***
‘Aku sedang mencari mimpi, Rayina. Di sini, tak kutemukan. Jadi, aku harus segera melangkah. Kau, apa mimpimu, Rayina?’
‘Aku ingin punya sayap dan bisa terbang. Aku ingin pergi dari balik pelangi ini. Aku ingin melihat apa yang ada di balik pelangi ini. Aku ingin melihat apa yang kau ceritakan.’
‘Ternyata kau sama seperti aku, Rayina. Kita menyimpan mimpi. Dan aku, esok aku harus segera melangkah, Rayina. Aku terlalu lama di sini. Jika semakin lama lagi, aku takut aku lupa akan mimpi yang kucari. Mimpiku harus segera kutemukan. Dan kita mungkin tak akan bertemu lagi.’
Rayina tak bicara lagi. Hanya diam.
‘Rayina, kenapa? Tiba-tiba, kau menjadi begitu pendiam.’ Laki-laki itu berkata seakan-akan tidak pernah bisa membaca jejak harap di setiap hela napas Rayina. ‘Ah, Rayina, adakah yang membuatmu gusar? Ceritakan padaku, Rayina.’
Jika kuceritakan, akankah dapat membuatmu menghentikan jejakmu di tanah ini, di tempat hatiku tumbuh? Rayina menyimpan tanya untuk diamnya.
‘Oh, aku hanya selalu tak menyukai kepergian,’ jawab Rayina, ‘selalu ada kehilangan bersamanya.’
‘Bagiku, kepergian tak pernah menyimpan kehilangan, Rayina. Tak pernah ada. Kepergian hanya menyimpan langkah bersamanya. Dan memang selalu begitu. Aku bukan peminat kehilangan.’
Rayina mencari sudut-sudut dusta di mata petualang itu. Tak ia temukan. Apakah harus kukumpulkan setiap kepingan kehilangan untukmu? Agar kau tahu. Kepergianmu menyimpan kepingan-kepingan kehilangan untukku, Petualang.
‘Pernahkah burung pipit menitipkan hatinya saat pergi?’ tanya Rayina.
‘Pipit tak pernah pergi jauh, Rayina. Dan ia selalu kembali ke sarangnya. Ada yang menantinya di sana.’
‘Kau?’
***
No comments:
Post a Comment