Yang ada di foto ini Cipa, keponakanku yang sekarang sudah kelas empat sekolah dasar. Foto ini diambil pada 2005, delapan tahun lalu, saat Cipa lagi hobi berpose dengan memajukan bibir seperti itu. Sebuah hobi yang selalu membuat hati kami bahagia tak habis-habisnya. Cipa yang baru berusia satu tahunan sudah bisa memonyongkan bibirnya, hal itu saja sudah membuat kami gembira dan selalu memintanya mengulang-ulang keahlian barunya itu.
Cipa, ia anak kakak perempuanku, kakakku yang keenam. Gadis kecil yang selalu mau membagi makanannya meski itu potongan terakhir dan terkadang sekilas kau akan tahu dari gerak tangannya bahwa separuh hatinya berat. Namun, separuh lagi begitu kuat hingga ia akan selalu riang dan tampak tak ragu untuk bilang, "Kakak Ani mau permen yang ini?" atau "Ante Wid mau kuenya lagi?" Gadis kecil yang akhirnya mencoba mengerti bahwa ia tak sendiri saat melihat anak kucing sebatang kara, kala sang Ibu meninggalkannya pada usia tiga tahun.
Gadis kecil ini, ia selalu membawa tawa, pengobat hati, sesuai arti Shiva dari namanya.
Lalu, bicara tentang foto ini, aku meletakkannya di tempat tempelan di atas meja tulisku, di antara Post-It pengingat diri, berharap aku bisa melihatnya setiap hari dan menyimpan semangat dari riangnya. Juga untuk tetap mengingatkanku kepada dia yang memotret gadis kecil ini.
Laki-laki itu, suatu hari, ia sangat senang dengan kamera di ponsel terbarunya. Ponsel yang ia dapatkan dari mengumpulkan uang gajinya. Ia memotret dengan riang hampir seluruh anggota keluargaku, kemudian mencetak foto itu. Ia mengantarkan foto-foto itu kepada wajah-wajah yang tercetak di sana, salah satunya foto Cipa ini. Foto yang menggemaskan kala kami melihatnya. Tak habis senyum ketika memandang foto ini.
Laki-laki itu, kau tahu, setelah menyerahkan foto ini, ia bermain ayun-ayunan dengan kakinya, membuai Cipa hingga gadis mungil itu tak henti tertawa. Hari itu, ia tak tampak lelah melandeni canda gadis kecil itu. Sayangnya, aku tak melihat dan tak mendengar langsung gelak tawa mereka. Aku tahu, pasti laki-laki pasti tampak manis dengan tawanya. Kala tertawa, matanya akan menyipit seperti mataku. Dan, ia akan menjelma bocah kecil teman bermain yang tak membosankan bagi Cipa.
Sayangnya, aku tak melihat dan tak mendengar gelak tawa mereka. Hanya mendengar cerita setelahnya.
Lalu, tak beberapa lama setelah ia mencetak foto-foto itu dan mengantarkannya kepada orang-orang yang tercetak di sana, laki-laki itu... ia pergi. Lewat foto itu, ia seakan-akan ingin mengekalkan wajah orang-orang yang ia sayang lewat kamera ponsel barunya. Apakah agar ia pun tidak lupa? Pada 16 Februari 2005, tepat pada hari lahirnya yang ke-19 tahun, ia menjelma kehilangan, membuat sebuah ceruk kosong di hati kami.
Foto ini, ia tak hanya menyimpan kisah gadis kecil yang baru bisa memajukan bibirnya itu. Ia juga menyimpan kisah laki-laki itu, adikku. Ia meninggalkan kami begitu cepat ketika motor yang ia kendarai menyenggol sebuah truk di sebuah perjalanan. Kemudian, yang tersisa hanyalah air mata--meski aku tahu ia tak ingin kami bersedih. Ah, adikku itu, mengenangnya selalu membuat air mataku jatuh. Selalu ada rindu untuknya.
Kau tahu, dahulu, menjelang Lebaran seperti ini, ia akan menyisakan uangnya untukku (kakaknya yang anak kuliahan dan sering terlihat antusias untuk membeli baju baru kala Lebaran). Meski ia tahu bahwa dengan uang itu akan dapat membeli sesuatu yang lain untuknya--seperti Cipa dan makanannya--ia pun tak pernah meragu untuk menyelipkan uang itu di balik tanganku. Adik yang begitu cepat dewasa. Adik yang lebih dahulu meninggalkanku tatkala aku punya banyak janji ini-itu untuk membuatnya bahagia. Janji yang tak sempat terwujudkan.
"Semoga kau bahagia di sisi-Nya, Febri Hermansyah. Semoga doa-doa menjagamu."
[#5 Proyek #CeritaDariKamar]
No comments:
Post a Comment