Penjual Kenangan

Monday, February 28, 2011

Surat Keenam: I Love You. Always.




Hei, selamat hari lahir. (Maaf, ucapan yang terlambat lagi). Kalau kau ada di sini, usiamu sudah 25 tahun. :) Pasti kau semakin tinggi dan aku tahu kau pasti kurus. Kau terlalu banyak begadang dan marah-marah kalau dibangunkan pada pagi hari. So you!--nggak jauh-jauh dengan orang yang nulis ini. :p Entahlah, atau mungkin kau sudah berkeluarga dan menimbang seorang gadis kecil lucu, dengan rambut keriwil seperti rambutmu. 

Keponakan perempuan kita yang hanya berentang usia satu tahun denganmu sudah menikah juga. Bulan Mei nanti, seorang sepupu kita--yang juga seumuranmu--juga akan menyusulnya. Haha, iya, aku menjadi semakin tidak mungkin berada di acara-acara keluarga tanpa pertanyaan, "Kapan?" Ada-ada saja orang-orang tua itu. Tapi, mungkin, harapan orang tua, pastinya, melihat hidup yang dicintainya bahagia, dan kebahagiaan itu pastinya selalu diidentikkan dengan kata "lengkap". Tapi, kau tahu, kebahagiaan sedang bekerja di dalam perjalanan hidupku. Semakin ramai. :)


Hmm, jangan pikirkan angan-anganku tentang dirimu itu, ya. Kau tahu, Dia menempatkan segala sesuatu memang pada tempatnya. Seperti cetakan kue-kue kecil, mungkin, kita berada dalam bentuk-bentuk dan ruang yang memang sudah semestinya. Dan, semoga kau tenang di Sana--aku selalu doakan untukmu. 


Apa kabarmu di Sana? Ini hari terakhir pada bulan Februari tahun ini. Maaf aku terlalu menyibukkan diri dengan deadline dan hal-hal tidak jelas pada malam-malamnya. Sudah tahun keenam, dan kau pasti selalu membaca kalimat-kalimat yang sama dengan surat-suratku yang lalu: sibuk, deadline, itu-itu saja kosakataku. Maafkan. :D Mungkin hitungan waktu semakin cepat di sini, tanpa kusadari. Jadi, belum banyak yang bisa kulakukan, eh, hari sudah berganti. Dan, tentu saja, kelebihan tidur masih saja kugemari--aku rasa, itu juga salah satu yang menyebabkan tahun terlalu cepat menghilang. Dia pasti bosan duduk manis menungguku terbangun. Lalu, memutuskan diam-diam meninggalkanku.


Oh, ya, mungkin, akan ada perubahan cukup besar dalam hidupku satu atau dua bulan lagi. Ya, aku menerima pekerjaan di luar daerah. Sebuah kota kecil di Serang sana. Dan, tentu saja, kau tahu, aku memang terbiasa hidup jauh dari keluarga sejak aku kecil. Tapi, tentu saja, tidak sejauh yang sekarang. Biasanya, pukul sebelas malam, aku masih berani naik bus atau naik motor untuk pulang ke rumah. Aku bisa pulang (dan berharap diselipi uang) kapan saja. Haha. Dan, tentu saja kota yang kita tempati tak pernah mati. Dan, aku juga sudah terbiasa dengan ritme kehidupan di sini. Hmm, semacam ada keraguan di dalam hatiku, kalau kau memintaku jujur. Tapi, aku yakin di mana pun, kita akan selalu bahagia. :)


Hmm, kau tahu... ada sesuatu yang mengganggu saat berkendara dengan motor matic-ku itu. Setiap berpapasan dengan truk molen, aku selalu teringat kau.. :( Dan, aku tak berani sedikit ngebut untuk mendahuluinya, aku tetap berjalan pelan di belakangnya. Membiarkannya berlalu dan membawa kenangan tentangmu. Aku juga tidak berani untuk ngebut di jalan raya--tentu kau tahu aku pengecut untuk itu dan selalu memarahimu saat kau terlalu berlebihan melajukan sepeda motormu. Aku akan jadi kakak yang menyebalkan saat itu, yang melarang ini itu. Tapi, kau tahu, itu karena aku sayang padamu. Marah pertanda sayang, begitu yang selalu dibilang orang-orang, kan?

Tapi, kau tahu, saat melihat truk molen itu, kadang aku berpikir, apa yang terlintas di benakmu ketika perkiraanmu tak pas dan kau menyenggol truk itu dengan ujung setang motormu.... Apakah kita masih sempat berpikir ketika itu terjadi? Dan, apa yang kau pikirkan ketika kau terjatuh dan menghempas aspal keras itu... Dan, apakah benar bayangan-bayangan masa lalu bersirebut di benakmu ketika sang Malaikat menjemputmu....

Ah, semoga ketika itu kau teringat, kau memiliki aku. Seorang kakak yang gemar marah-marah tak jelas. Melarangmu merokok. Melarangmu ngebut. Mengingatkanmu ini itu. Seorang kakak yang kadang-kadang bermanja-manja bagai kau yang lebih tua daripada aku. Seorang kakak yang sering kau selipkan uang di tangannya saat aku akan berangkat kuliah--atau memang wajah ala mahasiswa nggak punya duit itu membuat kasihan ya? Kok aku terdengar bagai seorang kakak yang kurang menyenangkan ya? Hehe.

Terima kasih, Febri Hermansyah.  ^_^ 

Kau memiliki hati lembut jauh di dalam sana. Yang begitu mudah tersentuh--dan, aku sering membuatmu menangis dengan nasihat-nasihat ala nenek-nenek yang sering kulontarkan. Maaf. Kau tahu, aku menjadi seorang kakak yang akhirnya menjadi anak bungsu ketika kau tinggalkan. Agak kurang menyenangkan sebenarnya karena jadi terlalu sedikit yang perlu dikhawatirkan orang-orang rumah. Itu tadi, terlalu sering pertanyaan "Kapan?" dilontarkan orang-orang.  Haha. Tapi, aku tahu, kok, itu karena mereka sayang. Ingin aku berbahagia dengan sempurna. Dan, kalau tiba saatnya, aku pasti sampaikan kepadamu, lewat sebuah surat panjang tentang perjalanan aku dan orang yang beruntung itu. :p

Hei, kau tahu, senang kau pernah menjelma seorang adik bagiku. Seorang adik yang membuatku merasa menjadi seorang kakak yang bisa cerewet ala nenek-nenek. Dan, sekarang, pelampiasannya ya, ponakan-ponakan kecil kita yang banyak itu. Uh, masa aku dibilang cerewet oleh mereka. Ada-ada saja. Mereka tidak tahu saja, ya, Man, itu karena aku terlalu sayang kepada mereka, seperti yang aku rasakan kepadamu. 
Luv you. Always. ;)




--enam tahun sudah sejak kepergianmu pada siang 15 Februari 2005 itu--




#pinjam foto di sini!#




2 comments:

Enno said...

semoga adik kamu saat ini sedang tidur dengan tenang di tempat terbaik yang disediakan Allah untknya Wied...

amin.

penjual kenangan said...

amiin. semoga doa-doa sampai kepadanya, mbak. thx, mbak enno. :)

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin