Mulai mengalami insomnia lagi. Oh, no! :(
Malam ini sudah dini hari—dan meski sudah berusaha memejamkan mata dengan sedemikian rupa plus minum susu cokelat—aku masih saja tidak bisa tidur. Semakin mata dipejamkan, semakin pikiran menjejak ke mana-mana. Kadang terjebak ke tempat yang tak tepat. Kali ini, aku ingat masa kecilku di kampung halamanku di Pariaman sana. Aku menghabiskan delapan tahun usiaku di sana, sampai kelas dua SD sebelum akhirnya gadis kecil lucu, imut, tembam, dan memiliki tatapan sangat polos itu :p (tak sadar) merantau ke Jakarta hingga saat ini. Urang rantau. Namun, sayangnya, dalam masa usiaku sampai kurang lebih delapan tahun itu, tidak banyak yang bisa kurekam.
Tapi, ingatanku masih cukup kuat tentang seseorang di kampung kami itu. Iwan, namanya. Dia lebih tua daripada aku—seumuran kakak laki-laki di atasku, sekitar beda dua-tiga tahunan denganku. Iwan lumpuh sejak kecil. Dan, ah, dengan mudahnya sebutan Iwan Lumpuah—Iwan Lumpuh—melekat padanya ketika orang-orang merujuk kepadanya. Kakinya mengecil dan sama sekali tidak bisa digunakan. Namun, seingatku, tangannya berfungsi dan dia menggunakan tangan itu sebagai pengganti kaki. Bahkan, aku ingat sekali bahwa saat berjalan dengan tangan itu, tangannya diberi alas sandal. Saat aku kecil, aku sering main ke lingkungan rumah mereka yang berada di ujung desa kami. Ujung Tanjung, namanya.
Meski lumpuh, Iwan menjalani hidupnya seperti anak-anak lainnya, ikut bermain bersama kami. Main gundu, main ayunan, dan sebagainya. Dia berjalan dengan beringsut dengan bantuan tangannya. Gerakannya cepat. Kaki dan celananya selalu dikotori tanah, tetapi dia selalu aktif ikut bermain ataupun sekadar jadi suporter. Sedih membayangkannya. Sayangnya, tampaknya, saat aku kecil itu, aku tidak terlalu penasaran bagaimana perasaan Iwan dengan keadaannya. Bagaimana kisahnya dan semacamnya. Maaf, tampaknya, kala itu, aku cuma bocah kecil yang beriang-riang bermain dan terkadang takjub dengan kemampuan Iwan ikut serta bermain bersama kami.
Suatu hari, beberapa tahun silam, aku sedang mengobrol dengan Amak—ibuku—yang sedang ke Jakarta. Aku menanyakan kabar orang-orang di kampung kami—yang kebanyakan sudah tidak berada di rumah mereka lagi. Sebagian mereka—lumrahnya orang Minang—merantau ke segala penjuru arah.
Lalu, aku teringat Iwan kala dalam percakapan kami itu.
"Kalau Iwan, Mak, di mana sekarang?" tanyaku.
"Oh, ikut sanaknyo," kata Amak, "jadi kasir di rumah makan."
Aku lupa di mana tempatnya, entah di Pekanbaru atau di Baturaja karena di sana cukup banyak juga orang-orang kami merantau. Kata amak, di rumah makan itu, Iwan dibuatkan kursi tinggi di belakang meja kasir khas di rumah makan ala Padang itu—dengan meja yang biasanya setinggi dada pelanggan. Jadi, dia duduk di sana melayani pembayaran pembeli. Yang terlihat dari luar hanya sebatas dada sampai kepala. Sudah tumbuh dewasa pasti tetangga kami di kampung itu.
Ah, aku jadi ingat lagi. Sejak kecil, Iwan sering mendapat jatah zakat pada Hari Raya. Dia sudah yatim piatu sejak yang aku tahu, sering ikut tinggal bersama sanak saudaranya. Dan, terakhir yang aku ingat, dia tinggal bersama nenek jauhnya di Ujung Tanjung itu. Namun, dia sering pergi ke sana kemari—sepertinya, kadang tinggal di surau juga untuk menimba ilmu agama—dan sesekali pulang kampung sana, dan tinggal dalam waktu cukup lama.
"Suatu hari," aku teringat cerita Amak lagi. "Suatu hari saat Iwan jaga di kasir," kata Amak. "Lalu, ada peminta-peminta di luar rumah makan itu. Masih muda. Masih sehat bana badannya.” Begitu cerita Amak—pasti Amak juga mendengar cerita itu dari orang lain.
Amak bilang, peminta-minta itu berdiri lemas di depan rumah makan itu, menunggu belas kasihan. Lalu, Iwan yang lumpuh sejak kecil itu turun dari kursinya, keluar dari meja kasirnya, mendekati pengemis itu untuk memberinya uang. Namun, tiba-tiba saja, pengemis itu langsung beranjak pergi tanpa melihat lagi. Tanpa mengambil uang yang diangsurkan Iwan, yang sudah berbaik hati menghampirinya ke depan rumah makan.
Kata Amak, kondisi Iwan masih seperti dulu, dengan kaki yang benar-benar tak bisa difungsikan apa-apa. Namun, aku lupa bertanya, bagaimana cara Iwan berjalan sekarang? Apakah masih beringsut dengan kedua tangannya itu ataukah sudah pakai penyangga. Apakah dia beringsut mendekati peminta-minta yang--katanya--sehat bana badannya itu? Jika, ya, bisa dibilang, sungguh sial hari sang Peminta-minta tersebut pada kala itu. Tapi, aku lupa menanyakannya kepada Amak. Namun, kalau pakai penyangga, tidak mungkin juga dia bisa menopang tubuhnya dan berjalan. (Nanti aku tanyakan lagi kepada Amak tentang ini).
Begitu mencelos hatiku mendengar kisah Iwan dan pengemis itu…. Iwan yang lumpuh masih bersemangat bekerja. Bersemangat dengan hidup yang diberikan Tuhan kepadanya. Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu untuk dia. Seingatku, wajahnya selalu ceria. Bersemangat. Merasa cukup dengan dirinya. Dengan hal yang dia punya dan dia dapatkan.
Sementara aku, terkadang masih saja merasa tidak cukup dengan segala yang aku punya. Padahal, lengkap semuanya. Dan, berlebih sangat banyak karunia yang aku dapatkan. Tak terhitung jumlahnya. Dengan segala karunia-Mu yang ada, ah, aku masih saja melupa.
Maka, nikmat-Nya mana lagi yang akan kita dustakan?
Astagfirullahalazim...
[Margonda Raya, 03:30]
#i owe the pic!
2 comments:
baca postingan ini bikin aq makin bersyukur dengan kehidupan yang aq punya :) thx 4 share ya :)
@gloria: sama2, gloria. :) iyah, kadang sering lupa dan merasa have big problem, padahal cuma "hal kecil" dibandingkan dg orang2 spt itu..
Post a Comment