i owe the pic! |
Sepertinya, saya termasuk orang yang kerap berurusan dengan sakit gigi. Tapi, saya lupa kapan tepatnya terakhir saya ke dokter gigi. Sepertinya waktu saya kuliah, ke pusat kesehatan mahasiswa di kampus saya. Seingat saya, biayanya gratis—kecuali ada obat yang beda daripada biasanya. Soalnya, seingat saya (lagi), obat yang dikasih rata-rata sama. Apa pun sakitnya, dua-tiga macam antibiotik obatnya. ;)
Biasanya, kalau sakit gigi, saya nggak berani atau malas ke dokter. Hari ini, karena lubang kecil di geraham kanan bawah saya terasa semakin membesar dan membuat saya keranjingan dengan tusuk gigi, saya memantapkan niat ke dokter gigi dan mengambil waktu izin yang sudah saya sampaikan sejak kemarin-kemarin kepada atasan saya. Menyeberang jalan dari kosan saya, lalu berjalan sedikit ke deretan ruko dekat gang yang disebut Kober, ada dua klinik gigi. Saya ragu-ragu mau masuk ke klinik yang mana. Yang satu, dengan plang yang tidak terlalu elegan—atau sekadar menarik—buka pukul sepuluh. Yang satu lagi, dengan plang yang tak berusaha untuk lebih menarik juga, sudah buka sejak pukul delapan.
Saya ragu-ragu masuk ke mana. Tak ada orang yang bisa merekomendasikan untuk saya. Dan, saya butuh rekomendasi seseorang untuk urusan tambal-menambal ini. Dan, haha, akhirnya, saya teleponlah sahabat saya yang sudah berangkat kerja. Sahabat saya itu tak bisa juga merekomendasikan yang mana yang sebaiknya saya datangi—apalagi, dia termasuk orang yang takut ke dokter gigi. Tapi, sarannya untuk ke rumah sakit di jalan raya kota itu lumayan membuat saya tenang juga. Lalu, akhirnya, naik angkotlah saya sambil berpikir-pikir, ah, harusnya tadi sekalian bawa motor aja ya, sambil berangkat kerja. Duh, kenapa nggak sekalian aja tadi biar nggak bolak-balik. Itulah hal yang saya pikirkan selama perjalanan di angkot itu, yang hanya sekitar lima-sepuluh menit.
Saya mendaftar di ruang informasi, sebagai pasien baru. Katanya, saya pasien urutan kedua, baru dapat giliran pukul setengah sebelas—setengah jam lagi. Tidak apa-apalah, pikir saya, mau nimbang berat badan dulu (kadang-kadang, saya niat sekali nimbang berat badang di RS ini, sambil ngambil uang di ATM yang ada di dekat lobi :p ). Tapi, ternyata, tak lama, setelah saya memberikan data pasien kepada perawat, saya langsung dipanggil.
Saya langsung masuk, tapi bingung nggak ada dokternya. “Di sebelah, Mbak,” kata si Perawat. Di sebelah tirai warna hijau, Pak Dokter itu sudah menunggu. Seorang pria paruh baya berkacamata. Cukup meyakinkan sebagai dokter. Untunglah. Setelah mempersilakan saya duduk, dia ngomong sesuatu seperti bergumam. Sependengaran saya, sih, dia nanya kabar yang saya jawab, “Baik,” dengan suara seperti bergumam juga. Entahlah, seperti biasa, kalau ke dokter, saya sering kagok dan lupa. Sampai rumah, barulah ingat. Ah, tadi kenapa nggak nanya ini ya, kenapa nggak nanya itu ya. Dan, akhirnya mengambinghitamkan si dokter yang terkadang pasif terhadap pasien. Hehe.
Setelah saya bilang mau nambal gigi, si dokter langsung menyuruh saya duduk di kursi pasien yang berwarna hijau, senada dengan warna ruangan. Saya langsung duduk dengan kagok di bangku mendatar itu. Cermin bulat yang bisa digerakkan itu berada di hadapan saya, lebih tinggi dari kepala saya (eh, apa itu lampu penerang ya?). Sebelah kiri saya, tempat kumur dan gelas plastik terletak di bawah keran otomatis itu—dulu, saya pikir, itu keran otomatis yang langsung mengisi gelas kalau airnya kosong. Ternyata, ada alat yang ditekan gitu toh. Soalnya, saya mesti ngomong dulu ke dokternya buat nambah air kumur. ;p
Dan, mulailah penjajahan itu. Si dokter gigi sudah mengenakan sarung tangan, memegang cermin kecil yang bisa dimasukkan ke mulut dan alat buat mengorek-ngorek gigi. Setelah dokter itu menilik-nilik gigi saya, saya bertanya apakah di atas ada yang bolong juga, soalnya makanan sering nyangkut di sana. Ternyata, Pak dokter itu bilang gigi saya banyak karangnya dan kadang itu bikin makanan tersangkut—oh…. Ah, saya malu kenapa tidak rajin sikat gigi sejak kecil dulu.
Lalu, pemeriksaan yang lebih serius dimulai. Dan, terdengarlah bunyi bor itu. “Ziiiiiiiiiiiinggggg!” Saya pikir, suaranya tidak semenyeramkan itu—karena sudah lama nggak dengar suara itu. Dan, ternyata, si dokter mengecek bagian gigi atas yang saya tanyakan apakah bolong atau tidak itu. Dan, saya nggak tau apa yang dia lakukan karena saat saya membuka mulut lebar-lebar dan bor masuk ke dalam mulut saya, saya memilih untuk memejamkan mata. Dan, ternyata terasa sangat sangat ngilu.
Karena takut lidah saya kena bor, saya cuma bisa mengeluarkan suara kecil yang tak mudah-mudahan bisa dimengerti oleh si dokter. “Ngilu, ya,” kata si dokter. “Ditahan sedikit ya…” Saya tidak bisa merespons apa-apa. Cuma tangan saya yang saya katupkan lebih kuat dan jari-jari kaki yang menekan satu sama lain. Dan, untunglah ada seorang perawat yang dengan sigap memasukkan alat yang terasa dingin itu ke mulut saya. Sepertinya, alat itu berfungsi buat mengeringkan cairan di mulut. Saat itu, saya sempat berpikir betapa berbahayanya bor itu buat anak kecil. Saya saja sampai berusaha menahan-nahan diri untuk tidak menggerakkan lidah dan mengatupkan mulut. Kalau itu sampai terjadi, saya sudah membayangkan hal-hal yang horor terjadi dalam mulut saya. Bor itu berkuasa dalam mulut saya cukup lama. Menyisakan rasa ngilu sampai ke gusi. Setelah selesai, saya langsung disuruh berkumur. Dan, uh, ternyata gigi saya berdarah. T_T
Setelah mengeringkan mulut dengan tisu, saya tiduran lagi. Si dokter sudah mendekatkan cermin ke muka saya dan dia sudah siap dengan bor dan pencukil di tangannya—sebenarnya, saya nggak tahu dengan pasti apa yang ada di tangannya. Dan, langsung saja saya kembali memejamkan mata.
Lalu, sampailah pada gigi yang saya bilang berlubang itu. Si dokter mengoreknya, dan bilang, “Bolongnya kecil, tapi dalam,” kata dia. Saya mengiyakan dalam hati.
Dengan mulut menganga lebar dan menjauhkan lidah dari bor, saya semakin memejamkan mata saya bunyi “Ziiiiiiing” itu terdengar. Arrrgggg… air dingin yang keluar dari alat itu mengenai gusi saya dan terasa sangat-sangat ngilu. Dan, sakitnya terasa ke ujung-ujung jari… Bunyi bor itu tak berhenti, si dokter memperbesar lubang itu sebelum menambalnya. “Lebih lebar lagi buka mulutnya,” kata si dokter ketika refleks mulut saya mengatup sendiri karena sakit dan juga capek menganga terus dan saya harus berjuang melawannya. Saat itu, saya sempat berpikir, gimana ya tampang saya saat lagi kayak gitu. Lucu juga kalau ada dokumenter ekspresi orang-orang saat nambal gigi.
“Ziiiiingggggg!” Suara bor membuyarkan pikiran saya. Suaranya semakin menambah rasa sakit di gusis saya. Lidah saya bergerak-gerak sendiri, dan untungnya ditahan dengan alat oleh si perawat. Dan, alat yang mengeluarkan udara dingin maju mundur di lubang gigi saya itu. Dan, saat mendekat dan dinginnya sampai ke gusi, sakitnya tak tertahankan.
Dan, tiba-tiba, saya ingat dengan buku Hipnoterapi karya Pak Andri Hakim yang belum lama ini saya edit (dan akan segera terbit). Di dalam buku itu, ada bagian hipnoterapi untuk menghilangkan rasa sakit. Lalu, (haha, padahal saya orang yang awalnya kurang suka dan kurang percaya dengan hal-hal semacam itu), kali ini, dengan berbekal mengedit buku itu dan buku-buku semacam itu, saya menerapkannya. Mencoba menyugesti pikiran bawah sadar saya untuk mengontrol rasa sakit. Bahwa rasa sakit itu untuk kebaikan saya. Sayangnya saya lupa apa yang harus diucapkan—seharusnya, kita mengingat hal-hal yang menyenangkan dan membuat nyaman dan bahwa tubuh saya bisa mengatasi rasa sakit itu.
Tapi, dalam keadaan mendesak itu, yang pasti saya mencoba menyugesti diri saya bahwa rasa sakit itu untuk kebaikan diri saya, supaya makan jadi nyaman, supaya tidak perlu tusuk gigi lagi, supaya tidak sakit gigi lagi, dan hal itu tidaklah sakit. Saya berusaha menafikan bunyi bor dan bau khas tambalan itu, yang mengingatkan saya pada bau belerang di lereng sebuah gunung.
Dan, aha, ternyata hipnoterapi (ala kadarnya) saya itu cukup membantu. :)
Saat saya sibuk menyugesti diri, si dokter dan si perawat malah ngobrol, bukannya ikut menenangkan saya yang mungkin sudah pucat pasi :(. Dan, sialnya, saya juga menyimak obrolan mereka. Si dokter bilang ke si perawat untuk mengirim SMS ke dokter entah siapa gitu, bilang suruh kirim foto buat web. Lalu, obrolan tentang foto buat web itu berlangsung cukup lama. Kata si perawat, ada dokter yang bilang suruh sediain waktu kapan bisa foto bareng. “Suruh kirim foto yang ada ajalah. Nggak punya waktu buat yang kayak gituan,” kata si dokter yang mengoprek-oprek geraham saya, sementara saya sedang sibuk membuat alam bawah sadar saya untuk relaks dan jangan memikirkan rasa sakit. Padahal, saya ingin dia ikut menyugesti saya agar tidak memikirkan suara bor dan rasa ngilu gusi yang terasa sampai ke jari-jari itu.
Dan, setelah satu jam proses tambal-menambal itu, saya keluar dari ruangan dokter gigi itu—dan, kayaknya, ruangan dokter gigi itu perlu dibikin lebih santai, jangan dibuat terlalu formal biar tidak menciptakan suasana—dalam istilah hipnosisnya, jangkar emosi atau anchor—mencekam dan menakutkan.
Dan, saat bayar di kasir, saya lebih menyesali lagi kenapa saya tidak rajin sikat gigi sejak kecil dan kenapa tidak cukup perhatian pada gigi yang merupakan aset penting dalam hidup. Hiks, mahal banget sih nambal bolongan kecil gitu doang ….
Oh, ya, kata sebuah artikel, the healthier your teeth are, the happier you look—saya setuju deh. Soalnya kalau udah sakit gigi, uh, joke-joke-an paling lucu sedunia juga nggak ngurangin rasa sakitnya. Hehe. :)
So, buat para calon orangtua, jangan lupa biasakan anak menyikat gigi dan merawat gigi sejak dini. Jadi inget Willy Wonka yang punya gigi bagus banget. Pantasan si bapak Willy Wonka, yang dokter gigi itu, sampai mengerangkeng gigi si Willy.
[repost dari notes Facebook, 22 Juli 2010]
No comments:
Post a Comment