Penjual Kenangan

Friday, January 12, 2007

IA TAK MAMPU MEMBACA WARNA DI KOTA INI

Wajah tua itu menekur
tak mampu membaca warna
di dinding-dinding beton kota ini
ia tak mampu temukan warna yang sama
yang pernah dikenalnya
tak ada warna kuning pucat memudar kemejanya,
tak ada warna tiang-tiang kayu pondok tuanya,
tak ada warna terik matahari kulitnya
tak ada, entah mengapa


wajah yang menekur itu
kemarin pagi pamit pada matahari di langitnya
antar langkah riang anaknya
hendak mencari mimpi
dan memintal benang harapan di kota ini
“semoga anakku tak melihat jejak yang terlalu dalam pada langkahku,”
diam-diam, laki-laki tua itu berdoa
begitu berat langkahnya


wajah tua yang menekur itu
begitu asing di rindang pohon-pohon kota ini, di hijau rumput-rumputnya
padahal, telah beratus-ratus malam,
bercangkir-cangkir kopi ia habiskan
sambil duduk bercerita dengan pohon-pohon di tanahnya
bercerita tentang mimpi-mimpi yang sangat sederhana


wajah tua itu menekur
angannya jauh, pulang ke sana, ke tanahnya
ke putik-putik jagung yang habis dimakan ulat
dan, ia masih saja merasa sangat asing
dengan rindang pohon-pohon dan hijau rumput-rumput
jejak langkah masih saja dalam
membawa kesedihan
tentang ladang jagung yang masih saja gersang


di kota ini, ia begitu asing
tak mampu membaca warna-warna, entah kenapa
mungkin, karena mimpinya tak pernah sampai di kota ini
mimpinya hanyalah tentang ladang jagung yang masih saja gersang
ah, mengapa tak pernah sampai mimpinya?


tapi, ia tahu, anak perempuannya itu sering bermimpi tentang kota ini
kota yang—katanya—di setiap sudutnya menjajakan cita-cita
anak perempuannya itu sudah terlalu sering bermimpi tentang kota ini
anak itu ingin memintal benang harapan di kota ini
di kota ini, anaknya itu akan berjalan dengan saku baju yang penuh dengan harapan
dan, suatu hari, ingin ditukarkannya dengan satu cita-cita yang dijajakan di sudut-sudut kota ini


wajah tua yang menekur itu tak mengerti
yang ia tahu hanyalah anaknya ingin ditemani ke kota ini
laki-laki tua itu, tetap tak mampu membaca warna di kota ini
mungkin, karena mimpinya yang tak pernah sampai


adakah yang menjual mimpi di sudut kota ini?
jika ada pun, ia tak akan sanggup membelinya
bahkan, saat ia berjalan menemani langkah anak perempuannya,
ia tak berhenti berdoa,

“semoga anakku tidak akan kecewa, aku tak mampu membelikannya cita-cita. semoga anakku tidak akan kecewa, bahkan sekarung penuh harapan pun tak akan bisa ditukarkan dengan cita-cita yang dijual di sudut-sudut kota ini”.

wajah tua yang menekur itu semakin tak mampu membaca warna di kota ini.

Depok, 20 Agustus 2005

1 comment:

Anonymous said...

adakah yang mampu membaca tanpa ada guru yang membantu mengeja me-ji-ku-hi-bi-ni-u?

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin