Yang ada
di gambar ini adalah sebuah tanda perpisahan. Pada 2011 silam, setelah bekerja sebagai editor selama dua tahun di sebuah penerbit (setelah sebelumnya malang melintang ke beberapa penerbit lainnya) dan merasa "inilah tempatnya", saya memutuskan keluar dari zona
zaman itu dan memutuskan menerima sebuah pekerjaan lain. Pekerjaan yang katanya impian banyak
keluarga, terutama orangtua. Menjadi abdi negara. Saya ditempatkan di sebuah
kantor cabang sebuah dinas di tempat yang bernama Serang.
Saat
memutuskan menerima pekerjaan itu, merupakan sebuah dilema bagi saya.
Meninggalkan Jakarta, orang-orang terdekat, juga pekerjaan yang saya sukai di
kota ini, merupakan sebuah langkah besar yang perlu pertimbangan matang. Keluar
dari zona zaman untuk bertualang ke sebuah daerah yang belum saya kenal. Namun,
saat berpikir bahwa tempat itu hanya sekitar tiga jam dari Jakarta
dan melihat binar mata keluarga saya—karena pekerjaan ini
katanya merupakan sebuah peluang untuk masa depan (pikir banyak orang)—akhirnya
saya memberanikan diri untuk mengundurkan diri dari pekerjaan saya saat itu,
lalu bersiap pindah ke ibu kota Provinsi Banten itu.
Saat
perpisahan di kantor, yang saya pikir untuk selamanya itu, beberapa teman di kantor penerbit yang berbentuk rumah di bilangan Jalan Haji Montong Jakarta Selatan itu,
termasuk Zulfa—sahabat sekaligus rekan kerja saya—memberikan kejutan.
Mereka memberikan tanda perpisahan untuk saya. Dari Zulfa, saya mendapat hadiah
yang saya impi-impikan lama (haha, kayaknya banyak hal yang selalu saya
impikan, ya? :p). Hadiah yang diberikan Zulfa ini sebelumnya memang sering saya
intip-intip di laman web produsennya. Sebuah alas laptop
yang katanya sudah go
international. Sebagai seseorang yang tak bisa lepas dari laptop dan suka
duduk lesehan, alas laptop ini menjadi sebuah benda penting. Mengetik di tempat
tidur dan sambil tiduran pun jadi nyaman.
Ternyata,
Zulfa bersusah payah mencarikan benda ini sampai ke mal di daerah Lebak Bulus
sana karena tahu bahwa saya sangat ingin punya alas laptop dengan merek ini.
Zulfa memang orang yang kerap memberikan kejutan dan mengusahakan yang terbaik
untuk orang-orang sekitarnya. Seorang sahabat yang mampu mendengarkan berbagai
kisahmu, dan menyelipkan banyak semangat untukmu, sementara ia sendiri begitu
tegar dalam meredakan resah hatinya.
Saat itu, berteman
selama kurang dari dua tahun dengan Zulfa, ia telah menjadi salah satu orang
yang istimewa di sudut hati saya. Sedih ketika berpikir akan berpisah dengannya
saat saya mengundurkan diri. Kala itu, salah satu yang membuat saya senang
adalah Zulfa akan menempati kubikel pojokan yang sebelumnya saya tempati. Masih
akan ada ikatan di antara kami.
Tak
terasa, alas laptop ini sudah lebih dari dua tahun bersama saya. Sudah sempat saya
bawa ke tempat indekos saya di kota baru itu. Kala itu, tentu saja, saya
berpikir akan banyak menggunakan alas laptop ini karena akan lebih banyak
menghabiskan waktu menulis di kota itu, setelah pulang kerja pada pukul tiga
atau empat sore di kota yang mataharinya cukup terik itu.
Ya, salah
satu alasan kuat saya menerima pekerjaan itu adalah saya akan punya banyak waktu
untuk mewujudkan impian menulis banyak buku. Dengan waktu kerja yang “luang”,
pasti akan banyak waktu untuk menulis dan tentu saja tetap mengedit sebagai
penulis lepas. Sebuah pekerjaan yang katanya “tidak berat” dan dijamin pada
masa tua, pekerjaan yang diimpikan banyak orang.
Namun,
kau tahu, ternyata, hidup berkata lain. Tak sampai dua bulan tinggal di kota
baru itu, bahkan barang-barang saya belum saya bawa semua ke rumah yang sudah
saya kontrak—dan sudah dicat kembali dengan warna favorit saya—saya akhirnya
kembali lagi ke Jakarta. Kembali pulang ke “rumah” di Jalan Montong. Bertemu
kembali dengan orang-orang yang sama di “rumah” itu, tentu saja dengan
pandangan penuh tanya mereka atas “kedatangan” saya kembali.
Salam
perpisahan telah diucapkan, tanda perpisahan pun sudah saya terima. Namun,
mereka kembali menemukan saya datang dan pergi ke kantor itu setiap hari kerja.
Hanya saja, kali ini, dulunya, setelah saya absen di meja resepsionis, saya
akan belok kiri ke ruang kantor di belakang resepsionis itu. Kali ini, setelah
absen, saya akan naik tangga ke lantai dua, ke ruang kerja saya yang baru.
Ya, saya
kembali bekerja ke kantor lama saya. Saya hadir kembali di rumah
itu, yang menjadi tempat aktivitas sebuah kelompok penerbit, tetapi
di penerbit yang berbeda dengan yang sebelumnya. Dan, setelah kembali ke sana, saya kerap mampir ke
pojokan kubikel lama saya di ruang belakang resepsionis, untuk sekadar menyapa
teman-teman di "kantor" lama saya, ataupun bercerita panjang kepada
Zulfa di kubikel pojoknya. Itu sungguh sebuah kepindahan yang sebelumnya tidak
ada dalam rencana di benak saya. Meski kepindahan itu penuh dilema, ia seperti
berjalan begitu saja bagai mengikuti garis takdir. Saya pergi. Saya
kembali.
Ternyata,
saya pergi untuk kembali.
Hidup itu
menarik, ya?
Penuh
kejutan, kata seseorang yang kepadanya pernah saya titipkan cinta. :)
p.s.
terima kasih atas tanda perpisahannya, zul. sangat berarti dan tak terlupakan.
:D
________
[#6
Proyek #CeritaDariKamar], diposting sambil nungguin cucian selesai di mesin cuci. *penting*
No comments:
Post a Comment