Penjual Kenangan

Tuesday, January 18, 2011

Ingin Menjelma si Tudung Merah :)

Suatu hari, saya ingin mempunyai jaket berwarna merah dengan tudungnya yang berwarna merah pula. Biar seperti Little Red Riding Hood. :)




Tapi, sayangnya, saya tak punya nenek lagi, yang bisa saya kunjungi. 
Oh, ya, kalau bicara tentang nenek, saya jadi ingat nama kakek saya dari pihak bapak (almarhum).
Konon, kakek saya itu bernama Kundang.

Dan, dulu, di rumah kami, ada kaset yang berisi lagu tentang Malin Kundang yang disebut-sebut durhaka kepada orangtuanya. Kata kakak-kakak saya, kabarnya, dulu, bapak saya--Abak, begitu kami menyebut beliau--sangat tidak suka kalau kaset itu disetel oleh anak-anaknya. Hatta, beliau jadi teringat kepada sang Ayah--kakek saya itu--yang tak durhaka, yang telah lama tiada.

Kakek saya itu... bernama Kundang. Mungkin, ia seorang yang dekat dengan tempat ikan-ikan baru dikeluarkan dari laut karena Abak juga sangat akrab dengan dunia itu. Kakek saya, mungkin ia.... Ah, sebenarnya, yang saya tahu hanyalah beliau bernama Kundang. Rupanya, saya terlalu cepat melangkahkan kaki dari rumah masa kecil itu hingga tak sempat mendengarkan cerita sebelum tidur yang lebih banyak lagi. Tentang si Kancil, mungkin tak apa jika saya lewatkan. Tapi, tentang Kakek Kundang? Ah, menyesal saya lewatkan itu. Saya jadi tidak bisa bercerita banyak tentang Kakek Kundang yang tak pernah saya temui. Malangnya, tidak pernah pula saya ketahui cerita asal usulnya. Saya tidak pernah mengobrol banyak dengan Abak tentang bagaimana awal mula akar keluarga kami menjulur hingga tiap-tiap ujungnya menjadi bunga, bahkan lalu menjadi buah. Dan, ternyata, ia begitu cepat juga melangkah dari dunia ini--mungkin, terlalu cepat dalam hitungan usia saya yang baru mau masuk kelas lima sekolah dasar. Yang pada saat itu, berarti, saya sudah empat tahun meninggalkan rumah kelahiran saya. Merantau.

Ah, ternyata saya (memang) seorang perantau--jadi ingat dengan judul sebuah kumpulan cerpen pengarang favorit saya, Gus tf Sakai, yang tinggal di Payakumbuh, di tempat akarnya tumbuh. :) (Dan, pastinya, dia tahu banyak tentang kakeknya.)

Ah, bodohnya saya. Ternyata, saya sangat bodoh selama ini.
Menjadi perantau yang terlalu sibuk menghitung usia sendiri.
Terlalu sibuk menjadi perantu kanak-kanak yang bingung menyamakan logat.
Terlalu sibuk menjadi perantau remaja yang meleburkan diri supaya tampak tak berbeda.
Terlalu sibuk melangkah menjadi perantau dewasa agar punya warna yang sama.
Terlalu sibuk, hingga tak lagi mengenal, bahkan sedikit tahu, di mana dan bagaimana asal akar itu tumbuh.


--di antara sore, ketika kunang-kunang sedang berkarnaval di kepala, ketika mencoba memaksa datang ke tempat kerja setelah matahari sudah tinggi, ketika kasur di kamar masih basah diguyur hujan dini hari tadi. :) 


gambar di sini!

No comments:

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin