Penjual Kenangan

Wednesday, March 02, 2011

Nyanyian dari Kampung Nelayan

“Din, kamu tidak ikutan ke rumah Pak Lurah?” ujar Ibu Nurdin saat melihat anaknya duduk termenung di depan pintu.

“Sana pergi. Daripada kamu bengong kayak sapi ompong begitu,” ujar ibunya lagi.

Nurdin bergeming. Wajahnya membeku. Menyimpan sesuatu. Ia menoleh ke dalam rumah. Di meja kayu rumahnya itu, sebuah buku tulis tergeletak. Miliknya. Masih baru. Hadiah dari permainan yang diikutinya kemarin siang. Bersama anak-anak kampung ini. Bersama kakak-kakak mahasiswa yang datang dengan dua bus besar dan membawa barang-barang untuk orang-orang di kampungnya itu.




Nurdin masih ingat suasana kemarin. Saat pertama kali mereka, anak-anak kampungnya, dikumpulkan. Di samping rumah Pak Lurah. Di depan rumah Pak Lurah, yang juga berarti di depan masjid, ibu-ibu dan bapak-bapak kampungnya berdesakan. Mengantre. Kata ibu Nurdin, hari itu mereka menukarkan kupon dengan sembako murah yang dijual para mahasiswa itu. Barisan sembako itu kacau. Namun, Nurdin tidak memperhatikannya. Ia sedang asyik memperhatikan kakak mahasiswa yang sedang menerangkan permainan. Nama permainan itu tebak kata.

Akhirnya, anak-anak kampung itu larut dalam permainan antarkelompok itu. Jadi, satu orang dari satu kelompok harus mendeskripsikan suatu kata dan tidak boleh menyebut kata yang dimaksud. Anggota kelompok harus menebaknya.

Nurdin sangat senang dengan permainan itu. Gampang-gampang susah. Namun, Nurdin lebih senang menjadi penebak daripada pemeraga.

Akhirnya, kelompok Nurdin menang. Setiap orang mendapat satu buah buku dari kakak mahasiswa itu. Bungkusan-bungkusan yang tadinya disiapkan kakak mahasiswa itu untuk para pemenang harus dirobek dan isinya dibagikan satu per satu karena jumlah anak-anak kampung Nurdin sangat banyak. Padahal, bungkus kadonya sangat bagus, Nurdin menyayangkan. Namun, Nurdin senang mendapat hadiah.

Setelah permainan itu, yang kalah diminta menyanyi. Tapi, tidak ada yang mau. Nurdin gelisah. Dia mau. Untunglah kakak mahasiswa itu capek dan meminta siapa saja yang mau menyanyi untuk maju. Akhirnya, Nurdin tunjuk tangan.

“Kamu mau nyanyi apa?” kakak mahasiswa itu mengulurkan pengeras suara pada Nurdin

“Nyanyi 'Donal Bebek' boleh nggak, Kak?”

Kakak mahasiswa itu tampak bingung. Pasti kakak itu tidak tahu lagunya, pikir Nurdin.

“Boleh, boleh …,” sahut kakak mahasiswa itu.

Nurdin memegang pengeras suara dan ia mulai menyanyi. "Donal Bebek, mau ke mana?" Dan, serentak, anak-anak yang lain, yang jumlahnya sekitar 120 orang itu mulai menyanyi. Dengan nada yang sama. Seperti membentak karena mereka ingin suaranya terdengar.

Donal Bebek, mau ke mana? Mau ke pasar. Membeli apa? Membeli motor. Motornya mogok didorong sama kodok. Kodoknya capek, didorong sama tape. Tapenya lembek, didorong sama bebek. Bebeknya nelor, didorong sama telor. Telornya pecah, didorong sama bocah. Bocahnya nangis, didorong sama kumis. Kumisnya jamlang, didorong sama jamblang. Jamblangnya kecil, didorong sama kancil.


 

Siang sudah menjemput petang. Anak-anak masih menyanyikan lagu "Donal Bebek". Bahkan, kakak mahasiswa minta diajari. Semakin serulah hari itu.

Petang semakin menjelang. Ibu-ibu yang mengantre sembako sudah beranjak pada kerumunan baju layak pakai yang dijual dengan sangat murah. Anak-anak dibubarkan. Dan, satu per satu, bersama ibu atau bersama bapak, mereka pulang. Esok akan ada acara lagi, buat anak-anak, juga buat ibu-ibu dan bapak-bapak.

Nurdin tidak pulang. Bersama adiknya, Udi, ia ikut dengan kakak-kakak mahasiswa itu yang duduk-duduk di depan masjid. Hari itu, Nurdin sangat senang.

Namun, hari ini, saat matahari sepenggalah, ia hanya melamun. Duduk di depan pintu. Entah apa yang dipikirkan Nurdin. Yang pasti hari itu ia tidak datang lagi ke rumah Pak Lurah, tempat para mahasiswa itu menginap.

“Bukannya kemarin kamu sangat senang sekali, Din. Ibu lihat kamu tidak henti-hentinya ketawa. Malahan, kamu buru-buru pulang untuk mengajak si Udi.”

Nurdin masih diam. Ia memandang jauh ke depan. Ke hamparan sawah yang hampir panen. Namun, sayangnya itu bukan sawah penduduk kampung. Itu sawah milik orang-orang di kota sana. Masyarakat kampung sini hanya jadi kulinya. Nurdin pernah mendengar bapak dan ibunya bercakap.

“Sebenarnya, upah mengerjakan sawah itu tidak sebanding dengan kerja yang kita lakukan, Bu …,” keluh bapaknya suatu hari.

“Mau bagaimana lagi, Pak? Hasil laut juga kadang-kadang tidak ada. Kemarin saja, sampai tiga hari di laut, Bapak cuma dapat sekilo ikan ….” Ibunya ikut-ikutan mengeluh.

“Mau jadi buruh tambak tambah jauh lebih berisiko, Bu. Kalau laut pasang dan gagal panen, buruh tidak dapat apa-apa …. Si Tauke mah tidak peduli. Mereka bilang, itu salah buruh yang tidak bisa menjaga. Ada-ada saja. Apa mereka tidak pernah mengenal alam?” suara Bapak semakin lirih.

“Yah, mau bagaimana lagi, Pak?” Ibu terdengar pasrah.

Nurdin yang saat itu berusia 10 tahun tidak mengerti banyak tentang percakapan orangtuanya. Bocah kurus dengan kulit warna matahari itu hanya mengerti begitulah hidup di kampung ini. Hidup di kampung nelayan.

Mereka telah terbiasa hidup seperti itu. Hidup di kampung yang angin laut sangat terasa ke kulit. Kampung yang airnya terasa asin. Nurdin tidak pernah memikirkan air yang asin ataupun angin laut yang begitu terasa. Malahan, ia sangat senang karena kadang, sore-sore, ia bisa ke pantai dengan teman-temannya. Melihat laut yang bergemuruh seakan-akan akan menyapu apa pun yang didapatnya. Juga melihat tambak udang yang dikerjakan orang-orang kampungnya.

Namun, ibunya selalu marah kalau ia ke pantai.

“Jangan main-main di pantai, Nurdin! Nanti kamu terbawa ombak. Lagi pula, Ibu takut kamu jatuh dari karang-karang yang tajam itu. Lagian, kamu mau lihat apa sih di pantai itu. Wong, tidak ada pasirnya begitu.” Ibunya berkata dengan serius. Namun, kadang, diam-diam, Nurdin pergi juga ke pantai. Pantai yang menyatu dengan laut. Abrasi.

Nurdin ingat kakak mahasiswa lagi. Kemarin, salah satu mahasiswa itu bertanya pada Nurdin, “Kalau mandi di mana, Din?”

“Di kali,” jawab Nurdin cepat.

Kening kakak mahasiswa itu berkerut. “Di kali situ?” Ia menunjuk kali kecil di depan rumah Pak Lurah. Kali yang berwarna butek itu mengalir dengan tenangnya.

Nurdin mengangguk. “Kali itu kan lewat juga ke rumah saya, Kak,” jelasnya.

“Oh ….” Kakak mahasiswa itu tampak kehilangan kata-kata.

Nurdin tidak menanggapinya lagi. Ia dan teman-temannya tidak peduli mau mandi di mana. Bahkan, mereka jarang mandi. Kali itu menjadi sumber air di kampung tersebut. Di sana juga, ibu-ibu mencuci. Mandi. Di sana, di kali butek yang mengalir dengan tenangnya itu.

“Din, si Rohmat, temanmu itu, kelas berapa?” tanya salah seorang mahasiswa lagi. Mereka begitu banyak bertanya. Tentang ini dan tentang itu. Namun, Nurdin menyukainya. Ia suka ditanya. Ia suka menjelaskan ini dan itu.

“Nggak sekolah, Kak,” jawab Nurdin.

“Kenapa?” Kakak mahasiswa itu begitu penasaran.

“Kata emaknya Rohmat, buat apa sekolah. Rohmat bakalan jadi nelayan juga. Dari dulu, keluarganya Rohmat udah jadi nelayan semua. Nanti, kalau saya udah lulus SD, saya juga nggak sekolah lagi, Kak. Saya mau ikutan Bapak nyari ikan juga.” Nurdin menjawab dengan semangat.

Kakak mahasiswa itu melihat Rohmat dan Nurdin dengan iba. Sementara itu, Nurdin menunggu pertanyaan selanjutnya.

“Emangnya di sekolah cuma ada tiga kelas ya, Din?”

“Iya. Jadi ada yang masuk siang.”

“Di sekolah ada kamar mandinya nggak?”

“Nggak.”

“Trus, kalau mau pipis atau eek di mana?”

“Jauh, Kak. Di sawah.”

“Jauh? Trus, pada balik ke sekolah lagi nggak habis itu?”

“Nggak, Kak. Habisnya capek,” jawab Nurdin cepat.

Kakak mahasiswa itu memicingkan matanya. Dia garuk-garuk kepala. Berganti-gantian, ia memandang Nurdin dan anak-anak lain yang juga masih ada di situ. Embusan napasnya terdengar berat.

Kakak mahasiswa itu mungkin semakin miris. Ia telah mendapat kabar—dari teman yang sempat survey—tentang kondisi sekolah di kampung itu. Kampung yang hanya berjarak dua jam dari kota. Di situ, hanya ada tiga kelas. Kondisi tidak layak. Hanya ada tiga guru. Salah satu guru merangkap kepala sekolah sekaligus pengajar, sekaligus pegawai administrasi sekolah, sekaligus seksi sibuk sekolah. Di sekolah itu, baru saja ada pergantian kepala sekolah. Dan, sudah dua bulan, belum ada pegawai administrasi. Jadi, semua ditangani sang kepala sekolah. Ia dengar juga, salah seorang guru—dari yang tiga itu—sudah tidak tahan mengajar di kampung itu dan sudah berkali-kali minta mutasi, tapi tidak pernah dikabulkan. Begitu cerita tentang sekolah di kampung itu.

Tentang murid-muridnya, ada juga cerita lainnya. Katanya, mereka pakai seragam hanya tiga hari. Sisanya pakai baju bebas. Bukan karena kurikulum atau karena ikut-ikutan sekolah luar negeri yang pakai baju bebas. Tapi, itu karena baju seragam yang dipunya sang murid terbatas. Oalah.

Saat ditanya tentang seragam, Nurdin menjawab, “Si Fikri nggak sekolah soalnya dia nggak punya seragam, Kak.”

Dan, embusan napas kakak mahasiswa itu terdengar berat lagi.

Saat hari hampir gelap, Nurdin segera pulang. Esok, ia akan datang lagi. Bermain bersama kakak-kakak mahasiswa itu. Dan, ia akan mengajak kakak mahasiswa itu menyanyikan Donal Bebek. Sekarang, kakak mahasiswa itu sudah hafal. Kalaupun besok ada yang salah, Nurdin bisa mengajarinya lagi. Ia menggandeng tangan Udi dengan riang. Sebuah buku hadiah, ia masukkan ke balik bajunya. Diselipkan di karet celananya.

Malam harinya, Nurdin tidak bisa tidur. Ia tidak sabar menunggu pagi. Ia ingin segera bertemu kakak-kakak mahasiswa itu. Ia ingin bermain bersama mereka. Ingin bernyanyi bersama. Ingin bercerita. Ingin ditanya. Akan tetapi, pagi berjalan begitu lambat. Ketika Nurdin sudah sangat capek menunggu, pagi baru datang. Dan, membawa bau laut.

Dan, pagi itu, perasaan bahagia yang kemarin tiba-tiba membeku. Segala keinginan yang semalam menyentak-nyentak juga ikut membeku. Bau laut yang dibawa pagi itulah yang membekukan semuanya. Tiba-tiba, Nurdin terpekur di depan pintu.

Kemarin, anak-anak kampungnya begitu bahagia. Para mahasiswa itu mengajak mereka bermain dan bermain. Semua anak kampung itu tertawa dan tertawa. Hari ini pun pasti seperti itu. Kakak mahasiswa itu pasti punya permainan yang memberi mereka tawa lagi. Dan, pasti mereka juga punya hadiah yang dibungkus dengan bungkus kado yang sangat bagus. Bungkus itu juga akan dirobek karena hari ini anak-anak kampung Nurdin akan semakin banyak yang datang.

Tiba-tiba, Nurdin menjadi benci dengan tawa mereka yang kemarin itu. Ia benci. Saat angin pagi bertiup begitu kencang, pasir-pasir di halaman rumah Nurdin mampir ke matanya. Dan, air mata Nurdin terbercak. Ia menangis. Namun, bukan karena pasir itu.

Nurdin ingat kakak-kakak mahasiswa yang membawa tawa itu. Tawa yang tiba-tiba dibencinya. Ah, tidak. Sebenarnya, ia tidak membeci tawa itu. Ia tidak membenci kakak-kakak mahasiswa itu. Ia hanya sedih. Ia sedih karena para mahasiswa itu akan kembali lagi ke rumah mereka. Ke kota. Dan, mereka akan membawa tawa dalam bus yang membawa mereka ke kampung itu. Dua bus yang besar itu sangat cukup membawa tawa anak-anak yang berjumlah sekitar seratus dua puluh orang itu. Dan, hari ini jumlah itu pasti bertambah. Akan semakin banyak anak-anak yang datang. Mereka semua ingin tertawa. Tapi, dua bus besar itu tetap akan bisa memuat tawa mereka dan membawanya pergi.


Nurdin sedih karena itu semua. Nurdin juga sedih karena tidak ada lagi orang yang bertanya-tanya dengan begitu penasaran. Ia tidak bisa lagi menjelaskan tentang ini dan tentang itu. Di kampung ini, siapa yang mau bertanya di mana mereka mandi? Di mana mereka buang air?

Kampung ini sudah begitu dari dulu. Tidak ada yang perlu ditanyakan. Dari dulu, air di kampung ini sudah asin. Kali di sini sudah butek. Anak-anak sudah mandi di kali. Anak-anak sudah biasa tidak sekolah. Semua sudah begitu dari dulu.

Saat matahari condong ke barat, Nurdin pergi juga ke rumah Pak Lurah. Ia ingin melihat kakak-kakak mahasiswa itu terakhir kalinya. Ia ingin melepas mereka.

Namun, saat ia datang, orang-orang kampung, juga anak-anak yang ada di rumah Pak Lurah sudah bersiap-siap ke rumah mereka masing-masing. Kakak-kakak mahasiswa itu baru saja berangkat dengan dua bus besar mereka.

Nurdin menatap anak-anak kampungnya. Benar saja. Tawa-tawa sudah terbawa dalam bus-bus kakak mahasiswa itu.

Nurdin melangkahkan kaki. Pulang.

“Donal Bebek, mau ke mana? Mau ke pasar. Membeli apa ….” Terdengar nyanyian Donal Bebek dari mulut Nurdin. Lirih. Tidak membentak.

Sekarang, kakak-kakak mahasiswa itu pasti juga sudah hafal lagu itu. Tapi, apa mereka masih ingat saat mereka sampai di kota nanti?

Nurdin tidak tahu. Yang ia tahu, di kampungnya, angin laut begitu terasa. Air begitu asin. Dan, karang pantai begitu tajam.


Depok, 23 November 2005, 02. 40 wib

“untuk anak-anak matahari di desa yang bau lautnya begitu terasa”


[repost, i owe the pics from my friend, zizah]

3 comments:

Enno said...

jadi ingat kenangan waktu aku KKN di sebuah desa nelayan juga...

banyak anak seperti Nurdin disana.

:(

penjual kenangan said...

iya, mbak, sedih ingat mereka yang akhirnya berakhir di tempat yang sama dg orangtuanya.. :(
salut bgt ama orang2 yg diriin sekolah2 gratis--kayak bu tini & pak ali yg pernah aku tulis juga. semoga suatu hari bisa kayak orang-orang itu, yang ga cuma sibuk ma diri sendiri. hiks.

Unknown said...

Hahaha.. lagunya bagus... ijin copas ah, buat status :) *Salam kenal... :)

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin