gambar dari sini! |
kenangan itu telah terlalu lama berputar-putar, tak beranjak ke mana-mana. adakah yang ingin menukarnya dengan harapan?
Monday, December 26, 2011
Monday, November 28, 2011
merindu
foto di sini! |
kau tahu, mungkin saja esok matahari tak kembali lagi dan kita cuma punya waktu hari ini.
mungkin, itu juga alasan kenapa banyak orang merindu.
mereka merasa takut ditinggalkan waktu.
seperti yang aku rasakan, kala ini.
hanya hal sederhana, tetapi entah kenapa tak habis-habisnya ia menyesaki sudut-sudut hatiku,
--bahkan, terkadang, sampai-sampai tak ada lagi ruang kosong di sana.
terkadang, memang selalu ada saat seperti itu--takut tak beralasan,
merindu tak beralasan. ;)
Sunday, November 13, 2011
seorang guru
gambar di sini! |
kata seorang teman, lepaskanlah sesuatu--semacam masa lalu--bagai seorang guru melepaskan muridnya. dengan senyum cerah, juga segenggam doa, menaburi perjalanannya. agar ia bahagia, dan sang guru pun bahagia.
sedang mencoba mencontoh seorang guru, yang melepas muridnya, yang menyimpan air mata (hanya) untuk mendengar bahwa sang murid bahagia dalam jalan yang dia pilih. dan diam-diam ikut memercikkan doa-doa, sepanjang perjalanan usia--bukan menaburkan dendam atau semacamnya. :)
#one of triple magic in 29 gift, sometimes, somewhere.
Monday, October 31, 2011
Saya Menang :)
@salihara |
Tampil di depan umum? Jujur, itu adalah salah satu ketakutan saya. Saya semacam punya trauma tampil di depan umum. Mungkin, hal ini dimulai sejak saya masih SD, mungkin kelas empat atau lima. Saya ingat sekali, waktu itu, saya jadi perwakilan SD saya untuk ikut semacam pelatihan di sekolah lain, dengan peserta dari sekolah lain--saya lupa kami belajar apa waktu itu. Namun, yang pasti, hari terakhir, setiap peserta diwajibkan membawakan sebuah lagu di depan kelas.
Saat itu, saya masih gadis kecil yang polos dan tidak bisa bernyanyi--bahkan sampai sampai saat ini pun saya benar-benar tidak bisa menempatkan not lagu dengan benar. Ditambah pula, saya "penyanyi spesial reff" (cuma hafal reff lagu), dan parahnya suka mengganti lirik sekenanya tanpa sengaja.
Lalu, tentang menyanyi di depan kelas itu, saya entah kenapa (entah karena kreatif atau entah dirasuki musisi mana), saya membuat lagu sendiri. Oh, tidak! Ya, saya menjadikan sebuah puisi menjadi lagu dengan membuat nadanya sendiri. Dan, dengan pedenya, saya menyanyikan "puisi" itu di depan kelas pelatihan itu. Dan, sesuatu terjadi. Di pertengahan, saya lupa liriknya. Dan, peserta hening. Lalu, seorang bapak tua, saya bahkan seperti masih ingat wajahnya, menghampiri saya. "Nyanyikan lagu yang hafal saja," ujarnya. Saya terpaku. Saya tidak hafal lagu apa-apa.... (Untunglah saya tidak menangis saat itu. Yang pasti, saya pulang pelatihan dengan menyimpan sesuatu semacam trauma tampil di depan umum). T_T
Lalu, saya sempat juga ikut lomba baca puisi waktu SMP, dipaksa guru. Dan, saat itu, malunya lain lagi. Waktu itu, ada gebetan saya yang nonton di depan musala. Tetapi, rasanya, kali itu tidak terlalu trauma karena saya lumayan dicap jago bahasa Indonesia. Hihi.
Waktu kuliah, presentasi saya selalu bisa dibilang "hancur". Selain karena telat, saya suka ketawa dengan jawaban yang saya berikan. Dan, berpikir orang sedang menertawakan saya juga, padahal mereka menunggu saya melanjutkan presentasi. Haha. Yang paling parah terjadi ketika kuliah umum Agama Islam. Teman kelompok saya, si Pencakar Langit, pun sama nggak jelasnya--kala itu. Jadilah kami dagelan berdua di depan anak-anak jurusan lain di kampus FIB UI itu. Fiuf.
Lalu, meskipun saya mendapatkan nilai A di ujian skipsi saya, kabar yang saya dapat beberapa bulan kemudian, begitu mengejutkan. Dosen penguji sempat bilang ke teman saya bahwa saya sangat gugup. Haha. Padahal, saat ujian skripsi itu saya merasa pede loh dengan materi dan jawaban yang saya sampaikan. :))
Trauma itu diperdalam waktu saya baca cerpen di acara Temu Sastra Jakarta yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta pada 2003. Acara yang diadakan di Dewan Kesenian Jakarta, Kompleks TIM itu berlangsung meriah. Saya dan Gita Romadhona yang saat itu masih mahasiswa tingkat dua diundang ke acara itu karena karya kami masuk ke dalam buku kumpulan yang diluncurkan: kumpulan puisi Bisikan Kata, Teriakan Kota dan kumpulan cerpen Kota yang Bernama dan Tak Bernama. Saya termasuk peserta yang disuruh baca cerpen saat itu. Cerpen saya yang masuk ke dalam buku itu berjudul "Percakapan Nomor-Nomor" dan cukup panjang. Jadi, saya cukup lama tampil di depan.
Saya dan Gita hanya berdua ke sana, naik kereta. Kala itu, hape kami belum ada kameranya dan nggak berniat juga sekadar pinjam kamera teman, jadi tidak ada dokumentasinya. Sayang sekali. :( Mungkin, karena kami berdua terlalu senang karena namanya dibukukan dengan sastrawan-sastrawan yang cukup ternama, jadi lupa segalanya. Hehe. Namun, sebenarnya, saat itu, Gita sudah punya buku antologi puisi dan menyandang gelar "sastrawan Jambi" dari kotanya itu. Kala itu, saya sungguh senang bertemu dengan seorang teman yang karyanya dimuat di Horison, dan terkagum-kagum--saat ketemu Gita, karya saya belum pernah dimuat. Jadi, bisa dibilang, Gita yang cocok jadi kritikus itu sangat berpengaruh dalam riwayat kepenulisan saya. :)
Eh, balik lagi ke saya disuruh baca cerpen di acara itu. Kala itu, yang saya ingat, saya baca cerpen sambil duduk, dengan kertas menutupi muka, dan dengan cara baca yang seperti biasa saja. Lalu, saat selesai, (kayaknya banyak sih yang tepok tangan, atau mungkin cuma Gita ya. Haha), ada seorang cowok yang menghampiri saya (ehem-ehem).
"Mbak," sapanya. Saya yang masih jetleg panggung menatapnya, "Ya, ada apa?" tanya saya *lempar poni*.
"Mbak, tadi baca cerpen atau koran ya?" ujarnya santai.
Sial! Haha. Saya langsung terpaku dan ngeloyor. Hancur sudah percaya diri saya untuk tampil di depan umum gara-gara tuh cowok. Tapi, kayaknya itu cowok minta nomor telepon saya deh setelah itu atau itu mimpi ya? Hoho.
Namun, malam itu, saya dan Gita pulang dengan sumringah. Kami dapat uang honor yang bisa dibilang cukup banyak, soalnya dihitung dari jumlah puisi dan cerpen yang dimuat. :D Gedelah pokoknya untuk ukuran mahasiswa, wong pulangnya aja saya dan Gita bisa naik taksi bow (dulu, waktu kuliah, taksi rasanya kendaraan para dewa banget dah. Maklum, mahasiswa). :p
Kejadian itu terekam di benak saya dan membuat saya semakin berpikir, saya tidak bisa tampil di depan umum.
Kejadian semacam itu berulang lagi. Saya "dipaksa" dosen, Pak Maman Mahayana membacakan cerpen pada acara ..., lupa nama acaranya. Waktu itu, kayaknya ada orang Malaysia-nyalah. Saya tidak bisa menghindar karena Pak Dosen orangnya sangat selaw, nggak percaya kalau ada orang yang grogian. Lalu, karena saya mencari teman biar nggak grogi, saya seretlah teman angkatan saya yang bernama Fadly--orangnya pede-lah pokoknya. Lalu, tampillah kami membacakan cerpen di acara itu berdua, dengan ganti-gantian membacanya.
Lalu, kami turun dengan perasaan ingin bunuh diri. :)) Saya tidak bisa menahan tawa setelah acara itu. Kami berdua sama-sama grogi dan tidak jelas membaca apa. Udah kayak dagelan abis dah--minus tawa penonton. :))) *maafkan akuh, Fadly, yang nggak mau diingatkan dengan acara itu. :p
Sampai sekarang, gaya tampil di depan umum saya masih seperti itu. Ngomong belibet dan ngomongnya nggak jelas. Padahal, di benak saya, banyak hal yang ingin saya sampaikan dan rasanya pemikiran itu cukup keren juga kok. Tapi, apa daya, yang keluar selalu hal-hal tidak jelas. Dan, bodohnya, saya selalu merasa percaya diri saat-saat terakhir, dan turun dari panggung. Bahkan, saya sering bilang ke teman saya, "Eh, tadi pas terakhir, gue udah nggak grogi loh." Lah? Pegimana yak? Acara udah berakhir masa baru mulai nggak grogi. Percaya Diri yang Datang Terlambat.
Waktu talk show di radio promo novel, saya pun ngomongnya belibet abis. Oh, tidaak. Rasanya pengen bilang, "Bolehkah saya menuliskannya saja, saya lebih pede kalau nulis." Hihi. Bahkan, ya, saking saya suka disorientasinya di depan "umum", saya malah jadi grogi di depan gebetan teman saya, waktu di kampus, dan saya jadi tertuduh menggebet doi juga. *kisah nyata dialami penulis* :D
Tapi, alhamdulillah, waktu wawancara kerja yang cukup sering, saya ngerasa lancar dan nggak terlalu gugup--oh, mungkin itu bukan kategori "tampil" di depan umum dan jadi bahan sorotan.
Akhir-akhir ini, saya berencana ikut kelas public speaking, di sekolah milik seorang artis terkenal. Tapi, hmm, mahal sekaliii dan kelasnya juga adanya malam, dan cukup jauh dari tempat kerja saya. Tapi, sepertinya kelas itu menarik dan suatu saat saya akan mengikutinya. Nabung dulu ah. :)
Lalu, datanglah malam #adupuisi di Salihara. Saya dan Gita yang sudah jarang ikutan acara sastra kangen dengan acara-acara semacam itu. Kali terakhir kami ikut acara sastra bareng itu saat di Pekanbaru, Riau, acara Kongres Cerpen Indonesia. Itu tahun 2007--so last century. Jadi, isenglah kami ngirim puisi ke acara penutupan Bienal Sastra di Salihara itu. Esoknya, saya dan Gita ditelepon untuk hadir membacakan puisi kami yang dipilih di acara itu, ceritanya puisinya diadu di acara #adupuisi itu. Gita, yang ngakunya juga nggak bisa baca puisi, memang sudah berniat tidak hadir karena dia menyusui. Haha. Ya, di rumah, ada Nyala Matahari yang merindukan waktu libur ibunya tercinta itu. :)
Lalu, saya juga berniat tidak ikut-ikutan hadir, dengan alasan: saya tidak bisa tampil di depan umum, plus saya juga tidak bisa baca puisi. Hiks. Sejujurnya, saya benar-benar takut tampil di depan umum--mana belum jadi ikut kelas public speaking. Tapi, saya ingin menaklukkan rasa takut itu, tapi saya takut. Halah, remponglah saya. :p
Kata Jeffri Fernando, desainer piawai Gagas, "Emang hal buruk apa yang bakal terjadi, Wied?"
"Hmm, gue gugup, trus orang-orang ketawa," sahut saya tidak yakin.
"Terus?" tanyanya lagi.
"Terus....," saya berpikir, "terus, udah."
"Ya, udah, cuma gitu doang kan?" sahutnya mengedikkan bahu.
Saya mengangguk.
"Ketakutan itu jangan dimusuhi, Wied, tapi dijadikan kawan, puk-puk pundaknya." Si Kokoh kedip-kedip mengeluarkan kebijakan ala leluhur Tionghoa-nya.
Akhirnya, saya membalas e-mail orang Salihara, bilang saya hadir. Kemudian, curhat ke mantan ruang kantor saya di Visimedia. Di sana, ada Zulfa dan Muti. Muti yang cukup sering tampil di depan umum nyuruh saya baca, dan saya cuma ketawa-ketawa nggak jelas. Zulfa yang baik hati bilang akan menemani saya besok. Saya semangat. Saya juga "memaksa" Andri, sohib saya, untuk mendukung saya--setidaknya, untuk memberikan tepuk tangan kalau-kalau nanti nggak ada yang tepok tangan. :p Arne, junior saya di Sastra Indonesia, juga datang ke sana dan menyemangati saya di twit-nya. Oke, saya merasa yakin untuk datang.
Menjelang sore, saya mengirim SMS ke Gita, bilang saya tidak semangat datang (sebenernya, lebih ke arah takut). Hehe. Namun, Gita menyemangati saya dari jauh (terima kasih, Gita, you're the best, always). :D Saya yang telanjur bilang batal ke Andri, meralatnya, bilang jadi datang dan berharap Andri dan Atmo--suaminya--jadi datang juga untuk jadi pasukan cheers saya. Begitu juga dengan Zulfa dan Arne. :)
Lalu, setelah kursus singkat dengan Arne, saya coba baca puisi. Awalnya, saya akan baca sajak yang judulnya "Bukan Tak Mungkin", yang sudah saya latih sambil ngaca di kosan. Arne yang sering main teater bilang, sajak itu perlu tambahan-tambahan, misalnya nyanyian, katanya. Haha, saya langsung menidakkan tanpa mengingat kejadian SD itu. Saya memang tidak ditakdirkan untuk bisa bernyanyi. Tanya aja Gita. :(
Setelah diskusi kecil dengan Arne, puisi dengan judul "(Yang Seharusnya)"-nya lebih aman, lebih bercerita dan bisa dibacakan tanpa tambahan-tambahan. Zulfa dan dua teman Arne juga setuju.
Lalu, sampailah pada giliran saya--setelah tampilan beberapa orang yang gaya membacakan puisinya bermacam-macam. Di atap terbuka gedung Salihara itu, penonton penuh--sebenarnya, mereka bejibun karena acara itu digabung dengan tampilan Gugun Blues Shelter yang sengaja diundang untuk meramaikan acara penutupan Bienal Sastra itu.
Sebenarnya, saya bersyukur tampil terakhir karena jadi lebih santai setelah melihat tampilan yang lain--ada yang cukup gugup juga, dan tampaknya lebih parah daripada saya. Hehe. Setidaknya, saya jadi belajar, oke, nanti di depan nggak boleh begini, nggak boleh begitu. Namun, que sera sera.
Setelah melihat tampilan video yang sempat direkamkan oleh Zulfa di hape saya, saya menilai, yah, saya lumayan tidak terlalu gugup, cuma terlalu sering negok ke bawah buat baca kertas contekan--karena saya memang tidak hafal sajak saya itu. Hehe. Suara saya, untungnya, tidak bergetar karena dibantu oleh sound system yang disediakan untuk panggung grup musik sekelas Gugun Blues Shelter. :)
Dan, saya juga merasa diselamatkan oleh... malam dan lampu sorot. Senang sekali saat menatap ke penonton, semuanya tampak blur. Terima kasih, gelap dan lampu sorot! :)
Jadi, malam kemarin di #adupuisi itu, saya merasa sedikit berkawan dengan rasa takut saya, dan mulai berpikir: tidak seburuk itu kok. Terima kasih buat sahabat-sahabat yang sudah mendukung saya dengan begitu semangat. Luv you, all. :)
Tapi, saya masih berniat ikut kelas public speaking. Semoga segera terwujud dan semoga bisa ikut kelasnya dengan gratis atau separo harga, atau diskonlah (hehe). Ngarep. Tapi, katanya, kan yang penting kita punya mimpi dan berdoa dulu untuk itu, dan pastinya berusaha (berusaha agar gratis atau diskon. hehe).
Selanjutnya, que sera sera, kita serahkan kepada Dia pemilik segala jalan. :)
Senang sekali, malam kemarin itu, meski tidak menang, saya merasa sangat menang--dalam "menaklukkan" ketakutan menjadi kawan saya, bukan lagi musuh. Semoga ke depannya juga selalu demikian--harapan sederhana, kan, Tuhan, kabulkan ya. ;)
--penghujung Oktober 2011
p.s. Last but not least, makasih juga buat dukungan di Twitter dari teman-teman gagas-bukune, iksi 2011, mbak enno, mbak nia, feba, bebonk, azizah. Udah kayak mau konser buat acara apaan gitu ya gw. Haha. Tapi, dukungan itu sangat berarti, teman-teman yang baik dan keren. Senang mengenal kalian semua. ;)
Tuesday, October 04, 2011
[4/10]
terkadang, kau hanya perlu berbincang panjang dengan seseorang yang kau sebut sahabat
—lalu, kau akan kembali ingat bahwa semesta baik-baik saja. :)
Sunday, October 02, 2011
mengenangmu, er
kau tahu, lagu ini membawakan kenangan, tentangmu.
membawa kenangan, ketika kita jatuh cinta.
ketika hari-hariku terasa berputar-putar dalam parut luka, aroma samar yang dibawa lagu ini mampu memudarkannya. memulihkannya perlahan.
lagu ini, kau tahu, hanya menyimpan bahagia bersamanya. itulah yang mampu membuat saat-saat terburuk larut dalam nada-nadanya yang langsung aku gandrungi, saat kau membawakannya. melengkapi potongan-potongan besar bahagia yang kau bawakan pada beberapa kali senja.
terkadang, aku merindukan lagu ini--dan kamu.
tetapi, sepertinya, angin musim kemarau itu lebih sering mengaburkannya,
tak sampai padamu.
Monday, September 26, 2011
with love
hei, gadis kecil, jangan terlalu cepat mengikuti langkah waktu.
nikmati waktumu,
suatu ketika, kau akan merindukannya;
ketika yang menjadi masalah bagimu hanyalah ingin permen rasa apa,
atau kau mau dikucir kuda atau tidak, atau kau mau pita yang mana.
mungkin jangan terlalu cepat mengharapkan waktu menjelmakanmu gadis dewasa,
karena ketika itu, waktu pun menuntutmu memahaminya. kau hanya perlu mengikuti detaknya; sang waktu tak akan berkhianat kepadamu.
kau tahu, menjadi dewasa adalah satu hal, seperti membaca sebuah novel separuh jalan. kau tak sabar ini tahu akhir cerita, tetapi tak mau merusaknya dengan membuka halaman terakhirnya.
ya, mungkin hidup seperti membaca sebuah novel--yang telah Dia rangkai dengan sempurna. kau hanya perlu membukanya dengan sepenuh hati, melewati lembarnya dengan penuh perasaan. dan, siap-siaplah dengan akhir cerita yang, mungkin, penuh kejutan. atau yang sudah bisa kau tebak, tetapi kau tetap menikmati alurnya.
dan, jika suatu ketika kau merasa lelah dan gagal dalam kisah perjalanan dalam novelmu, percayalah, kau hanya perlu berpikir kembali; seperti kata mereka-mereka, mungkin kau tidak gagal, hanya mengambil alternatif lain, sebuah jalan yang berputar.
gadis kecil, aku bertanya-tanya, bagaimana kisah "novel" yang kau baca. mungkin, suatu ketika nanti, kau bisa menceritakannya kepadaku.
kala itu, mungkin aku tak lagi sibuk dengan (hanya) langkahku. kita bisa membahas para tokohnya, ataupun hal tak logis dalam alurnya. atau kita bisa bersama-sama menghapus air mata dengan kisahnya yang terlalu indah.
ah, gadis kecil, jangan risau. melangkahlah bersama waktu--tidak terlalu lambat dan tidak terlalu cepat. setiap cerita pasti ada akhirnya. dan, akan selalu ada bahagia terselip di dalamnya. :)
with love,
your lovely aunty
Monday, September 19, 2011
PREMIERE Penampakan Asli @Poconggg*
Demi
pembaca setianya, @Poconggg alias Arief
Muhammad (pake f bukan p, seperti yang belio pesankan) udah ada
di dalam kantor Gramedia PIM sejak toko buku itu belum buka. Dia udah tau tuh kalo lo-lo
pada—para pembaca Poconggg Juga @Poconggg
(PJP) yang cinta mati banget sama kejomblo-ngenesannya—udah nunggu di depan
rolling door toko buku itu. (Ya ampun, itu pada shif2an bangunin ayam jago kali
di rumahnya? Pagi-pagi buta udah pada nongkrong di depan Gramed—meski @Poconggg
belum tampak di sana, mereka udah disambut poster gede @Poconggg di Gramed). :p
Awalnya, tempat duduk
(lesehan) masih berisi lima baris dan masih selaw bangetlah buat liat-liat
kalau ada yang bening-bening. Menjelang pukul 11 pagi, pengunjung makin banyak. Wow!
Kalau @Poconggg tau barisannya penunggunya sebanyak itu, dia bakal balik lagi
deh ke kuburannya (maklum, dia biasa yang disebut penunggu malah diserbu
“penunggu”). Untunglah dia nggak tahu, soalnya kru bukune cuma bilang, “Yah,
ada 20 oranganlah.”
Ngurangin nol satu doang kayaknya nggak masalah ya,
soalnya kan nol ga ada nilainya nggak sih? *pola pikir bukan-anak-matematika*
Jadi, kan nggak boong-boong amat. Katanya sih, kalau boong demi
kebaikan a.ka. kemaslahatan bersama itu dimaklumin. Katanya, sih, kalau bukan
gitu, bagi-bagi dikitlah dosanya ma pembaca PJP yang dateng bejibun ke PIM
kemaren (18/9). Hehe.
Oh, ya, balik lagi. Kan @Poconggg
a.k.a Arief itu tahunya cuma dua puluhan gitu, dia udah ongkang-ongkang kaki
aja tuh di ruangan kepala tokonya Gramedia. Dia nggak tahu aja, di luar, udah
ada 200-an orang lebih. Kalau dia tahu, cowok pemalu (alhamdulillah yah, untung
nggak malu-maluin. hihi) itu bakal jiper dah, soalnya dia takut mantannya semua yang dateng *padahal,
ya, dia ngakunya selama ini jomlo-ngenes loh. what?*
Jadi, ya udah, dia nyuruh
Bena—yang jadi moderator—duluan yang liat keluar, “Ben, tolong lo liatin ya.
Ada si X nggak? Soalnya, kemaren pas dia minta balikin jaket yang dia kasih ke
gue, gue nggak bales bbm-nya. Jaketnya udah gue kasih ke mantan gue yang lain.
*ups, bagian ini fiktif doang deng,
soalnya @Poconggg ngaku2 punya banyak mantan sih, jadi ya, imajinasi jadi liar
gini deh*—gils, jangan sampe lo
pada minta balikin barang-barang yang udah lo kasih ke mantan! Itu ada di “10
rules ampuh lupain mantan”. Kata artikel itu, “Jangan tukar harga diri lo
dengan semua barang itu!” See? ;p
Okeh, balik lagi ke Poconggg.
Akhirnya, keluarlah Bena dengan rambut kribonya itu. Dan, wow, semua penunggu
pada teriak kayak ketemu Bena. Seru abis dah *biar yg nggak dateng pada iri*
Beuh, Bena cakep banget hari itu. Rambutnya kribo, kacamatanya gede. Cowok
idola masa kini banget pokoknya.
Cewek-cewek histeris dunk. Tapi, wibawanya Bena
langsung mampu mendiamkan teriakan itu dengan suaranya yang pas banget buat orang yang bernama Bena. Mungkin, kalau nggak inget persohiban dengan Poconggg, Bena bakal ngabisin waktu sampe acara selesai buat cuap-cuap
dengan suaranya yang Bena-banget itu. Hoho. Soalnya, sebagian besar pengunjunganya itu cewek euy, bening-bening. (Menguntip si Poconggg pas udah muncul dan liat pengunjung cowok di pojokan, “Lah, cowok ngapain dateng ke acara yang
nampilin cowok juga sih?” Bener juga ya apa yang Poconggg bilang. Tapi,
kayaknya cowok-cowok itu pada cekikikan dalam hati deh: “Gue nggak liat lo, Cong. Gue liat cewek bening-bening ini jugalah.”
:p)
Tapi, menginggat Poconggg
udah deg-degan dari tadi, akhirnya Bena manggil Poconggg dan taraaa, pembaca
PJP yang rata-rata ababil—eh, maksudnya abege
gembil loh, bukan abege labil :p—langsung
teriak-teriakin nama Poconggg. Tempat talk
show yang penuh sesak itu semakin sesak.
Ternyata, Poconggg bisa juga
loh grogi di depan cewek-cewek cantik itu. “Di twit aja banyak ngomongnya, di
sini diem,” ledek Bena. Duh, tambah salting de Poconggg dengan ledekan itu. Hihi.
Terus, @Poconggg lanjutin
lagi cerita-cerita tentang dirinya selama setengah jam lebih *nggak tau tuh dia cerita apa, soalnya setiap
dia ngomong, semua cewek langsung pada tereak-tereak. wkwkwk*
Lalu, masuk ke sesi
pertanyaan. Sesi yang tadinya udah diatur dengan baik malah jadi penuh teriakan,
semua orang pengen nanya dan udah pada teriak-teriak duluan sebelum ditunjuk (untunglah
Bena udah kribo, klo ga, rambutnya bakal keriting deh ngatur yang nanya. Kayak
yang di twit @bukune, suasana brutal, tapi seru! :D)
Pertanyaan yang diajukan ke @Poconggg
seputar umur, udah punya pacar belum, rumahnya di mana, apa tujuan ke depan.
Dan ada yang minta biodata lengkap segala. Eh, udah gitu, ada yang nanya kapan
ke rumah? (bikin iri nggak siiiiy?)—psst, itu yang nanya anaknya pak dosennya
si Poconggg, maksudnya kapan ke rumah kelarin skripsi. Hehe.
Tentang biodata lengkap, @Poconggg
lupa berapa banyak saudaranya, soalnya kata dia, (entah teori dari mana), play boy itu mesti nggak boleh terlalu
terlihat dekat dengan keluarga. (Lah, katanya jomlo, tp sekarang dia ngaku play
boy dan punya pacar di semua fakultas. Haha. Poconggg, Poconggg, kocak banget
deh dia *kedip-kedip*).
Soal umur, @Poconggg bilang
dia masih 16 tahun. Katanya, kalau ada yang bilang dia 21an gitu, itu boong (?).
Oh, iya, yang paling bijak
dari Poconggg, katanya carilah teman seperti Alitt)—yang hari itu
nggak berkesempatan datang. Katanya, bisa dicela-cela tanpa perlawanan. Hoho.
Tapi, psst, sepanjang talk show itu, @Poconggg
ngomongin Alitt mulu deh, sampe mungkin para penonton pada curiga (ada apa
antara Alittt dan Poconggg? Hmm…) *ikutanbakarmenyan*
Sesi tanya jawab cukup
panjang, tapi sayangnya yang dapet giliran nanya malah nanya hal yang sama. Di
Twitter @bukune juga pertanyaan yang muncul sebagian besar sama dan sudah
dijawab di acara. Tapi, tetep seru banget, soalnya kan pasti semua orang pengen
tahu banyak tentang @Poconggg yang selama ini nyembunyiin identitasnya. Dan, semua
pertanyaan itu dijawab @Poconggg dengan lancar dan sabar dan kocak.
Dari pertanyaan-pertanyaan
yang muncul, dipilihlah lima orang yang beruntung dan bisa dapetin paket buku
dari bukune. Dan seneng banget pastinya bisa maju ke depan dan salaman sama
tangan (beneran) Poconggg.
Abis sesi tanya jawab itu,
acara dilanjutin dengan sesi tanda tangan dan foto-foto. Ini acara yang paling
ditunggu-tunggu pastinya. Tapi, semua terlalu bersemangat sampe-sampe kru
Bukune dan kru Gramed tiba-tiba harus merangkap jadi pengaman ala konser (eh,
apa ala satpol pp ngamanin orang antre sembako ya?) Tapi, untunglah acara tanda
tangan itu berakhir dengan tangan @Poconggg masih di tempatnya.
*Tapi, sebenernya, acara ini
akan lebih oke kalau semuanya sabar dan berbaris dengan rapi, dan sedikit
mengurangi teriakan-teriakan histeris ala kuburan. Jadi, pada yang sabar yaa
kalau ada acara kayak gini lagi. :)*
Tapi, begitu kali ya emang
rasanya mau ketemu @Poconggg yang selama ini suka lempar batu (nyela-nyela),
sembunyi tangan itu.
Pas acara tanda tangan dan
foto-foto ini, ada beragam orang yang antre (orang beneran sih), mulai dari
anak kecil sampe ibu-ibu yang sayang anak (waa, beruntung banget deh si anak punya
ibu yang kayak gitu. Pasti dia seneng banget deh ya pulang-pulang dibawain
oleh-oleh tanda tangan Poconggg *sirik*).
Acara Interview with the @Poconggg dimulai pukul 11 sampe pukul 1 siang, akhirnya berakhir sekitar pukul 2 kurang. Premiere penampakan asli Poconggg ini bener-bener ruame. Oh, ya, ada juga bagi-bagi kaus Poconggg buat lima orang yang beruntung hari itu.
Satu kata buat acara Interview with the @Poconggg kemaren itu: ROCK! Seneng banget liat semangat para pemuda-pemudi Indonesia.
Tapi, yang pasti, semangat
muda itu memang keren, bisa mengubah apa pun. Soekarno—godfather (tanya si Poconggg ya artinya
apa) kita—juga bilang kok, “Berikan
aku sepuluh pemuda, maka aku akan kuguncang dunia!” (Beuh, bayangin aja,
kemaren di PIM itu ada berapa banyak pemuda. Pantesan gramedia PIM itu berasa
gempar abis).
So, mari kita manfaatkan
semangat muda kita buat hal yang baik-baik, misalnya banyak-banyak baca buku.
Okey, guys, tetap semangat ya buat
membuka cakrawala—lahap buku sebanyak-banyaknya! (buat kamuh-kamuh yang masih SMP, buku Superlengkap Bahasa Indonesia SMP, terbitan GagasMedia *ehem, ehem, ditulis akyu dan sohib akyu* salah satu yang juga penting buat dibaca loh--eh, sama novel Kucing Melulu & Cerita (Me)Lulu ya :p. Must read before you're THIRTY! *promosi (tak) terselubung. sori, Cong. :* Wkwkwk* Dan, mari belajar menulis.
Mana tahu bisa jadi kayak @Poconggg yang inspiratif banget itu. ^o^
See you! ;)
P.S.
Kalau ada talk show lagi, biar kamu-kamu bisa
punya QT alias quality time sama Poconggg, harap perhatiin hal ini ya.
- Teriak-teriaknya jangan sepanjang acara biar suara @Poconggg (yang seksi) itu bisa kedengeran.
- Kalau nanya, siapin pertanyaan yang okeh, yang bisa bikin Poconggg menatap lo dengan terpana.
- Harap berbaris rapi, tenang, dan sabar saat acara book signing dan foto-fotonya. Kalau lebih rapi, semua bakal dapat tanda tangan dan foto lebih cepet. Dan, kalau lagi baris-baris gitu, harap perhatiin barang berharga kamuh. Jangan sampe berpindah tangan atau tercecer. (Sayangnya, kemaren dua tiket bioskop yang kececer ada pemiliknya. #eh) :p
- Terus, apa lagi ya? Pokoknya yang sabar dan jangan dorong-dorongan biar semua kebagian. Buktinya, ada yang mention di @bukune, katanya, “bener aja yang dibilang kru bukune, kalo sabar, semuanya kebagian dan dia nunjukin tanda tangan Poconggg.
* kabar (singkat) Interview with the @Poconggg, Gramedia PIM, 18 September 2011
Sunday, September 04, 2011
[Kamu] Gejala Optis
i owe the pic! |
Suatu
hari, seseorang pernah bilang kepada
saya, ada yang orang yang tidak pantas, bahkan untuk kau jadikan musuh.
Dulu, saya pikir,
bagaimanapun, kita tak akan bisa membenci dan melupakan orang yang pernah singgah di ruang hati kita—yang kita pikir tak ingin kita lupakan. Namun,
ternyata saya keliru. Kemarin, saya menyadari, ada yang orang yang tak pantas lagi, bahkan untuk dikenang, bahkan membuatmu berpikir, seharusnya ia tak pernah berada dalam satu langkah denganmu. Kau tahu kenapa? Karena ternyata,
orang yang pernah singgah itu hanyalah “sosok” yang ada di imajinasi
kita—sosok fatamorgana, yang hadir ketika kau sedang tak ingin berada dalam dunia nyata. Dia ada di persimpangan yang tepat kala itu, hanya saja, dia bukanlah orang yang kau kira.
Hei, kamu (aku masih tetap mendoakan semoga kau sampai pada matahari), aku tak terlalu menyukai dunia fatamorgana. Aku lebih
menyukai dunia nyata—apa adanya. Jadi, hiduplah kau di sana, dalam gejala optis
yang berupa khayal semata.
Psst, aku tahu, kau takut
keluar dari dunia itu karena kau sendiri sebenarnya takut mendapati kenyataan sebenarnya tentang segala hal
yang ada di sana—bahkan tentang dirimu sendiri. Kau
takut pada sebuah rahasia, yang bahkan berusaha kau sembunyikan dari dirimu
sendiri.
p.s.
Oh, ya, lagi pula,
katanya, setiap orang memiliki hak untuk membodohi diri mereka satu kali saja. Hanya satu kali. Dan, sepertinya, aku telah mempergunakan hakku itu —ketika aku memercayaimu.
Friday, September 02, 2011
ketika idul fitri membagi ruang bahagianya
saat gerimis jatuh, aku tak pernah membayangkan seperti itu pula tahun-tahun berjatuhan.
kau tahu, saat kau berteduh di bawah atap sebuah toko, menunggu gerimis reda, kau mungkin berpikir bahwa kau hanya sempat mengumamkan dua-tiga lagu. namun, ternyata, sudah side a side b sebuah kaset lama kau putar di dalam benakmu.
dan, bersama lagu-lagu lama, gerimis pun mereda.
lalu, usia pun ternyata ikut bersamanya.
lebaran kemarin ternyata sudah begitu lama berlalu, tanpa saya sadari. ani yang menjadi tokohnya, yang dulunya gadis kecil polos, telah menjelma seorang remaja.
cipa yang selalu mampu menggantikan pippi lotta dengan tingkah usilnya, telah menjelma seorang gadis kecil yang sudah bisa diminta tolong untuk memandikan adik sepupunya yang lebih kecil--korban dari kemalasan tantenya yang melebihkan tidurnya. :p pippi lotta berkejaran dengan gerimis. gadis kecil ini, ah, ada-ada saja tingkahnya, seperti mencuri-curi foto dan gaya saat pemilik kamera dan pasmina--lengkap dengan brosnya--sedang tidur, misalnya. ah, cipa, ada-ada saja. cepat besar, sayang, dan raih hari depan di hadapanmu. :)
keponakanku, bertambah jumlah mereka tiap tahunnya. bahkan, aku tidak sempat menceritakan semua tingkah polah mereka. afni bersaudara, misalnya. aku tidak sempat merekam tingkah mereka. mereka seperti tumbuh begitu saja ketika aku bertemu mereka--seperti hanya dalam hitungan satu-dua kali gerimis.
lebaran, selalu menyadarkanku bahwa tahun-tahun berjatuhan seperti gerimis jatuh. bersirebut dalam rintik yang tak terlalu kau pikir tak begitu lama, tetapi dia jatuh dalam beribu rintik, membawa beribu kenangan--mungkin juga sedikit cerita tentang cinta, yang penuh tawa ataupun dibubuhi sedikit air mata.
tahun-tahun berjatuhan bagai gerimis, yang kau pikir hanya beberapa kejap, tetapi membawakan berbagai cerita dalam setiap rintiknya. beribu cerita--yang terkadang sempat kau lupa, bahkan mungkin tak mampu kau lupakan sama sekali.
semoga, dalam gerimis kelak, aku bisa mengingat sudah berapa lirik lagu aku gumamkan dalam menunggunya reda, agar aku tak melupa bahwa aku perlu menghafal lirik-lirik baru agar menunggu gerimis jatuh tak menjadi membosankan dan berlalu begitu saja.
--lebaran 2011.
p.s.
dear all, selamat idul fitri. mohon maaf lahir batin ya. maafkan atas segala salah dan khilaf.
semoga ramadhan dan idul fitri masih berkenan menerima kita dalam ruang cintanya, ruang bahagianya, pada masa mendatang. :)
Monday, August 22, 2011
Tuesday, August 09, 2011
Tahun-Tahun Terasa Cepat Berjalan*
gambar di sini! |
Hari ini, aku bertemu dengan Pak Sondang, dosen Perancangan Sistem, Manajemen Informatika di Pendidikan Profesional Satu Tahun di sebuah lembaga pendidikan yang juga punya lembaga bahasa di bilangan Slipi, tempat aku kuliah tahun 2000—2001.
“Kuliah di mana sekarang?” tanyanya.
“UI, Pak,” ujarku.
Senyum bangga yang cukup berlebihan terpancar dari wajahnya. Aku berharap dia tidak melanjutkan pertanyaannya karena aku tidak ingin dia sedikit menyesal dengan senyumnya itu. Namun, kalaupun dia bertanya, aku sudah siap menjawabnya.
“Oh..., ngambil jurusan apa?” tanyanya lagi. Urutan pertanyaan ini sudah aku hafal.
“Sastra, Pak.” Aku melihat tarikan senyumnya berkurang sedikit. “Sastra Indonesia, Pak,” lanjutku.
Aku sudah siap melihat senyumnya itu tiba-tiba benar-benar hilang. Dan benar saja. Wajah tersenyum itu sekarang berubah menjadi wajah yang penuh tidak percaya.
“Kok, nggak Sastra Inggris atau yang lain?” tanyanya.
Sekarang gantian aku yang tersenyum. Jawaban ini juga sudah kuhafal untuk menjawab pertanyaan seperti itu. “Saya suka Sastra Indonesia, Pak. Ternyata Sastra Indonesia itu tidak seperti yang awalnya saya bayangkan, Pak.”
Aku sudah siap mengungkapkan seribu alasan kecintaanku terhadap Sastra Indonesia. Namun, dosenku itu lebih dulu dijemput bus AC yang akan mengantarnya entah ke mana.
“Sukses, ya!” ujarnya menjabat tanganku sebelum pergi.
Aku menyambut jabatan tangannya dengan pasti, “Terima kasih, Pak.”
Bus yang ditumpanginya berlalu meninggalkan aku yang masih juga tersenyum.
Ternyata, mantan dosenku itu pun berpikiran seperti orang kebanyakan mengenai Sastra Indonesia. Aku memakluminya. Dulu, aku pun berpikiran yang sama, masuk Sastra Indonesia itu sedikit “memalukan”. Namun, sekarang aku bisa mengatakan orang-orang seperti itu berpikiran dangkal mengenai jurusan—sekarang disebut program studi—yang aku ambil di fakultas yang saat ini sudah berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB UI) tersebut.
Aku masih berdiri di halte di bawah jembatan penyebrangan Slipi Jaya. Bus yang mengantarku ke Depok belum juga lewat. Depok, aku tidak pernah membayangkan akan menjadi bagian dari daerah itu, apalagi kuliah di kampus UI yang ada di sana. Aku tiba-tiba ingat saat aku masih di SMA, menjelang UMPTN, tahun 2000.
Aku tertarik pada bidang jurnalistik dan menurut informasi yang aku dengar, Komunikasi, FISIP merupakan jurusan yang harus aku pilih. Saat itu, dengan pasti bulatan lembar formulir UMPTN itu aku hitamkan dengan jurusan Komunikasi, UI dan Undip. Aku ingin jadi penulis, itu cita-citaku. Ujian UMPTN aku lewati dengan lumayan lancar karena soal-soalnya tidak jauh berbeda dengan soal latihan di bimbingan belajar yang aku ikuti di sekolah. UI, mungkin itu angan-angan, tapi aku sedikit punya harapan untuk Undip. Aku juga ikut ujian STAN. Harapanku cukup besar untuk sekolah tinggi yang bebas biaya kuliah itu. Namun, aku tahu, kemungkinan kecil sekali untuk lulus. Namun, aku tetap berusaha dan berdoa.
Menjelang pengumuman, bahkan sebelum UMPTN, teman-temanku sudah sibuk mendaftarkan diri di universitas swasta. Mereka kaget sekali saat mengetahui aku tidak ikut mendaftar di universitas swasta mana pun. Aku hanya menanggapi dengan jawaban, “Gue mesti kuliah di negeri.” Jawaban yang menurut temanku terlalu memaksa.
Akan tetapi, aku memang harus kuliah di universitas negeri, tempat kuliah yang kata orang biayanya murah. Universitas swasta, pada saat itu tidak mungkin aku masuki karena biayaku ditanggung oleh kakak-kakakku. Saat itu, salah satu kakakku juga masih kuliah dan keponakanku juga akan masuk kuliah tahun itu. Dua-duanya di universitas swasta. Kalau bukan universitas negeri atau STAN atau tempat kuliah yang menawarkan bebas biaya pendidikan, kuliah cuma jadi impianku.
Oleh karena itu, aku bahagia sekali saat aku mendapat surat panggilan wawancara Pendidikan Akuntansi gratis dua tahun dengan ikatan dinas dari bank BC*. Aku dengan rela menunggu sampai tiga jam untuk wawancara karena aku membayangkan dapat kuliah tanpa biaya dan kemudian direkrut menjadi karyawan bank BC*. Kakak-kakakku akan sangat senang. Namun, kejujuran ternyata menggagalkanku. Benar, kejujuranlah yang membuatku dicoret sebagai salah seorang calon mahasiswa dan calon karyawan mereka.
Saat wawancara, mereka melihat perkembangan raporku dari SD—SMA dan mereka menemukan nilai matematika-ku yang rata-rata. Saat ditanya mengapa nilaiku itu tidak menonjol, aku katakan bahwa aku tidak menyukai matematika. Saat ditanya kenapa, aku jawab bahwa aku tidak suka hitung-hitungan. Jawaban yang jujur dan polos sekali, tanpa mengingat bahwa kuliah yang akan kuikuti adalah Pendidikan Akuntansi. Pewawancara yang akhirnya mengatakan bahwa aku cadangan itu menanyakan apa pelajaran yang aku sukai. Saat itu, tanpa tahu masa depanku yang sekarang, jawabanku adalah bahasa Indonesia. Saat itu, kata “cadangan” tidak kupikir sebagai kata yang halus untuk mengatakan “Anda gagal”. Aku tetap berharap mereka menghubungiku lagi dan ternyata itu hanya harapan belaka.
Agustus 2000, UMPTN diumumkan dan sebelum membeli koran pengumuman aku dapat telepon dari Novi, sahabatku.
“Gue lulus, Wid, di Farmasi UGM.” Aku sangat senang mendengar hal itu. Namun, kesedihan menyergapku saat Novi melanjutkan. “Tapi, kayaknya nama lo nggak ada, Wid..., tapi mungkin gue salah, coba lo liat lagi aja, ya.”
Keraguan Novi itu cuma ingin menghiburku. Aku percaya pada Novi, tidak mungkin orang seteliti dia salah lihat. Namun, hal itu tidak mengurungkan niatku untuk membeli koran pagi yang hari itu memuat pengumuman UMPTN. Aku tidak lagi mencari namaku, tapi mencari nama teman-temanku yang berhasil lulus. Saat itu, aku mencari pembelaan dengan mengatakan pada diriku bahwa beberapa temanku, Maria, Gatot, Agung, Heri juga tidak lulus. Satu harapan untuk STAN juga pupus, aku tidak lulus juga. Tinggal satu tujuan untuk tahun ini, aku akan bekerja dulu, tekadku.
Namun, ternyata garis takdir berkata lain. Setelah mencoba melamar pekerjaan menjadi SPG toko, aku merasa tak adil pada diriku sendiri. Bukannya aku tak menghargai pekerjaan itu, hanya saja, aku tidak ingin menghabiskan hidupku dengan pekerjaan itu saja dan tidak ingin biaya sekolah yang cukup mahal di SMA terbaik Jakarta Barat itu sia-sia. Aku berpikir, tidak ada salahnya kalau kita menginginkan pekerjaan yang lebih baik. Namun, aku tahu lulusan SMA tidak berarti apa-apa. Kemudian, aku mencoba membujuk kakakku untuk membiayaiku kuliah satu tahun di lembaga pendidikan yang menjanjikan lulusan yang siap kerja.
Aku pikir, setelah lulus dari situ, aku bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik dari SPG dan kemudian aku bisa membiayai kuliahku sendiri, jika nanti aku kuliah. Kakakku akhirnya setuju.
Aku kemudian menjadi mahasiswa Pendidikan Profesional Satu Tahun PPK L*A, Slipi. Meskipun aku termasuk salah satu mahasiswa yang sering menjadi tempat bertanya teman-temanku, aku kecewa karena di sana aku menyadari aku tidak mungkin bisa menjadi profesional dengan instan, dalam satu tahun. Namun, aku sudah telanjur membayar biaya kuliah.
Bus yang akan membawaku ke Depok belum juga datang. Aku ingat pertama kali aku menuju Depok, kota yang Jalan Margonda-nya selalu kususuri hampir setiap malam. Saat itu, aku dan dua orang temanku berniat untuk membeli formulir UMPTN tahun 2001. Namun, ternyata kami salah informasi, pendaftaran belum dibuka dan tempatnya juga bukan di UI Depok, melainkan UI Salemba. Setelah berjuang naik kereta (saat itu aku belum tahu dari Slipi ada bus yang langsung ke Depok) kami langsung pulang bersama Wika, teman SMA-ku yang kuliah di UI dan secara kebetulan bertemu di wartel. Rumahnya juga di Slipi.
Aku tidak terlalu kecewa dengan hal sia-sia yang kami lakukan hari ini karena aku ikut karena desakan teman-temanku itu. Sebenarnya, impian kuliah dan menjadi penulis telah aku kubur selama satu tahun ini dan menggantikannya dengan impian untuk bekerja. Namun, impian itu perlahan-lahan lahir kembali saat aku dalam bus yang membawaku pulang ke Slipi.
Wika, temanku itu ternyata kuliah di Sastra Indonesia UI. Aku cukup kaget mendengarnya. Selama ini, jurusan itu tidak pernah menjadi perbincangan teman-temanku di sekolah—termasuk aku. Setelah mengobrol mengenai Sastra Indonesia sepanjang jalan dari Depok ke Slipi, aku menyadari bahwa yang selama ini aku cari ada di jurusan itu. Menurut cerita Wika, bagaimana menyunting tulisan, bagaimana mengkaji puisi, drama, dan bagaimana cara menulis juga diajarkan di sana. Impianku memang tumbuh, tetapi aku hanya saat itu saja. Esoknya aku ingat kembali tekadku untuk bekerja.
Namun, garis takdir kembali berkata lain. Oleh karena dorongan teman-temanku di PPK L*A dan juga teman-teman SMA-ku yang saat itu sudah kuliah, aku mendaftarkan diri untuk ikut UMPTN lagi. Meskipun tidak serius, apa salahnya mencoba, pikirku. “Nothing to lose,” kata salah satu dari temanku.
Tidak semudah pendaftaran pertama yang diurus sekolah, pendaftaran kedua itu cukup sulit karena tidak teratur sehingga aku berdesak-desakan dengan calon pendaftar lain. Saat mengisi formulir, UI jadi tujuanku. Kuhitamkan pilihan pertama dengan mantap dan pilihan kedua dengan ragu-ragu.
Aku sedang sibuk mengerjakan tugas akhir di PPK L*A saat pengumuman UMPTN. Aku tidak berusaha mencari koran pengumuman di kios lain saat koran itu terjual habis di kios dekat rumahku. Aku yakin aku tidak lulus dan seandainya pun aku lulus, aku tidak berani meminta kakakku untuk membiayaiku lagi.
Namun, menjelang kuliah di PPK L*A, secara iseng aku pergi ke perpustakaan dan di sana aku menemukan koran pengumuman UMPTN. Kucoba mencari namaku dan aku tak percaya namaku ada di koran itu. Setelah kulihat kode jurusan yang menerimaku, aku sedikit kecewa. Aku diterima di pilihan kedua yang bulatannya kuhitamkan dengan ragu-ragu: Sastra Indonesia UI. Aku bisa membayangkan kerut kening teman-temanku saat tahu aku diterima di Sastra Indonesia. Yang mereka tahu pilihanku adalah Komunikasi UI. Meskipun aku tahu yang aku cari ada di Sastra Indonesia, aku malu mengakuinya pada teman-temanku.
Namun, ternyata aku yang terlalu berpikiran buruk. “Ini sebuah kesempatan,” kata mereka mendukungku. Saat kuutarakan bahwa aku tidak mungkin mendaftar ulang karena masalah biaya, teman-temanku memberi informasi mengenai keringanan biaya kuliah. Saat itu, aku tidak punya alasan lagi untuk tidak mendaftar ulang.
Semester ini aku memasuki tahun keempat di program studi Indonesia, FIB UI. Banyak hal yang telah aku lewati sampai tahun ini. Aku merasa benar-benar menemukan impianku di Sastra Indonesia (aku belum terbiasa dengan sebutan Program Studi Indonesia). Aku menemukan orang-orang yang menyukai hal yang sama: menulis, aku menemukan mata kuliah yang kupikir hanya ada di Komuniksi, dan aku menemukan kampus yang nyaman dengan segala penghuni yang mempunyai segala tingkah unik mereka. Aku menemukan mimpi di Sastra Indonesia, FIB UI. Sekarang, aku tidak lagi memandang sebelah mata Sastra Indonesia dan telah menjadi penentang orang-orang yang berpandangan seperti itu.
Tidak beberapa lama, salah satu bus menuju Depok (bus berwarna biru tujuan Depok—Kalideres) yang kutunggu datang. Tidak terlalu penuh karena sekarang bukan jam kerja. Segera kulangkahkan kaki naik. Aku duduk di bangku untuk dua orang yang terletak di sebelah kiri paling depan. Bus kembali melaju.
Aku memperhatikan bangunan di sebelah kiriku di sepanjang Jalan S. Parman tersebut. Tak beberapa lama, gedung tempat kursus bahasa Inggris, komputer, dan pendidikan keterampilan itu kulewati. Gedung berlantai lima itu tampak sedikit suram, sama seperti dulu saat aku kuliah di lantai paling atas selama satu tahun. Meskipun aku lulus dengan tugas akhir bernilai A, aku tidak merasakan kebanggaan. Pendidikan Profesional Manajemen Informatika itu sepertinya belum bisa menjadikanku profesional karena aku hanya mempelajari kulit dari bidang manajemen informatika, tidak sampai menyentuh isinya. Lagi pula, mungkin juga karena aku sebenarnya tidak berminat menjadi programmer junior, sebutan untuk bidang pekerjaan tujuan kuliahku di sana itu.
Namun, sekarang, dengan bus ini, bus yang juga pernah melahirkan impianku kembali, aku sedang menuju impianku di Sastra Indonesia FIB UI. Ternyata, kejujuran yang tahun 2000 menggagalkanku di BC* merupakan salah satu kunci menuju mimpiku ini. Seandainya saat itu aku lulus, mungkin aku tidak seperti sekarang, mungkin aku akan terikat dengan bank itu dan tidak bisa mewujudkan mimpiku untuk menulis. Tahun 2001, perjalanan sia-siaku dan teman-teman di PPK L*A ke Depok untuk berniat mendaftar UMPTN ternyata tidaklah sia-sia. Seandainya aku tidak ke Depok dan tidak bertemu Wika, mungkin aku tidak akan pernah mengambil jurusan Sastra Indonesia dan tetap memandang sebelah mata jurusan tersebut. Dan, ternyata, kuliah satu tahun di PPK L*A itu pun tidak sia-sia karena aku bertemu dengan orang-orang yang "mengajakku" untuk ikut kembali UMPTN.
Saat ini, bulan hampir memasuki akhir tahun 2004. Tak terasa sebentar lagi aku akan lulus dan meninggalkan Sastra Indonesia FIB UI. Tahun-tahun yang kulewati terasa begitu cepat berjalan dan kadang kita merindukan agar tahun-tahun itu berjalan pelan-pelan, bahkan berhenti agar kita dapat menikmatinya.
Namun, ada yang tidak berjalan dengan cepat dan aku sangat ingin dia berjalan dengan cepat tanpa berhenti sebelum sampai, yaitu bus yang kutumpangi ini. Sekarang bus ini sedang berjalan sangat pelan karena terjebak kemacetan. Aku sedikit kesal, tapi setelah kupikir kesal tak ada gunanya. Jadi, kucoba menikmati kemacetan. Toh, aku akan sampai juga di Depok dan aku percaya segala sesuatu tak akan terjadi secara sia-sia.
*Curcol dalam Tugas Mata Kuliah Penulisan Populer yang diajarkan oleh dosen nyentrik Alm. Bpk. Ismail Marahimin, FIB UI, 2004 ^_^
(oh, iya, harap dimaklumi kalau kalimat atau EYD-nya masih ada yang kurang pas karena saat nulis curcol ini, yang bersangkutan masih berstatus mahasiswa :p)
(oh, iya, harap dimaklumi kalau kalimat atau EYD-nya masih ada yang kurang pas karena saat nulis curcol ini, yang bersangkutan masih berstatus mahasiswa :p)
Subscribe to:
Posts (Atom)