Penjual Kenangan

Wednesday, December 20, 2006

Terima Kasih, Ni




"Ni, bangunlah .... Lihatlah Cipa yang selalu bernyanyi dengan lucu. Ia ingin mamanya melihat kerlingan manja matanya. Ni, bangunlah ..... Kalau tidak, siapa yang akan memasak ketupat paling enak saat Lebaran .... Ni, bangunlah .... Sekarang, Puput juga sudah pintar, sudah bisa mengangkat jemuran ...."

Dan, tiba-tiba, aku berhenti berbisik di telingamu. Ah, entah kenapa, bocah kecil dengan rambut kepang itu mulai belajar untuk melangkah sendiri.

"Tidak, Ni .... Belum .... Puput belum bisa mengangkat jemuran sendiri. Rambutnya saja masih perlu disisiri. Dan, ia masih ingin seragam merah putih itu sudah terletak rapi begitu ia selesai mandi. Ni, bangunlah .... kami menunggumu."

Saat itu, kau hanya diam ..., tapi aku tahu kau mendengar bisikku. Di sudut matamu, ada air mata yang tak jatuh. Membeku di sana. Saat itu, aku percaya kau akan membuka matamu. Kau tangguh. Yang telah mampu menaklukkan lelah di sepanjang perjalanan panjang yang telah kau lalui. Kau tangguh. Dan aku percaya penyakit itu tak akan jauh membawamu. Itu yang kau tunjukkan padaku. Pada kami.

Ni, kau selalu mengkhawatirkan perjalananku, perjalanan kami. Ada saja yang kau titipi agar jalan tak terasa terlalu jauh, agar jalan terasa tak terlalu berat. Dan agar sedih tak ikut di sepanjangnya. Namun, tak pernah kau biarkan kami mengkhawatirkanmu. Bahkan, sampai saat waktu berhenti berdetak untukmu. Tak kau biarkan kami untuk khawatir. Malah masih sempat kau titipkan harapan lewat senyummu. Seakan-akan kau tahu kami masih perlu bekal untuk melewati perjalananan--yang entah berapa jauh lagi.
Suatu ketika aku mengenangmu, kau masih tak biarkan aku bersedih. Kau tetap tak biarkan aku mencari di mana kau sembunyikan lelahmu. Kau selalu dan selalu titipkan harapan. Di sana, terbingkai rapi dalam tawamu.

Terima kasih, Ni ....
Terima kasih untuk ada.
Selalu.

No comments:

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin