takut juga. Makenye kalo mau pegi-pegi saya tuh dandan duluan. Kalo dah rapi kan enyak saya gak bisa marah lagi,” kata ibu-ibu yang memakai kerudung, yang duduk di posisi kedua dari pintu.

“Iye,” si ibu di sebelahnya, yang lebih muda, menimpali.

“Pernah, saya waktu itu pegi-pegi aje. Padahal udah dilarang ama enyak. Duh, di angkot, ati jadi kagak enak. Kepikiran yang macem-macem aje. Jadinye, saya gak berani lagi pegi-pegi kalo enyak udah ngelarang.”

Saya melirik wajah ibu itu. Sudah cukup berumur, malah dapat dikatakan tua. Masa sih masih saja dilarang-larang kalau pergi-pergi? Saya jadi tidak percaya sendiri. Manja bener, sih. Maaf, ada nada memojokkan di pikiran saya.

“Enyak tu takut banget kalo saya naik angkot. Saya juga jadi gak berani pegi sendirian. Saya selalu minta temenin. Untungnya, sekarang ama lu,” kata si ibu “manja” itu lagi.

Saya memerhatikan wajah si ibu itu mencari sisa-sisa kemanjaannya di waktu muda. Tidak saya temukan. “Dih, sok manja bener nih ibu-ibu satu. Gimana anaknya?” pikir saya sirik. Hehe.

Lalu, pembicaraan beralih ke topik lain. Mereka membicarakan “seseorang” yang suka belanja barang-barang. “Seseorang” itu sering berbelanja baju, sendal, sepatu, berlebihan, nilai kedua ibu itu.

“Iye, buat apa coba ye baju ampe dua juta? Saya gak kebayang ada baju yang harganye segitu,” kata si ibu “manja”.

“Iye,” timpal si ibu yang lebih muda. Tampaknya ia tipe pengikut.

“Sendalnye aje banyak bener di lemari. Tinggi-tinggi bener. Buat ape coba, ye? Mending kalo artis mah yak.”

“Iye, buat apaan juga ye. Tapi, kalo ada minjem duit, kayaknya susah bener ye, Mpok. Ame mertuanye juga begitu. Susah bener.”

“Iye, emang begitu die orangnya. Buat beli-beli die mah gak mikir. Waktu saya ke rumahnye, di kamar mandinye sendal banyak banget. Masih bagus-bagus gitu.”

“Iye. Saya juga gak tau buat apaan. Saya mah sendal cukup atu aje. Yah, saya lupa dah kalo mau beli sendal. Sendal saya udah rusak nih, Mpok.” Ia melihat ke arah kakinya.

Sebenarnya, saya juga ingin melihat sendal rusak si ibu itu. Tetapi, apa urusan saya, sih? Ah, mulai terhanyut, nih.

“Ntar pinjem duit sepuluh ribu, ye, Mpok. Mau beli sendal jepit. Saya lupa bawa duit,” kata si ibu yang sendalnya rusak. Yah …

Lalu, mereka meninggalkan obrolan tentang “seseorang” yang suka belanja.

“Iye, Mpok saya sesek bener pas dengernya. Badan jadi lemes banget. Waktu itu saya ampir jatoh pas denger itu. ‘Apa iyaaa?’ pikir saya. Sedih bener kalo inget waktu itu, Mpok,” si ibu “sendal rusak” memulai topik baru.

“Saya bingung, nanti anak yang enem gimana nasibnya. Dia mah gak mikir,” lanjutnya.

“Iye,” sekarang si ibu “manja” yang mulai jadi pengikut.

Tampaknya, si ibu “sendal rusak” curhat tentang suaminya.

“Kan rumah yang di depan udah kita jual, yak. Duitnya juga udah dibayarin ke Pak Aji. Yah mau bagaimana lagi, ye, Mpok. Utang udah 45 juta.”

Wah, banyak sekali utang si ibu? Buat apa, ya? Saya mikirin utang si ibu itu.

“Tapi, kok si Pak Aji kayak gak punya duit aje, ye?”

“Iya, tau.”

Lalu, kedua ibu itu tertawa. Tawa yang penuh rahasia, tampaknya.

Pembicaraan tiba-tiba beralih ke Pak Aji.

“Mungkin beli mobil buat anaknye itu kali ye,” kata si ibu kerudung.

“Oh. iye, die beli mobil ye. Iye, kayaknya,” si ibu yang lebih muda menimpali dengan positif.

“Saya masih lemes, Mpok, kalo inget waktu itu,” si ibu yang lebih muda itu menyambung pembicaraan sebelumnya.

“Saya cuma bingung mikirin anak-anak aje, Mpok. Mana rumah udah dijual. Kan kita gak tau, yak. Waktu itu die minta surat tanah. Gak taunya, udah dijual aja. Kan itu rumah atas nama saya seharusnya. Trus, rumah yang di belakang, udah bukan atas nama kita lagi. Yah, dia mah pinter. Namanya, juga anak kuliahan.” Masih terdengar nada memuja dalam suara si ibu itu, benarkah? Buat laki-laki macam itu?

Ah, laki-laki macam apa yang dinikahi si ibu ini? Saya tidak habis pikir. Saya jadi penasaran dengan si ibu “sendal rusak”. Badannya agak gemuk, bermuka bulat, kulit putih, rambut dipotong model “bob” sekuping. Usianya mungkin belum 40 tahun.

“Yah, kalo dia mau nikah lagi, saya mau apa?” ia seakan-akan tidak bertanya.

Si ibu kerudung hanya diam. Saya juga. Saya pura-pura tidak mendengar dan mencoba melihat kemacetan. Saya takut membayangkan kesedihan di wajah perempuan yang sedang bicara itu. Ternyata suami si ibu ini mau nikah lagi. Hah! Ada enam orang anak yang menunggu di rumah. [Makin menjadi ketetapan hati saya menentang poligami].

“Kalo dia marah, dia juga main gebuk aja. Saya sering digebukin,” lanjut si ibu yang suaminya ingin menikah lagi. Suaranya begitu keras. Mungkin, tak tahan memendam konflik rumah tangga itu.

Saya berusaha memalingkan muka jauh-jauh. Mungkin juga seluruh penumpang, di angkot merah yang saya tumpangi ini. Ah, di angkot ini, kami—perempuan dan juga laki-laki—hanya diam dan menikmati cerita kekerasan dalam rumah tangga.

“Dari dulu die udah begitu?” tanya si ibu “manja”.

“Dulu mah enggak. Dulu, waktu baru nikah, die mah baek bener. Kita minta apa aja, dibeliin. Baek dah, pokoknya. Kita dibeliin kalung. Dibeliin segala macem. Ama duit juga enggak pelit. Saudara juga sering dikasih,” si ibu tampak berapi-api.

“Kenape jadi begitu, ye?” si ibu “manja bertanya lagi.

“Gak tau. Sejak ape ye? Sejak punya anak? Enggak, bukan. Sejak ape ye? Sejak ….

Kayaknya sejak emaknya meninggal. Iye, sejak emaknya meninggal,” kata si ibu “sendal rusak” mantap.

Tampaknya, ia tidak tahu kenapa suaminya berubah. Jawabannya itu hanya untuk menguatkan hati bahwa ada yang bertanggung jawab akan perubahan itu.

“Kalo digebukin, saya mah diam aja. Saya enggak pernah ngelawan,” si ibu “sendal rusak” curhat semakin vulgar.

Ah, si ibu, kenapa tidak melawan? tanya saya dalam hati. Jangan mentang-mentang engkau perempuan. Seharusnya, dialah yang membelamu. Ia yang telah berikrar dalam pernikahan untuk melindungimu, bukan? Buat apa laki-laki macam itu? Sebaiknya, ditinggalkan saja di persimpangan. Biar digonggong anjing. Saya hanya memaki dalam hati, tetapi kemudian pura-pura tidak mendengar lagi. Saya menghindari kontak mata dengan teman saya. Kami semua berpura-pura tidak mendengar.

“Saya udah tau gimana rasanya digebukin. Jadi, pas digebukin, saya diam aja. Yah, sakitnya juga sama aja. Saya mikir nih, oh, gini ni ya rasanya digebukin. Ya udah, pas digebukin lagi rasanya juga sama,” lanjutnya menjawab pertanyaan saya, dan mungkin pertanyaan semua orang di angkot.

“Mau kabur juga saya gak mau. Kalo saya kabur ke luar rumah ntar pasti dikejer. Trus, ntar saya tetep digebukin. Kan malu digebukin di depan orang-orang. Semua orang jadi pada liat dan pada tau.”

Lalu, sekarang, di angkot ini, saya dan orang-orang jadi tahu tentang semuanya. “Yah, anak-anak juga udah pada ngerti,” lanjutnya.

“Anak-anak pada bisa ngelawan ya,” si ibu “manja” menanggapi pelan.

“Iya, anak-anak juga enggak pada ngelawan kalo digebukin. Udah pada tahu kalo bapaknya begitu,” lanjut si ibu “konflik” hanyut dengan kondisi keluarganya yang “nrimo”.

“Jadi, anak-anak pada seneng kalo dia lagi gak di rumah,” lanjutnya.

Laki-laki macam apa yang dinikahi perempuan ini?

Si ibu-ibu temannya entah berpikir apa. Dia banyak diam. Ah, berbeda sekali jalan hidup kedua orang yang duduk berdampingan itu. Yang satu selalu diperhatikan di rumah (bahkan, tidak boleh naik angkot sendirian), yang satu lagi digebukin di rumahnya.

“Yah, saya mah mikirin anak-anak aja, Mpok,” Perempuan itu seakan-akan hanya menceritakan masalah sepele dalam keluarganya.

“Mpok, itu ada jeruk. Kita berenti di sini aja apa?” tanyanya. Tampaknya, ia telah lupa kalau ia barusan bercerita panjang.

“Ntar aja di depan,” jawab si ibu kerudung.

Angkot berhenti.

“Habis, habis, habis” kata si sopir.

Semua penumpang turun, juga kedua ibu-ibu itu.

Saya dan kedua teman saya bernapas lega.

“Gila! Ada kekerasan rumah tangga,” ucap kami, senada.

Sore sudah tidak betah dalam duduknya.

Pasar Minggu begitu sesak dengan orang-orang. Di antara reriungan suara orang-orang, suara angkot, terdengar suara orang mengaji, menunggu magrib datang.

Kedua ibu-ibu tadi sudah tidak keliatan.

Saya dan kedua teman saya membicarakan mereka.

Ya, hanya membicarakan.


Cipete—Pasar Minggu, Selasa, 1 Mei 2007,

Friday, May 04, 2007

yah

mau ngepos, flash disk-nya gak bisa dibuka. yah, begitulah.

langit sedang kehilangan warna-nya.

Sunday, April 15, 2007

kabar dari margonda

sudah, sudahlah, nak
lihatlah ibu,
ibu sering kali dilamun ombak, nak
sudah, nak, sudahlah ....
jangan biarkan airmata itu jatuh lagi


malam ini, tiba-tiba, aku ingat lagi ucapan ibu

bu, maaf. aku terus-terusan sibuk menghitung waktu
lama tak memberi kabar
lama tak menanyakan kabar
maaf, bu


margonda, 15/4/07

percakapan di antara pagi


ada yang bercakap-cakap di antara pagi
dalam bisik
yang diam-diam menghilang dalam kabut





Ceremei, 7 April 2007

Tuesday, April 03, 2007

Dalam Kereta

[1]

dalam kereta:

di belakang kita, bulan sabit kehilangan langit.

biarkan saja, katamu.
kita kembali bercerita

stasiun masih jauh

DI TAMAN

SITUASI:

Seekor kupu-kupu mencari mimpi di kelopak-kelopak bunga seruni.
Seorang gadis duduk di bangku kayu. Menatapi sketsa.

Sketsa: dua orang sahabat bicara dalam diam.
Saling berdusta pada masa lalu
tentang senja yang mereka namai warnanya
tentang malam yang menjelma dongeng di mimpi-mimpi mereka
tentang hujan pagi yang lamat-lamat mengamini doa mereka
tentang bintang yang (tak) pernah mati; masih menyisakan cahaya.

Sketsa: dua orang sahabat saling berdusta pada masa lalu
Ilalang yang tak pernah percaya pada waktu resah, “Aku dititipi rahasia,” katanya.
Seorang gadis menatapi sketsa. Sketsa yang tak ingin bercerita banyak di warnanya.

“Apakah ini sketsa tentang seorang gadis yang jatuh cinta?” tanyaku. Meragu. Kau pun.
Warna sketsa itu begitu sulit direka. Goresan yang samar-samar, ragu-ragu. Seakan-akan belum selesai.

Sketsa itu. Kita pernah melihatnya di sebuah toko antik milik seorang perempuan tua. Di masa lalu.

Di senja ini, tiba-tiba saja, aku dan kau telah duduk di antara gadis, kupu-kupu, dan ilalang: sketsa. Kita duduk berlama-lama. Kita masih takut membaca goresan warna di sketsa itu. Takut terlalu sederhana menceritakannya. Atau takut tak bisa menceritakan kisah yang sama? Entah.

Gadis itu masih menatapi sketsa yang sama. Kupu-kupu masih mencari mimpi di kelopak-kelopak bunga seruni. Ilalang masih tak percaya pada waktu. Dua sahabat masih berdusta pada masa lalu.

Dan, kita masih duduk berlama-lama.

Di sketsa ini?
Di senja ini?

Friday, March 23, 2007

kita pulang saja, kataku

kita pulang saja, kataku sambil menepis dingin yang tak habis-habisnya menggerutu di lengan bajuku,
menjauhlah, bisikku
kepulan asap tukang kacang rebus telah menghabiskan sisa percakapan kita
ayolah, kita pulang saja,

meskipun malam masih berdiri di sana
menunggu akhir kisah pipit kecil yang kemarin jatuh cinta pada angin utara

malam masih ingin mendengarnya, katamu

kita pulang saja, ulangku.
langkah kadang merasa asing dengan gegas, seperti kali ini.

aku takut kehilangan pagi di jendelaku
jika aku masih di sini


kita pulang saja

malam masih akan menunggu bukan?

Monday, March 12, 2007

12/3

"rintik keberapa yang akan sampai ke tepian venesia kali ini?"

semoga belum ia tutup kopernya
ada yang ingin menitipkan cinta ke sana

Friday, February 23, 2007

sore

seperti berjalan
kita tak sempat lagi menghitung langkah
seperti jatuh cinta
kita tak sempat lagi menentukan arah

Virus

Dan virus itu menyerang komputer gw dengan dahsyatnya. Nyebelin. Padahal, Wira dah bela-belain ke warnet buat download-in Antivir [makasih ya, Wir. Kapan kita ngobrol lagi di perpustakaan? Ha-ha]. Setelah di-scan, virusnya malah melakukan kudeta. Sampe gak bisa login. Tapi, untungnya udah beres. Makasih buat Nopa yang udah meluangkan detak-detak waktunya buat mengembalikan file-file itu. Tengkyu ya, Nop ^_^

Huh, virus, jangan dekati aku lagi, dunk!

Peri

seperti hujan, tahun-tahun berjatuhan
usia semakin jauh

masih aku juga yang ditemani
selalu memintamu menjadi peri, maaf

Sunday, February 18, 2007

Minggu yang Hujan

Kemarin, seharusnya, langkah saya berbelok ke rental untuk menghilangkan virus di flash disk--hadiah ulang tahun dari seorang sahabat, setahun lalu--saya. Namun, karena kios kecil itu tampak sangat ramai dan tentu saja sesak, saya mengurungkan niat dan berjalan ke warnet.

Saya menyimpan beberapa data dalam flash disk itu. Setelah di-scan, antivirus di warnet itu tidak bilang apa-apa. Malah, dia bilang tak ada virus yang ketemu. Jadinya, saya percaya saja. Saya pikir, antivirus di warnet pastilah yang terbaru--mereka toh terhubung ke jaringan internet. Tak terlalu susah kan untuk meng-update-nya?

Cukup lama saya di warnet. Hujan begitu ganas akhir-akhir ini. Juga hari itu. Saya tidak berani pulang ke kosan--yang hanya berjarak sejauh langkah yang dapat dihitung. Jadilah saya terjebak di warnet itu. Hujan reda juga. Saya melangkah pulang.

Sampai di kosan, saya langsung memasukkan data yang saya simpan ke komputer saya. Tanpa pikir panjang. Dan, tiba-tiba saja, terjadi hal yang paling tidak saya suka itu. Salah satu hal yang saya takuti, mungkin. Ada virus di komputer saya. Ternyata, antivirus saya tidak bisa ngapa-ngapain. Sial!

Padahal, ada pekerjaan yang menunggu di dalam komputer itu. Saya nekat mengerjakannya. Namun, ternyata sedikit fatal. Setelah disimpan, file itu tidak bisa dibuka. T_T

"Wied, kalo bisa, jangan buka apa-apa dulu. Cari antivirusnya dulu," saran seorang teman.

Yah, jadinya, saya tidak bisa mengerjakan editan yang harus diserahkan hari Senin--mengejar tanggal yang akhir-akhir ini begitu cepat melangkah.

Duh, kenapa sih orang bikin virus?

Dan, sekarang, saya masih di warnet. Mencari antivirus yang bisa menolong saya. Semoga kita bertemu.

** Seharusnya, kemarin itu, langkah saya berbelok, ya. Sayangnya, takdir tak bilang begitu.


Thursday, February 15, 2007

Februari Lagi

Tuhan,
sedang apa dia di Sana?
jika ada butiran jatuh dari matanya,
tolong sekakan dan sampaikan padanya, "senyumnyalah yang dulu menghapus jejak kesedihan pada hati kami".

Tuhan, sampaikan padanya, "selamat hari lahir!"
tak pernah dirayakan memang.
tapi, di dinding kamar ibu masih ada sisa-sisa kapur tulis, yang mengeja nama dan waktu kelahirannya.
masih tertera di sana: harinya esok, bulan ini. (dan pada saat yang sama, telah Kau tetapkan pula bahwa 19 tahun nantinya, hari yang sama, ia dan Kau akan berjalan bersama. pulang).

"bulan lahir kita sama," katanya. ia selalu bilang, setiap tahunnya. dan selalu dengan tawa. ya, kita memang diciptakan pada musim yang sama nyamannya. musim cinta, kata mereka-mereka.

Tuhan,
esok, usia akan semakin jauh meninggalkannya. akan semakin jauh.
ah, tapi, tak lagi. usia tak lagi mampu meninggalkannya ataupun mengejarnya.

"selamat hari lahir"--memang yang tak akan pernah bisa kita rayakan lagi.
tapi, akan kukirimkan bingkisan doa.
selalu.
tenanglah bersama-Nya di Sana ...


--dua tahun sudah, Dik. kau akan selalu ada, dalam setiap doa--

pencatatdetaklangkah






Tell me your tale
Was your journey far too long

--Norah Jones, "Nightingale"--

Tuesday, February 13, 2007

Cerita dari Wira

Beberapa malam lalu, seorang teman, sebut saja namanya Wira, bercerita. Katanya, belum lama ini, tetangganya mengadakan selamatan. Besar-besaran, sampai-sampai ada acara “motong kambing”.

Selamatan itu untuk merayakan nasib mujur sang tetangga. Laki-laki lulusan SMA itu bekerja di kantor kelurahan, sebagai tenaga honorer. Masa kerjanya terhitung belum lama, baru satu setengah tahun. Pada hari yang cerah, laki-laki itu mendapat kabar, ia diangkat menjadi PNS—status yang dikejar-kejar banyak orang untuk menyandarkan hari tua mereka. Wajar saja si tetangga begitu bahagia. Ia—yang baru bekerja seumur jagung (untuk ukuran waktu bagian pegawai honorer)—diangkat menjadi pegawai.

Ah, mujur benar ia jika dibandingkan dengan pegawai-pegawai honorer yang sudah bekerja puluhan tahun, bahkan ada yang tetap berstatus sama. Mereka terkatung-katung. Entah faktor apa yang dijadikan pertimbangan pengangkatan sang tetangga—Wira tidak tahu juga, “Mungkin karena dia rajin atau apalah,” kata Wira.

Alhasil, sang tetangga merasa kebahagiaan itu perlu dirayakan. Jadilah acara “motong kambing” dan acara undang-undang tetangga untuk makan bersama. Hari tua sang tetangga akan terjamin. Begitu pula anak dan istrinya (jika ia menikah dan punya anak kelak). Tak terbayang sumringah wajah sang tetangga dan keluarganya itu. Seperti mendapat durian runtuh. Tak apalah habis-habisan untuk selamatan, toh mereka sudah ketemu pohon durian itu, pikir mereka (barangkali).

Saya dan teman-teman yang mendengar setuju juga jika si tetangga dimasukkan pada kategori orang yang beruntung (ya, kita bandingkan saja dengan peserta CPNS dan juga pegawai honorer, terutama guru, yang terus berharap tiap tahun. Tapi, tak kunjung jua diperhatikan). Yah, nasib orang siapa yang tahu.

“Ya, pastilah dia dan keluarganya senang banget,” kata Wira. Ya, saya bisa membayangkannya. Namun, saya sempat merasa wow! Sampai motong kambing? Yah, bolehlah, toh mereka yang punya acara.

(Menurut tuturan Wira, si tetangga cukup banyak mengundang orang. Semua tetangga diundang. Dan semua orang itu tahu bahwa ia diangkat menjadi PNS).

“Nah, setelah itu ...,” lanjut Wira.

Oh, cerita belum selesai ternyata.

Selang beberapa lama setelah acara selamatan, Pak Lurah dan bedinde-bedinde-nya datang ke rumah si tetangganya Wira. Membawa banyak sekali makanan dan juga buah-buahan. Bukan datang ke acara selamatan.


Masih menurut Wira, Pak Lurah dan rekan-rekan sudah sempat juga mencicipi gule kambing selamatan. Wong, itu keluarga seneng banget. Pastilah orang kantor juga kebagian rantangan.

Jadi, jelas mereka bukan datang ke acara selamatan. Acara selamatannya sudah lewat beberapa waktu lalu.


Kali itu, mereka datang untuk memberi kabar. Mereka juga membawa cukup banyak sesuguhan buat si tetangga.

“Jangan bilang, ya, Wir,” kata saya. Ada pikiran buruk di benak saya. Dan saya ingin cerita tidak dilanjutkan. Cukup sampai di situ.

Namun, Wira masih melanjutkan ceritanya, “Iya, jadi, Pak Lurah tuh dateng buat ngasih kabar ....”

Pak Lurah dan para bedinde datang (lengkap dengan sesuguhan). Minta maaf.

Katanya, ada kesalahan. Pengangkatan status PNS sang tetangga dibatalkan. Pak Lurah bilang, tahun ini, pengangkatan difokuskan pada yang sudah tua-tua dulu. Yang sudah bertahun-tahun berstatus honorer. Jadi, ya, si tetangga tidak jadi jadi PNS. Tetap jadi honorer.

Lha, semua orang juga sudah tahu bukan kalau banyak tenaga honorer yang terkatung-katung selama bertahun-tahun cahaya? Lalu, kenapa Pak Lurah itu ujug-ujug bilang kalau si tetangga diangkat jadi PNS?

“Ada kesalahan,” kata Pak Lurah. Mudah sekali.

Saya tidak dapat membayangkan wajah si tetangga dan keluarganya. Terbayang juga wajah kambing yang sudah dipotong. Wajah tetangga yang telah diundang.

Durian runtuh terlalu cepat. Jadilah mereka ketiban durian.

“Untungnya, mereka orang baik,” kata Wira. “Jadi, tetangga-tetangga tidak mencela. Malah ikut simpati.”

Ya, saya juga ikut bersimpati buat sang tetangga dan keluarganya. Pasti ada rencana yang lebih baik buat mereka.

Friday, February 09, 2007

saat hujan jatuh terlalu pagi

semoga kali ini bukan cinta,

benarkah hatinya yang berdoa?

AMBUN SURI

Aku takut ia mengenalmu. Aku takut darahmu yang mengalir dalam tubuhnya mewarisi apa yang ada padamu. Aku takut. Namun, ia selalu bertanya tentangmu. Abak mana, Mak? Abak mana? Tak mampu kusampaikan padanya. Ia semakin besar sekarang. Dan, aku, aku semakin tua.

Ingin kukatakan kau berada di tempat yang jauh, tapi jiko ado, baa kaba baritonyo? Ingin kukatakan kau telah tiada, tapi jiko mati, di ma pusaronyo? Aku tak akan pernah bisa menjawabnya.

Haruskah aku menceritakan kisah itu pada anak kita? Telah bertahun-tahun setelah hari itu. Namun, semua masih begitu jelas bagiku.

Akhirnya, hari ini, kuberanikan mengajaknya ke tepi pantai ini. Aku pun memberanikan diri lagi mengenal laut. Biarlah ia tahu dari mana ia berasal. Ah, kau lihat betapa riangnya ia berlari-lari di pantai ini. Aku turut bahagia dengannya. Tersunggingkah senyumku? Entah. Di dalam, hati ini begitu takut. Takut ia mewarisi segala yang ada padamu. Karena itulah, aku takut mengenalkannya padamu.

Mak, besar sekali kapal laut itu. Kenapa tidak tenggelam, Mak?” Bocah itu terkagum-kagum melihat kapal yang baru saja berlabuh, membawa barang-barang dagang--juga membawa masa lalu.

Mak, banyak sekali orang di atas kapal itu, Mak? Dari mana mereka, Mak? Bisa kita ikut naik, Mak?”

Aku hanya diam. Itu jugakah yang kau katakan pada ibumu saat kau ingin berlayar, merantau ke negeri seberang?

Mak, Mak, lihatlah kemari!” terdengar lantang suara bocah kita.

Anak itu, dia telah menyambung nyawaku. Aku telah lama menyadari bukan aku yang ingin diselamatkan dari laut. Harusnya, aku pun ikut bersamamu. Menemanimu di sana.

Cepatlah, Mak. Kemarilah!” Ia menjadi tak begitu sabar.

Aku berjalan menyeret kakiku. Sepanjang jejakku, yang ada hanyalah ketakutan. Namun, tak ada penyesalan. Aku tak pernah menyesal bersamamu. Entah kenapa. Bahkan, setelah hari itu, aku berusaha mati-matian untuk membencimu. Membenci segala yang ada padamu. Tak jua berwujud. Saat itu, aku begitu takut telah kehilanganmu. Nyatanya, ketakutan itu semakin besar saat bocah—yang saat ini tak sabar menungguku sampai ke sisinya—itu ada.

Aku takut ia mengenalmu. Aku takut ia mewarisi apa yang ada di dirimu. Dulu, saat ayah meminta mamak-ku untuk menerimamu, aku begitu bahagia. Aku selalu ingin orang mendendangkan, “Sasuai bana jo si Ambun. Ambun Suri, bini yang talah disuntiangnyo ....” Kata mereka, kau sesuai sekali denganku. Aku, istri yang telah kau sunting. Aku bahagia.

Tetapi, semua itu telah berubah rasa. Bersama malam-malam yang begitu panjang. Bersama tahun-tahun yang menganak-pinakkan ketakutan. Rasa inikah yang dirasakan perempuan tua itu. Beginikah rasanya hingga ia menjadi begitu terluka? Hingga air matanya kering?

Mak, cepatlah, Mak. Antarkan aku ke balik karang itu, Mak. Aku lihat ada batu serupa orang di sebaliknya. Aku hendak lihat dari dekat, Mak.”

Itu yang dikatakan buah hati kita. Apakah kau mendengarnya? Ah, aku semakin takut. Bahkan, melihat binar mata anak kita, ketakutan semakin menjeratku. Aku tak ingin ia mewarisi apa yang ada di dirimu—yang (awalnya) hanya ada di dalam hatimu.

Aku takut. Aku memang mencintaimu. Namun, anak kita semakin besar. Aku semakin tua.

Di pantai itu, hari semakin kelam, angin semakin dingin. Hati semakin beku.

Dan, Malin Kundang telah lama menjadi batu.

Pagi-pagi, Malin-lah bangun. Sasuai bana jo si Ambun. Ambun Suri, bini yang talah disuntiangnyo ....


Depok, 20 Maret 2006, 04.27 wib

tes

?

Sunday, February 04, 2007

4/2

Ia teringat laki-laki itu. Seorang petualang yang tak pernah lama menjejakkan kakinya di hangatnya rumah. Yang tak pernah menitipkan hatinya di mana pun. Atau pernah? Ya, laki-laki itu pernah. Namun, ia tak pernah menceritakan kisahnya itu. Perempuan itu hanya mendengarnya dari kata orang. Suatu hari, jika laki-laki itu berkenan, perempuan itu mau mendengar kisah laki-laki itu. Jikapun itu kisah sedih.

Laki-laki begitu banyak menyimpan cerita--tentang perjalanan yang telah dan akan dilaluinya--di matanya. Hanya di matanya. Jika tak berlebihan, laki-laki itu pasti akan berkata bahwa ia mampu menaklukkan dunia. Ia terlalu sederhana. Kadang ia memilih diam dan hanya mendengarkan.

Ia teringat laki-laki itu. Seorang petualang. Dan sampai hari ini, belum temukan juga arah kembali.

Friday, January 12, 2007

IA TAK MAMPU MEMBACA WARNA DI KOTA INI

Wajah tua itu menekur
tak mampu membaca warna
di dinding-dinding beton kota ini
ia tak mampu temukan warna yang sama
yang pernah dikenalnya
tak ada warna kuning pucat memudar kemejanya,
tak ada warna tiang-tiang kayu pondok tuanya,
tak ada warna terik matahari kulitnya
tak ada, entah mengapa


wajah yang menekur itu
kemarin pagi pamit pada matahari di langitnya
antar langkah riang anaknya
hendak mencari mimpi
dan memintal benang harapan di kota ini
“semoga anakku tak melihat jejak yang terlalu dalam pada langkahku,”
diam-diam, laki-laki tua itu berdoa
begitu berat langkahnya


wajah tua yang menekur itu
begitu asing di rindang pohon-pohon kota ini, di hijau rumput-rumputnya
padahal, telah beratus-ratus malam,
bercangkir-cangkir kopi ia habiskan
sambil duduk bercerita dengan pohon-pohon di tanahnya
bercerita tentang mimpi-mimpi yang sangat sederhana


wajah tua itu menekur
angannya jauh, pulang ke sana, ke tanahnya
ke putik-putik jagung yang habis dimakan ulat
dan, ia masih saja merasa sangat asing
dengan rindang pohon-pohon dan hijau rumput-rumput
jejak langkah masih saja dalam
membawa kesedihan
tentang ladang jagung yang masih saja gersang


di kota ini, ia begitu asing
tak mampu membaca warna-warna, entah kenapa
mungkin, karena mimpinya tak pernah sampai di kota ini
mimpinya hanyalah tentang ladang jagung yang masih saja gersang
ah, mengapa tak pernah sampai mimpinya?


tapi, ia tahu, anak perempuannya itu sering bermimpi tentang kota ini
kota yang—katanya—di setiap sudutnya menjajakan cita-cita
anak perempuannya itu sudah terlalu sering bermimpi tentang kota ini
anak itu ingin memintal benang harapan di kota ini
di kota ini, anaknya itu akan berjalan dengan saku baju yang penuh dengan harapan
dan, suatu hari, ingin ditukarkannya dengan satu cita-cita yang dijajakan di sudut-sudut kota ini


wajah tua yang menekur itu tak mengerti
yang ia tahu hanyalah anaknya ingin ditemani ke kota ini
laki-laki tua itu, tetap tak mampu membaca warna di kota ini
mungkin, karena mimpinya yang tak pernah sampai


adakah yang menjual mimpi di sudut kota ini?
jika ada pun, ia tak akan sanggup membelinya
bahkan, saat ia berjalan menemani langkah anak perempuannya,
ia tak berhenti berdoa,

“semoga anakku tidak akan kecewa, aku tak mampu membelikannya cita-cita. semoga anakku tidak akan kecewa, bahkan sekarung penuh harapan pun tak akan bisa ditukarkan dengan cita-cita yang dijual di sudut-sudut kota ini”.

wajah tua yang menekur itu semakin tak mampu membaca warna di kota ini.

Depok, 20 Agustus 2005

Tuesday, January 09, 2007

kali ini

ia selalu menjadi tokoh dalam setiap cerita yang ia dengar dari Pencerita itu. kali ini, Pencerita itu berkisah tentang laki-laki yang tak pernah lama menatap bayangannya sendiri. laki-laki yang tak pernah lama menjejakkan kaki di hangatnya rumah. ketika berkisah, hanya Pencerita itulah yang tahu di mana kisah berhenti--meskipun kadang tak sampai akhir. dan ia, yang mendengarkan, selalu menjadi tokoh dalam setiap cerita yang ia dengar.

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin