Penjual Kenangan

Wednesday, January 13, 2010

seperti menggenggam takdir



seperti menggenggam takdir di tanganmu.
seperti apa rasanya?
mungkin, aku akan takut memejamkan mata, takut genggamanku terbuka, dan tiba-tiba saja ia tak lagi di sana.
aku akan membacanya hingga habis usia, dan memastikan semua baik-baik saja.
dan, mungkin aku akan terkapar kelelahan membelokkannya ke arah yang tak ada sela.

seperti menggenggam takdir di tanganmu, seperti apa rasanya?

mungkin, semua tak harus baik-baik saja—meski kau ingin semua baik-baik saja.
seperti menggenggam takdir di tanganmu.
itulah kita.
bukan karena tak yakin genggaman tak akan erat.
hanya saja, takdir, ah ia, aku pikir, aku tak kuasa menggenggamnya.


gambar di sini

Tuesday, January 05, 2010

Surat Cinta Pertama




Tepat satu Januari ini, dia lahir. Seorang perempuan. Seorang gadis kecil dengan alis mata yang hitam dan rambut yang lebat dan legam. :)

Ibu gadis kecil ini hanya terpaut usia enam bulan dari saya--saya lebih tua. Saya masih ingat melewatkan masa kecil dengan perempuan itu. Pertengkaran-pertengkaran masa kecil yang menjadi kenangan menggelikan, yang membuat saya malu untuk mengingatnya sekarang. Ah, tapi itulah anak kecil, segala hal kecil menjadi permasalahan besar. Saya masih ingat ucapan salah satu keponakan saya yang duduk di kelas satu SMP, "Bagi Nte Wid, itu mungkin masalah kecil, tapi bagi anak kecil, itu masalah besar." Dia menasihati saya rupanya, yang mulai menganggap remeh hal-hal sepele. Hal-hal yang tak perlu diperdebatkan. Padahal, saya pernah berada di masa itu dan merasakan itu juga.

Bersama perempuan ini juga--dan juga adiknya--saya pernah melewati sekitar tiga tahun masa kecil saya. Tiga tahun yang penuh warna di sebuah rumah di bilangan Kebon Jeruk. Saya ingat, hari pertama saya tinggal di sana, saya tersasar. Si bocah kelas empat SD itu lupa patokan turun jalanan masuk rumah No. 49 tersebut, rumah di sebelah kanan turunan. Dan, mungkin, di situlah mulainya petualangan tersasar saya, yang masih saja terjadi hingga saat ini, di angkot berwarna biru telur asin. Untungnya, saya menemukan kembali jalan pulang.

Saya masih ingat juga saat kami--dengan konyolnya--membuat persewaan majalah Bobo dan Donal dan juga "pasangan" seperti di sekolahan SD--majalah yang digulung dan diberi tali di ujungnya. Kemudian, orang disuruh "masang", entah dengan logaman seratus rupiah atau lebih, saya lupa--dan menarik tali yang ia pilih. Jika beruntung, ia akan mendapatkan majalah dengan harga yang sangat murah. Tapi, sayangnya, di antara tali itu, lebih banyak yang tidak terikat ke majalah itu. Haha. Tapi, itu cuma bertahan sehari atau dua hari, kalau tidak salah. Saat sore terdengar suara mobil masuk garasi, kami bubar. Ayah perempuan itu sudah pulang. Dan, ia pasti marah melihat kelakuan kami. Betapa paniknya kami mengangkat dus dan majalah itu, menumpuknya sembarangan. Mana mungkin itu saya lupakan. Saya sangat ketakutan hari itu.

Lalu, kami juga selalu janjian mengaji. Saya ingat, bacaan mengajinya sudah lebih jauh daripada saya. Dia lebih dulu mengaji di rumah dekat jalan raya itu. Sore-sore, kami sudah menaruh Alquran kami di meja panjang itu, berlomba-lomba biar dapat giliran lebih dulu, biar cepat pulang. Dan, entah sang guru ngaji tahu atau tidak, sebenarnya, kami tidak membaca huruf-huruf Arab itu, kami sudah menghafalnya--dan, ah, saya jadi menyesal tidak belajar mengaji dengan benar waktu itu. Dan, setelah menyetorkan satu hafalan bacaan salat atau doa sehari-hari, kami boleh pulang. Dan, sayangnya, saya hanya tiga tahun mengaji pada guru ngaji itu, seorang perempuan paruh baya. Satu lagi yang saya ingat, kami sangat senang kalau guru kami itu sedang "libur" salat. Dan, kami sangat menunggu-nunggu saat-saat itu. Karena, kami juga akan libur mengaji. Hehe.

Di rumah perempuan itu juga, kami punya seorang tetangga yang lebih tua dan kami panggil dengan "Mbak E" karena dia orang Jawa. Dan, saat itu, dia tampak keren di mata kami. Bahkan, sarannya biar saya lebih cepat menghafal Alquran pun hampir saya ikuti. Padahal, itu saran terkonyol yang pernah ada--yang pernah saya tahu (belakangan). Kata dia, biar cepet hafal, saya harus makan cabe rawit (atau merica ya?) tujuh biji (kalau tidak salah) sambil melihat bulan purnama. Niscaya, saya akan jago mengaji. Dan, sayangnya, tidak saya ikuti... Kalau ya, pasti ceritanya berbeda sekarang.

Saya ingat, kami juga mencomlangi "Mbak E" itu dengan tetangga baru di atas--rumah setelah tanjakan. Cowok yang lumayan cakep--menurut pandangan saya waktu itu. Putih-putih gitulah. Dan, seingat saya, mereka sempat jadian, meski malu-malu.

Kenangan dengan perempuan ini masih banyak lagi. Saya juga ingat kami bersepeda keliling kompleks dan saya ingat saya pernah jatuh pas di turunan, menangkap ikan cue di got (haha, ternyata saya pernah melakukannya ;P), berenang di rumah tetangga depan yang rumahnya geude banget dan saya sampai heran waktu itu, kok bisa ya mereka kaya banget. ;D Saya juga ingat pernah diminta ngajarin tari badidin di sekolah perempuan ini, waktu mereka perpisahan. Untungnya nggak jadi. Ya, ampun, saya cuma bisa satu gerakan kayaknya.

Kalau saya sudah pulang sekolah, sekolah saya cukup jauh dari rumah itu, saya sering juga mampir di sekolah perempuan ini, membeli komik Petruk Gareng. Dan, saat paling menyenangkan adalah saat Lebaran, saat beli baju baru bersama. Bersamanya dan adiknya, kami akan ke mal, yang waktu itu belum menjamur, dan boleh memilih sendiri mana yang disuka. Terkadang, kami akan memilih baju yang sama dan kembaran bertiga. :)

Dan, jika pertengkaran kecil terjadi, kami akan saling diam-diaman. Lalu, kembali menjadi teman bermain keesokan harinya. Bermain sepeda, mungkin, juga hal yang paling menyenangkan. Kami akan bermain sampai jauh, sampai taman, dan pulang dengan badan berkeringat.

Lalu, waktu begitu cepat berlalu. Saya pindah dari rumah itu saat masuk SMP. Dan, rumah di sebelah kanan turunan itu juga akhirnya dijual beberapa tahun belakangan. Dan, keluarga perempuan itu pindah ke dekat sekolah SMA saya. Dan, saya pun sibuk dengan kuliah saya, sibuk dengan kerja saya, dan sibuk dengan "Depok" saya. Dan, bahkan, kami kadang hanya bertemu sekali setahun, saat Lebaran...

Dan, sekarang, perempuan yang terpaut enam bulan dengan saya itu telah menjadi ibu dari seorang gadis kecil yang diberi nama Mutiara. Seorang bocah kecil cantik. Dan, saat menengoknya kemarin, tiba-tiba saja masa kecil itu berputar-putar di ruang kenangan saya. Ah, sudah jadi ibu rupanya anak tertua kakak laki-laki saya yang tertua itu. Sepertinya, baru kemarin kami berlomba-lomba main sepeda, datang cepet-cepetan biar mendapat giliran mengaji duluan, dan menunggu-nunggu Lebaran--tidak hanya untuk baju baru, tetapi juga untuk lembaran uang baru dari saudara-saudara yang ramai datang ke rumah No. 49 itu--karena itu rumah kakak tertua saya, yang pasti dijadikan base camp saat Lebaran.

Dan, tiba-tiba saja, putaran waktu terasa begitu cepat. Generasi keempat itu sudah datang. Keponakan saya sudah menjadi Ibu. Ibu saya sudah punya cicit. Selamat datang, gadis kecil beralis tebal. Semoga perjalanan membawamu menjadi perempuan yang bahagia, perempuan solehah. Selamat datang, Mutiara. Dan, ah, kau membuatku merasa sangat tua. Untungnya, saat ini kau belum tahu kalau kau sudah masuk itungan cucu dalam garis kekerabatan denganku. Dalam kekerabatan Minangkabau, kalau ibumu memanggilku "Ande", kau akan memanggilku..., hehe, aku belum tahu apa pastinya panggilanmu buatku. Yang pasti, akan terdengar sangat berbeda generasi. Dan, tak lama lagi, kau pun akan besar dan pastinya aku akan semakin tua. Kalau begitu, jangan cepat besar, ya. ;P

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin