Penjual Kenangan

Sunday, August 18, 2013

18| Sebuah Penanda Kenangan




Sebuah piala. Saat ini, dengan maraknya berbagi lomba dalam berbagai bidang, piala tampaknya cenderung jarang disertakan dalam hadiah. Tidak sepopuler masa-masa sebelumnya. Tapi, sepertinya di taman kanak-kanak atau sekolah dasar, piala masih banyak digunakan di lomba-lomba, ya? Bahkan, terkadang, sebagai peserta pun, semua siswa TK atau SD diberi piala tanda sebagai peserta. :)

Dengan berpikir secara sangkil dan mangkus dalam era digital saat ini, mungkin opsi piala untuk orang dewasa kerap dikesampingkan sehingga dananya bisa dialokasikan untuk bidang lain. Kalau jadi panitia lomba saat ini, secara praktisnya, saya ikut berpikir bahwa piala mungkin tidak lagi menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu pemenang. Lebih jauhnya lagi, pikiran itu disusupi bahwa terkadang piala hanya akan jadi pajangan yang akhirnya berdebu dan dilupakan. Piala tidak lagi menjadi simbol bagi sesuatu yang diraih. Ia hanya menjadi sebuah benda yang nantinya akan memenuhi dus atau gudang. Simbol dari piala sudah banyak penggantinya. Uang, misalnya?

Namun, apakah benar demikian ataukah itu hanyalah pikiran praktis saya (dan ikut menuduhkannya kepada orang-orang zaman digital saat ini)?

Benda dalam gambar ini merupakan sebuah piala yang saya dapat dalam lomba cerpen yang diadakan oleh sebuah badan penerbitan pers mahasiswa, di Yogyakarta. 
Di piala ini, tertulis: 

Cerpenis Terpilih BALAIRUNG 2004 
WIDYAWATI OKTAVIA
Badan Penerbitan Pers Mahasiswa BALAIRUNG, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Saya ingat kala ikut lomba ini. Saya masih kuliah kala itu dan sedang rajin-rajinnya ikut berbagai lomba cerpen. Sebelumnya, saya sempat ikut beberapa lomba cerpen dan alhamdulillah ada dua buku antologi yang memuat cerpen saya. Hal itu semakin memberi saya semangat untuk terus berkarya dan ikut berbagai lomba.

Untuk lomba yang diadakan di Yogya tersebut, saya menyelesaikan cerpen yang saya kirim itu menjelang lomba. Pemenangnya akan diundang ke Yogyakarta. Saya lupa hadiah apa lainnya. Sepertinya, saya sangat berharap bisa datang ke Yogyakarta kala itu sehingga lupa apa hadiah lain yang dijanjikan. Saya mengirimkan satu cerpen saya, berjudul “Perempuan Tua di Balik Kaca Jendela” dan menunggu pengumumannya dengan dag-dig-dug. Saya lupa apakah waktu itu ada pengumuman resmi atau tidak. Tapi, lama setelah itu, saya sudah melupakan lomba itu. Yah, mungkin belum beruntung. 

Lalu, suatu hari yang hujan, entah bagaimana saya masih ingat, saya mendapat SMS dari panitia lomba bahwa cerpen saya merupakan salah satu naskah terpilih dan ikut dibukukan. Saya sangat senang kala itu meski tidak diundang ke Yogyakarta. Panitia itu bilang dia kebetulan akan ke Jakarta dan membawakan saya berupa cendera mata lomba itu. Saat itu, saya lupa kenapa kami tidak bisa bertemu secara langsung. Yang saya ingat, saya meminta panitia yang baik hati itu menitipkan cendera mata itu di koperasi mahasiswa kampus saya—kebetulan, saya menjadi pengurus kala itu. 
`
Lalu, ketika saya ke kampus, saya mendapati hadiah itu: sebuah buku kumpulan cerita para pemenang (termasuk cerpen saya—meski judulnya salah cetak jadi “Perempuan Tua di Balik Kaca Cendela” :D), sebuah piala, sebuah kaus, dan sebuah buku Plato yang cukup tebal. 

Saya sungguh senang mendapati hadiah itu, apalagi mendapati cerita saya dicetak lagi dalam sebuah buku antologi dan nama saya tertera di piala. Kaus lomba itu diminta seorang teman, buku berjudul Plato itu sempat saya baca dan sempat pula beredar ke temannya-teman dari jurusan filsafat yang pastinya cocok sekali dengan buku itu. Meski bukan my cup of tea (seperti istilah orang-orang), buku itu menjadi salah satu buku kesayangan saya. Ada kenangan bersamanya. 

Nah, piala ini pun meski terkadang saya abaikan, ia menjadi sesuatu yang melihatnya mengembalikan banyak ingatan di benak saya. Ia sudah ikut berkali-kali pindah bersama saya. Pada saat pindah ke indekos saya di dekat gerbang Selamat Datang Kota Depok, bagian atasnya yang berbentuk bulat lepas dan belum sempat saya lem kembali. Dan, saya menyimpannya entah di mana. Berkali-kali pindah dengan barang yang cukup banyak terkadang membuatmu menyimpan barang-barang terlalu tersembunyi sehingga terkadang malah jadi terlupakan. 

Piala ini, ia saya letakkan di atas kotak warna-warni di kamar saya. Sebenarnya, tempatnya kurang pas. Harusnya, ia berada di bufet atau di meja khusus pajangan. Tapi, karena tidak ada tempat khusus, dari atas lemari kayu di kamar indekos saya yang lama, ia berpindah ke atas kulkas, lalu ke lemari plastik warna-warni di kamar yang sekarang.

Saya terkadang melupakannya, tetapi sebagai penanda, ia berfungsi begitu baik. Piala ini, meski saya tidak tertulis sebagai juara 1, 2, atau 3, melihat nama saya tertera saja membuat saya tersenyum. Selain karena saya begitu menggemari hal yang berbau kenangan, di balik tera di piala itu, ada hal yang lebih besar. Ada kegembiraan yang ia simpan dalam warna biru dan plakat emasnya. Ada semangat juga yang tersimpan di sana. Juga sebuah kebanggaan yang melahirkan semangat itu, yang semakin memacumu untuk menjadi lebih baik lagi. 

Kala kau sedang lelah dan mungkin saja sempat hilang harapan untuk berkarya, misalnya, ia bisa menjadi sebuah mesin waktu bagimu, mengingatkan dirimu bagaimana kau dulu meraihnya, bagaimana dulu kau kerahkan waktu untuk “bersaing” menjadi “yang terpilih”. 

No pain, no gain. Begitu bukan yang disebut orang-orang? Ya, tentu saja, kalau kita menginginkan sesuatu, kita harus berusaha meraihnya. Akan selalu ada harga untuk setiap yang kita lakukan.

Ah, tampaknya, sebuah penanda yang berbentuk fisik masih belum tergantikan oleh hal-hal yang berbau digital itu, yang terkadang bisa hilang karena kesalahan teknis dan sebagainya. Piala ini seakan mengingatkan saya. Bagi saya, sebuah momen membutuhkan penanda, yang juga bisa mewujud menjadi kenangan, agar benak kita yang pelupa memiliki mesin waktunya dan mampu menelusuri kembali masa lalu. Tulisan ini pun lahir karena melihat wujud sebuah piala yang saya simpan, sebuah penanda kenangan bagi saya. Lalu, bagaimana dengan uang yang saya sebut di awal? Uang, mungkin ia bisa membeli banyak hal, tetapi tentu ia tak bisa membeli kenangan.

Nah, bagaimana denganmu? Apakah kamu yang termasuk menyimpan sebuah penanda bagi momen-momen dalam hidupmu?
 
___

[#18| Proyek #CeritaDariKamar]  
 

No comments:

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin