Penjual Kenangan

Monday, December 22, 2008

Maafkan Saya. Lagi.




akhir-akhir ini--ah, bukan, sudah jauh sejak sebelumnya--saya mengizinkan diri saya menyakitinya. bahkan, mungkin, sehelai demi sehelai, kebencian--bukan lagi kekesalan--itu telah menumpuk. buat saya. memang sewajarnya saya dapatkan. lalu, saya bersiteru dengan ketakutan itu--ya, saya memang selalu takut untuk dibenci. naif.

lalu, saya mendapati diri saya yang telah menjelma wujud kebencian itu. saya semakin ketakutan. dan, saya bilang saya tidak menyadari. padahal, kali ini, jelas-jelas saya yang "mengizinkan" diri saya menyakitinya, membuatnya terluka. sampai pada ceruk yang tak saya ketahui lagi.

ah, saya benar-benar telah mengizinkan diri saya untuk membuatnya berkaca-kaca--bukan, bukan, saya membuatnya tak mampu lagi mengeluarkan air mata. malam-malam lalu sudah sejak lama diam-diam menghapus air matanya. hingga kering, tak bersisa lagi. betapa berdosanya saya.
saya memang benar-benar telah menjelma kebencian itu.

lalu, tiba-tiba saja, saya ingat seorang junior di tempat kami dahulu tinggal, sekitar empat atau lima tahun silam. entah kenapa, kami begitu kesal (mungkin juga sangat-sangat tidak suka, membenci) dirinya, seorang laki-laki kurus tinggi. saya masih ingat wajahnya yang lonjong. kulitnya yang kuning pagi.

awalnya, mungkin kami tidak membenci dia. hanya semacam tidak suka. entah karena apa. mungkin sikapnya, tingkahnya. lalu, bertambah lagi ketidaksukaan kami. logatnya, suaranya, bahkan derap langkahnya. kami tidak suka. lama-kelamaan, kami semakin tidak suka. dan, seiring waktu, semua itu berubah jadi rasa benci. kebencian. sebenarnya, semua itu memang tidak tiba-tiba, seiring waktu.

namun, itu tanpa kami--bahkan, laki-laki kurus itu--sadari.
yang kami tau, setiap bayang dia mengintip, hati kami panas, kebencian kami terbit. dia menjadi sungguh-sungguh mengancam mata. menjadi orang yang (selalu) tidak tepat dalam ruang. di sudut mana pun.

saya ingat laki-laki itu beberapa hari ini, saat saya berdiri di tepi jalan, saat saya menyeberang, bahkan saat saya akan menutup mata untuk tidur.
lalu, saya merasa ganjil ketika saya menjadi sering ingat untuk menelepon ibu saya, menanyakan kabarnya. ah, apakah saya takut? entahlah.

ah, saya sering kali terjebak pertanda. ingin selalu membacanya--sekadar iseng, pada mulanya.

dan, saya menjadi ketakutan untuk tiba-tiba ingat laki-laki dengan garis wajah melayu itu. ingat ketika kabar itu datang tiba-tiba saat kami makan malam--saya ingat kami meninggalkan makanan kami yang masih separuh. mengejar berita ke teras kantin dengan meja-meja kayu cantik itu. menyerbu. bahkan, ikut menitikkan air mata.
malam itu, magrib baru saja lewat, laki-laki itu--yang menjelma kebencian bagi kami--dijemput-Nya. dengan kereta yang melaju dengan begitu kencangnya. membelah malam yang belum begitu kelam. kabarnya, ia Pergi sehabis menanyakan kabar orangtuanya.

ah, dia meninggalkan ulah, kata orang-orang. biar dikenang.
dan ia berhasil. dia masih bersemayam di salah satu sudut--mungkin di ceruk yang tak akan pernah jauh--kepala saya, kepala kami.

dan, saya, tiba-tiba saja, akhir-akhir ini, saya ingat dia. di jalan raya. ketika memejamkan mata.

ya, saya takut.
saya telah mengizinkan diri saya membuat seseorang terluka. dengan ceruk yang begitu dalam.

saya takut menjelma kebencian. saya takut menjelma laki-laki itu. sementara, seseorang itu masih berdiri di sana, tak mampu lagi mengeluarkan air mata, tak mampu lagi menjahit hatinya seperti semula--bahkan mungkin memang tidak akan bisa lagi. mungkin tambalan bongkar pasang telah di sana sini, saya juga yang membuatnya. dan hanya maaf yang saya mampu kirim padanya. yang sebelumnya, telah dia terima, lalu saya ambil lagi, dengan paksa (itulah yang menyebabkan tambalan sana sini itu, semakin tidak berbentuk). maaf dan maaf hanya saya tebarkan. ke udara kosong.

kali ini, saya kirimkan lagi. maaf. untuk semua. untuk semua.

ah, saya takut. saya takut dia tidak memaafkan saya--lagi. padahal, saya begitu menyayangnya--juga telah begitu melukanya. ah, saya, saya begitu naif, tidak pernah ingin dibenci, ingin selalu dia ada. sementara saya melangkah dengan langkah saya. betapa egoisnya saya, manusia.

saya takut. saya takut menjelma laki-laki yang Pulang bersama kereta senja kemalaman itu. saya takut menjelma laki-laki itu saat seseorang inginkan hatinya membeku biar tidak terasa lagi luka itu.

dia meninggalkan ulah, kata orang-orang selama beberapa hari waktu itu.
ah, saya tidak ingin percaya pada pertanda.

dan, jika perjalanan ini masih jauh, temani saya lagi. agar semua tidak tanpa arti. saya mohon.
terlalu tinggikah harap saya?


--maafkan saya. lagi. untuk semua. kemarin, hari ini, dan esok. maafkan saya. lagi.

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin