Dua tahun lalu, saya pindah dari sebuah tempat indekos yang hanya berupa sebuah kamar ke sebuah rumah kontrakan di bilangan Jagakarsa. Menempati rumah kontrakan tentu berbeda dengan sebuah tempat indekos. Di sebuah rumah kontrakan, tentu saya tidak hanya punya satu ruangan saja seperti di tempat indekos saya sebelumnya, yang saya tempati hampir lima tahun. Di sebuah kontrakan, kamu bisa punya beberapa ruangan lain yang bisa kau tempati jika kau bosan dengan ruangan yang lain--ruangan tidur, misalnya.
Rumah kontrakan saya ini cukup besar, tetapi bangun ruangnya aneh karena ini merupakan tiga tempat indekos yang digabung menjadi satu, seperti tiga ruang berbaris ke samping. Jadilah rumah ini terbagi menjadi tiga ruang sama besar, yang alhasil, ruang dapur pun sepanjang ruang tengah dan ruang tidur. Dapurnya pun jadi terasa terpencil.
Harapan saya, di kontrakan baru ini, saya akan punya "ruang kerja" yang tentu saja terpisah dari ruang tidur. Saya ingin saat menulis pada malam hari, tidak akan ada godaan untuk kemudian tiduran sejenak, istirahat sebentar (baca: bangun-bangun ternyata sudah pagi). Dulu, di tempat indekos saya, saya selalu mengetik di tempat tidur yang seringnya membuat saya lebih banyak istirahatnya (ceritanya, sebentar).
Bicara tentang kasur yang ada di foto, ini merupakan sebuah konsekuensi rumah kontrakan juga. Kalau indekos, tentu kita tinggal bawa diri. Kasur, lemari, meja belajar umumnya sudah disediakan. Nah, saat pindah ke kontrakan ini, saya hanya punya lemari plastik warna-warni yang biasanya digunakan untuk tempat menaruh kerudung dan sebuah kasur lipat yang tidak terlalu tebal.
Saat pindah, kasur memang sudah menjadi barang wajib yang akan saya beli. Namun, tertunda karena saya sempat jatuh sakit karena kecapaian pindahan dan akhirnya tidur di kasur lipat yang ada. Setelah baikan, Gita memaksa saya untuk segera membeli kasur yang lebih tebal. Pencarian pembelian kasur ini memakan diskusi panjang di ruang kantor saya yang terdiri dari dua penerbit. Dulu, komposisi orang di ruangan itu masih mudah dipetakan hobinya karena masih sedikit. Saya dan Re masuk kelompok "suka beli" (tapi, tidak suka "jual" seperti Re). Lalu, yang paling menonjol, obrolan popok, ASI, dan makanan sehat untuk bayi didominasi oleh Gita, Alit, dan Tata. Hampir setiap pagi. Tiga ibu-ibu itu sangat kompak dalam obrolan tersebut, belum lagi berbagi laman toko online baju bayi. Saya dan Re--juga Abang--masih senang-senang saja dengan topik itu. Hanya Fial yang sepertinya sangat tersiksa setiap harinya mendengarkan obrolan ibu-ibu itu tak jauh dari seputar "wanita" itu. :))
Hari itu, saya ingat saya seharian mengecek toko online yang menjual kasur, ngecek harga, googling merek kasur apa yang nyaman, dan nyari tempat yang bagus untuk jualan. Gita menyarankan Informa dan saya sudah sempat ke sana, tapi tidak menemukan yang cocok. Gita yang cenderung akan mengeluarkan "meterai" legitimasi untuk usulannya tentang pilihan saya (biar saya yakin 100%) sepertinya sudah menyerah dengan urusan kasur ini. Lalu, diskusi panjang tentang kasur berlangsung antara saya dan Alit--seorang perempuan yang kesabarannya seperti seorang ibu (karena doi emang sudah jadi seorang ibu juga), juga mempertimbangkan ini-itu untuk sesuatu, seperti halnya saya. Ketika berdiskusi dengan Alit, ia akan mulai dengan pertanyaan apa yang saya perlukan, budget, dan sebagainya. Hal-hal detail akan kamu dapatkan saat berdiskusi dengannya.
Saya ingin beli kasur yang 2 in 1 karena rencananya saya mau mencari roommate untuk kontrakan yang cukup besar ini. Jadi, layaknya "ibu kosan", saya juga ingin menyediakan fasilitas biar yang mau tinggal bareng saya tidak susah. Lagi pula, saya cukup tidur di kasur yang ukuran single saja, tidak usah yang ukuran queen atau king. Alit kemudian bertanya, nanti kalau nggak jadi punya roommate, kasur yang satu lagi buat apa? Saya bilang buat kalau ada tamu. Menurut Alit, sebaiknya saya berpikir untuk membeli kasur yang besar sekalian. Tidur saya jadi enak karena tempatnya luas dan saya juga bisa beli yang "lateks" yang bagus untuk tulang punggung. Lalu, saya pun mencari info tentang lateks-something itu dan menemukan bahwa harganya kurang masuk budget. Haha.
Setelah diskusi panjang seharian itu--melibatkan setiap orang yang masuk ruangan tentang pilihan kasur yang nyaman--esoknya orang-orang sudah berpikir saya membeli kasur. Namun, ternyata, saya belum memutuskan beli kasur apa. Akhirnya, saya googling lagi. Lalu, datanglah Koko Jeffri yang baik hati. Ia bilang kalau di Mal Depok sana banyak yang jualan furnitur dan kasurnya bagus-bagus. Ia sempat membeli di sana. Kalau Koko sudah ngomong, saya tak lama berpikir untuk percaya. Koko orang yang detail dan tentunya punya pertimbangan buat sesuatu. Jadilah saya berencana ke mal tersebut. Ternyata, benar. Di sana, banyak pilihan berbagai merek. Oh ya, hari itu, saya ditemani Zulfa. Lalu, bertemulah dengan kasur yang ini. Harganya sesuai dan bagian luar kasur ini bisa dicuci juga.
Hari ini, kasur ini sudah hampir dua tahun bersama saya. Dan, karena kasur ini cukup luas untuk saya, akhirnya ia menjadi pusat kegiatan, terutama untuk mengetik. Saat ini pun, saya mengetik dari tempat tidur. Gagallah rencana untuk punya "ruang kerja" terpisah dari ruang tidur. Meja tulis saya ada di sebelah kasur ini. Teve yang tadinya saya taruh di ruang sebelah, akhirnya dipindah ke ruang tidur ini juga, ditonton dari kasur ini pula. Kasur ini benar-benar jadi pusat semesta rumah kontrakan ini. Bahkan, Wira, suami Gita, berkomentar bahwa ruang tidur ini tak ubahnya seperti kamar indekos saya (dan Gita) dulu. Segala hal dimasukkan ke ruang kamar ini. Di kasur ini kadang penuh dengan barang yang saya anggap perlu diletakkan "dekat" dengan saya, terutama laptop.
Oh ya, foto kasur ini saya ambil saat beres-beres beberapa hari lalu, saat atap kamar ini bocor dan membasahi kasur ini sebagian. Bagian atasnya ternyata sampai sudah hampir kering saat saya mendapatinya saat pulang kantor, meresap ke bawah. Karena hari sudah malam dan tidak mungkin menjemur kasur ini di luar, saya menyalakan kipas di nomor yang putarannya paling kencang, mengganjal bagian kasur ini agar ada ruang di bawahnya, dan mengipasinya sampai pagi. Saya tidur meringkuk di pojokan dengan terpaan kipas angin yang begitu kencang. Hasilnya, besoknya kasurnya kering dan saya sedikit masuk angin.
Begitulah. Kasur ini penuh kenangan, terutama dengan Alit yang selalu mengeluarkan petuah-petuahnya yang bijak. Yang dulu membuka tangan lebar-lebar mengusulkan dirinya sebagai "konsultan" keuangan saya dan menggalakkan "harus menabung" kepada saya. Lalu, tak beberapa lama, sama halnya seperti Gita, Alit yang sabar itu akhirnya menyerah ketika tahu setelah saya janji-janji (palsu) untuk tidak beli hal yang tidak perlu, tiba-tiba saya sudah memesan kerudung di toko online dengan berbagai alasan, plus kaleng-kaleng tidak jelas dari toko tujuh ribuan. :)))
Ah, jadi kangen Alit ada di ruangan kerja lagi. Kangen ocehan tidak jelasnya di balik kubikel pojok karena kerap tidak dapat sinyal wi-fi.
_____
[#16 Proyek #CeritaDariKamar]
No comments:
Post a Comment