Penjual Kenangan

Monday, May 28, 2007

Pagi yang Jatuh di Jendela

Sore itu, ia datang menemui Aya dan membawa oleh-oleh. Kuntum-kuntum melati yang telah mengungu. “Melati itu telah menyentuh tanah,” katanya menjelaskan.

“Aku ingin menyelesaikan lukisan kemarin,” Ia masuk begitu saja dan mengeluarkan cat yang beragam warna, kuas, dan palet dari tasnya.

Aya menatap laki-laki itu dari pantulan kaca jendela. Laki-laki itu, entahlah, katanya ia pelukis. Namun, lukisan laki-laki itu tak pernah selesai. Atau, mungkin, ia tak pernah ingin menyelesaikannya. Kadang ia terlalu sibuk mencari warna yang sesuai.

“Apakah pagi yang jatuh di jendelamu seperti ini warnanya?”

Kemarin, laki-laki itu bertanya pada Aya. Ah, bukan hanya kemarin. Berkali-kali, sejak mula-mula.

Lalu, Aya akan memilih warna, dan mencampurnya. Pagi yang dilihat Aya kemarin bukan pagi yang muram, meragu seperti di lukisan laki-laki itu. Pagi yang tidak terlalu terburu-buru. Namun, campuran warna Aya tak pernah sesuai bagi laki-laki itu.

Sore itu, lama Aya terdiam dalam campuran warnanya sendiri.

“Sedang tak berbahagiakah?” tanya laki-laki sambil lalu, sambil mengangkat lukisan yang tak pernah ia selesaikan. Membawanya ke tepi jendela.

Kau bisa membaca hati, rupanya. Ah, ada yang tersembunyikan di sana. Terbacakah?

Aya melarutkan tanya dalam secangkir kopi. Ada dua tiga kelopak senyum yang jatuh pula ke dalam cangkir itu.

“Barangkali, hari ini, aku melukis melati yang mengunggu itu saja, Aya.”

Laki-laki itu meletakkan kembali lukisan yang belum selesai itu di sudut, didirikan di lantai.

Laki-laki itu mengambil kanvas kosong lagi. Dan ia memulai lagi dengan warna-warna. Memilihnya. Mencampurnya. Menggoreskannya. Lalu, kembali ragu dan bertanya pada Aya, ungu seperti apa yang dilihatnya pada kuntum melati itu. Esok dan esoknya, kembali mencari warna yang sesuai.

Namun, lukisan-lukisan itu tak pernah ada yang selesai.

Aya terlalu sering membuat campuran warnanya sendiri. Semakin pekat.

Ah, barangkali, jikalau tahu Aya akan memulai goresannya sendiri di kanvas yang baru, laki-laki itu akan menyelesaikan satu lukisan. Mungkin, lukisan pagi yang jatuh di jendela Aya itu.

Tapi, pagi di lukisan itu malah semakin beku, semakin jauh dari warna pagi yang jatuh di jendela Aya.


Margonda, 23/05/07

No comments:

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin