Penjual Kenangan

Tuesday, August 06, 2013

#6| Sebuah Tanda Perpisahan




Yang ada di gambar ini adalah sebuah tanda perpisahan. Pada 2011 silam, setelah bekerja sebagai editor selama dua tahun di sebuah penerbit (setelah sebelumnya malang melintang ke beberapa penerbit lainnya) dan merasa "inilah tempatnya", saya memutuskan keluar dari zona zaman itu dan memutuskan menerima sebuah pekerjaan lain. Pekerjaan yang katanya impian banyak keluarga, terutama orangtua. Menjadi abdi negara. Saya ditempatkan di sebuah kantor cabang sebuah dinas di tempat yang bernama Serang. 

Saat memutuskan menerima pekerjaan itu, merupakan sebuah dilema bagi saya. Meninggalkan Jakarta, orang-orang terdekat, juga pekerjaan yang saya sukai di kota ini, merupakan sebuah langkah besar yang perlu pertimbangan matang. Keluar dari zona zaman untuk bertualang ke sebuah daerah yang belum saya kenal. Namun, saat berpikir bahwa tempat itu hanya sekitar tiga jam dari Jakarta dan  melihat binar mata keluarga saya—karena pekerjaan ini katanya merupakan sebuah peluang untuk masa depan (pikir banyak orang)—akhirnya saya memberanikan diri untuk mengundurkan diri dari pekerjaan saya saat itu, lalu bersiap pindah ke ibu kota Provinsi Banten itu.

Saat perpisahan di kantor, yang saya pikir untuk selamanya itu, beberapa teman di kantor penerbit yang berbentuk rumah di bilangan Jalan Haji Montong Jakarta Selatan itu, termasuk Zulfa—sahabat sekaligus rekan kerja saya—memberikan kejutan. Mereka memberikan tanda perpisahan untuk saya. Dari Zulfa, saya mendapat hadiah yang saya impi-impikan lama (haha, kayaknya banyak hal yang selalu saya impikan, ya? :p). Hadiah yang diberikan Zulfa ini sebelumnya memang sering saya intip-intip di laman web produsennya. Sebuah alas laptop yang katanya sudah go international. Sebagai seseorang yang tak bisa lepas dari laptop dan suka duduk lesehan, alas laptop ini menjadi sebuah benda penting. Mengetik di tempat tidur dan sambil tiduran pun jadi nyaman.

Ternyata, Zulfa bersusah payah mencarikan benda ini sampai ke mal di daerah Lebak Bulus sana karena tahu bahwa saya sangat ingin punya alas laptop dengan merek ini. Zulfa memang orang yang kerap memberikan kejutan dan mengusahakan yang terbaik untuk orang-orang sekitarnya. Seorang sahabat yang mampu mendengarkan berbagai kisahmu, dan menyelipkan banyak semangat untukmu, sementara ia sendiri begitu tegar dalam meredakan resah hatinya. 

Saat itu, berteman selama kurang dari dua tahun dengan Zulfa, ia telah menjadi salah satu orang yang istimewa di sudut hati saya. Sedih ketika berpikir akan berpisah dengannya saat saya mengundurkan diri. Kala itu, salah satu yang membuat saya senang adalah Zulfa akan menempati kubikel pojokan yang sebelumnya saya tempati. Masih akan ada ikatan di antara kami.

Tak terasa, alas laptop ini sudah lebih dari dua tahun bersama saya. Sudah sempat saya bawa ke tempat indekos saya di kota baru itu. Kala itu, tentu saja, saya berpikir akan banyak menggunakan alas laptop ini karena akan lebih banyak menghabiskan waktu menulis di kota itu, setelah pulang kerja pada pukul tiga atau empat sore di kota yang mataharinya cukup terik itu.

Ya, salah satu alasan kuat saya menerima pekerjaan itu adalah saya akan punya banyak waktu untuk mewujudkan impian menulis banyak buku. Dengan waktu kerja yang “luang”, pasti akan banyak waktu untuk menulis dan tentu saja tetap mengedit sebagai penulis lepas. Sebuah pekerjaan yang katanya “tidak berat” dan dijamin pada masa tua, pekerjaan yang diimpikan banyak orang.

Namun, kau tahu, ternyata, hidup berkata lain. Tak sampai dua bulan tinggal di kota baru itu, bahkan barang-barang saya belum saya bawa semua ke rumah yang sudah saya kontrak—dan sudah dicat kembali dengan warna favorit saya—saya akhirnya kembali lagi ke Jakarta. Kembali pulang ke “rumah” di Jalan Montong. Bertemu kembali dengan orang-orang yang sama di “rumah” itu, tentu saja dengan pandangan penuh tanya mereka atas “kedatangan” saya kembali.

Salam perpisahan telah diucapkan, tanda perpisahan pun sudah saya terima. Namun, mereka kembali menemukan saya datang dan pergi ke kantor itu setiap hari kerja. Hanya saja, kali ini, dulunya, setelah saya absen di meja resepsionis, saya akan belok kiri ke ruang kantor di belakang resepsionis itu. Kali ini, setelah absen, saya akan naik tangga ke lantai dua, ke ruang kerja saya yang baru.

Ya, saya kembali bekerja ke kantor lama saya. Saya hadir kembali di rumah itu, yang menjadi tempat aktivitas sebuah kelompok penerbit, tetapi di penerbit yang berbeda dengan yang sebelumnya. Dan, setelah kembali ke sana, saya kerap mampir ke pojokan kubikel lama saya di ruang belakang resepsionis, untuk sekadar menyapa teman-teman di "kantor" lama saya, ataupun bercerita panjang kepada Zulfa di kubikel pojoknya. Itu sungguh sebuah kepindahan yang sebelumnya tidak ada dalam rencana di benak saya. Meski kepindahan itu penuh dilema, ia seperti berjalan begitu saja bagai mengikuti garis takdir. Saya pergi. Saya kembali. 

Ternyata, saya pergi untuk kembali.

Hidup itu menarik, ya? 
Penuh kejutan, kata seseorang yang kepadanya pernah saya titipkan cinta. :)


p.s. terima kasih atas tanda perpisahannya, zul. sangat berarti dan tak terlupakan. :D

________

[#6 Proyek #CeritaDariKamar], diposting sambil nungguin cucian selesai di mesin cuci. *penting* 


No comments:

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin