Hujan jatuh tiba-tiba, menghentikan langkahku. Membuatku menunggu.
Kala itu, hujan juga jatuh. Kita buru-buru berhenti. Di tepi jalan itu, tergesa-gesa aku meraih ke dalam tas sandangku. Kau menatapku, lalu mengulurkan sebelah tanganmu, membantu memasangkan baju penahan hujan itu ke lenganku. Kau tahu, sepertinya, aku sempat mencuri senyummu kala itu.
Hujan rintik bertambah deras. Kita menyusurinya. Angin dingin menerpa kita.
“Kita berhenti saja?” tanyaku samar, khawatir beribu rintik itu menyamarkan arah dari kacamatamu yang--selalu membuatku ingin berkomentar--entah bagaimana bisa begitu pas berada di pola wajahmu itu, kau tahu.
“Tak apa,” katamu, “aku suka hujan.”
"Aku juga," sahutku di antara senyum, yang sepertinya hilang ditelan suara hujan dan deru.
Hujan jatuh tiba-tiba kali ini, menghentikan langkahku.
Membuatku menunggu--dan waktu menjadi sangat lamban dalam detaknya.
Aku teringat kau, juga percakapan panjang kita. Bercerita denganmu dapat membunuh waktu. Tidak perlahan-lahan. Begitu cepat.
Aku suka. Sudah aku bilang belum, ya, padamu?
Aku teringat kau, juga percakapan panjang kita. Bercerita denganmu dapat membunuh waktu. Tidak perlahan-lahan. Begitu cepat.
Aku suka. Sudah aku bilang belum, ya, padamu?
#i owe the pic#
2 comments:
:) bagus nih :)
Hujan, yang selalu saja membangkitkan aroma tajam tentang kenangan, sering kali membuatku berlama-lama menyampir di jendela, berdetik-detik tanpa kedipan mata. Sebab dengannya seperti mampu mengabutkan duka bahkan menyembunyikan air mata... #halagh
Post a Comment