Penjual Kenangan

Thursday, August 01, 2013

#1 | Untuk Dia yang Bermata Nyalang

Saya lupa sudah berapa lama dia ada di kamar yang saya tempati hampir dua tahun ini. Mungkin sudah selama saya menghuni kamar ini juga, tetapi saya lupa tepatnya. Dan, saya tahu, saya harus minta maaf kepadanya. Setelah lama saya menunggu kehadirannya untuk saya miliki, kemudian saya mengabaikannya begitu saja. Tapi, mungkin bukan mengabaikan. Kau tahu bukan tentang perasaan terkadang kita seakan mengabaikan sesuatu yang dekat dengan kita. Padahal, kita sudah menganggapnya menjadi bagian diri kita sehingga kita tak perlu lagi untuk memberi "perhatian" lebih karena kita telah otomatis berpikir ia merupakan sesuatu yang berarti bagi kita tanpa dikatakan pun. Mungkinkah itu yang terjadi antara saya dan “dia”?

Saya ingat kejadian waktu masih tinggal di Jalan Margonda dulu, ketika kosan saya (dan Gita, sahabat saya) masih sering jadi persinggahan teman-teman, laki-laki dan perempuan. Selain tempatnya yang strategis, kami juga selalu punya stok kopi dan camilan, smoking area, juga ada sebuah gitar yang semacam dihibahkan yang boleh dipetik dengan irama apa-saja-boleh. Mungkin itulah mengapa tempat kami menjadi tempat singgah setia beberapa teman. Mungkin juga “buku curhat” yang wajib diisi oleh anggota “singgah” yang tetap. Ah, ya, memang bukan materi seperti itu. Kami tahu kehangatan sambutan kami adalah alasan yang membuat mereka betah. ;)

Salah seorang teman yang dulu sering singgah itu, seorang perempuan, telah menjadi teman dekat kami (tampaknya, berbagi kisah tentang keluarga menjadi patokan “dekat” bagi kami saat itu). Suatu hari, dia bercerita, dengan mata berkaca-kaca. Katanya, pada hari sebelumnya, dia sudah sangat lelah membuatkan kue untuk menyambut hari lahir sang Ayah, tetapi tak ada kata "terima kasih" sama sekali yang terucap kala kue itu diberikan. Saat itu, saya dan Gita menghiburnya bahwa tanpa diucapkan pun, sang Ayah pasti sangat berterima kasih dan tentunya karena tinggal dalam satu rumah, kata-kata itu akan terasa basa-basi juga untuk diucapkan. Teman kami tersebut tampak masih menahan air jatuh di kelopak matanya. Dan saat itu, kami merasa mungkin teman kami itu hanya perlu ikhlas dalam melakukannya. Usah hitung-hitungan. Dia akan mendapatkan balasannya kelak. Dan, ya, tentu saja, kata "ikhlas" itu mudah diucapkan dan sulit untuk dilaksanakan. 

Namun, dari kejadian itu, saya dan gita akhirnya menyadari bahwa terkadang ucapan memang perlu untuk mengungkapkan apa yang terkadang tak terbaca oleh orang lain. Dan, saat mengalami kejadian semacam itu, terkadang ada selipan rasa seperti yang teman kami alami itu. "Orang yang tidak kena banjir tidak tahu rasanya banjir." Kata-kata guru besar di kampus kami—yang terkenal ceplas-ceplos—saat ia ditanya basa-basi bagaimana keadaan rumahnya yang kena banjir memang nyata. Terkadang, kita tidak tahu bagaimana sebenarnya perasaan seseorang yang sebenarnya, sampai kita mengalami sendiri hal itu. Mungkin, kala itu, teman kami itu memang benar-benar terluka. Ada harapan yang begitu besar ia letakkan dari sebuah kue ulang tahun, dan ternyata senyum yang diberikan saja tidak cukup karena terkadang kata-kata memang bisa saja terasa lebih nyata karena ada indra pendengaran pun diajak serta.

Ah, sepertinya, pikiran saya malah didominasi kejadian itu, belum memahami dengan benar pengalaman teman saya itu, dan malah hanya menerapkan “kata-kata”. Akhirnya, dia-yang-saya-ceritakan-ini tergeletak begitu saja di sebelah teve, di dekat tumpukan buku. Wajahnya tampak sedih. Entah bagaimana, sepertinya raut wajah itu berubah. Kala saya membawanya ke kamar ini dengan perasaan bangga, raut wajahnya tampak gagah, mungkin juga sedikit angkuh, dan tentu saja dia "menanti" sesuatu dari saya—yang hanya saya berikan satu kali sejak ia datang ke kamar ini. 

Dia yang bergaris mata tegas dan bermata nyalang ini saya dapatkan di sebuah tangga di bawah jembatan penyeberangan antara dua mal di Jalan Margonda Raya. Dari seorang bapak tua—ah, sebentar, sepertinya bukan di sana saya dapatkan ia. Itu yang lain lagi, yang berbentuk sebuah ikan, lebih kecil. Duh, maafkan saya, saya lupa di mana mendapatkan ia—yang saya bilang berarti dalam hidup saya…..

Yup, setelah mengecek sebuah catatan, saya ingat bahwa saya pernah menuliskan sekilas tentang dia: "Seorang bapak tua yang sepertinya cukup kesulitan saat memanggul dagangannya itu. Aku menengok sebentar ke arahnya, lalu melanjutkan langkah. Saat sekilas menengok kembali, aku melihat sosok gagahnya yang begitu menarik perhatianku." Ya, ternyata saya mendapatkannya memang di bawah jembatan itusetelah beberapa tahun keinginan saya untuk mendapatkannya. 

Saya ingat sebuah kejadian sebelumnya, tentang bagaimana saya sangat menginginkan dia. Kala itu, saya sedang bersama seseorang yang mengantar saya pulang ke tempat indekos saya di Margonda. Hari sudah cukup malam. Saat kami putar arah di depan perempatan jalan baru di kota itu, saya mendapati seseorang terbaring di trotoar, dengan pikulan di sebelahnya. Saya hanya melihatnya sekilas dan laju motor terlalu cepat untuk saya sampaikan kepada seseorang itu—yang seakan menyimpan kemarau di matanya—untuk berhenti.

Ketika hampir sampai ke tempat indekos, saya akhirnya menyampaikan kepada yang mengantar saya itu tentang seorang penjual yang terbaring di samping dagangannya, yang sepertinya kelelahan. Saya bilang saya ingin membeli dagangan penjual itu, yang sepertinya hanya laku satu-dua dalam satu hari. Seseorang yang mengantar saya pulang itu pun tampak cemas dan bilang kenapa saya tidak bilang dari tadi. Ah, entahlah, terkadang saya memang sering terlambat untuk menyatakan maksud hati saya. Lalu, dengan berbaik hati, meski sudah malam dan rumahnya sangat jauh, ia mengajak saya untuk berputar arah lagi untuk mendatang si penjual. Setelah sebelumnya buru-buru meminjam uang ke Gita (karena khawatir uang saya tidak cukup dan tidak sempat ke ATM), kami buru-buru menyusuri jalan Margonda itu lagi. Lalu, berbalik arah di pertempatan jalan yang sama. Namun, meski laju motor itu sudah pelan, saya tak bisa menemukan sang penjual itu di sana. Tampaknya, ia telah melanjutkan perjalanannya kembali, mungkin pulang melewati salah satu lorong-lorong sempit di sisi jalan raya itu, entah yang mana. 

Malam itu, seseorang yang mengantar saya pulang itu pun ikut merasa menyesal dan meminta maaf karena ia terlalu ngebut. Ah, padahal itu bukan salahnya (seseorang-bermata-kemarau ini sangat baik hati, dan terkadang, masih terselip doa agar kemarau di matanya mereda, dan dia menemukan bahagia. Untunglah, sepertinya memang sudah.^^). 

Begitulah. Dan, akhirnya, beberapa tahun kemudian, saya melihat seorang bapak tua dengan pikulannya, menjual benda yang sama. Entah apakah orang yang sama atau bukan dengan penjual pada malam beberapa tahun lalu itu, saya tidak tahu, tetapi saya sangat senang melihatnya kala itu. Senang ketika bungkusan hitam itu saya masukkan ke tas dan menaruhnya pelan di balik punggung agar tidak jatuh kala mengendarai motor yang saya parkir di mal sebelah melaju. Saya sampaikan kepada Gita dengan gembira bahwa saya mendapatkan apa yang dulu pernah sangat saya inginkan. Lalu, kini, ia seakan bagaikan hanya salah satu benda yang memenuhi kamar saya. Dan ah, berdebu. Saya malu. Saya bilang dia berarti dalam hidup saya, tetapi tak ada hal nyata yang saya berikan untuknya. 

Kau tahu, bahkan, saya ingat saya memasukkan uang kertas pecahan 20 ribu rupiah ke dalamnya. Setelah itu, sempat tebersit, “Ah, kalau uang kertas, kan, lama-lama akan rusak yang di dalam tanah liat seperti itu. Uang logam terlalu kecil.” Dan, sejak itu, saya tidak pernah menambahkan apa pun ke dalamnya. Dan, seiring waktu, saya hanya melihatnya sekilas dan terkadang lupa kalau dia ada. Dan setiap kali melihatnya, saya berkata dalam hati, "Kalau saya sudah pindah rumah nanti, saya akan jadikan dia pajangan. Kayaknya bagus," sementara kini ia berdebu di sudut kamar saya. Dan, ah, harusnya saya tidak perlu heran mengapa wajahnya tampak merengut. Ah, bukan, matanya tampak bersedih.





Maafkan aku, Celengan Ayam Jago.... 

Bahkan, saya tidak memberi nama spesial untuknya seperti motor saya, padahal banyak kisah yang tersimpan bersamanya. Saya akhirnya tahu, saya euforia ketika mendapatkannya. Entah karena kenangan, entah pula karena merasa bangga telah berhasil mendapatkannya. Seakan ada yang sudah selesai ketika ia sampai di kamar biru pucat ini. Dan, lupa, bahwa ia seharusnya adalah sesuatu yang berharga yang pantas saya jaga. Ia tak akan tahu kalau kita menganggapnya berarti jika kita tak pernah menunjukkannya, apalagi tak pernah menunjukkan dan tak pernah pula menyatakannya. Ya, kata-kata dan tindakan, dua-duanya berarti, dan memang perlu saling mengimbangi agar memberi sebuah arti yang dapat dipahami.


p.s. dear, celengan ayam jago bermata nyalang, jangan sedih lagi ya....



[Ikut Proyek #CeritaDalamKamar dari Bara]

4 comments:

Enno said...

Hahah.. isi dong Wied!
Aku punya celengan jeruk. mentang2 tinggal di garut :P
udah hampir penuh lho.

semoga menang! :)

penjual kenangan said...

hehe, menyesuaikan dengan lokasi. :p
iyah, mau juga ah.

btw, ini bukan kuis, mbak. cuma tantangan untuk nulis cerita dari benda-benda dalam kamar. ikutan yuk. dimulainya per 1 agustus ini, sampai akhir bulan. :D
ini link-nya --> http://www.bisikanbusuk.com/2013/08/cerita-dari-dalam-kamar.html

aku mau nantang diriku yang terkadang "melupakan" blog ini. ;)

pencakar langit said...


Iwied, gw pikir si kura-kura hahaha. Ga taunya celengan ayam hahaha

penjual kenangan said...

@nulur: kura-kura yang itu punya gita, lur. tapi, dia udah hilang waktu di kosan terakhir. sedih... :(

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin