Penjual Kenangan

Friday, May 26, 2006

TELAH PERGI DENGAN (TIDAK) DAMAI


“Irmaaaan.... cepat ke atas. Mami takut...”

Teriakan mami membuatku kaget. Ada apa lagi, sih? Menganggu kesenangan orang saja.

“Irmaaaaan....cepat, Man...”

Segera kuletakkan stik PS-ku. Teriakan mami sudah seperti orang dikejar kematian. Aku tak mengerti mengapa mami berteriak-teriak, padahal masih pagi.

Bergegas kunaiki tangga kayu menuju lantai atas. Setiap menginjak tangga yang sangat curam ini, pasti aku selalu mengumpat.

“Sialan! Kenapa sih, tukang buat tangga ini nggak mikir!”

Begitu sampai di atas. Aku tidak melihat mami.

“Mi, Mami di mana?”

“Man....sini Nak...”

Segera kuikuti suara mami yang berasal dari sebelah kananku, dari kamar yang sangat tidak ingin kumasuki. Tapi, apa boleh buat.

Saat kusingkap gorden yang disangkutkan pada dinding dan lemari sebagai pembatas ruangan itu (agar tercipta sebuah kamar), kulihat mami terduduk lemas di pojok dekat lemari. Pertama, kusangka kakinya terkilir. Namun, demi melihat wajahnya yang pucat aku yakin hal yang lebih parah telah terjadi.

“Mami takut, Man..., Mami takut.”

Aku melirik sekeliling. Aku tahu apa yang mami takutkan. Aku pun merasa ngeri di ruangan ini.

“Kita ke bawah aja, ya Mi.”

Kupapah mami ke bawah melewati tangga sialan.

“Man, Mami tiduran di ruang tamu aja. Mami nggak mau ke kamar. Jangan ke mana-mana, ya Man. Sini aja dekat Mami.”

Mami tampak sangat lelah. Setelah minum, wajah pucatnya mulai dialiri darah. Coba Riri tidak kos, pasti ia bisa menghibur mami.

“Man, tadi Mami takut banget. Perempuan itu mengutuk Mami. Mami tahu, Man. Pasti ia dendam pada Mami....”

Mamiku, ia begitu tertekan.

“Arwahnya masih ada di atas, Man. Ia masih di tempat tidurnya.”

Entah apa yang dilihat mami di atas. Tapi, yang pasti ia hanya berhalusinasi. Mana mungkin perempuan itu masih di rumah ini. Aku melihat sendiri jasadnya ditimbun dengan tanah, seminggu yang lalu.

“Udah, Mi, dibawa tidur aja. Mami kecapean kali. Pulang kerja blom tidur.”

“Kamar atas itu mesti diberesin, Man. Si Atik kan nggak datang-datang lagi. Ya terpaksa Mami yang ngerjain.”

“Udah, Mami tidur aja. Ntar Irman beresin.”

Meski rasanya sangat malas melakukan itu, kali ini aku mencoba menenangkan mami.

“Man, kamu di sini aja, ya. Mami takut sendirian.”

Tak beberapa lama, mami tertidur.

Aku segera menaiki tangga sialan lalu menuju kamar itu. Hawa di kamar itu pengap. Kubuka pintu utama lebar-lebar. Angin berhembus pelan. Kumasuki lagi kamar pengap itu. Yang pertama kulakukan adalah membereskan tempat tidur. Aku pikir sebaiknya tempat tidur ini dibongkar saja.

Kusingkirkan selimut yang menutupi tempat tidur itu dan alangkah kagetnya aku. Aku pun merasa lemas. Perutku mual dan bulu kudukku merinding. Aku tidak percaya melihat apa yang ada di depanku.

Semut-semut berkumpul di atas tidur tersebut, di balik selimut yang kuangkat barusan. Perutku bertambah mual dan kakiku semakin bertambah lemas ketika kusadari kumpulan semut itu membentuk suatu yang mustahil. Mereka membentuk sebuah rangka tubuh manusia yang sedang tidur. Dan aku tahu rangka siapa itu. Ya. Rangka perempuan yang telah mati seminggu lalu itu.

***

Tukang ojek yang akan mengantarku ke tempat kerja telah menunggu. Segera kupercepat kesibukanku berdandan.

Aku sudah terlambat.

Sebenarnya aku sangat malas untuk berangkat kerja malam ini. Aku lelah, setelah mencuci pakaian yang telah bertumpuk selama seminggu. Tukang cuci yang biasa datang tak memberi kabar apa-apa. Sialan! Dia bekerja seenaknya saja. Aku yang kewalahan. Mencari uang dan harus membereskan rumah, serta mencuci. Terakhir, aku harus mengurus seorang nenek pikun juga. Ah! Pekerjaan terakhir ini sangat berat. Seperti punya bayi. Masih mending bayi bisa membuat tertawa. Nenek pikun itu? Ya ampun! Malah membuat sebal.

Tiba-tiba aku teringat, dia belum makan sejak siang. Tukang ojek sudah melongok-longokkan kepalanya. Kulirik jam tanganku. Aku sudah sangat telat. Kukunci pintu. Nenek tua itu tadi pagi telah aku sediakan bubur ayam. Kemarin, makanannya sama sekali tak disentuhnya. Jadi, tak masalah rasanya ia tak makan siang. Toh, ia tak melakukan kegiatan apa-apa. Ia hanya tidur saja. Sudahlah.

“Tumben, lama Mbak?”

“Tadi ketiduran, Mas. Si Atik udah seminggu ga kerja. Jadi saya yang ngerjain semua.”

“Ooh..”

“Kalau bisa ngebut, Mas. Udah telat.”

“Jemuran di atas kagak diangkat apa Mbak? Sekarang lagi banyak maling.”

Kulihat jemuranku di balkon atas. Pakaianku, juga pakaian Irman, anakku terpampang seperti di toko baju. Celana jeans Irman yang digantung di pagar begitu mudah diambil orang. Kalau itu terjadi, anak itu tak akan sangat marah padaku.

Huh! Kalau sedang buru-buru selalu ada-ada saja yang menghalangi.

“Mas, tunggu bentar, ya. Saya angkat jemuran dulu.”

Aku bergegas turun dan membuka pintu. Dari pintu luar, tangga menunju ke atas sudah tampak. Tangga kayu yang curam.

Tangga itu pernah membuat kekacauan di rumah ini.

Tangga itu dulu dibuat secara mendadak. Dahulu aku dan anak-anak tinggal di atas. Lantai bawah dengan dua kamar aku kontrakkan kepada dua orang mahasiswa. Mereka mengontrak selama setahun. Sebenarnya, aku berharap mereka tetap mau memperpanjang karena kebutuhan keluargaku tidak terpenuhi hanya dengan hasil kerjaku menyanyi di karoke. Namun, mereka pindah. Katanya ingin mencari kosan saja.

Niatku untuk mencari pengontrak lain terhalangi. Nenek pikun itu datang ke rumah ini sebab suami kakakku yang sebelum ini mengurusnya itu meninggal. Kakak perempuanku itu tak bisa lagi mengurus nenek pikun itu.

“Kau kan kerja malam hari, jadi dari pagi sampai sore kau bisa jaga Ibu. Kalau aku harus kerja dari pagi sampai malam. Pagi aku nyuci baju orang-orang trus malam bantuin Mbak Sum jualan pecel ayam.”

Itu alasan yang digunakannya.

“Kau kan tahu, pengeluaranku banyak. Lisa, keponakanmu itu masih kuliah dan biayanya mahal. Coba kalau Bapaknya tidak mati....”

Air mata mengalir di pipinya.

Heh! Aku benci melihat air mata itu. Tepatnya, aku benci melihat air mata.

Aku sudah capek menangis sejak kecil. Dulu, gara-gara nenek tua yang akan dititipkan padaku itu. Lalu setelah aku dewasa dan bersuami, laki-laki itulah yang kemudian selalu membuatku menangis. Aku capek. Dan aku berjanji tidak akan menangis lagi.

“Anakmu kan masih belum perlu biaya banyak, Li. Lagi pula bapaknya juga masih peduli sama anak-anakmu.”

Aku menarik napas dalam-dalam.

“Iya, iya. Lusa antar aja Ibu ke sini.”

Aku tidak mau lagi mendengar ocehan panjang lebar dari kakakku ini. Kesulitan keluarganya telah membuatnya terlalu sering mencari-cari perbandingan hidupnya dengan hidupku.

Ia menyangka hidupku lebih baik, daripada hidupnya. Padahal, ia tahu keadaanku. Aku yang mencari makan untuk anak-anakku. Anak-anak yang sekarang menanjak dewasa. Anak-anak yang selalu ingin menjadi orang lain.

Aku juga tidak ingin mendengar ia menyebut laki-laki yang meninggalkanku tanpa rasa bersalah dan membiarkanku membesarkan anak kami sendirian.

Laki-laki brengsek!

Atau aku yang brengsek? Entah. Apa salah aku menyerang perempuan yang sering menggodanya itu?

Mungkin ia malu pada tetangga-tetangga yang membicarakan kebrutalanku. Aku menggigit puting susu perempuan penggoda itu sampai putus karena itu yang membuat suamiku tergoda. Pasti ia malu, makanya ia meninggalkanku. Tapi, aku tidak pernah malu. Aku membela hakku. Suamiku. Biarlah ia meninggalkanku. Aku tidak punya air mata lagi untuk menangis saat ia menamparku.

“Li, sekarang waktumu ngerawat Ibu. Hitung-hitung balas budi pada orangtua.”

Kakakku itu masih saja mengoceh.

Aku keluar, kubuka papan bertuliskan “Dikontrakkan” yang digantung di pagar rumah. Ruang atas berupa ruang kosong yang disekat-sekat dengan lemari untuk membentuk kamar terlalu sempit untuk satu orang lagi. Kuputuskan untuk menempati lantai bawah lagi. Lantai atas kujadikan sebagai tempat tinggal ibu dan tempat jemuran.

Lusa ibu sudah datang. Maka terciptalah tangga dadakan sebagai penghubung lantai bawah dan atas dari dalam (selama ini hanya ada tangga dari luar). Tangga itu yang telah memicu pertengkaranku dengan laki-laki yang tidak pernah dipanggil papi, papa, bapak, atau pun ayah oleh Riri dan Irman. Laki-laki yang kunikahi sebagai suami keduaku dua tahun silam dan enam bulan lalu meninggalkanku bersamaan dengan nenek tua yang sekarang tidur di atas itu terjatuh ketika menuruni tangga itu. Meskipun telah kubawa ke tukang urut, tulang lehernya tetap tak bisa kembali ke posisi semula sehingga kepalanya tak bisa ditegakkan.

Entah dari mana sumbernya, semua orang yang tahu kejadian itu menyangka aku yang telah mendorong nenek tua itu, termasuk mantan suamiku itu.

Mungkin, sebelumnya memang aku sedikit emosi dan berteriak-teriak mengomel. Aku capek. Tiap hari aku harus mencuci sprei bekas nenek tua itu. Bekas ompolnya. Siapa yang tidak capek? Lalu saat aku membereskan piring-piring bekas makannya, kutemukan nasi dan kuah sayur telah berantakan di tempat tidurnya. Entah apa yang telah ia lakukan dengan makanan dan tempat tidur itu, terpaksa aku mengomel. Berteriak-teriak, tepatnya. Ketika aku sedang membereskan tempat tidurnya, tak kusadari perempuan tua itu menuju tangga dan tersandung, lalu terjadilah kejadian itu: ia terjatuh. Teriakannya mengagetkanku, aku memburunya ke tangga.

Tapi aku hanya terpaku melihat tubuhnya teronggok di bawah. Aku berpikir ia akan mati. Suamiku yang ada di bawah pun telah telah sampai di dekat tubuh tua itu. Ia menatapku yang berdiri di bibir tangga. Tatapan penuh pertanyaan atau tatapan menuduh? Entahlah.

Kukatakan pada orang-orang aku tidak bersalah. Tapi siapa yang percaya? Yang mereka tahu hanyalah bahwa aku tidak senang ibu tinggal bersamaku, aku sering berteriak-teriak membentak ibuku, aku hanyalah pekerja malam yang tidak berbakti pada ibunya.

Hei! Aku memang bekerja malam. Aku mencari uang untuk anak-anakku. Tapi, aku mencari uang dengan halal. Aku menjadi penyanyi karoke. Aku memang menjual suaraku, tapi tidak tubuhku. Tapi mereka tidak tahu dan tidak mau tahu.

Nenek tua itu tidak mati. Kakakku datang menjenguk sebentar. Setelah memastikan ibunya tidak mati. Ia pergi lagi. Hah! Aku yakin ia telah menyiapkan kain kafan dari rumah.

“Aku lihat sendiri, Li. Kamu berdiri di pinggir tangga itu saat Ibu jatuh.”

“Kamu gak percaya aku? Aku gak ngedorong dia!.”

“Percaya? Selama ini aku gak pernah percaya kamu. Apa aku harus percaya uang yang kau dapat hanyalah hasil dari kau menyanyi?”

“Anjing! Jadi kamu nuduh aku melacur?”

Dan tamparan mampir di pipiku. Sakit. Tapi, hatiku lebih sakit. Orang yang telah berikrar menjadi suamiku itu menuduhku melacur, padahal hanya dia yang menjadi temanku saat sepi. Saat anak-anakku tidak peduli lagi pada belaianku. Saat anak-anakku sibuk dengan dunianya.

Aku tahu selama ini dia hanya memanfaatkan uangku. Tapi setidaknya ia menghormatiku.

“Bangsat! Lalu kau pikir kau pantas menghinaku. Kau yang selama ini hanya menadah. Kau pikir aku percaya kalau kau bilang kau telah berusaha mencari kerja ke mana-mana?”

Hanya tamparan lagi yang menjawab pertanyaanku. Lalu ia pergi dengan menghempaskan pintu. Deru motornya berlalu. Aku terhenyak di lantai. Aku tahu tetangga-tetangga mendengarkan pertengkaran kami.

Aku tidak peduli.

Pipiku sakit sekali. Riri, Irman, aku berharap mereka di sini. Tapi tak ada. Ruangan kosong. Dan hanya aku dan nenek tua itu yang ada di rumah ini. Anak-anak dan suamiku mencampakkanku.

Terbayang Riri dan Irman sedang berlari-larian di tepi pantai Kuta. Liburan. Terbayang juga suamiku sedang memeluk perempuan lain yang mempunyai lebih banyak uang. Aku merasa sangat sesak dan aku hanya bisa meratap di lantai rumahku yang dingin. Aku capek. Aku capek menghadapai semua ini.

Saat aku merasa sangat letih, bayang-bayang masa lalu yang entah kusimpan di bagian mana otakku perlahan-lahan muncul.

Suara sayup-sayup ibu kudengar memanggil-manggilku, “Lili! Lili! Ke mana saja kau? Mana cabe yang Ibu suruh beli tadi?”

Aku terpaku. Aku lupa.

Segera aku berlari meninggalkan ibu. Tukang sayur sudah tidak ada. Sudah terlalu siang. Aku tidak tahu harus membeli cabe di mana. Tapi, jika aku kembali dengan tangan kosong, ibu akan lebih marah.

“Apa yang kau bawa ini? Ibu tidak nyuruh kamu beli sambal. Tapi cabe. Dasar anak malas! Ibu capek mengajarimu. Kenapa sih, kau tidak belajar dari kakakmu itu? Ia tidak pernah membuat Ibu marah.”

“Tapi, Bu. Tukang sayur udah enggak ada. Kan Ibu juga mau bikin jadi sambel...”

“Anak kurang ajar. Berani melawan orangtua! Dasar! Jaga mulutmu itu!”

Reflek tangan ibu merogoh sambel dalam kantong plastik dan mejejalkannya ke mulutku.

“Rasakan! Ini peringatan supaya kau tidak berani melawan Ibu lagi.”

Aku tidak dapat melakukan apa-apa. Mataku perih sekali, apalagi mulutku. Terasa panas.

“Ibu, udah Bu...mulut Lili panas.”

“Biar. Biar kau rasa! Jadi kau tidak akan melawan Ibu lagi.”

“Bapak...Bapak...”

“Panggil saja Bapakmu itu. Ia tidak akan mendengarmu. Atau sekalian saja kau gali kuburannya dan mengadu padanya.”

Aku semakin terisak. Lalu ibu pergi meninggalkanku. Aku tidak mampu berbuat apa-apa. Setelah mencuci sambel yang melekat, aku meneruskan tangisku di kamar.

“Li, bangun. Makan,” suara kakakku, Latifah, membangunkanku.

Ia sudah pulang kerja, berarti hari sudah malam. Mulutku masih terasa panas. Mungkin bengkak. Mataku masih terasa perih. Perutku juga terasa perih. Aku belum makan sejak siang tadi.

Aku ke dapur dan diam-diam menyendok nasi. Aku berharap tidak bertemu ibu. Namun, saat aku mulai menyuap nasi, tiba-tiba ibu datang.

“Fah, adikmu ini tadi siang berani ngelawan Ibu.”

Dan bergulirlah cerita versi ibu. Seketika, perutku menjadi kenyang.

“Dengar Li! Kau harus bersyukur. Kakakmu mau bekerja untuk makan dan uang sekolahmu.”

Aku hanya diam. Aku sudah bosan mendengar perbandingan yang diujarkan ibu. Bukan salahku kalau aku lebih kecil dari Latifah. Sejak bapak pergi, ibu selalu menganggapku hanya menjadi beban.

Padahal aku juga selalu berusaha membantu ibu. Sepulang sekolah aku mencuci piring dan menyapu rumah.

Apa salah kalau kadang aku juga ikut main dengan anak-anak lain di samping rumah kami?

Dan akhirnya aku tahu jawabannya setelah ibu membawakanku air cucian piring dan menyiramnya ke sekujur tubuhku.

Aku bukan seperti anak-anak lain itu yang boleh bermain sepuas mereka. Menurut ibu, aku harus menghargai kakakku yang mencari uang untuk sekolahku. Aku harus belajar di rumah. Tapi, besok hari Minggu dan aku juga tidak ada PR.

“Inilah akibatnya kau terlalu dimanja Bapakmu! Tapi sekarang kamu tau kan, ia tidak peduli lagi padamu. Ia mati begitu saja.”

Ah, aku tidak tahu apa yang dimaksudkan ibu. Aku mencoba menyuap lagi nasi, meski perutku menolak. Nasi itu harus habis. Aku tidak mau ibu bertambah marah.

Aku teringat bapak, samar-samar. Kata ibu, ia mati begitu saja. Aku tidak tahu maksudnya apa. Tapi, aku pernah mendengar kata tetangga, bapak tidak mati. Bapak pergi bersama perempuan lain. Aku juga tidak mengerti apa maksudnya. Saat itu, aku masih kanak-kanak.

Setelah lulus SMA, aku pergi dari rumahku yang terletak di pinggir kota Jakarta itu. Aku mengadu nasib ke pusat kota. Sekalian juga aku lari dari ibu. Tapi, akhirnya setelah menikah, Kak Latifah pun meninggalkan rumahku yang masih udik itu dan membawa serta ibu.

“Li...Li...”

Tiba-tiba, suara panggilan yang sayup-sayup tadi menjadi nyata. Aku dengar erangan dari atas. Nenek tua itu memanggilku. Aku tak peduli dan tetap menuju kamarku dan meraih botol itu dari bawah tempat tidur. Lalu menenggak isinya. Aku rasa inilah cara termudah menyelesaikan semuanya. Cairan obat pembunuh nyamuk itu mengalir di tenggorokanku. Tenggorokanku terasa terbakar. Aku tahu aku akan mati. Namun, tanpa kusadari aku berteriak sekuat tenaga. Rumah penduduk yang rapat menguntungkanku. Tetangga-tetangga mendengar teriakanku. Lalu dengan berbaik hati mereka membawaku ke rumah sakit.

Riri dan Irman menatapku dengan tatapan menghakimi. Aku berusaha tersenyum. Ingin rasanya bertanya apakah mereka senang dengan liburannya. Tapi, entahlah. Aku cukup senang mereka ada di sisiku. Anak-anakku sudah kembali.

***

Ah, begitu panjang kenangan tangga itu. Kenangan yang menjadikanku lebih tegar. Membuatku belajar bahwa aku tidak perlu suami. Yang lebih aku butuhkan adalah anak-anakku. Oleh karena itu, aku tidak ingin membuat mereka membenciku. Biarlah aku telat. Yang penting celana dan baju-baju Irman selamat.

Aku bergegas melangkah ke balkon. Mengangkat jemuran. Setelah meletakkan pakaian itu ke dalam keranjang di pojok kiri ruangan, kurasa aku harus menyempatkan diri menegok nenek penghuni lantai atas tersebut.

Sepertinya, aku akan sangat terlambat malam ini.

Sepertinya ia tidur karena tak terdengar suaranya mengerang. Kusingkap gorden penutup kamarnya.

Aku sungguh kaget.

Tubuh tua itu tidak tampak sama sekali. Yang ada hanya gumpalan hitam: kumpulan semut-semut yang berebut tempat mengerogoti temuan mereka: daging di tubuh itu.

Perutku bergejolak menyaksikannya. Aku menahan rasa ingin muntah melihat semut-semut yang dengan ganas menyantap tubuh tua itu.

Tubuhku lunglai. Aku tidak tahu harus melakukan apa.

Lalu, dengan suara tercekat, aku berteriak minta tolong.

Nenek tua itu: ibuku mati.

Dan aku tidak tahu entah sejak pukul berapa semut-semut itu mengerogoti tubuhnya. Aku benar-benar tidak tahu.


Widyawati Oktavia, Depok, 25 Mei 2004

No comments:

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin