kau pernah mendengar kisah pipit yang (pernah) jatuh cinta kepada angin utara? angin utara yang katanya juga jatuh cinta kepada pipit kecil, tetapi berkali-kali menjatuhkan helai-helai bulu rapuh pipit kecil dalam pusaran arahnya. yang pernah mencoba menantang takdirnya.
pipit kecil itu mencoba mengepakkan sayapnya yang semakin luruh, dan menunggu kelam datang sebelum pulang ke sarang, agar dia tak bertemu dengan angin utara. mereka tak ditakdirkan bersama. ya.
sudahlah, toh, memang bukan mereka yang menggenggam takdir, bukan?--telah dia khatamkan kisah itu.
lagi pula, dia juga sudah sampaikan kepada angin utara, tak semua harapannya harus mewujud dalam nyata. harapan yang tak mewujud, sudahlah, kita purukkan saja dia ke dalam karung kenangan, yang akan dilemparkan ke perapian. tak semua harus berada dalam genggaman pada saat yang sama, katanya. kenangan, dia akan selalu lepas dari genggaman. dan tentu harus kita tinggalkan di belakang sana. pilihan, mereka menyebutnya--itu yang harus kau rekatkan erat dalam genggaman.
tapi, kau tahu, angin utara (selalu) menunggunya di persimpangan, dan membawakan kisah-kisah cinta. "kau memiliki setiap sudut dalam sesuatu yang dinamakan renjana dalam diriku, melebihi segalanya," lirih angin utara kepada pipit kecil, lalu menghilang dalam pusaran arahnya. dan, tak pernah mengantarkan pipit pulang ke sarangnya. membiarkan pipit kecil membawa luka, tetapi tetap mengintai terbangnya.
selalu ada cinta untukmu pipit kecil, lagunya selalu dititipkan pada nyiur-nyiur yang tak akan pernah bisa lama merahasia. selalu kusimpankan potongan besar renjana untukmu, ucapnya seperti merapalkan mantra.
dan, kau tahu, setiap kata dalam mantra itu selalu menjelma luka dalam sayap pipit kecil, yang mencoba tak lagi rapuh meski sayap-sayapnya luruh beberapa. menjelma luka, yang tak samar. tetapi, jangan berikan tatapan duka dalam itu, kau tahu, pipit kecil pun menolak menukarkan hidupnya, sekalipun dengan raja-raja.*
aku membenci mantra-mantra, telah diucapkan pipit kecil secara jelas kepadanya. mengaraklah ke arahmu, ke arahmu dan bayanganmu untuk ditakdirkan bersama.
suatu hari, pipit itu tidak sedang terbang jauh dari sarangnya. lukanya belum terlalu sembuh (tapi, sayap-sayap kecil baru muncul di tubuhnya. tumbuh satu setiap dia menyimpan satu luka).
lalu, saat kembali, dia menemukan sarangnya telah hancur, merepih-repih di antara kerisik. jelas, dia menangkap sosok yang sengaja untuk menghancurkan sarangnya. berdiri menghadangnya. pipit kecil terpaku dalam mata dingin yang coba dia sembunyikan dalam sayap kecilnya.
dan, kali ini, dia tak hanya diminta menyimpan luka, juga diminta merahasia.
merahasia tentang sarang yang telah hancur, merepih-repih di antara dedaun kering, dalam senja yang kehilangan indahnya.
kau tahu,
bayangan angin utara itu yang berdiri di hadapannya, yang menyimpan--ah, tentu saja--bukan renjana kepada pipit kecil.
takdir, katanya, jangan kau coba belokkan arahnya.
pipit kecil terpaku.
tentu saja, dia tak pernah ingin membelokkan arah takdir, yang arahnya saja dia tak tahu ke mana.
tentu saja, dia akan merahasia tentang semuanya.
dia telah terlatih untuk luka.
juga untuk rahasia, tentunya.
angin utara, lirihnya. tak ada gusar atau geram. yang ada hanya luka--yang ganjilnya, tiba-tiba saja menumbuhkan beribu-ribu sayap baru di tubuhnya. indah. dan, bukankah keindahan memang puncak segala kesedihan?**
jangan lagi simpankan potongan besar renjana untukku.
sudah aku bilang, kan?
sudahlah, tak apa, aku telah terlatih dalam menyimpan luka,
tak terucap kata-kata itu.
dia merahasia, juga pada senja, yang kala itu kehilangan indahnya.
lalu, seketika, dia menghilang dalam satu kepakan kecil,
bukan ke utara,
tentu saja.
----------------------------------------
* membaca kata renjana, mengingatkan saya pada sajak apik seorang sahabat, yang berjudul "membakar renjana" :)
* "That then I scorn to change my state with kings," dalam sajak "When In Disgrace", Shakespeare.
** teringat sebuah ulasan di Horison tentang John Keats.
#i owe the pic!#
No comments:
Post a Comment