Penjual Kenangan

Tuesday, December 07, 2010

TUHFAT AL-NAFIS SEBAGAI SASTRA SEJARAH


Ngulik-ngulik file di komputer (yang isinya, uh, berantakan), saya menemukan tugas kuliah Sastra Sejarah. Wah, ternyata saya pernah membaca Tuhfat Al-Nafis. Dan, ternyata waktu itu, kami masih belum "gape" EYD. Hehe. Tugas ini dibikin bareng sahabat saya, Andriw. :)


TUHFAT AL-NAFIS SEBAGAI SASTRA SEJARAH [1]


Pendahuluan
            Salah satu jenis Kesusastraan Melayu Klasik adalah karya-karya yang bercorak sejarah. Sastra Sejarah ditulis dalam bentuk sastra dan diperkaya dengan fakta-fakta sejarah, misalnya nama-nama pelaku, latar tempat, dan latar masa suatu peristiwa. Hasil-hasil karya yang bersifat demikian itulah yang disebut dengan Sastra Sejarah.           
Hasil penulisan Sastra Sejarah terdiri dari dua bentuk, yaitu puisi dan prosa. Puisi digunakan untuk menceritakan peristiwa yang sifatnya sesaat, tidak berhubungan dengan urusan istana atau negara. Prosa digunakan oleh pengarang untuk menceritakan keadaan negara. Contoh Sastra Sejarah dalam bentuk puisi di antaranya adalah Syair Raja Haji, Syair Singapura Terbakar, dan Syair Perang Siak. Lima teks sastra sejarah berbentuk prosa yang banyak mendapat perhatian para peneliti, yaitu Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Merong Mahawangsa, Misa Melayu, dan Tuhfat Al-Nafis. Selanjutnya, kami akan menjelaskan lebih lanjut mengenai Sastra Sejarah dan Tuhfat Al-Nafis dalam makalah ini.





Sastra Sejarah
Ciri-ciri Sastra Sejarah
1.      Biasanya menceritakan peristiwa yang benar-benar terjadi di istana.
2.      Menceritakan riwayat kerajaan selama beberapa keturunan.
3.      Gagasan penulisannya muncul dari kalangan istana.
4.      Peminatnya hanya dari kalangan istana saja.
5.      Terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang bersifat mitos atau dongeng dan bagian yang bersifat historis.

Tujuan dan Fungsi Penulisan Sastra Sejarah
1.      Berusaha meninggikan kedudukan raja-raja dengan menghiasi watak-watak mereka   dengan kegaiban.
2.      Menyampaikan hal-hal mengenai moral dan tata susila.
3.      Menerangkan sifat ketuhanan dari raja dan fungsinya. Selain itu, sastra sejarah juga menjelaskan silsilah keturunan nenek moyang raja yang memerintah.



Tuhfat Al-Nafis
Tuhfat Al-Nafis adalah kumpulan cerita mengenai silsilah raja-raja Melayu, Bugis, Siak, Johor, sampai Singapura beserta riwayat kerajaannya. Menurut R. O. Winstedt, teks ini merupakan karya terpenting dalam serangkaian karangan Melayu yang berbentuk sejarah selain Sejarah Melayu.[2] Secara keseluruhan karya ini masih mirip dengan Salasilah Melayu dan Bugis. Selain itu, Tuhfat Al-Nafis sering digunakan sebagai bahan rujukan bagi penyusunan sejarah Riau dan Johor, serta masalah-masalah lain bangsa Melayu.
Teks Tuhfat Al-Nafis sedikit berbeda dengan teks karya-karya sejarah lainnya. Penulisan teks ini cenderung lebih serius bila dibandingkan dengan karya sejarah yang muncul sebelumnya karena bagian mitos dan legenda hampir-hampir tidak dinyatakan dalan teks ini. Selain itu, dalam teks sastra sejarah biasanya tidak mencantumkan tarikh dan nama pengarang, tetapi dalam Tuhfat Al-Nafis terdapat tarikh tahun dan dapat diketahui siapa pengarangnya. Hal ini disebabkan pengarang abad ke-19 telah berani bertanggung jawab atas karya-karyanya, di antaranya adalah Raja Ali Haji. Raja-raja keturunan Bugis pada masa itu biasa menulis catatan harian sehingga mencantumkan tanggal dan tahun menjadi hal yang biasa  bagi mereka.

Manuskrip Tuhfat Al-Nafis
Pada tahun 1991 telah ditemukan dan dikenal pasti lima buah manuskrip Tuhfat Al-Nafis, yaitu Manuskrip A, B, C, D, dan E.
1.      Manuskrip A terdapat di Koninklijk Instituut voor Taal-land-en Volkenkunde, KITLV or 69 (sebelum ini disebut HS 630), tanpa judul, dengan tarikh asal 17 Rajab 1283, pemiliknya yaitu A. L. Van Hasseld.
2.      Manuskrip B terdapat di Royal Asiatic Society London, tanpa judul, tarikh asal 17 Rajab 1282, pemiliknya adalah Tuan William Edward Maxwell C. M. G.
3.      Manuskrip C berbahasa Jawi, pemiliknya Tengku Fatimah, puteri Sultan Abu Bakar, Johor.
4.      Manuskrip D terdapat di Perpustakaan Dewan Bahasa dan Pustaka dengan judul Sejarah Raja-raja Melayu dan Bugis.
5.      Manuskrip E terdapat di Perpustakaan Universiti Leiden dengan judul Tuhfat Al-Nafis. Manusrip ini diserahkan kepada Universiti Leiden oleh Dr. A. Rinkes tahun 1954.
Kelima manuskrip di atas terbagi menjadi dua versi, satu berupa versi pendek dan empat lainnya berupa versi panjang. Versi pendek kurang lebih terdiri dari 88000 perkataan, sedangkan versi panjang terdiri dari sekitar 127000 perkataan.
Perbedaan versi pendek dan versi panjang:
1.  Pada versi pendek tidak terdapat salawat dan salam (mukadimah) di awal  cerita.
2.      Versi pendek mengunakan kata-kata yang lebih pendek tanpa sebutan gelar, penegasan kata dan partikel-partikel.
3.      Versi panjang menyebutkan sebuah peristiwa atau objek secara jelas.
Teks versi pendek adalah teks yang dikarang oleh Raja Ahmad (Engku Haji Tua). Teks versi panjang adalah teks pendek yang telah ditulis kembali dan dilengkapi oleh Raja Ali Haji (putra Raja Ahmad). Versi yang lebih panjang mempunyai beberapa hal tambahan mengenai kehidupan Raja Ali dan istrinya di Pulau Pinang, keuzurannya dalam perjalanan ke Juana, dan cerita-cerita tentang pengajaran agama. Penulisan versi pendek diperkirakan selesai pada November 1866 dan penulisannya kembali dimulai saat itu hingga wafatnya Raja Ali.

Penyebaran Tuhfat Al-Nafis
            Pada abad ke-19, raja-raja Bugis berada di bawah kekuasaan Belanda sehingga mereka kehilangan pengaruh politik. Oleh karena itu, mereka mengalihkan tumpuan aktivitasnya pada agama Islam dan persuratan. Aktivitas persuratan ini mencapai puncak kejayaan pada tahun 1850-an dan 1860-an dengan lahirnya Tuhfat Al-Nafis. Kegiatan ini sempat mengalami kemunduran. Namun, kembali berjaya karena berdirinya sebuah percetakan dan Kelab Pengajian di Penyengat. Selanjutnya, penduduk setempat dan orang luar menjadikan Riau dan Penyengat sebagai pusat utama kebudayaan Melayu dan Agama Islam.
Kegiatan persuratan berakhir tahun 1913 ketika Belanda secara resmi membubarkan kerajaan Riau-Lingga. Hal ini mengakibatkan tokoh-tokoh utama Penyengat hijrah ke Singapura. Walaupun telah berakhir, kegiatan persuratan dan anggapan Riau-Lingga sebagai pusat kebudayaan dan agama mampu menarik perhatian orang luar, antara lain para sarjana Barat yang datang untuk meneliti keaslian dan ketinggian bahasa Melayu, seperti sarjana Belanda: H. Von De Wall. Selain itu, anak-anak raja Melayu juga mengirim utusan menemui raja-raja di Penyengat untuk meminta bantuan dalam masalah adat, pemerintahan, dan silsilah.
            Penyebaran Tuhfat Al-Nafis juga dilakukan melalui penerbitan dan pemberian. Naskah ini diterbitkan pertama kali oleh R. O. Winsteedt dalam tulisan Jawi berdasarkan sebuah naskah milik Tengku Fatimah. Selanjutnya, naskah ini dilatinkan oleh Encik Munir bin Ali dan tahun 1965 diterbitkan di Singapura. Tahun 1982, Virginia Matheson juga menerbitkan Tuhfat Al-Nafis yang berdasar pada sebuah naskah yang ditulis tahun 1896 sebagai hadiah untuk A. L. Van. Hasselt.

Peneliti Tuhfat Al-Nafis
            Tuhfat Al-Nafis telah banyak dijadikan bahan penelitian oleh beberapa tokoh. Salah satunya yaitu Virginia Matheson, ia telah meneliti naskah ini untuk membuat tesis Ph. D.-nya. Ia pun telah meneliti lima manuskrip Tuhfat Al-Nafis dan membuat beberapa esai mengenai hal itu. Selain itu, Jalal Ahmad dan Mohd. Taib Osman juga membuat esai mengenai naskah ini.
Ringkasan Tuhfat Al-Nafis
            Teks ini diawali dengan penjelasan silsilah raja-raja Melayu, Siak, dan Bugis. Bagian pertama bercerita tentang pendirian kerajaan Singapura oleh Raja Sri Tri Buana sampai dengan pemerintahan Raja Mahmud di Johor.
            Bagian kedua menceritakan Sultan Mahmud membunuh istri Megat Sri Rama yang sedang hamil karena memakan buah nangka miliknya. Dengan dukungan Bendahara dan Tumenggung, Megat Sri Rama membunuh Sultan Mahmud. Bendahara lalu menjadi raja Johor dengan gelar Sultan Jalil. Oleh karena serangan Raja Kecil, ia melarikan diri ke Pahang dan terbunuh di sana. Raja Kecil bermaksud merebut kembali Riau dari tangan Sultan Sulaiman Badr Alam Syah, tetapi gagal. Ia menjadi gila setelah kematian istrinya.
            Raja Alam, anak Raja Kecil terusir dari Siak dan mendirikan kerajaan di Pulau Siantan. Setelah gagal dikalahkan oleh Sultan Sulaiman, Sultan Trengganu, dan Tun Dalam, Raja Alam dikalahkan oleh orang Bugis. Kemudian ia melarikan diri ke Matan. Daeng Kemboja lalu dilantik menjadi Yamtuan Muda.
            Daeng Kemboja terusir dari Riau oleh Tun Dalam dan Sultan Trengganu, lalu pergi ke Linggi. Atas nama Sultan Sulaiman, Tun Dalam meminta Belanda menangkap Raja Haji dan menyerang Linggi. Karena serangan itu, orang-orang Bugis melarikan diri ke Rembau. Sultan Sulaiman yang marah karena namanya dimanfaatkan akhirnya berdamai dengan Sultan Trengganu.
            Sultan Sulaiman wafat dan digantikan oleh cucunya, Raja Ahmad yang baru berusia delapan tahun. Setelah wafat, ia digantikan oleh Raja Mahmud.
            Raja Ismail yang gagal menjadi raja di Siak menyerang Riau, tetapi ia kalah dan berhasil melarikan diri ke Palembang. Ia membantu Raja Palembang menyerang Raja Mempawah. Setelah membunuh Dewa Perkasa, Raja Ismail menyerang Siantan, lalu pergi ke Trengganu dan menikahi anak Raja Trengganu. Kemudian ia menyerang Siak dan menjadi Yamtuan Besar. Setelah wafat ia digantikan oleh anaknya, Sultan Yahya Sahar.
            Raja Haji datang ke Melaka, bersama Sultan Salahuddin (Raja Selanggor) ia menuntut Sultan Kedah membayar hutang biaya perang. Akan tetapi, Sultan Kedah menolak sehingga kemudian diserang dan dikalahkan. Raja Haji pergi ke Pontianak menolong Syarif Abdul Rahman melawan Raja Sanggau. Mendengar berita kematian Yamtuan Muda Daeng Kemboja, ia kembali ke Pahang dan dilantik menjadi Yamtuan Muda. Selama pemerintahannya Riau menjadi makmur. Orang-orang Melayu pun pindah ke Trengganu.
            Sultan Salahuddin wafat dan digantikan anaknya, Raja Ibrahim. Raja Haji berselisih paham dengan Belanda karena masalah pembagian rejeki. Perperangan Penyengat dengan Belanda berlangsung hampir setahun. Dengan bantuan Raja Ibrahim, Raja Haji mengepung Belanda di Melaka. Ketika Raja Ibrahim kembali ke Rembau untuk menikah, Belanda dengan bantuan dari Betawi menyerang Teluk Ketapang. Raja Haji tewas. Mayatnya akan dibawa ke Betawi, tetapi kapal yang membawanya terbakar di laut.
            Belanda dengan bantuan Raja Siak, Yamtuan Muhammad Ali dan menantunya Syaid Ali menyerang Selanggor dan membuat Raja Selanggor melarikan diri ke Pahang. Raja selanggor dibantu Sultan Pahang merebut kembali Selanggor dan akhir membuat perjanjian dengan Belanda. Orang Bugis memaksa Raja Ali dilantik menjadi Yamtuan Muda Riau. Belanda menyerang Riau, Yamtuan Muda dan semua orang Bugis melarikan diri ke Sukadana. Orang Melayu membuat perjanjian dengan Belanda: orang Bugis tidak akan diberi jabatan di Riau.
            Sultan mahmud bersama Raja Tempasok berhasil mengusir Belanda dari Riau. Namun, mereka tidak berani tinggal di Riau dan meminta Sultan Trengganu mendamaikan dengan orang Belanda. Belanda menolak.
            Raja Yahya menjadi Yamtuan Besar Siak, Raja Muhammad Ali menjadi raja tua. Akibat ancaman perompak, salah satunya Syaid Ali, Sultan Trengganu meminta bantuan Inggris. Inggris menyanggupinya. Sementara itu, Raja Ali telah diusir oleh Sulta Pontianak dan Belanda dari Sukadana. Kemudian ia menetap di Siantan, pindah ke Langat, lalu ke Muar.
            Inggris menguasai Melaka pada tahun 1795. Sultan Mahmud diakui sebagai sultan oleh Inggris dan Belanda. Sultan Selanggor pergi ke Lingga dan menikahi Tengku Tengah. Selama dua tahun di sana, ia tidak bisa mendamaikan orang-orang Bugis dan Melayu. Ia ke negerinya dan mengalahkan Perak. Kemudian ia menyerahkan Kelang pada Raja Jaafar. Setelah mendamaikan Yamtuan Ali dan Engku Muda, Sultan Mahmud menikahi putri Raja Haji, Raja Hamidah.
            Sultan Siak mangkat, Syaid Ali merebut kerajaan dari Raja Yahya. Raja Yahya melarikan diri ke Trengganu, menjadi gila dan mati.
            Yamtuan Muda Ali mati dan digantikan Raja Jaafar. Disusul dengan kematian Sultan Mahmud yang kemudian digantikan Raja Abdul Rahman, seorang sultan yang sangat saleh.
            Raja Melaka, M. W. Farquhar marah karena Yamtuan Muda berjanji berdamai dengan Belanda. Raffles datang ke Singapura. Tengku Long, saudara tua Sultan Abdul Rahman dinobatkan menjadi Raja Singapura.
            Belanda membuat pabean di Tanjung Pinang dan bekerjasama Yamtuan Muda (Jaafar) menobatkan Sultan Hussain menjadi Sultan Singapura. Yamtuan Muda mengutus rombongan Raja Ahmad ke Betawi dan mereka disambut hangat oleh mayor Betawi dan syahbandar. Rombongan itu tinggal lama di sana dan beberapa orang mati.
            Raja Ahmad yang diutus kembali ke Betawi, pergi ke Pahang menjemput Sultan Abdul Rahman dan putranya yang terlebih dahulu berlayar ke sana untuk pulang ke Riau. Sultan Abdul Rahman dinobatkan di Linggi. Raja Ahmad dan anaknya, Raja Ali pergi naik haji dan ke Madinah, sebelumnya ia singgah di Pulau Pinang.
            Raja Jaafar wafat dan digantikan Raja Abdul Rahman menjadi Yamtuan Muda. Anaknya, Tengku Besar dinobatkan menjadi Sultan Muhammad Syah.
            Ketika Sultan Ahmad meninggal, terjadi perang saudara antara Tengku Omar dan Tengku Mansyur yang sama-sama mau menjadi raja. Sultan Muhammad Syah mencoba mendamakan, tetapi sia-sia.
            Raja Ali Engku Kelana yang sangat saleh dilantik menjadi Yamtuan Muda. Lalu ia mangkat, orang Belanda memilih Engku Haji Muda sebagai penggantinya. Namun, Sultan Mahmud lebih memilih Raja Muhammad Yusuf. Selanjutnya Raja Abdullah menjadi Yamtuan Muda yang kemudian digantikan oleh Raja Muhammad Yusuf. Setelah itu ia menyerang Retah. Setelah Retah jatuh, Sultan Sulaiman mengepung Yamtuan Muda yang baru di Lingga.
            Tuan Abu Bakar menggantikan Tun Ibrahim sebagai Tumenggung Singapura dan bergelar Sri Maharaja Johor. Ia senantiasa mengirim utusannya ke keluarganya di Riau.[3]

Kesimpulan
            Sastra Sejarah merupakan salah satu bentuk Kesusastraan Melayu Klasik yang berisi mitos dan sejarah. Tuhfat Al-Nafis sebagai salah satu hasil sastra sejarah yang terpenting berisi tentang riwayat kerajaan-kerajaan Melayu sampai Singapura, mulai dari asal-usulnya hingga tahun 1865. Tuhfat Al-Nafis membawa beberapa pembaharuan dalam Kesusastraan Melayu Klasik dengan adanya nama pengarang dan tarikh tahun. Walaupun tidak secara keseluruhan membawa aliran baru, Raja Ali Haji dapat dianggap membawa kemajuan. Hal ini disebabkan latar pendidikannya yang lebih baik daripada penulis-penulis sebelumnya.
           

Bibliografi
Fang, Liow Yock. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.
Hooker, Virginia Matheson. 1982. Tuhfat Al-Nafis: Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji. Kuala Lumpur: Fajar Bhakti.
-------. 1991. Tuhfat Al-Nafis: Sejarah Melayu Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Ibrahim, Zahrah. 1986. Sastera Sejarah: Interpretasi dan Penilaian. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
           
           

           
           
           
           



     [1] Tugas Akhir Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik oleh Andriyati dan Widyawati  Oktavia, 4/12/2004
     [2] Mohd. Taib Osman, "Tuhfat Al-Nafis--Corak Histografinya--Persamaan dan Penyimpangan dari Tradisi Histogafi Melayu," Sastera Sejarah Interpretasi dan Penilaian.
     [3] Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik (Jakarta: Erlangga, 1993) hlm. 134--139.


# i owe the pic #

2 comments:

pencakar langit said...

wedeeeeh!!! mantap nih skrg tuhfat al nafis. edisi lo kalo gak salah trasinya virginia morthesen (kayaknya salah nulis) yg bukunya warna merah. ohmigod, ini kan pembahasan lo waktu kuliah dulu yak? hahahaha...gue dulu ngebahas apa yak? gue lupa!!!

penjual kenangan said...

haha, iya, kykny waktu itu gw juga sempet satu kelompok ma lo de pas tuhfat di pokok n tokoh..
btw, emang morthesen, lur? tp gw cek, kykny bener virginia matheson, lur, bukan morthesen... ;0

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin