lagi nyari-nyari file di kompi, malah nemu file ini. hehe. ini dibikin buat majalah Gaung--majalahnya anak Sastra Indonesia FIB UI--dengan tema "Penghargaan dalam Sastra Indonesia", tapi waktu itu belum sempet terbit lagi. jadi, cuma ngendon di kompi saya. tertanda di kompi saya, 13 September 2005. hehe.
oh, iya, inget waktu itu ada kejadian yang agak bodoh (atau malu2in). :p
kejadiannya, waktu lagi wawancara ke rumah sitok (srengenge). ceritanya, kalau ga salah, waktu itu saya, gita, ma andri yang ke sana. naik ojek. ujan-ujan juga klo ga salah. (lupaaa, itu udah lebih dari lima tahun lalu ya?).
jadi, waktu wawancara sitok, beliau bilang ga usah direkam, diinget aja. terus, kami mengamini. tapi, karena saat itu banyak yang disampein dia, dan ngerasa kapasitas otak (saat itu) masih terlalu kecil buat mengingat semuanya, saya berinisiatif (diam-diam) menyalakan tape recorder--kayaknya atas usul gita ma andri juga de. :p
lalu, bodohnya, kami tidak melihat cermin yang ada di dinding rumah sang narasumber. lalu, hiks, "nggak usah direkam," kata yang empunya rumah. dan, tau kan gimana kagetnya waktu kita ketauan melakukan suatu hal secara diam-diam? hiks. kaget dan malu. hahaha.
MEREKA BICARA: PENGHARGAAN DALAM SASTRA
Akhir-akhir ini, penghargaan dalam Sastra Indonesia semakin banyak ragamnya. Bahkan, ada komunitas yang memberi penghargaan pada orang yang ada dalam komunitas itu sendiri. Dari mereka untuk mereka.
Sebenarnya, tradisi “award” dalam dunia Sastra Indonesia sudah ada sejak dulu. Tahun 50-an, misalnya, ada Hadiah BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional), salah satu penerimanya, antara lain, Pramoedya Ananta Toer. Tahun 60-an, ada Hadiah Yamin (Yamin Foundation). Selain itu, ada juga Hadiah Sastra Chairil Anwar yang diberikan Dewan Kesenian Jakarta, penerimanya antara lain Mochtar Lubis dan Sutardji Calzoum Bachri.
Saat ini, salah satu penghargaan yang cukup bergengsi dalam Sastra Indonesia adalah Penghargaan Khatulistiwa Award yang digagas oleh Richard Oh. Beberapa pemenangnya adalah Remy Sylado (Kerudung Merah Kirmizi), Hamsad Rangkuti (Bibir dalam Pispot), Seno Gumira Adjidrama (Negeri Senja), dan Linda Christanty (Kuda Terbang Maria Pinto). Lalu, ada Hadiah Sastra Lontar—seperti namanya, yang memberikan hadiah ini adalah Yayasan Lontar atau The Lontar Foundation. Joko Pinurbo (kumpulan sajak Celana) dan Gus Tf Sakai (kumpulan cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta) merupakan dua di antara para pemenangnya.
Mengenai banyaknya penghargaan dalam sastra Indonesia akhir-akhir ini, apa pendapat orang-orang yang banyak berkecimpung dalam dunia Sastra Indonesia?
Ayu Utami—Penulis
“Setiap penghargaan itu selalu bagus ya, memberi tenaga kepada masyarakat. Masyarakat tetap butuh otoritas-otoritas tertentu yang mengatakan sesuatu itu bagus atau tidak. dengan adanya otoritas ini, dia memberi energi perkembangan sastra.”
Dampaknya untuk dunia sastra?
“Dengan demikian, dengan adanya energi, maka seperti mesin, dia jalan. Membuat orang semakin banyak orang tertarik untuk mengapresiasi dan nulis. Probabilitas untuk sastra yang bagus semakin besar.”
Yanusa Nugroho —Penulis
“Tentu saja, jawaban saya, baik sebagai penulis fiksi, maupun sebagai manusia awam, berbahagia sekali melihat banyaknya hadiah sastra. Sebagaimana kita ketahui, hadiah sastra yang ada saat ini begitu beragam; baik cerita maupun jumlah hadiahnya. Apalagi, di bidang sastra daerah, kita juga mengenal ada hadiah sastra Rancage di Jawa Barat, yang memberikan hadiah bukan hanya kepada sastrawan berbahasa Sunda. Pak Suparto Brata (Jawa) pernah mendapat penghargaan tersebut. Jadi, ya, bahagia sekali, di zaman ‘edan’ begini masih ada orang yang mau meluangkan waktu, memberi gairah dan penghargaan ke dunia sastra.”
Sapardi Djoko Damono—Sastrawan, Akademisi
“Mendorong orang-orang untuk menulis secara kreatif. Dan, menghargai.”
Dampak penghargaan terhadap Sastra Indonesia?
“Tergantung kesusastraan itu karena menang belum tentu diikuti orang dan yang tidak menang belum tentu diikuti orang. Yang dihargai, pencapaian penulisan seseorang. Jadi, dampaknya bukan pada kreativitas seseorang, melainkan terhadap profesi pengarang. Profesi kepenyairan atau kepujanggaan itu dihargai lagi. Hal itu memperlihatkan menjadi pengarang tidak sia-sia karena dihargai. Hadiah untuk profesi, bukan untuk orangnya. Mungkin bisa berdampak juga pada penjualan buku ada pengaruhnya. Mendorong orang-orang untuk membeli buku. Dan, penjualan itu dampaknya macam-macam, misalnya membuat orang-orang ingin menulis. Yang kita perlukan adalah penghargaan untuk yang muda, seperti yang dulu pernah diadakan DKJ. Namun, prosesnya itu mahal.”
Melani Budianta—Akademisi
“Buat saya sebagai akademisi makin banyak penghargaan makin baik. Semakin banyak semakin banyak diversifikasi. Meski banyak cara-caranya, tidak menjadi masalah. Itu hanya perbedaan cara, masalah selera. Kebutuhan (diakui, red) pasti ada. Tidak perlu dilihat sebagai hal yang negatif. Karena waktu yang akan menguji dan masyarakat yang menilai. Penilaian sastra tidak lepas dari selera. Berpulang pada cita rasa.”
Dampak penghargaan terhadap Sastra Indonesia?
“Jika pengarang dapat dukungan, kehidupan kesusastraan makin sehat. Namun, ini relatif. Hal ini juga merupakan kritik sastra. Dalam hal ini, ada apresiasi sastra, menguji penilaian kita. Menghidupkan melatih apresiasi kritik sastra (dengan adanya debat), berargumentasi. Keterbacaan semakin kuat. Sastra mendapat tempat dalam masyarakat dengan adanya penghargaan. Apa yang dilakukan pengarang dihargai dianggap penting.”
(Reporter: Iwied, Gita, Andri, Risia, Yuna, Fifi, Nulur [13/09/05])
#i owe the pic!#
No comments:
Post a Comment