Penjual Kenangan

Thursday, December 24, 2009

yang berlari di antara masa lalu




kau terlalu tahu, aku orang yang mudah terharu.

"seperti membaca buku yang terbuka," tulis seorang sahabat untukku, pada awal pertemanan kami.
aku tidak bilang kau sudah mengenalku, sangat--meski berjuta tahun kau duduk bersamaku, kau tidak akan benar-benar mengenalku.
hanya saja, aku seperti lembaran yang terbuka. yang dapat kau baca kapan saja. tanpa perlu membalik-balik halaman untuk mencari makna.

kau tahu,
bahkan aku sempat ingin menjelma langit sore
yang selalu bercampur berbagai warna, entah apa. bahkan, aku tak bisa membacanya.
suatu hari, kau tahu, aku akan menjelma-nya. dan, saat itu, aku tahu. kita sudah berlari jauh dari masa lalu--jangan bilang, kita berlari di antaranya, itu tidak tepat. tidak pernah tepat.

dan, saat itu, masa lalu telah lama meninggalkan kita.
tenang saja, ini hanya masalah masa.
peta telah dibuatkan-Nya.
dan, ya, kita memang harus pandai-pandai memilih persimpangan yang tepat.


p.s. jangan ceritakan kisah sedih lagi, ya. aku tidak terlalu suka menangis, sebenarnya.

Friday, December 11, 2009

aku ingin melihatmu menangis




“aku ingin melihatmu menangis,” kataku saat itu, ingatkah kau?

“malam ini saja, maukah?”

ah, tak lazim memang permintaanku. tapi, aku lelah mengeja tawamu. dan, aku ingin mengerti, tak hanya tawa dalam duniamu.

ya, aku tau. lama kau berjalan dengan duka. dan kau semakin jauh dengan langkahmu.


tunggu aku,

aku ingin melihatmu menangis. malam ini saja.

terlalu tak biasa memang, keinginanku.

tapi, kau tahu? kadang, tangis bisa menghanyutkan segala sesak dan resahmu.

bahkan, bisa memberikan peta pada hatimu.

seperti hari setelah hujan, pernahkan kau perhatikan?

entah bagaimana, semesta jadi cerah. kabut menghilang. arah terbaca. kupikir, seperti itu jugalah tangis.

mengesankan, ya?


ah, sekarang, masihkah kau anggap permintaanku tak biasa, jika bukan disebut berlebihan?

aku (hanya) ingin melihatmu menangis, sekali saja. sudah sejak dulu kuminta.

malam ini saja, maukah?

Tuesday, December 08, 2009

semoga tawanya sampai padamu




Sudah Desember,
Ya, dan aku terlalu banyak berjanji pada bocah kecil bermata jeli itu.
Maafkan aku, Ni. Hanya sekali-sekali meraih tangannya dan mengajaknya berlari-lari.
Hanya sekali-sekali bercerita panjang padanya.
Selebihnya, hanya janji-janji.

Kau tahu, aku tidak berpikir ini sudah tiga tahun yang lalu.
Yang berarti, tiga tahun juga ia berjalan “sendiri”.
Yang berarti, tiga tahun juga ia mereka-reka mimpinya sendiri.

Ah, maafkan aku.
Aku selalu saja menjadi perempuan dengan berkarung-karung mimpi yang ingin kuceritakan kepadanya. Tapi, hanya satu dua helai cerita yang selesai.
Ah, gadis kecil bermata jeli itu, dia semakin menggembil.
Terbata-bata belajar membaca. Dan mungkin menunggu buku-buku yang—lagi-lagi—kujanjikan.

Kau tahu, dia masih mengenang jalan-jalan minggu sore kalian ke monumen dengan padang luas itu. Andai, ah, kau (pasti) tahu, memori itu terpahat dengan manis di benaknya--begitu membahagiakan pastinya jika ingatan itu tak lekang di ruang kenangannya.

Cerita bersamaku pun, ah, maafkan aku, mungkin hanya satu juga yang ada di benaknya, hanya ke kebun bintang. Hanya itu-itu saja yang ia celotehkan tentang aku. Ah, sebentar lagi. Aku takut ia bisa melangkah sendiri. Aku takut ia sudah bisa menciptakan mimpi sendiri. Dan, aku takut, ia memilih untuk membuat ceritanya sendiri. Sementara aku, aku terlalu riuh dengan langkahku.

Sudah Desember, pekan kedua. Akhir November itu telah berlalu dua pekan lalu. Tiga tahun, ternyata. Ah, ironis jika kukatakan waktu tak terasa. Padahal, mungkin, hari-hari yang sepi begitu terasa oleh bocah kecil itu, yang selalu berusaha gembira.

“Mama Cipa kan di surga, yak.” katanya, tidak bertanya, seakan bercerita. Dan, hatinya riang mengatakan itu. Semoga kau tenang di Sana, Ni—seperti harapan Cipa, harapan kami, di surga.

Ah, aku hanya kadang-kadang ingat celoteh riangnya tentang seekor kucing kecil yang berada di dekat tempat sampah, mengais-ngais sisa-sisa makanan bersama seekor lagi kucing besar.

“Eh, kucingnya kayak Cipa. Cuma ada bapaknya. Yak?” celotehnya tiba-tiba, dan lagi-lagi dengan nada riangnya ketika melihat dua ekor kucing itu. Matanya menatap meminta persetujuan, dan seakan senang hewan kecil itu bernasib sama dengannya. Setidaknya, dia tak sendiri, mungkin itu pikirnya. Entahlah.

Ah, kau pasti tahu, bocah kecil itu selalu membawa tawa di bibir mungilnya. Suaranya selalu riang.

Dan, ah, maafkan aku(lagi). Aku terlalu sering mengiriminya janji.... Aku ingin... ah, aku takut berjanji juga padamu. Tapi, bocah kecilmu, dia musim semi yang membawa cinta, yang mencipta tawa. Semoga sampai padamu di Sana....

Tuesday, December 01, 2009

di antara sore




Kapan kau datang?

Seorang (lagi) sahabat telah menjelma cinta. Belum sempat kuceritakan padamu.

Terlalu banyak sore yang kita lewatkan. Warna tembaga matahari lewat begitu saja.

Kau terlalu sibuk dengan langkahmu, begitukah?

Jangan terus menghitung waktu, nanti kau lelah.

Duduk saja di sini, bersamaku.

Kelopak-kelopak bunga yang kau bawakan sudah hampir mengering.


Dan, terlalu banyak kisah yang belum sempat kuceritakan.

Dan, terlebih lagi, aku rindu kisah kita. :)


LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin