Aku bukan
perokok. Bahkan, aku cenderung tidak menyukai asap rokok. Kepalaku cepat pening
ketika terlalu banyak menghirup asap rokok orang di dekatku. Terkadang, kalau
sudah tidak tahan, aku meminta "pengertian" si perokok atas polusi
asapnya. Meski demikian, asbak ini lama tersimpan di salah satu sudut kamarku.
Suatu
hari beberapa tahun silam, saat berkunjung ke Yogyakarta, aku melihat asbak
rokok ini, lalu membelinya dengan riang, oleh-oleh untuk seseorang. Untuk dia,
laki-laki itu.
Laki-laki
itu, dia seorang perokok, termasuk kategori perokok berat. Aku jarang tak
melihat lintingan rokok di jemarinya. Dan, saat menghirup rokok itu, dia akan
asyik dengan kepulan-kepulan asapnya. Cara dia menyelipkan sebatang rokok di
antara telunjuk dan jari tengahnya selalu dengan cara yang sama. Aku pernah
bilang kalau aku tidak suka dia merokok, apalagi merokok di dekatku yang
gampang berkunang-kunang karena asap. Ia kerap memilih duduk di depan pintu
saat menghabiskan rokoknya, menjauhkan asapnya dariku.
Laki-laki
itu, ia kerap sakit kepala dan batuk-batuk, menurutku itu karena dia terlalu
kuat merokok.
Tetapi,
entah bagaimana, terkadang, setelah kami makan bersama, aku malah menanyakan
apakah dia mau merokok dulu, dan aku akan menunggunya dengan tanpa mengeluh.
Bahkan, aku tak keberatan kala asap rokoknya mampir ke hidungku meski aku kerap
bertanya kepada dia, “Rokoknya udahan aja, kamu kan suka sakit kepala begitu.”
Aku tahu
dia suka merokok, dan dia tahu aku tidak suka dia merokok. Sebenarnya, aku
memang lebih senang kalau dia tak merokok.
Lalu,
saat melihat asbak ini, aku membelinya. Aku suka bentuk ikannya, sesuai dengan
bentuk zodiakku, itu alasan sederhananya. Namun, sebenarnya, aku membelikan ini
untuk dia. Laki-laki itu, yang tampak tak bisa lepas dari rokoknya.
Saat aku
kembali dari Yogyakarta, laki-laki itu bercanda menanyakan apakah aku
membawakan oleh-oleh untuknya. Entah bagaimana, aku bilang tidak ada. Tidak
sempat beli oleh-oleh, kataku, padahal tentu saja dia tahu aku pasti tak bisa
singgah hanya sebentar di toko-toko unik di Malioboro sana. Dia lebih sering ke
sana, tentu saja. Aku malah menyodorkannya berbagai syal untuk cewek, oleh-oleh
untuk teman-temanku. Asbak rokok itu masih ada di tas ranselku.
Aku tidak
suka dia merokok, tetapi aku malah membelikannya asbak. Akhirnya, asbak ini
tidak pernah aku berikan kepada dia. Hanya tersimpan dalam bungkusan koran
penutupnya. Lalu, suatu hari setelah sekian tahun lamanya, aku membuka bungkus
korannya, saat laki-laki itu telah pergi.
Laki-laki
itu, yang dia tahu, aku tidak membelikannya oleh-oleh. Yang dia tahu, aku
tidak suka dia merokok.
Yang dia
tahu, aku telah berhenti mencintainya kala dia katakan dirinya akan berhenti untuk
memperjuangkan cinta.
[#4
Proyek #CeritaDariKamar]
No comments:
Post a Comment