Padahal, hari itu langkah seperti biasa. Kita masih mengisi pagi dengan kata terlambat, lalu pergi dengan terburu-buru, kemudian mengisi buku catatan dengan dengan coretan-coretan tak berarti saat dosen menerangkan. Kelas sejarah bahasa, aku pun tergagap menjawab pertanyaan dari dosen, seperti biasa—tak yakin akan kebenaran jawaban yang diucapkan sendiri. Meskipun seperti biasa, setidaknya hari itu, ada dua halaman catatan di bukuku. Bahkan, di kiri atas, tertera tanggal hari itu dan catatan kecil: hari ulang tahun seorang teman. Lalu, akhirnya kelas pun berakhir seperti biasa. Terasa begitu lama, itu pun seperti biasa.
Kelas bahasa Belanda, 4108, kita masih tertawa—entah menertawakan apa, yang pasti kita merasa bahagia. Dan, aku pun mencatat, hari ini kita mempelajari pembentukan kata kerja pada bahasa Belanda. Hanya tujuh baris catatan hari ini. Kita terlalu bahagia di kelas itu, seperti biasa pula.
Kemudian, kita terburu-buru menuju Margonda, jalan yang telah lama membingkai langkah-langkah kita. Mengejar waktu yang pasti selalu berjalan lebih dulu daripada kita. Kita sampai juga di SD yang kita tuju. Kau bacakan puisi “Yatim”-mu untuk anak-anak SD itu. Tapi, sebelumnya mereka mengisi isian biodata. Pelengkap karyamu—yang akan mengantarmu ke gerbang dunia baru: kerja—nanti. Aku tak terlalu ceria kali itu, sedikit pusing, kepanasan di jalan. Itu juga hal biasa.
Kupilih bangku paling belakang di sebelah kanan, lalu merebahkan kepala. Hari itu, kita sangat kagum pada guru SD itu. Kagum pada kisah yang beterbangan di ruang kelas yang seadanya itu. Cerita Karina yang disuruh jadi pengantin saja kelak, sampai pada cerita penyusunan buku oleh pengajar yang peduli murid. Sosok yang sangat membuat bangga. Cerita-cerita yang sangat menarik—tetapi terasa sedikit lama karena kita sibuk juga menghitung waktu—kita dengar dari guru yang di bahunya dititipkan para orangtua segudang cita-cita. Meskipun kita memutuskan membuka fans club untuknya dan sepakat menjadi anggotanya, kita terpaksa mencari jeda. Ada kuliah menelaah segala wacana.
Hari itu seperti biasa.
Kita masih ke kampus lagi, dan bersiap menelaah segala. Untungnya, waktu masih tersisa untuk berdialog dengan-Nya. Sebelumnya, kita mampir di kantin. Ada anak-anak. Juga dua kakak kita yang sudah dulu melangkah ke dunia yang akan kita datangi juga. Salam hangat pada mereka sebelumnya, lalu kita menuju-Nya. Aku ingat, pada yang telah melangkah, kita sempat basa-basi minta traktir, seperti biasa. Kita pamit sebentar, lalu kembali. Dan, aku juga ingat sepiring ketoprak, entah kenapa, rasanya kurang bersahabat, kali ini. Tapi, ternyata yang telah melangkah sambut basa-basi kita. Makanan kita dibayari. Tetapi, sebenarnya ini juga biasa.
Anak-anak sedikit malas masuk kelas, sudah lewat dari pukul setengah tiga. Meski sudah terlalu banyak waktu kuliah yang kita korup, langkah akhirnya ke sana juga, 4205. Dan, sebelumnya, aku sempat meluapkan kekaguman pada sang guru SD, saat melihat anaknya—juga adalah teman kita—dari kaca pintu perpustakaan. “Mulai hari ini, gue jadi fans ibu lo. Ibu lo keren banget.” Hanya sekali lewat.
Hari itu seperti biasa, tadinya ....
Dosen kita, kali ini ditemani. “Duet maut” tulis seorang sahabat kita di ujung diktat—yang dengan baik hati diberikan dosen yang selalu bersemangat itu. Aku menahan tawa. Pertanyaan sedang beredar dan pasti juga akan sampai padaku. Tetapi, kali ini, aku sedikit bangga. Bekal catatanku tentang kohesi, koherensi—dari skripsi di perpustakaan—cukup bisa menjawab.
Saat itu, entah pukul berapa tepatnya, HP 2100 yg ada di kantongku itu bergetar. Terus. Kelas sore yang sangat semangat itu enggan kuganggu. Aku bertahan. Kakak laki-lakiku menelepon. Getar HP yg di-silent dan tidak berpulsa itu terus dan terus meskipun beberapa kali tombol cancel menghentikannya. Terus. Dan terus. Aku sedikit panik. SMS dari HP seorang sahabat kecil kita kukirim: kabarkan aku sedang kuliah, telepon lagi nanti. Sudah cukup lama. Balasan dikirim ke HP sahabat kecil.
Dan, dengan tak mengerti—bahkan, mungkin tak sempat untuk mengerti—sahabat kecil kita menyodorkan HP itu padaku, yang duduk di samping kanannya. Itu SMS balasan dari kakak laki-lakiku. SMS dengan huruf kapital semua. Bukan simbol kemarahan—mungkin itu keterburu-buruan. Kalimat berita dan kalimat perintah. Aku begitu kaget membacanya. Bahkan, kaget yang sangat berlebihan jika hanya untuk sebuah SMS.
Aku mencoba mengerti apa yang tertulis. Aku mencoba menyerap maknanya lagi—bukan karena tata bahasa yang kurang tepat atau logika bahasa yang kurang jalan. Lagi dan lagi, aku menyerap maknanya. Tak juga kumengerti. Dan, ternyata, air mataku lebih mengerti akan maknanya. Dan, air mata itu semakin mengerti. Aku tak lagi mengerti apa-apa. Juga, mungkin, aku tak lagi mengerti diriku sendiri.
Aku mencoba mengerti apa yang tertulis. Aku mencoba menyerap maknanya lagi—bukan karena tata bahasa yang kurang tepat atau logika bahasa yang kurang jalan. Lagi dan lagi, aku menyerap maknanya. Tak juga kumengerti. Dan, ternyata, air mataku lebih mengerti akan maknanya. Dan, air mata itu semakin mengerti. Aku tak lagi mengerti apa-apa. Juga, mungkin, aku tak lagi mengerti diriku sendiri.
Itu yang bernama kehilangan, kata mereka. Kata yang juga biasa kudengar, kuperbincangkan, denganmu, Sahabat. Hari itu, setahun yang lalu, di hari ulang tahun adikku, yang bernama kehilangan itu menjelma. Dia menyusup begitu cepat di langkahku, di ingatanku, di nadiku, di air mataku. Di hatiku. Di diriku.
Aku tidak sempat berkata, “Tunggu! Aku belum selesai merajutkan janjiku untuknya”, “Tunggu! Aku belum sempat mengajaknya mengukir angin sampai utara”, “Tunggu! Aku belum sempat mengatakan, ada ruang berbagi tawa, dukanya di hatiku”, “Tunggu! Aku belum sempat ...”. Belum sempat. Dan, aku sudah harus mengerti akan makna kehilangan yang sebenarnya. Saat milik-Nya diambil kembali. Tiba-tiba, segala yang seharusnya biasa menjadi penuh disusupi tanya. Ketika itu, hanya air mata yang mengerti.
Sahabat, itukah arti kehilangan itu? Ah, mengapa terasa begitu pilu?
Aku tidak sempat berkata, “Tunggu! Aku belum selesai merajutkan janjiku untuknya”, “Tunggu! Aku belum sempat mengajaknya mengukir angin sampai utara”, “Tunggu! Aku belum sempat mengatakan, ada ruang berbagi tawa, dukanya di hatiku”, “Tunggu! Aku belum sempat ...”. Belum sempat. Dan, aku sudah harus mengerti akan makna kehilangan yang sebenarnya. Saat milik-Nya diambil kembali. Tiba-tiba, segala yang seharusnya biasa menjadi penuh disusupi tanya. Ketika itu, hanya air mata yang mengerti.
Sahabat, itukah arti kehilangan itu? Ah, mengapa terasa begitu pilu?
Depok, 4 Februari 2005
“Bulan ini, ulang tahunnya lagi. Setahun sudah.”
No comments:
Post a Comment