Penjual Kenangan

Friday, May 27, 2011

Luka





Kau mengetuk pintu rumahku, tidak keras, hanya perlahan. Entah ketukan keberapa aku baru mendengarnya, entah berapa lama kau sudah berada di sana; aku tak tahu.
 
Kau, aku masih mengenalimu meski beribu-ribu masa telah menyamarkan wajahmu.

"Aku singgah," katamu memulai. Lalu terdiam dalam jeda yang begitu lama. Tanganmu resah dengan sebuah tas tua di bahumu. "Aku singgah," katamu lagi. 

Apa kau berharap aku menyambutmu dalam peluk hangat dan isak penuh kerinduan? Begitukah?

Kita kembali dalam jeda yang sangat lama. Aku hanyut dalam diam; seketika mengulang kembali sebuah kisah cinta dalam benakku: benarkah itu kita yang berbagi tawa? Terlalu samar wajah mereka. Bukan kita, aku rasa. Bukankah hanya luka-luka yang menggurat dalam langkah kita?

Dan, kau tahu, langkahmu pun masih selalu meninggalkan jejak luka di sini. Terlalu dalam jejaknya. Tahun-tahun pun menyerah untuk membesarkan hatinya, atau sekadar membuatnya lupa.

"Aku singgah," katamu. Bahumu semakin jatuh, tampak terlalu berat dibebani tas tua di bahumu itu. Bukankah sudah kusarankan agar kau campakkan ia?di ujung dunia, jika bisa, agar ia tak lagi temukan jalan kembali bersamamu, dan membeban di bahumu.

Kau menatapku lekat, seolah membiarkan aku membaca gurat-gurat kisah yang selalu kau sembunyikan, bahkan dari dirimu sendiri. Di matamu, di sana kau selalu menyimpannya, mencoba merahasiakannya.
Kau, ya, aku masih mengenalimu meski beribu-ribu masa telah menyamarkan wajahmuah, beribu-ribu bulir air mata, tepatnya.

"Ya," katamu, "aku singgah lagi. Dan masih luka yang kubawa dalam tas tua ini. Maafkan."

Lalu, kau menghilang dalam satu lagi hari yang menyenja. Meninggalkan satu lagi jejak luka di halaman rumahku.

"Jangan singgah lagi," ucapku, "pun jika cinta yang kau bawa."

Kau tak berpaling, tahu bahwa kau tak akan pernah bisa (lagi) membawakanku cinta.

Cinta, kita sama-sama menjadi saksi mata tanpa alibi untuk menyelamatkan diri, telah kita campakkan pada suatu masatanpa memberi kesempatan baginya, bahkan untuk menyampaikan sebuah pledoi sederhana: "bukan aku yang membawa luka," katanya, "ia lahir dari rahim yang bernama 'tak percaya', bukan dari rahimku." Pembelaannya tak pernah kau-aku dengarkan.

"Kalian saja yang bodoh," tambahnya.

Kita gelap mata. Lalu, dengan membabi buta, kita patahkan lehernya dan kita benamkan iake neraka.

Di sanalah ia kini berada,
yang dahulu kita namakan cinta.


#i owe the pic!#

3 comments:

pitzputz said...

..dan aku singgah, bukan untuk mengabarkan luka yang berat ku pikul kemana-mana, namun untuk mengatakan bahwa aku teramat suka, sungguh suka dengan postingannya :-D

Gloria Putri said...

suka postingannya niiii :) ni ttg mantan pacar yg tiba2 muncul lg bukan? #menebak_nebak

penjual kenangan said...

@pitzputz: sungguh menyenangkan apa yg kau bawa. *buka pintu lebar2* tp klopun yg kau bawakan luka, mari kita cari cara untuk mengenyahkannya. :p
makasii sudah singgah, pitzputz, membuat hari mewarna bahagia. ^^

@gloria: semoga bukan suka krn teringat ada yg bawakan luka juga, gloria. ;)
soal tebakan, hhm, kalau begitu, marilah kita dedikasikan ini untuk (para) mantan--yang berniat membawakan luka. haha. *sambil robek2 diari* :p

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin