Penjual Kenangan

Friday, April 11, 2008

A Little Girl

/Fragile as a leaf in autumn/Just fallin' to the ground/Without a sound/

Kutipan itu menjadi salah satu bagian lirik favorit saya dalam lagu "Seven Years"-nya Norah Jones. Membawa suasana. Entah dari sudut kenangan yang mana.




Seven Years

Spinning, laughing, dancing to
her favorite song
A little girl with nothing wrong
Is all alone

Eyes wide open
Always hoping for the sun
And she'll sing her song to anyone
that comes along

Fragile as a leaf in autumn
Just fallin' to the ground
Without a sound

Crooked little smile on her face
Tells a tale of grace
That's all her own

Fragile as a leaf in autumn
Just fallin' to the ground
Without a sound

Spinning, laughing, dancing to her favorite song
She’s a little girl with nothing wrong
And she's all alone
A little girl with nothing wrong
And she's all alone


--Norah Jones--

Laki-Laki Tua di Sore Hari

Sore hari, sekitar pukul setengah empat, saya dan Gita melangkah di Jalan Kober, Margonda, Depok. Seorang laki-laki tua memikul dagangannya. Jajanan yang sudah jarang ditemui.

"Beli, Pak," ujar saya.

Pak tua yang memikul dagangannya itu berhenti.

"Saya memang mulai jualan sore, Neng," ujarnya.

Mungkin biar tidak menimbulkan "pikiran negatif" di benak saya dan Gita, sahabat saya, yang melihat dagangannya masih banyak.

"Berapa, Pak?" tanya kami, menunjuk pada ketan yang dibungkus rapi dengan daun kelapa itu, lepet.

"Seribu, Neng," jawab laki-laki tua itu. "Saya sudah sejak muda jualan, sejak taun 75," lanjutnya sambil membungkus lepet yang kami beli.

Saya dan Gita hanya bisa bilang, "Wah, udah lama banget, Pak. Kita aja belum lahir taun segitu."

"Iya. Sekarang, mantu saya aja udah empat," jawabnya.

"Ini bumbunya, Neng," tambah si Bapak memperlihatkan bungkusan kecil dengan kertas--yang setelah dibuka nantinya, ternyata, isinya serundeng (kelapa yang diongseng dan dicampur dengan gula pasir).




"Itu apa, Pak?" Gita menunjuk ke keranjang satu lagi.

"Kelepon. Sama, seribu juga," jawab Pak tua itu dengan senyum ramahnya.

Kami beli kelepon itu juga, yang dibungkus daun pisang.

"Bapak emang keliling, ya, Pak?" saya ingin tahu karena saya suka sekali dengan jajanan ini, tetapi jarang bisa menemukannya.

"Iya. Itu, rumah saya di belakang bidan," si Bapak tua menunjuk arah belakang kami. "Kemarin, ada acara di pameran gitu. Saya diundang tiga hari. Dapet lumayan, tapi, ya, ada potongan dari RT juga," si Bapak bercerita, masih dengan senyumnya yang ramah.

"Oh ...," gumam saya dan Gita. Potong-memotong, masalah lama yang selalu terjadi, kapan saja dan di mana saja. Ah ....

Kemudian, transaksi selesai dengan ucapan terima kasih dari kami.

"Udah tua gitu, masih jualan, ya, Wied. Kenapa gak anak atau mantunya aja, sih?" Gita membuka percakapan saat kami melanjutkan langkah.

"Iya, tau. Mungkin, dia orang yang gak bisa diem kali, Git. Kan, ada, tuh, orang tua yang gak betah kalau cuman diam aja di rumah," jawab saya.

"Mungkin juga, sih. Tapi, kasihan juga dah tua begitu."

"Iya ...."

Bapak tua itu entah sudah sampai mana. Yang pasti, dia terlihat menikmati langkahnya dan pikulannya itu, berisi lepet yang dibungkus rapi dengan daun kelapa, serundeng yang garing, dan "kelepon asli daun suji"--kata si Bapak saat membungkus kelepon itu.

Masa sekarang, mungkin kesulitan ekonomi yang membuat orang harus terus membanting tulang hingga tulang-belulangnya semakin rapuh dan meluruh.

Saya dan Gita melanjutkan langkah, cukup jauh.

Bapak tua yang memikul dagangannya itu juga melanjutkan langkah. Langkah-langkah yang sama sejak 1975. Langkah di antara jalan-jalan yang selalu berubah setiap jengkalnya.

Namun, tampaknya, bagi laki-laki tua itu, waktu seakan-akan berhenti dalam langkahnya. Langkahnya itu masih langkah yang sama sejak 33 tahun lalu.



Margonda, 10 April 2008

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin