Penjual Kenangan

Friday, February 09, 2007

AMBUN SURI

Aku takut ia mengenalmu. Aku takut darahmu yang mengalir dalam tubuhnya mewarisi apa yang ada padamu. Aku takut. Namun, ia selalu bertanya tentangmu. Abak mana, Mak? Abak mana? Tak mampu kusampaikan padanya. Ia semakin besar sekarang. Dan, aku, aku semakin tua.

Ingin kukatakan kau berada di tempat yang jauh, tapi jiko ado, baa kaba baritonyo? Ingin kukatakan kau telah tiada, tapi jiko mati, di ma pusaronyo? Aku tak akan pernah bisa menjawabnya.

Haruskah aku menceritakan kisah itu pada anak kita? Telah bertahun-tahun setelah hari itu. Namun, semua masih begitu jelas bagiku.

Akhirnya, hari ini, kuberanikan mengajaknya ke tepi pantai ini. Aku pun memberanikan diri lagi mengenal laut. Biarlah ia tahu dari mana ia berasal. Ah, kau lihat betapa riangnya ia berlari-lari di pantai ini. Aku turut bahagia dengannya. Tersunggingkah senyumku? Entah. Di dalam, hati ini begitu takut. Takut ia mewarisi segala yang ada padamu. Karena itulah, aku takut mengenalkannya padamu.

Mak, besar sekali kapal laut itu. Kenapa tidak tenggelam, Mak?” Bocah itu terkagum-kagum melihat kapal yang baru saja berlabuh, membawa barang-barang dagang--juga membawa masa lalu.

Mak, banyak sekali orang di atas kapal itu, Mak? Dari mana mereka, Mak? Bisa kita ikut naik, Mak?”

Aku hanya diam. Itu jugakah yang kau katakan pada ibumu saat kau ingin berlayar, merantau ke negeri seberang?

Mak, Mak, lihatlah kemari!” terdengar lantang suara bocah kita.

Anak itu, dia telah menyambung nyawaku. Aku telah lama menyadari bukan aku yang ingin diselamatkan dari laut. Harusnya, aku pun ikut bersamamu. Menemanimu di sana.

Cepatlah, Mak. Kemarilah!” Ia menjadi tak begitu sabar.

Aku berjalan menyeret kakiku. Sepanjang jejakku, yang ada hanyalah ketakutan. Namun, tak ada penyesalan. Aku tak pernah menyesal bersamamu. Entah kenapa. Bahkan, setelah hari itu, aku berusaha mati-matian untuk membencimu. Membenci segala yang ada padamu. Tak jua berwujud. Saat itu, aku begitu takut telah kehilanganmu. Nyatanya, ketakutan itu semakin besar saat bocah—yang saat ini tak sabar menungguku sampai ke sisinya—itu ada.

Aku takut ia mengenalmu. Aku takut ia mewarisi apa yang ada di dirimu. Dulu, saat ayah meminta mamak-ku untuk menerimamu, aku begitu bahagia. Aku selalu ingin orang mendendangkan, “Sasuai bana jo si Ambun. Ambun Suri, bini yang talah disuntiangnyo ....” Kata mereka, kau sesuai sekali denganku. Aku, istri yang telah kau sunting. Aku bahagia.

Tetapi, semua itu telah berubah rasa. Bersama malam-malam yang begitu panjang. Bersama tahun-tahun yang menganak-pinakkan ketakutan. Rasa inikah yang dirasakan perempuan tua itu. Beginikah rasanya hingga ia menjadi begitu terluka? Hingga air matanya kering?

Mak, cepatlah, Mak. Antarkan aku ke balik karang itu, Mak. Aku lihat ada batu serupa orang di sebaliknya. Aku hendak lihat dari dekat, Mak.”

Itu yang dikatakan buah hati kita. Apakah kau mendengarnya? Ah, aku semakin takut. Bahkan, melihat binar mata anak kita, ketakutan semakin menjeratku. Aku tak ingin ia mewarisi apa yang ada di dirimu—yang (awalnya) hanya ada di dalam hatimu.

Aku takut. Aku memang mencintaimu. Namun, anak kita semakin besar. Aku semakin tua.

Di pantai itu, hari semakin kelam, angin semakin dingin. Hati semakin beku.

Dan, Malin Kundang telah lama menjadi batu.

Pagi-pagi, Malin-lah bangun. Sasuai bana jo si Ambun. Ambun Suri, bini yang talah disuntiangnyo ....


Depok, 20 Maret 2006, 04.27 wib

No comments:

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin