Lambat-lambat waktu berjalan.
Cepatlah, kataku.
Aku hanya mengikuti garis takdir, katanya.
Aku resah. Kalau ia lambat seperti itu, aku tidak akan bisa mengejar kereta magrib kali ini. Cepatlah, aku harus bergegas—jika tak dapat kusebut bahwa aku begitu bosan duduk dan duduk menunggu. Ada takdir yang menunggu di depan sana.
Lambat-lambat waktu berjalan.
Aku juga mengikuti garis takdirku, katanya.
Ah, cepatlah. Suaraku hilang bersama angin lalu, yang juga berjalan mengikuti garis takdirnya.
erlangga, 18 september 2006—“dan kebosanan ini tak juga menjauh”
No comments:
Post a Comment