semakin jauh di belakang, kami meninggalkannya
lapangan terbang peninggalan zaman Belanda
yang dibangun oleh jengkal-jengkal lelah bangsa Indonesia,
mereka yang kemudian tak sempat bertemu kembali dengan wajah-wajah pucat--orang-orang tercinta--yang mungkin menunggu di kaki gunung, di sudut-sudut kengerian
mungkin kesakitan atas peluru yang menembus tubuh-tubuh kering mereka tak sempat lagi terasa,
di sana, tampaknya mereka akan terlalu merindukan kehangatan tungku perapian rumah dan senyum hangat perempuan-perempuan mereka
semakin jauh di belakang kami,
ada sisa-sisa, tanda-tanda, adanya pembangunan
sebuah lapangan terbang,
konon.
--Cibunar, Argopuro/Agustus 2007--
No comments:
Post a Comment