Terkadang, saat didera masalah, kita merasa yang paling susah, yang paling menderita. Mungkin, itu pun yang saya rasakan. Bahkan, terkadang, hal itu membuat kita kehilangan akal sehat, ingin bersiteru dengan dunia yang seakan-akan tidak adil dalam membagi kasih sayangnya.
Saat seperti itu, kita pun merasa (wajib) didengarkan. Namun, ternyata saat seperti itu, kita pun harus “mendengarkan”.
Saya sudah lama tidak bercakap dengan perempuan ini karena kami jarang bertemu.
Lalu, beberapa waktu lalu, percakapan kami mengalir. Perempuan kurus ini seusia saya, sudah menikah dan punya dua anak. Anak perempuan dan laki-laki. Mereka tinggal dekat sebuah kampus yang cukup terkenal di wilayah Jakarta Barat.
Percakapan itu berawal dengan bertanya kabar, pekerjaan, berlanjut dengan kapan saya akan menikah, lalu tentang “hidup”.
“Ya, keluarga kami tampaknya harus pindah dari rumah ini,” kata anak kedua dari empat bersaudara ini. Saya menyayangkan, bukankah sayang jika menjual rumah yang berada di lokasi yang cukup strategis itu.
“Rumah Pak Aji yang di sebelah mau dijual, jadi nanti kami bingung mau lewat mana keluar,” jelasnya.
Ya, rumah perempuan ini berada di pojok, jalan keluarnya lewat teras rumah Pak Haji yang meninggal belum lama ini, menyusul istriya yang telah meninggal terlebih dahulu. Anak-anak Pak Haji sudah tidak tahan untuk segera membagi warisan mereka. Cara paling mudah adalah menjual rumah itu, kemudian membagi-bagi uangnya.
“Kalau rumah itu dijual, rumah kami ini tidak punya jalan keluar lagi,” lanjut perempuan itu dengan mata menerawang.
“Lho, bukannya bisa menjebol tembok teras depan?” tanya saya, berpikir cepat mencari solusi—yang tidak mungkin tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya. Tembok yang tidak terlalu tinggi itu memisahkan rumah perempuan ini dengan deretan rumah kontrakan yang ada persis di depan rumah ini, dipisahkan dengan jalan kecil kira-kira sepanjang 10 meter. Jalan itu lebih praktis untuk dijadikan jalan keluar juga untuk rumah ini. Tinggal belok kanan dan jalan sekitar tujuh langkah, jalan itu sudah bertemu dengan jalan yang agak besar, tapi masih berupa gang juga.
Perempuan itu tertawa. Miris. “Kalau bisa begitu, kami tidak perlu bingung dan tidak perlu juga Pak Aji dulu berbaik hati ‘merelakan’ teras rumahnya kami lewati setiap hari.”
Saya mengeryit tak mengerti.
“Iya, dulu, kenapa jalan keluar rumah ini lewat teras Pak Aji, itu karena yang punya kontrakan di depan nggak memperbolehkan kami menginjak ‘jalan’-nya,” kata si perempuan.
Saya ternganga, tak percaya. Lho, yang punya rumah itu kan nggak rugi apa-apa. Toh, jalan itu sudah dia buat juga buat jalan bagi penghuni kontrakannya. Dan, kalau menyusut pun, palingan hanya berupa jejak-jejak kaki di jalan bersemen itu. Itu juga baru beberapa (ratus) tahun kemudian, kali! Ah, saya emosi mendengarnya. Pelit sekali, sih! Saya nggak habis pikir. Jadi, itulah alasannya kenapa tembok yang dijejeri beberapa pot tanaman ittu dibangun di teras kecil rumah perempuan ini.
“Yah, Papa juga bilang lebih baik kami pindah saja,” lanjut perempuan itu, “sekalian cari tempat usaha baru.”
“Memangnya, kontrakan warung yang dekat kampus itu udah mau habis, ya?” tanya saya.
“Tiga tahun lagi. Sekarang, baru jalan tahun pertama,” jawabnya. “Tapi, kalau nyambung lagi nanti, kami sudah tidak sanggup. Tiga puluh juta setahun dan harus dibayar langsung tiga tahun.” Ia terdengar kehilangan harapan. “Harusnya, lima puluh juta. Tapi, karena kami minta kurang, yang punya minta supaya warung itu dibagi tiga. Jadinya, yang kami dapat sangat kecil.”
Saya terdiam. Dulu, sebelum daerah kampus itu belum terlalu ramai—sebelum internet berkembang pesat--kontrakan warung itu baru lima juta rupiah.
“Ah, itu juga kami mencoba bertahan karena belum dapat tempat usaha yang baru,” katanya.
“Kenapa?” tanya saya.
“Sekarang, sikap yang punya udah lain. Nggak kayak dulu.”
Ya, dulu, saya ingat, mereka sudah seperti saudara. Antar-antaran makanan. Ibu perempuan ini sangat kompak dengan ibu yang punya rumah. Mengobrol sepanjang hari, belanja bareng, dan segala hal tampak harmonis.
“Mungkin, karena sekarang, mereka sudah punya banyak uang,” ucap si perempuan, bukan bernada iri. “Dulu, ibu yang punya rumah betah ngobrol lama-lama dengan Mama di dapur,” katanya, “tapi, dulu, ujung-ujungnya, ibu itu minjam uang. Sekarang, mereka nggak perlu pinjem uang lagi.” Perempuan itu semakin miris.
Berdirinya sebuah kampus bonafide di daerah ini, dan juga melebarkan sayapnya di tempat yang tak jauh dari daerah ini memang membawa rezeki besar buat yang punya tanah dan kontrakan, biasanya orang asli yang punya. (Meski mahasiswa kampus ini juga kerap dipalak oleh orang-orang asli sekitar situ). Harga kontrakan jadi puluhan juta per tahun. Kosan juga jutaan sebulan. Dan, ibu yang punya kontrakan tempat usaha keluarga perempuan ini punya sekitar 10 tempat usaha dan punya kosan sekitar 50 kamar. Sebuah keluaga yang terdiri atas seorang ibu dan empat orang anak yang sudah berkeluarga itulah pemiliknya.
“Kami harus segera pindah,” sambung perempuan ini. Saya mengangguk-angguk. “Sedih banget waktu ngeliat orang toko yang di paling ujung pindah. Mereka diusir,” kata si perempuan. “Yah, mereka tidak sanggup bayar lima puluh juta dan mesti langsung tiga tahun, jadi mesti pindah. Mereka minta setahun dulu, tapi nggak boleh.”
“Emangnya gak bisa kompromi dulu?”
“Yang punya rumah cuma bilang, ‘Kalo nggak sanggup bayar, ya pindah aja.’ Cuma itu kata-kata mereka.” Si perempuan menarik napas. “Nggak tau buat apa, uang puluhan juta cepet banget abisnya ama mereka. Kayaknya nggak cukup-cukup.”
Ya, bukankah uang, harta, hanya cukup bagi mereka yang mencukupkan diri? Saya sedih mengingat jalinan hubungan para pemilik usaha—termasuk keluarga perempuan ini--dengan pemilik kontrakan itu, sudah puluhan tahun. Sejak daerah itu masih sepi dan kampus itu belum begitu terkenal. Ah, uang.
“Bahkan, anak si pemilik kontrakan ngeliatin setiap hari waktu yang paling ujung itu pindah. Plus ocehan, ‘Lama amat, sih, pindahnya?! Lagian, pake motor mindahin barang-barangnya. Gimana nggak lama.
Barang banyak begitu!’ Kan, emang barangnya banyak, ya. Namanya juga udah bertahun-tahun tinggal di sana. Tapi, klo malem, mereka pindahin pake mobil. Kalo siang kan macet, jadi pake motor.” Perempuan itu menjelaskan. Tapi, ternyata, yang punya kontrakan itu tidak peduli. Mereka tidak tahan untuk menawarkan pada pengontrak baru, dan tentu saja tidak sabar menerima uang kontrakan. U.A.N.G.
Ah, kenapa saya seperti sedang mendengar cerita sinetron? Ternyata, sinetron nggak bohong-bohong amat, ya? Ataukah, penontonnya yang terlalu menghayati ceritanya sehingga tidak bisa membedakan lagi di dunia mana mereka berada?
“Yang ujung itu bilang, ‘Anak almarhum Pak A*** sudah pintar-pintar ya sekarang,’ dengan maksud menyindir. ‘Iyahlah, kan disekolahin, ya, pinter,’ jawab mereka.” Perempuan ini tertawa kaku.
Saya tersenyum miris.
“Harusnya, orang itu bilang, ‘Iya, dulu, waktu disekolahin, minjem duitnya sama saya. Lupa ya?’” kata si perempuan dengan emosi. “Sayangnya, mereka nggak bilang.”
Ya, dahulu, waktu keluarga kaya itu baru ada tiga kontrakan kios, mereka sering kas bon. Setelah penyewa membayar kontrakan selama beberapa tahun, mereka juga akan meminjam uang lagi. Untuk keperluan ini dan itu. Para penyewa itu pasrah dan meminjamkan uang—bahkan, terkadang saat sebenarnya mereka pun sedang tidak punya uang. Tapi, Yang Berkuasa meminta, jadi apa daya.
Lalu, sekarang, mereka diusir oleh Yang Berkuasa dan kembali lagi mereka pada kondisi “apa daya”. Tak boleh ada kenangan masa lalu. Tak boleh ada ikatan “bertetangga” bertahun-tahun.
“Kalau yang sebelah warung saya, dia lebih beruntung. Utang ibu itu sudah sangat banyak dari dulu. Jadi, kontrakan mereka sudah dibayar sampai 2013 dengan hitungan uang kontrak waktu masih lima juta per tahun. Tapi, kalau sudah habis, nanti mereka juga mesti bayar lima puluh juta per tahun,” jelas perempuan itu tentang warung di sebelah tempat usahanya.
Hati saya mencelos. Pendapatan warung-warung itu tidak akan bisa menutupi biaya kontraknya. Begitu banyak pesaing dan begitu banyak yang lebih modern.
“Makanya, kami pelan-pelan mau cari tempat usaha lain. Yang di sini juga cuma lepas makan sekarang. Nggak tahu nanti.” Perempuan itu mengelus kepala anak laki-lakinya yang baru berusia tiga bulan. “Keadaannya udah nggak enak. Ibu itu aja udah nggak mau negor Mama. Kalau lagi bareng di tukang sayur, juga diam-diaman. Kalau disapa, buang muka.” Dia tertunduk.
Saya terbayang hubungan harmonis mereka dahulu. Miris.
“Entahlah. Sama saudara-saudaranya juga begitu. Nggak tau kenapa, dia makin sombong sejak naik haji.”
Saya kaget. Apa saya salah dengar. Ah… dunia. Mau jadi apa kita?
“Mudah-mudahan, bisa dapet tempat yang lebih bagus,” kata saya, “Allah nggak akan menutup rezeki umat-Nya yang mau berusaha.” Saya menghiburnya--cuma hal itu yang bisa saya lakukan, sayangnya.
Dan, selesaikan percakapan itu. Membicarakan orang. Membicarakan diri sendiri. Membicarakan hidup.
Ah, permasalahan saya, dilema saya, belum seberapa dibandingkan mereka. Masihkah saya mengeluh?
[repost, 13 July 2009]
No comments:
Post a Comment